Anda di halaman 1dari 10

EKSISTENSI PREDIKAT INSIDENTIL DALAM PERKARA PERDATA

Oleh: Drs.H. IDRIS ISMAIL,SH.,MHI1


A. Pendahuluan Asas Imparsialitas dalam hukum acara peradilan Islam tercatat dalam firman Allah SWT antara lain dalam surat al-Nisa ayat 58 yaitu Sesungguhnya Allah memerintahmu untuk menunaikan hak kepada yang menjadi pemiliknya dengan secara jujur, dan memerintahmu untuk mengadili (menghukum) manusia (pencari keadilan) dengan secara adil. Asas tersebut juga dapat disimak dari isi surat Khalifah Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa al-Asyari, sebagai Hakim Pengadilan Bashrah yang berisi antara lain: Aasin an-naasa fi majlisika wa qadlaika hatta la yathmaa syarifun fi haifika wa la yayasa dlaifun min adlika,2artinya, Persamakanlah kedudukan manusia pencari keadilan itu dalam majlismu, dalam pandanganmu serta dalam putusanmu, sehingga mereka yang bangsawan atau terhormat tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu. Substansi asas ini tertuang pula dalam asas hukum acara Peradilan di Indonesia yaitu peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membedakan orang, demikian bunyi pasal 4 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas Hukum Acara lainnya menyebutkan bahwa hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Bahwa putusan yang dijatuhkan pengadilan harus secara total dan menyeluruh, memeriksa dan mengadili setiap gugatan yang diajukan pihak-pihak. Hakim tidak boleh memeriksa sebagian dan dan mengabaikan gugatan selebihnya, demikian maksud pasal 178 ayat (2) HIR, pasal 189 ayat (2) RBg, pasal 50 Rv. Artinya, dalam pemeriksaan para pihak, harus diberlakukan hak yang sama tanpa pilih kasih dan diskriminasi, sehingga berlaku asas bahwa Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR/142 RBg). Asas ini diimplementasikan dengan ungkapan equal before the law yaitu para pihak mendapat persamaan hak dan derjat dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan, equal protection on the law yaitu para pihak mendapat hak perlindungan yang sama oleh hukum dan equal justice under the law yaitu para pihak mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum. Nah, dengan memahami maksud dan kandungan asas-asas hukum acara tersebut, maka hal-hal yang berkaitan dengan persoalan insidentil dari perkara perdata yang diajukan
11 2

Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Palu. Rifyal Kabah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta, Khairul Bayan 2004 hal. 120. (lihat juga Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ilam al-Muwaqqiien An-Arrab al-Alamin, CD-ROM Jami al-Fiqh al-Islami, topic al-Qadha, Harf 2000. Lihat juga Buku Kerja Hakim 2011, yang diterbitkan oleh Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011).

para pihak haruslah dipahami pula untuk diimplementasikan oleh majelis hakim yang bersidang, dan hal itu tidak boleh dianggap remeh, sehingga orang yang lemah yang tidak mampu memakai pengacara misalnya, tidak merasa kehilangan hak untuk memeroleh rasa keadilan dari majelis hakim. Kata Insidentil derivative dari bahasa Inggris dan Belanda. Dari bahasa Inggris incident berarti insiden, kejadian atau peristiwa yang tidak terduga atau dengan arti berhubungan dengan, berkaitan dengan3. Dari bahasa Belanda Incidenteel, Incidentele yang berarti insiden, antara, sementara, ataupun peristiwa, misalnya, Incidentele beslissing yang berarti keputusan antara, incidentele vonnis yang berarti putusan sementara, incidentele vordering berarti gugatan antara4. Bila diperhatikan dengan seksama bahwa dalam perkara perdata ternyata banyak hal yang berkaitan dengan predikat Insidentil tersebut, misalnya kuasa insidentil, biaya insidetil, gugatan insidentil, sidang atau pemeriksaan insidentil dan putusan insidentil. Nah, bagaimanakah gerangan eksistensi bentuk masing-masing insidentil itu?. Baiklah, akan dicoba menelusuri hal tersebut satu persatu secara sekilas. B. Kuasa Insidentil Kuasa insidentil dimulai dari adanya surat kuasa insidentil dimana seseorang yang menjadi pihak dalam perkara perdata memberi kuasa khusus kepada seseorang yang punya hubungan keluarga sedarah atau semenda atau pun hubungan sampai dengan derjat ketiga dengan pemberi kuasa untuk mendampingi kepentingan hukum pemberi kuasa itu sendiri di pengadilan atas izin ketua pengadilan tersebut. Penerima kuasa insidentil mendampingi kepentingan hukum pemberi kuasa di pengadilan atas perkara yang terdaftar dikepaniteraan pengadilan tertentu yang menyebutkan tanggal, bulan dan tahun serta nomor register perkaranya. Dalam surat kuasa insidentil itu harus tercantum kalimat menerima, membuat dan menandatangani serta mengajukan surat-surat, saksi-saksi, permohonan-permohonan, memberi keterangan, bantahan-bantahan, mengadakan perdamaian dan segala sikap yang dianggap penting dan perlu serta berguna, sepanjang menyangkut hak dan kepentingan pemberi kuasa dalam perkara tersebut diatas. Dalam surat kuasa insidentil itu juga tercantum menghadiri persidangan-persidangan di pengadilan tertentu tersebut dalam upaya membela dan memperjuangkan hak dan kepentingan hukum pemberi kuasa dalam perkara tersebut diatas. Bahkan mencantumkan juga untuk mengambil dan atau menerima surat-surat/salinan-salinan/akta-akta yang dikeluarkan pengadilan tertentu itu setelah

