Anda di halaman 1dari 0

BAB IV

ANALISIS TENTANG PERANAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN


DALAM PENYELESAIN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN
A. Peranan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam menyelesaikan Tindak Pidana
Pemerkosaan
Bila terjadi kasus kejahatan, muncul permasalahan yang timbul seperti
perbuatan ( kejahatan ) yang terjadi, lokasi kejahatan, waktu kejahatan, cara
perbuatan kejahatan dilakukan, alat ( kejahatan ) yang digunakan, alasan terjadinya
kejahatan, dan pelaku kajahatan, yang dapat diilustrasikan sebagai berikut :
1. Perbuatan kejahatan yang dilakukan adalah pemerkosaan.
2. Lokasi kejahatan dilakukan di rumah korban, rumah pelaku, atau tempat
yang lain.
3. Waktu kejahatan telah berlangsung satu hari, seminggu setelah kejahatan
telah dilakukan.
4. Cara untuk melakukan kejahatan secara paksa atau dibius ( dibuat tidur )
5. Alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan dengan obat bius,
ancaman senjata , tali ( untuk mengikat korban ), dan lain- lain.
6. Alasan yang menyebabkan Tindak pidana pemerkosaan, karena motif
dendamm pengaruh alkohol, dan lain lain.
7. Pelaku kejahatan orang asing atau telah dikenal oleh korban.
Alat alat bukti yang dapat digunakan dalam ilmu kedokteran kehakiman
jika dikaitkan dengan Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP adalah keterangan ahli, petunjuk
dan surat. Keterangan ahli dikeluarkan karena alat bukti tidak dapat berbicara,
disebabkan karena benda mati, tubuh manusia baik yang hidup maupun yang telah
meninggal ( bekas luka, memar, dan lain lain ) akibat tindak pidana kejahatan ini.
Untuk mengungkap alat bukti ini diperlukan keterangan ahlil ( biasanya dokter unutk
melakukan visum ). Berdasarkan keterangan ahli ( dokter ) dikeluarkan surat
keterangan visum, Visum et repertum inilah yang selanjutnya dijadikan alat bukti
surat.
Objek pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman adalah tubuh manusia,
malalui tubuh manusia dapat diketahui luka yang diakibatkan oleh pemerkosaan,
seperti sobek selaput vagina ( untuk menunjukan telah terjadi pemerkosaan robekan
searah jarum jam ), luka ini seperti pemukulan, bekas jeratan tali ( apabila korban
diikat ), sisa sisa obat bius ( apabila korban di temukian / langsung melapor ), luka
tusukan ( apabila korban melawan ), racun (apabila korban ditemukan meninggal),
pemeriksan pakaian ( sehubung kasus pemerkosaan maka biasanya dalam pakaian,
baik baju, celana atau celana dalam dapat ditemukan sperma dan rembut kemaluan ).
Objek pemeriksaa ilmu kedokteran kehakiman dapat ditemukan di rumah
sakit ( Laboratotium ) melalui pemeriksaan tubuh manusia baik yang masih hidup
maupun telah meninggal, barang barang yang ditemukan di lokasi kejahatan.
Melalui pemerikasaan rumah sakit ( Laboratorium ) dengan alat alat khusus dapat
ditemukan bukti bukti kejahatan yang telah terjadi. Selain melalui rumah sakit,
tempat kejadian perkara ( TKP ) juga merupakan tempat yang penting bagi aparat
hukum karena dari tempat ini dapat ditemukan alat yang digunakan pelaku untuk
melakukan kejahatan, sidik jari, tapak kaki, noda darah korban atau pelaku ( apabila
terjadi perlawanan ) yang dapat menghubungkan antara korban dan barang bukti.
Dengan pemeriksaaan tempat kejadian perkara ( TKP ) ini juga dapat direkonstruksi
tindak pidana pemerkosaan ini apabila barang bukti ditemukan, dikumpulkan, dan
diolah dengan prosedur kriminalistik yang benar.
Dalam melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapat tentang hasil
pemrikasaan tidak boleh mengandung suatu pendapat ( opini ). Pemeriksa ( dokter
selaku saksi ahli ) yang memeriksa harus murni menyampaikan hal hal yang dilihat
dan yang ditemukan ( telah terjadi pemerkosaan atau tidak ).
Ilmu Kedokteran Kehakiman memiliki peranan dalam hal menemukan alat
bukti baik di tempat kejadian perkara ( TKP ) atau di rumah sakit ( Laboratorium ),
merekonstruksi kejahatan ( berdasakan temuan alat bukti ), pemeriksaan alat bukti (
senjata atau alat kejahatan, pakaian ), memberikan kasaksian dalam sidang
pengadilan, dalam hal ini karena umumnya barang bukti benda mati atau hasil
kejahatan (memar, luka, sperma yang ditemukan, racun atau sisa sisa obat
bius).
