Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak berdiri sendiri, tetapi terhubungkan dengan dan
sekaligus mengilhami sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan pengamalan dari Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertanam dan berakar di masyarakat pada
umumnya dan umat Buddha pada khususnya. Pancasila sebagai ideologi negara
sangat relevan dengan situasi yang ada. Hal ini sudah jelas terbukti dan sekaligus
teruji dengan demikian besarnya dan kuatnya solidaritas kemanusiaan dari seluruh
masyarakat pada saat musibah tsunami dan bencana alam lainnya di Indonesia.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sejalan dan bersesuaian dengan Kitab
Suci Tipitaka pada Kitab Samyutta Nikaya I : 75 yang berbunyi sebagai berikut :
Sabba disa anuparigamma cetasa, Nevajjhaga piyataramattana kvaci, Evam piyo
putthu atta paresam yang artinya Bila kita mengarungi dunia dengan pikiran,
maka kita menemukan bahwa diri sendirilah yang paling kita cintai. Karena tidak ada
lain yang dicintai oleh seseorang selain dirinya sendiri, maka perhatikan dan
hormatilah orang lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri . Penjabaran dan
pengamalan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab oleh umat Buddha
Indonesia senantiasa dilandaskan pada Brahmavihara yang artinya Empat
Keadaan Batin Luhur , yaitu : Yang pertama Metta yang berarti cinta kasih
universal, suatu sikap batin yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagian semua
mahluk hidup tanpa membeda-bedakan sedikitpun. Yang kedua Karuna yang
berarti welas asih, suatu sikap batin kasihan yang timbul apabila melihat penderitaan
mahluk hidup lain dan berhasrat untuk menghilangkan atau meringankan
penderitaannya. Yang ketiga Mudita yang berarti simpati, suatu sikap batin
gembira yang timbul apabila melihat keberhasilan orang lain. Yang keempat
Upekha yang berarti keseimbangan batin, suatu sikap batin yang seimbang dalam
segala keadaan oleh karena menyadari bahwa setiap mahluk hidup memetik hasil dari
perbuatannya sendiri. Pengamalan sila pertama dan kedua dari Pancasila akan
membentuk bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang religius dan terlibat secara
aktif dalam mengimplementasikan bagaimana hidup yang religius didalam
masyarakat
yang
majemuk.
Berbeda dengan dunia barat dimana negara dibentuk berdasarkan kesepakatan
individual, para pendiri republik ini menetapkan terlebih dahulu cita-cita akan
Negara Indonesia kemudian orang perorang bersepakat mewujudkan cita-cita
itu. Kondisi inilah yang membuat para pendiri republik merumuskan Sila Persatuan
Indonesia dimana persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan negara diatas
kepentingan pribadi atau golongan. Hak asasi manusia sebagai pribadi adalah hak
asasi
warga
negara
bukan
hak
yang
terlepas-lepas.
Sila Persatuan Indonesia sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada
Kitab Khuddaka Nikaya, Cariyapitaka 33 / 595 yang berbunyi sebagai berikut :
Vivadam bhayato disva avivadaca khemato, Samagga sakhila hotha esa
buddhanusasani yang artinya Dengan melihat bahaya pertengkaran dan rasa aman
yang timbul dari sikap menghindari pertengkaran, hendaklah seseorang bersikap
menunjang persatuan dan kesatuan kelompok. Inilah ajaran Sang Buddha . Juga
sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Dhammapada 194
yang berbunyi sebagai berikut Sukha sanghassa samagg, samangganam tapo
sukho yang artinya Berbahagialah mereka yang dapat bersatu, berbahagialah
mereka yang tetap dalam persatuan . Penjabaran dan pengamalan Sila Persatuan
Indonesia oleh umat Buddha Indonesia dengan cara mengutamakan kepentingan
bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, golongan ataupun kelompok secara
suka rela dengan dilandasi rasa cinta kasih kepada tanah air dan bangsa.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan /
Perwakilan dirumuskan oleh para pendiri republik dari hakikat alam pikir, karakter,
kepribadian, dan sifat tanah-air Indonesia dengan segala kekhasannya yang berasal
dari kebudayaan peradaban Nusantara-Indonesia sejak pra kedatangan Hindu, masa
Hindu Buddha, masa kedatangan Islam, dan masa kontak dengan imperialisme Eropa
Barat. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyaratan / Perwakilan ini membuat seluruh rakyat Indonesia termasuk
umat Buddha didalamnya sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia
yang mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga
negara
Indonesia
lainnya.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan /
Perwakilan sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Dgha
Nikaya, Maha Parinibbana Sutta yang berbunyi sebagai berikut : Kinti te ananda
suttam vajj samagga sannipatanti samagga vutthahanti samagga vajjkaranyani
karontti. Suttam me tam bhante vajj samagga sannipatanti samagga vutthahanti
samagga vajjkaranyani karontti. Yavakvaca ananda vajj samagga sannipatanti
samagga vutthahanti samagga vajjkaranyani karissanti, vuddhiyeva vajjnam
patikankha no parihani. yang artinya Apakah engkau pernah mendengar, Ananda,
bahwa kaum Vajji bermusyawarah dan mengakhiri permusyawaratan mereka secara
damai, serta menyelesaikan urusan-urusan mereka dalam suasana kerukunan ?