3 4

Martin Basiang,The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Indonesia, Red & White Publishing,2009, hal 227. Marjanne Thermorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Jakarta, Jambatan, 1999, hal 174

selesainya pemeriksaan perkara tersebut. Surat kuasa insidentil itu dibuat dengan sebenarnya yang ditandatangani pemberi dan penerima kuasa dibawah materai Rp 6000.Ketika seseorang menggunakan kuasa hukum penerima kuasa haruslah memiliki surat kuasa khusus yang diserahkan dipersidangan atau pada saat mengajukan gugatan atau permohonan. Dalam surat kuasa khusus itu haruslah mencantumkan secara jelas penggunaannya, jelas subjek dan objeknya serta tertentu pengadilannya. Dalam surat kuasa khusus harus disebutkan dengan jelas kedudukan pihak-pihak berperkara dan disebutkan juga tingkat-tingkat pemeriksaannya. Berdasarkan SEMA No 6 tahun 1994 bahwa surat kuasa khusus tersebut dapat digunakan untuk banding dan kasasi, bila tercantum penggunaannya yang mencakup pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dan kasasi tanpa perlu lagi membuat surat kuasa khusus yang baru. Bila terjadi pemberian kuasa itu dalam persidangan cukup dicatat dalam berita acara persidangan, dan bila pemberi kuasa mencabut kuasanya, maka tidak perlu persetujuan dari penerima kuasa5 Ketentuan untuk dapat seseorang bertindak sebagai kuasa insidentil haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Permohonan izinnya diajukan kepada ketua pengadilan. 2. Yang menjadi kuasa adalah saudara atau keluarga yang ada hubungan darah atau semenda sampai dengan derjat ketiga yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari kepala Desa/ Lurah. 3. Hanya boleh sekali dalam setahun. 4. Penggugat dan kuasa insidentil itu menghadap ke ketua pengadilan secara bersamaan lalu ketua pengadilan mengeluarkan izin kuasa insidentil tersebut. Termasuk juga yang mendapat kuasa insidentil dari ketua pengadilan seperti LBH, Biro Hukum TNI/POLRI untuk perkara yang menyangkut keluarga TNI/POLRI. Menurut petunjuk Dirkum TNI-AD no. B/243/IV//1979 bahwa mereka yang dapat bantuan hukum itu dari perwira hukum Kodam yang ditunjuk adalah instansi atau Badanbadan di lingkungan TNI-AD di wilayah hukum Kodam setempat, para pejabat dan para anggota TNI-AD dalam wilayah hukum Kodam setempat, serta karyawan sipil TNI-AD baik yang dinas aktif maupun yang pensiun dan warakawuri beserta keluarganya serta mereka yang mempunyai ikatan dinas atau hubungan kerja dengan TNI-AD atau mereka yang dijinkan oleh Dirkum TNI-AD.

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, hal. 62

Pengertian keluarga menurut petunjuk itu adalah keluarga dari mereka yang masih aktif yang terdiri dari: 1. istri dan suami (bukan mantan istri dan bukan mantan suami), 2. Anak-anak yang belum berkeluarga. 3. Orang tua dari suami istri tersebut. Hal tersebut dapat diperhatikan dari Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor MA/Kumdil/8810/IX/1987, tanggal 21 September 19876. Dengan eksisnya undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat tidaklah mencabut eksistensi kuasa insidentil, karena ia bukanlah bertindak dalam kapasitas kuasa hukum dari pemberi kuasa sejak awal sampai dipersidangan, akan tetapi ia adalah mewakili pemberi kuasa untuk kepentingan dirinya sendiri, sehingga penerima kuasa diwajibkan mem buktikan adanya hubungan hukum antara dirinya sendiri dengan pemberi kuasa insidentil tersebut. C. Biaya Insidentil Biaya insidentil dalam suatu perkara perdata adalah biaya yang tidak atau belum tercatat dalam panjar biaya perkara, karena biaya itu muncul sewaktu berlangsungnya pemeriksaan, dimana biaya itu dibutuhkan untuk memenuhi permintaan dari salah satu pihak yang berperkara7, misalnya biaya pelaksanaan sidang setempat (descente) atau biaya pelaksanaan sita. Dalam pasal 187 RBg/160 HIR disebutkan bahwa jika selama pemeriksaan perkara atas permohonan salah satu pihak ada hal-hal/tindakan yang harus dilakukan biasanya biaya dibebankan kepada pemohon dan dianggap sebagai panjar biaya perkara yang oleh pihak harus dibayar yang dimuat dalam putusan hakim bahwa untuk membayar biaya perkara dihukum atau dibebankan kepada pihak yang kalah. Pihak lawan bila ia bersedia, ia dapat membayarnya lebih dulu. Akan tetapi bila kedua belah pihak tidak mau membayar biaya tersebut, maka perbuatan atau tindakan yang harus dilakukan itu tidak jadi dilaksanakan. Artinya, Bila terjadi permohonan sita, yang diajukan terpisah dari pokok perkara baik lisan maupun tertulis ketika berlangsungnya pemeriksaan, maka majelis hakim menunda sidang dan memerintahkan pemohon sita tersebut untuk mendaftarkan permohonan sitanya di meja satu. Kemudian diadakan sidang insidentil untuk menetapkan sita dan dijatuhkanlah

Kumpulan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia, Tentang Surat Kuasa dan Penasehat Hukum, Juni 1992, hal 35. 7 H.A. Mukti Arto, , Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996 h. 123.

putusan sela8. Sehingga dengan demikian, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan tindakan hukum atas perintah hakim yang tertera dalam putusan sela berupa penyitaan tersebut termasuk dalam kelompok biaya insidentil. D. Gugatan Insidentil Dalam HIR dan RBg tidak ditemukan pengaturan tentang gugatan insidentil, ia hanya diatur dalam Reglement op de Burgelijk Rechsvordering (Rv)9. Dalam Yurisprudensi MARI No 224 K/Sip/1975, tanggal 26 Nopember 1975 disebutkan bahwa Pengadilan Tinggi dapat menerima gugatan insidentil untuk diperiksa dan diputus bersama-sama dengan gugatan pokok10. Permohonan tersebut diajukan dengan alasan-alasannya. Diperkenankan atau tidaknya permohonan tersebut akan ditetapkan dengan putusan sela yang disebut dengan putusan Insidentil. Gugatan Insidentil ini adalah gugatan yang terjadi yang berasal dari pihak ketiga, yaitu ketika pihak ketiga melakukan atau mengajukan gugatan terhadap perkara yang sedang diperiksa di pengadilan11 yang ditarik oleh salah satu pihak yang bersengketa untuk mempertahankan hak dan kepentingan pihak yang menarik tersebut atau karena inisiatif dari pihak ketiga itu sendiri. Gugatan Insidentil itu biasa terjadi pada perkara intervensi seperti Tussenkomst. Tussenkomst adalah ikut serta atau intervensinya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara perdata yang sedang berlangsung guna membela hak dan kepentingannya sendiri yang ada kaitannya dengan pokok sengketa antara penggugat dan tergugat. Posisi pihak ketiga itu sebagai pelawan sedangkan Penggugat asal menjadi Terlawan I dan Tergugat asal menjadi Terlawan II. Intervensi itu ada juga yang disebut dengan vrijwaring yaitu masuknya pihak ketiga atas permintaan tergugat guna kepentingan pihak yang dituntut atau tergugat yaitu sebagai penjamin, sehingga pihak ketiga tersebut bisa menjamin dan membebaskan tergugat. Intervensi itu dinamakan dengan voeging yaitu ketika ia masuk untuk membela kepentingan salah satu pihak atas kemauan pihak ketiga itu sendiri. Ketika ia memihak pihak penggugat ia menjadi penggugat II, sedangkan penggugat asal menjadi penggugat I, ketika ia memihak tergugat ia menjadi Tergugat II, sedangkan tergugat asal menjadi tergugat I. Pasal 279 Rv menyebutkan bahwa barangsiapa yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan dapat ikut serta dalam perkara tersebut dengan jalan menyertai (voeging) atau menengahi (tussenkomst). Syarat untuk tussenkomst itu adalah bahwa pihak ketiga itu punya hak sendiri, dan hak itu berhubungan dengan objek
8

. H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Yayasan Al-Hikmah, hal 63. 9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,LYogyakarta, iiberty, 1982, hal.48. 10 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia,, Alumni Bandung, hal. 52 11 Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia,1993, hal 307, cet II

sengketa antara penggugat dan tergugat. Bila intervensi itu dikabulkan oleh majelis hakim yang bersidang maka dijatuhkanlah putusan sela yang disebut dengan putusan insidentil. Putusan insidentil dari gugatan insidentil tersebut adalah putusan yang berhubungan dengan inciden yaitu peristiwa atau kejadian yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan Insidentil itu belum berhubungan dengan pokok perkara, ia hanya putusan yang membolehkan seseorang untuk ikut serta dalam perkara yang sedang berlangsung di pengadilan dari gugatan insidentil yang diajukannya. E. Sidang Insidentil Dalam proses pemeriksaan perkara perdata di persidangan selalu muncul hal-hal lain di luar pokok perkara yang perlu diselesaikan lebih dahulu, karena berkaitan langsung dengan pokok perkara. Sehingga dengan demikian harus diperiksa secara insidentil di luar pemeriksaan pokok perkara, seperti munculnya permohonan sita jaminan atau permohonan perkara prodeo ataupun adanya gugatan provisional12. Ketika permohonan sita diajukan pemohon sita satu paket dalam surat gugatan itu maka majelis hakim mempelajari permohonan sita tersebut. baik yang diajukan itu sita jaminan yang disebut dengan Conservatoir Beslag (CB). Sita jaminaan yaitu sita terhadap barang milik tergugat, baik yang barang bergerak maupun tidak bergerak, maupun sita yang diajukan terhadap barang bergerak milik penggugat yang berada di tangan tergugat yang disebut dengan Revindicatoir Beslag (RB). ( pasal 260 dan 261 RBg/pasal 226 dan 227 HIR). Majelis hakim harus mempelajari permohonan tersebut, apakah permohonan sita dalam gugatan itu beralasan atau tidak, apakah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak dan apakah ada hubungan hukum dengan perkara yang sedang diajukan penggugat itu di pengadilan tersebut. Ketika ketentuan tersebut sudah terpenuhi, maka majelis hakim yang memeriksa perkara menempuh salah satu dari tiga alternatif, yaitu: 1. Majelis hakim yang bersidang mengeluarkan penetapan secara langsung yang berisi mengabulkan permohonan sita tanpa sidang insidentil lebih dahulu. Perintah sita ini disertai dengan penetapan hari sidang dan memerintahkan para pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang pada waktu yang telah ditentukan itu, atau 2. Majelis hakim yang bersidang mengeluarkan penetapan yang berisi menolak permohonan sita, yang diajukan bila permohonan sita tidak beralasan, sehingga majelis hakim sekaligus membuat penetapan hari sidang, juga tanpa melaksanakan sidang insidentil, atau

12

H.A. Mukti Arto, Op.cit. hal. 118-119

3. Majelis hakim yang bersidang memuat penetapan hari sidang sekaligus penangguhan permohonan sita. Pilihan ini diperlukan adanya pelaksanaan sidang insidentil lebih dahulu dan kemudian harus dibuat putusan sela. Ketika permohonan sita terpisah dari pokok perkara dapat diajukan pemeriksaannya dalam persidangan atau selama putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. baik diajukan secara lisan maupun secara tertulis. Bila permohonan sita diajukan tertulis dalam pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung, majelis menunda persidangan dan memerintahkan penggugat sebagai pemohon sita untuk mendaftarkan permohonannya dimeja satu. Bila permohonan sita itu diajukan secara lisan, majelis hakim membuat catatan permohonan sita dan memerintahkan panitera sidang untuk mencatatnya dalam berita acara sidang (BAP), lalu sidang ditunda dan memerintahkan penggugat untuk mendaftarkan permohonan sitanya itu di meja satu. Kemudian diadakanlah sidang insidentil dengan mendengar pihak tergugat terlebih dahulu sebelum dijatuhkannya putusan sela. Ketika penyitaan dilaksanakan oleh panitera / jurusita pengadilan, maka ia harus disaksikan oleh dua orang pegawai pengadilan sebagai saksinya. Perintah penyitaan terhadap objek-objek sita harus pula dicantumkan dalam amar putusan sela tersebut. Kemudian pada sidang berikutnya sita haruslah dinyatakan sah dan berharga. Bila sita telah dilakukan dan kemudian tercapai perdamaian atau gugatan ditolak atau tidak diterima, maka sita itu pun harus diangkat13. Dalam hal pelaksanaan eksekusi tentang pembayaran sejumlah uang misalnya, terhadap putusan yang telah BHT, ketua pengadilan memanggil tereksekusi dalam sidang insidentil. Ketua memberikan peringatan (aanmaning) kepada yang kalah untuk melaksanakan isi putusan tersebut dengan sidang insidentil, dengan memberi kesempatan bagi pihak yang kalah itu dalam tenggang waktu delapan hari. Bila tenggang waktu yang diberi itu telah habis, isi putusan tidak juga dilaksanakan secara sukarela, maka ketua membuat perintah untuk sita eksekusi, kemudian baru dilakukan pelelangan. Pelaksanaan sidang insidentil itu untuk menegur dan memperingatkan pihak yang kalah agar melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela, dan hal itu dicatat dalam berita acara aanmaning oleh panitera sebagai bukti bahwa aanmaning telah dilakukan. Dalam hal perkara prodeo pula nmisalnya, penggugat/pemohon yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan untuk berperkara secara prodeo bersamaan dengan surat gugatan/ permohonan baik tertulis maupun lisan. Permohonnan dapat diajukan pada waktu

13

Lihat Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama , Buku II, Edisi Revisi 2010, Dirjen Badan Peradilan Agama MARI,Hal 101-102.

menyampaaikan jawaban atas gugatan penggugat/pemohon, demikian dijelaskan pasal 238 ayat (2) HIR/ 274 ayat (2) RBg. Pihak yang tidak mampu itu harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala desa/kelurahan atau yang setingkat (banjar, nagari dan gampong), demikian disebutkan dalam pasal 60B Undang Undang No 50 tahun 2009 atau melampirkan surat keterangan sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH) atau kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT). Majelis hakim yang ditunjuk oleh Ketua pengadilan untuk menangani perkara tersebut melakukan sidang atau pemeriksaan insidentil dan menjatuhkan putusan sela, apakah permohonan pemohon untuk berperkara secara prodeo dapat dikabulkan atau tidak, setelah diberi kesempatan kepada pihak lawannya untuk menanggapi kondisi miskinnya itu. Putusan sela tersebut termuat secara lengkap dalam berita acara persidangan. Akan tetapi ketika permohonan prodeonya itu tidak dikabulkan majelis, penggugat/pemohon diperintahkan untuk membayar panjar biaya perkara dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah dijatuhkan putusan sela. Jika penggugat/pemohon tersebut tidak membayarnya, maka gugatan/permohonannya dicoret dari daftar perkara14. F. Putusan Insidentil Putusan insidentil adalah salah satu jenis putusan sela, yaitu putusan sela yang berhubungan dengan incident yaitu peristiwa yang untuk sementara menghentikan pemeriksaan akan tetapi belum berhubungan dengan pokok perkara, seeperti gugat prodeo, gugat insidentil dan eksepsi tidak berwenang15. Putusan insidentil adalah putusan sela yang dikenal dengan nama temporary award, interim award, incidenteel vonnis, tussen vonnis atau dikenal juga putusan antara. Dalam pasal 48 Rv. dapat diambil pengertian bahwa putusan Insidentil adalah putusan sela untuk mempersiapkan penggabungan perkara, intervensi dan pemanggilan pihak ketiga sebagai penjamin. Artinya, putusan insidentil itu belum menyentuh pokok perkara, karena ia hanya berupa putusan terhadap insiden, dimana ketika pihak ketiga masuk mengajukan gugat insidentil terhadap perkara yang sedang berlangsung yang oleh majelis yang menangani perkara tersebut dijatuhkan putusan sela yang berisi dikabulkan atau ditolak intervensinya. Misalnya putusan sela menolak atau mengabulkan permohonan vrijwaring, dimana pihak ketiga ditarik untuk membebaskan (menjamin) tergugat dari kemungkinan akibat dari putusan tentang pokok perkara. Sehingga kedudukan pihak ketiga menjadi tergugat II,
14 15

Ibid, hal 61-62. H.A. Mukti Arto, Op.cit hal. 248.

sedangkan tergugat asal menjadi tergugat I. Atau putusan sela dalam permohonan tussenkomst dimana majelis menolak atau mengabulkan intervensi pihak ketiga itu, Bila majelis mengabulkan dengan putusan selanya, maka intervenient ditarik sebagai pihak dalam perkara tersebut, yang posisinya menjadi sebagai Pelawan, sedangkan penggugat asal menjadi Terlawan I dan tergugat asal menjadi Terlawan II. Atau putusan sela dalam permohnan voeging yang dikabulkan dan pihak ketiga memihak penggugat, maka kedudukan pihak ketiga menjadi penggugat II, sedangkan penggugat asal menjadi penggugat I. Bila pihak ketiga memihak kepada tergugat, maka kedudukan pihak ketiga menjadi tergugat II sedangkan tergugat asal menjadi tergugat I. Dalam putusan sela yang dijatuhkan hakim ketika permohonan berperkara prodeo dikabulkan misalnya, maka amarnya memberi izin kepada pemohon/penggugat untuk berperkara secara prodeo, dan memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara. Ketika berperkara secara prodeo itu dibiayai oleh negara melalui DIPA, maka amar putusannya, biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp.. dibeb ankan kepada Negara. Sebaliknya, ketika permohonan berperkara secara prodeo itu tidak dikabulkan, maka amar putusan selanya, tidak memberi izin kepada pemohon/penggugat untuk berperkara secara prodeo, dan memerintahkan kepada pemohon/penggugat untuk membayar panjar biaya perkara. Tenggang waktu membayar biaya panjar perkara adalah 14 (empat belas) hari setelah putusan sela dijatuhkan. Bila ternyata pemohon/penggugat tidak mau membayarnya, maka gugatan/permohonannya dicoret dari register perkara16. Bila diperhatikan pula penggunaan putusan insidentil dalam penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase dijelaskan dalam pasal 30 Undang Undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Dalam pasal 32 nya, disebutkan bahwa arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisi atau putusan sela untuk mengatur tertibnya jalan pemeriksaan sengketa seperti sita jaminan. Begitu pentingnya keberadaan putusan insidentil itu dalam penyelesaian perkara perdata guna mencegah timbulnya akibat hukum yang lebih lanjut sebelum putusan akhir dijatuhkan majelis hakim. G. Penutup/Kesimpulan

16

Buku II, Op.cit hal 62.

1. Untuk menegakkan keadilan bagi pencari keadilan, maka penerapan hukum materiil harus sejalan dengan penerapan hukum formil. 2. Memahami hal-hal yang insidentil dari perkara yang diajukan oleh pencari keadilan adalah dalam upaya memenuhi rasa keadilan masyarakat pencari keadilan itu sendiri. 3. Bila insidentil itu berkaitan dengan intervensi misalnya, maka antara lain tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan. Bila insidentil berkaitan dengan sita jaminan misalnya, tujuannya adalah untuk menjamin gugatan penggugat tidak illusuir (hampa) ketika putusan sudah berkekuatan hukum tetap (BHT) sampai saatnya putusan itu dieksekusi. 4. Hal-hal yang terkait dengan persoalan insidentil dalam perkara perdata itu antara lain adalah kuasa insidentil, biaya insidentil, gugatan insidentil, sidang insidentil, dan putusan insidentil.

Anda mungkin juga menyukai