Alat bukti yang digunakan ilmu kedokteran kehakiman yang tercantum dalam
Pasal 184 KUHP ayat ( 1 ) yaitu keterangan ahli, surat, petunjuk. Denagan
menggunakan alat bukti keterangan ahli dapat diketahui apakah sesorang melakukan
tindak pidana pemerkosaan atau tidak. Melalui keterangan ahli ( dokter yang
memeriksa korban ) dengan pemeriksaan secara luar ( melihat) keterangan ahli dapat
menemukan tanda tanda seperti luka, pukulan, luka tusukan ( bila diancam atau
korban mencoba melawan ), luka memar ( apabila korban melapor peristiwa tersebut
selang beberapa hari kemudian ), luka robekan pada selaput vagina, robekan pada
baju yang digunakan, cairan sperma yang mengering ( pada baju, pakaian, celana
dalam, rambut dan lain lain ).
Dari keterangan ahli ( dokter ) inilah yang membuat dikeluarkan alat bukti
surat. Ahli ( dokter ) mengeluarkan laporan visum et repertu. Dalam laporan visum
et reprtum ini dilakukan pemeriksaan dalam segi korban orang dewasa atau di bawah
umur ( anak anak ), dalam keadaan sadar yang baik atau yang buruk, rambut rapi
atau kusut, berpenampilan bersih atau kotor, sikap pada pemeriksaan membantu atau
tidak membantu, sehat secara jasmani, dijumpai kelainan pada alat kelamin dan
kandungan atau tidak, tes laboratorium untuk sel mani positif atau negatif, pada
pemeriksaan memberikan barang tertentu ( kemungkinan adanya sidik jari pelaku di
barang yang dibawa korban, senjata ancaman, sisa obat bius, dan lain lain ) yang
diserahkan kepada polisi sebagai bukti lanjutan ( alat bukti petunjuk ). Dari
pemeriksaan visum et repertum maka ahli ( dokter ) dapat menarik kesimpulan korban
telah diperkosa atau tidak, atau terjadi percobaan pemerkosaan. Laporan visum et
repertum inilah yang dapat dijadikan alat bukti surat. Dari laporan visum ini juga
dapat ditemukan alat bukti yang ke tiga yaitu alat bukti petunjuk. Dari pemeriksaan
visum dapat ditemukan alat bukti petunjuk, seperti sidik jari pelaku, sperma pelaku,
rambut kemaluan pelaku yang mungkin menempel pada pakaian korban.
Selain melalui keterangan ahli, peranan ilmu kedokteran kehakiman dapat
diperoleh melalui tempat kejadian perkara ( TKP ). Apabila korban atau polisi atau
saksi ( apabila korban ditemukan oleh seseorang ) mengetahui lokasi tindak pidana
pemerkosaan ilmu kedokteran kehakiman dapat dipergunakan untuk merenkonstruksi
kejadian pidana tersebut diketahui kronologis kejadian , yang juga dapat menemukan
barang bukti seperti pisau (sebagai alat untuk mengancam), yang memiliki
kemungkinan disembunyikan atau dibuang di sekitar lokasi kejadian, bercak bercak
darah ( apabila terjadi perlawanan ), sidik jari pelaku yang menempel di lokasi
kejadian ( di pintu, meja atau perabot yang lain ), identitas pelaku seperti KTP, SIM,
atau identitas yang lain yang tertinggal karena perbuatan sempat diketahui atau
terlupa mengambil yang dapat mempermudah menemukan pelaku, serta barang
barang yang lainnya yang dapat memperlancar kinerja aparat hukum untuk
menemukan pelaku kejahatan tindak pidana pemerkosaan tersebut.
B. Peranan Visum et repertum dalam menyelesaikan Tindak Pidana Pemerkosaan
Visum et repertum dapat dikatakan sebagai bagian dari ilmu kedokteran
kehakiman, karena dengan menggunakan ilmu kedokteran kehakiman, maka visum
dapat dipergunakan sebagai alat bukti keterangan surat dan alat bukti petunjuk.
Dengan pemeriksaan visum dapat diketahui kebenaran terjadinya tindak pidana
pemerkosaan.
Dengan visum et repertum dapat diketahui adanya persetubuhan atau tidak.
Tetapi walaupun ada persetubuhan bila tidak disertai ejakulasi pembuktian adanya
persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dilakukan secara pasti. Hal
ini mengakibatkan dokter tidak dapat menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi
persetubuhan, yang dapat disimpulkan adalah terjadi persetubuhan, perkiraan waktu
persetubuhan harus ditentukan. Walaupun demikian bila terbukti terjadi
persetubuhan, perkiraan waktu persetubuhan harus ditentukan, Karena ini
menyangkut alibi ( tersangka atua terdakwa ). Dalam proses penyidikan. Sperma
dapat ditemukan dalam kurun waktu maksimal tiga puluh enam jam, sedangkan
apabila korban meninggal dapat ditemukan dalam waktu tujuh sampai delapan hari.
Pembuktian persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput
darah yang robek, yang ada pada umunya penyembuhan dicapai dalam waktu tujuh
sampai sepuluh hari.
Pembuktian persetubuhan juga dapat diperiksa dengan pemeriksaan
kehamilan, tetapi karena waktu yang dibutuhkan cukup lama, sehingga nilai bukti
menjadi kurang, karena kemungkinan tersangka bertambah, yang dapat mempersulit
penyidik karena membutuhkan waktu untuk mengungkapkan kasus.
Hal lain yang dapat menjadi petunjuk membuktikan terjadinya persetubuhan
adalah apabila korban terjangkit penyakit kelamin dari pelaku yang menderita
penyakit kelamin dari pelaku yang menderita penyakit kelamin yang sejenis. Apabila
masa inkubasi penyakit singkat dapat membantu dalam proses pembuktian
dibandingkan dengan penyakit kelamin yang masa inkubasinya lama, contoh sifilis.
Dalam tindak pidana pemerkosaan sering ditemukan tanda tanda kekerasan,
yang paling sering ditemukan di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu,
pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka luka
ini biasanya berbentuk luka luka lecet bekas kuku, gigitan serta memar. Walaupun
demikian tentang pembuktian kekerasan tidak berarti meninggalkan bekas berbentuk
luka, tetapi bisa juga sisa pembiusan. Oleh karena itu tindak pidana pemerkosaan
pemeriksaan toksilogi ( ilmu racun ) merupakan prosedur rutin. Dalam pemeriksaan
korban faktor waktu dan keaslian barang bukti menentukan keberhasilan pemeriksaa.
Tanda tanda persetubuhan, luka luka akibat persetubuhan akan menyembuh dan
pada mayat akan menjadi hancur. Untuk itu pemeriksaan sedini mungkin dapat
membantu. Pakaian yang telah diganti, membersihkan diri, telat melapor akan
menyulitkan pemeriksaan karena keadaannya yang tidak asli atau bukti menjadi
hilang. Karena itulah diharapkan korban sesegera mungkin melapor apabila terjadi
tindak pidana pemerkosaan.
Visum tidak terbatas untuk menunjukan tanda tanda telah terjadi tindak
pedana pemerkosaan terhadap orang yang berlainan jenis kelamin, tetapi kuga
terhadap sesama jenis laki laki ( homoseksual ), dan sesama jenis perempuan (
lesbian ). Untuk menunjukan terjadi tindakan pidana pemerkosaan terhadap sesama
jenis laki laki dapat dilakukan pemeriksaan di dalam dubur atau mulut korban
terdapat sperma atau tidak. Bentuk dubur telah berubah apabila pesetubuhan telah
sering dilakukan, bentuk dubur menjadi berbentuk corong ( funal shape ), dan otot
spencternya tidak dapat berfungsi dengan baik. Sedangkan untuk membuktikan
terjadinya tindak pidana pemerkosaan terhadap sesama perempuan dilakukan
pemeriksaan terjadi kelainan genital yang diakibatkan oleh manipulasi genital
dengan tangan atau alat bantu lainnya.
Dalam menemukan pelaku tindak pidana pemerkosaan juga dapat
menggunakan visum et reperum. Apabila pelaku langsung tertangkap setelah
melakukan tindak pidana pemerkosaan, karena tertangkap tangan ( pelaku berdalih
kebetulan lewat, dan bermacam alasan lainnya ), atau korban telah mengenal pelaku
atau korban memberikan ciri ciri pelaku, atau ada saksi melihat pelaku keluar dari
tempat kejadian terjadinnya pemerkosaan, dokter dapat menggunakan visum untuk
menemukan adanya sel epithel vagina yang melekat pada penis, tentu saja hal ini baru
dapat ditemukan apabila pelaku langsung tertangkap setelah melakukan dan belum
membersihkan diri. Tetapi walaupun begitu pemeriksaan ini hanya membuktikan
tersangka telah bersetubuh, belum membuktikan persetubuhan dilakukan dengan
korban, karena sel epithel vagina korban dicocokan dengan yang ditemukan di penis
tersangka, dengan melihat data data yang telah ada. Pemeriksaan sperma yang
ditemukan pada saat pemerikassan barang bukti atau yang ada pada tubuh korban
juga dapat menentukan golongan darah pelaku, hal ini juga dapat membantu untuk
menentukan pelaku tindak pidana pemerkosaan.
C. Upaya menanggulangi kendala yang dihadapi dalam menyelesaikan perkara
pemerkosaan
Kendala dalam menyelesaikan kasus tindak pidana pemerkosaan yang
berkaitan dengan banyaknya korban pemerkosaan yang tidak melapor kepada polisi
disebabkan karena korban merasa malu karena perbuatan tersebut dianggap suatu aib
untuk dirinya. Upaya yang dapat dilakukan agar korban mau melaporkan adalah
peran aktif polisi dalam hal menanyakan peristiwa dengan tanpa memaksa, dan dalam
menanyakan kejadian tidak memeberikan kesan bahwa korban yang salah, karena
secara tidak sengaja memancing pelaku melakukan tindak pidana pemerkosaan.
Untuk memperlancar korban memberikan keterangan sebaiknya yang bertugas
menanyakan peristiwa tindak pidana pemerkosaan adalah polisi wanita, agar korban
merasa nyaman dan aman karena merasa lebih mudah menceritakan pada sesamanya
kaum perempuan, juga karena adanya rasa empati sebagai sesama perempuan. Jasa
seorang psikiater juga dapat membantu menenangkan perasaan korban yang merasa
terguncang, sehingga dalam memberikan keterangan korban dapat menceritakan
secara terperinci.
Kendala kedua dalam menyelesaikan tindak pidana pemerkosaaan adalah
ketakutan korban apabila peristiwa tindak pidana pemerkosaan diketahui oleh
keluarga, teman dan lingkungan. Korban merasa terkucil, rendah diri, diantara
keluarga, teman dan lingkungan, karena merasa dirinya tidak pantas berada di sekitar
mereka karena mendapat musibah tersbut. Karena itu peranan orang orang terdekat
dan sekitarnya dalam memberikan perlindungan dan rasa aman, hal ini juga
membantu penyembuhan mental korban atas peristiwa tindak pidana pemerkosaan,
peran aktif mereka juga dapat membuat korban menceritakan kronologis peristiwa
kejadian dengan baik karena merasa diperhatikan, mendapat dukungan, merasa
dilindungi dan aman.
Kendala ketiga tindak pidana pemerkosaan adalah terungkap identitas korban
dan rumah korban ke khalayak ramai. Hal ini dapat membuat kemungkinan pelaku
meneror korban agar tidak melanjutkan proses tindak pidana pemerkosaan.
Terungkapnya identitas membuat korban merasa malu dan terhina, karena merasa
dirinya dipojokkan, karena korban merasa orang menghakimi bahwa dirinya yang
mengundang pelaku untuk melakukan perbuatan pemerkosaan. Untuk itu dalam
menangani kasus tindak pidana pemerkosaan diharapkan seminimal mungkin
mengurangi menyebutkan identitas, misalnya nama korban disebutkan dengan inisial
atau dengan nama lain. Selain itu dengan meminimalkan penyebutan identitas juga
dapat membantu aparat hukum untuk menangkap pelaku, karena pelaku tidak
mempunyai kesempatan untuk mengancam korban agar tidak memberikan keterangan
kasus tindak pidana pemerkosaan dengan lancar. Selain itu dengan menutupi identitas
korban dapat menambah keyakinan korban untuk membantu aparat hukum
menangkap pelaku sebenarnya.
Kendala keempat dalam menangani kasus tindak pidana pemerkosaan adalah
pelaku menyatakan bahwa perbuatan ini dilakukan atas dasar suka sama suka. Untuk
membuktikannya adalah dengan melalui pemeriksaan visum et repertum. Dengan
pemeriksaan ini dapat membantu menjelaskan bahwa perbuatan itu adalah tindak
pidana pemerkosaan. Dengan visum dapat menunjukan bahwa perbuatan pelaku
adalah termasuk tindak pidana pemerkosaan. Walaupun perbuatan ini dilakukan atas
dasar suka sama suka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 287 KUHP apabila tindak
pidana dilakukan dengan anak di bawah umur ( 15 tahun ), tetapi ancaman pidana ini
hanya apabila dilakukan dengan pengaduan ( delik aduan ). Apabila tindak pidana
dilakukan dengan orang yang telah menikah diancam dengan pidana dalam Pasal 284
KUHP, tindak pidana ini juga baru diancamkan apabila dilakukan dengan pengaduan.

Anda mungkin juga menyukai