Demikianlah yang saya dengar, bhante, bahwa kaum Vajji bermusyawarah dan
mengakhiri permusyawaratan mereka secara damai, serta menyelesaikan urusanurusan mereka dalam suasana kerukunan. Selama kaum Vajji bermusyawarah dan
mengakhiri permusyawaratan mereka secara damai, serta menyelesaikan urusanurusan mereka dalam suasana kerukunan, Ananda, maka dapatlah diharapkan
perkembangan mereka, dan bukan keruntuhan. Penjabaran dan pengamalan Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan /
Perwakilan oleh umat Buddha Indonesia adalah dengan cara sebelum diambil
keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, terlebih dahulu diadakan
musyawarah. Setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan
secara moral, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan
bersama. Setiap keputusan yang sudah dimusyawarahkan akan senantiasa dihormati
dan
dijunjung
tinggi.
Dimensi idealisme dari Pancasila yaitu cita-cita yang ingin dicapai dalam bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada masyarakat umumnya
dan umat Buddha pada khususnya jelas tercermin dari Sila Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia yang sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka
pada Kitab Samyutta Nikaya IV : 331 yang artinya berbunyi sebagai berikut :
1. Seseorang yang mencari kekayaan dengan cara tidak sah disertai kekerasan, dan
dengan berbuat demikian ia tidak memperoleh kesenangan, tidak memperoleh
kenikmatan bagi dirinya sendiri, ia tidak membaginya dengan orang lain serta tidak
melakukan perbuatan berjasa apapun, adalah tercela dalam tiga hal. Ia tercela karena
ia mencari kekayaan dengan cara tidak sah disertai kekerasan, karena ia tidak
memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, dan tidak membaginya
dengan
orang
lain
serta
tidak
melakukan
perbuatan
berjasa.
2. Seseorang yang mencari kekayaan dengan cara sah tanpa kekerasan, dan dengan
berbuat demikian ia memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri,
membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, tetapi ia
mempergunakan kekayaannya secara serakah, bernafsu, melekat, dan merasa
bersalah, tidak berhati-hati terhadap bahaya penggunaan kekayaan secara salah dan
lupa pada nilai batinnya yang tertinggi, adalah terpuji dalam tiga hal, tetapi masih
tercela dalam satu hal. Ia terpuji karena ia mencarinya dengan cara sah tanpa
kekerasan, memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, dan
membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan berjasa. Tetapi ia masih
tercela karena ia menggunakannya secara serakah, bernafsu, melekat dan merasa
bersalah, tidak berhati-hati terhadap bahaya penggunaan kekayaan secara salah dan
lupa
pada
nilai
batinnya
yang
tertinggi.
3. Tetapi seseorang yang mencari kekayaan dengan cara sah tanpa kekerasan, dan
dengan demikian ia memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri,
membaginya dengan orang lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan berjasa,
menggunakannya tanpa serakah, bernafsu, melekat, dan tidak merasa bersalah, penuh
perhatian terhadap bahaya penggunaan kekayaan secara salah, dan hidup sesuai
dengan nilai batinnya yang tertinggi, adalah terpuji dan tidak tercela dalam empat
hal.
Para pendiri republik ini menyadari bahwa kelima sila dari Pancasila memang tidak
dapat dikatakan sudah sempurna dan mewakili jiwa atau kepribadian bangsa
Indonesia secara tuntas, akan tetapi paling tidak menjadi pegangan ideologis
bernegara yang ingin dikembangkan oleh generasi-generasi penerus. Secara
substansial Pancasila adalah common denominator (pembagi bersama alias titik
temu) bagi berbagai pemikiran dan aliran yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia dari masa ke masa dan senantiasa memperkuat relevansinya dari waktu ke
waktu..
Dimensi fleksibilitas dari Pancasila, yaitu penyegaran dan pemaknaan secara
kontekstual dan inklusif terhadap nilai-nilai yang terkandung dan menjadi
tujuan utama secara terus menerus dengan mengadopsi semua perkembangan yang
sesuai baik dari dalam maupun luar negeri maka kita dapat menempatkan Pancasila
sebagai ideologi bernegara yang progresif, dinamis dan bergerak kedepan. Dengan
penyegaran pemahaman terhadap Pancasila secara terus-menerus, Pancasila akan
selalu menjadi titik temu keberagaman pada bangsa ini.
***
Keterangan:
)* : Disampaikan pada acara Seminar Nasional dgn tema Pancasila sebagai modus
vivendi dalam beragama dan berkepercayaan di Indonesia, pada tgl. 28 Agustus
2006
di
Auditorium
Adhiyana,
Wisma
Antara,
Jakarta.
)** : Pandita, Ketua Dewan Pertimbangan Pandita Pengurus Pusat Majelis Agama
Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI).