ANALISIS TENTANG PERANAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN
DALAM PENYELESAIN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN A. Peranan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam menyelesaikan Tindak Pidana Pemerkosaan Bila terjadi kasus kejahatan, muncul permasalahan yang timbul seperti perbuatan ( kejahatan ) yang terjadi, lokasi kejahatan, waktu kejahatan, cara perbuatan kejahatan dilakukan, alat ( kejahatan ) yang digunakan, alasan terjadinya kejahatan, dan pelaku kajahatan, yang dapat diilustrasikan sebagai berikut : 1. Perbuatan kejahatan yang dilakukan adalah pemerkosaan. 2. Lokasi kejahatan dilakukan di rumah korban, rumah pelaku, atau tempat yang lain. 3. Waktu kejahatan telah berlangsung satu hari, seminggu setelah kejahatan telah dilakukan. 4. Cara untuk melakukan kejahatan secara paksa atau dibius ( dibuat tidur ) 5. Alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan dengan obat bius, ancaman senjata , tali ( untuk mengikat korban ), dan lain- lain. 6. Alasan yang menyebabkan Tindak pidana pemerkosaan, karena motif dendamm pengaruh alkohol, dan lain lain. 7. Pelaku kejahatan orang asing atau telah dikenal oleh korban. Alat alat bukti yang dapat digunakan dalam ilmu kedokteran kehakiman jika dikaitkan dengan Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP adalah keterangan ahli, petunjuk dan surat. Keterangan ahli dikeluarkan karena alat bukti tidak dapat berbicara, disebabkan karena benda mati, tubuh manusia baik yang hidup maupun yang telah meninggal ( bekas luka, memar, dan lain lain ) akibat tindak pidana kejahatan ini. Untuk mengungkap alat bukti ini diperlukan keterangan ahlil ( biasanya dokter unutk melakukan visum ). Berdasarkan keterangan ahli ( dokter ) dikeluarkan surat keterangan visum, Visum et repertum inilah yang selanjutnya dijadikan alat bukti surat. Objek pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman adalah tubuh manusia, malalui tubuh manusia dapat diketahui luka yang diakibatkan oleh pemerkosaan, seperti sobek selaput vagina ( untuk menunjukan telah terjadi pemerkosaan robekan searah jarum jam ), luka ini seperti pemukulan, bekas jeratan tali ( apabila korban diikat ), sisa sisa obat bius ( apabila korban di temukian / langsung melapor ), luka tusukan ( apabila korban melawan ), racun (apabila korban ditemukan meninggal), pemeriksan pakaian ( sehubung kasus pemerkosaan maka biasanya dalam pakaian, baik baju, celana atau celana dalam dapat ditemukan sperma dan rembut kemaluan ). Objek pemeriksaa ilmu kedokteran kehakiman dapat ditemukan di rumah sakit ( Laboratotium ) melalui pemeriksaan tubuh manusia baik yang masih hidup maupun telah meninggal, barang barang yang ditemukan di lokasi kejahatan. Melalui pemerikasaan rumah sakit ( Laboratorium ) dengan alat alat khusus dapat ditemukan bukti bukti kejahatan yang telah terjadi. Selain melalui rumah sakit, tempat kejadian perkara ( TKP ) juga merupakan tempat yang penting bagi aparat hukum karena dari tempat ini dapat ditemukan alat yang digunakan pelaku untuk melakukan kejahatan, sidik jari, tapak kaki, noda darah korban atau pelaku ( apabila terjadi perlawanan ) yang dapat menghubungkan antara korban dan barang bukti. Dengan pemeriksaaan tempat kejadian perkara ( TKP ) ini juga dapat direkonstruksi tindak pidana pemerkosaan ini apabila barang bukti ditemukan, dikumpulkan, dan diolah dengan prosedur kriminalistik yang benar. Dalam melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapat tentang hasil pemrikasaan tidak boleh mengandung suatu pendapat ( opini ). Pemeriksa ( dokter selaku saksi ahli ) yang memeriksa harus murni menyampaikan hal hal yang dilihat dan yang ditemukan ( telah terjadi pemerkosaan atau tidak ). Ilmu Kedokteran Kehakiman memiliki peranan dalam hal menemukan alat bukti baik di tempat kejadian perkara ( TKP ) atau di rumah sakit ( Laboratorium ), merekonstruksi kejahatan ( berdasakan temuan alat bukti ), pemeriksaan alat bukti ( senjata atau alat kejahatan, pakaian ), memberikan kasaksian dalam sidang pengadilan, dalam hal ini karena umumnya barang bukti benda mati atau hasil kejahatan (memar, luka, sperma yang ditemukan, racun atau sisa sisa obat bius). Alat bukti yang digunakan ilmu kedokteran kehakiman yang tercantum dalam Pasal 184 KUHP ayat ( 1 ) yaitu keterangan ahli, surat, petunjuk. Denagan menggunakan alat bukti keterangan ahli dapat diketahui apakah sesorang melakukan tindak pidana pemerkosaan atau tidak. Melalui keterangan ahli ( dokter yang memeriksa korban ) dengan pemeriksaan secara luar ( melihat) keterangan ahli dapat menemukan tanda tanda seperti luka, pukulan, luka tusukan ( bila diancam atau korban mencoba melawan ), luka memar ( apabila korban melapor peristiwa tersebut selang beberapa hari kemudian ), luka robekan pada selaput vagina, robekan pada baju yang digunakan, cairan sperma yang mengering ( pada baju, pakaian, celana dalam, rambut dan lain lain ). Dari keterangan ahli ( dokter ) inilah yang membuat dikeluarkan alat bukti surat. Ahli ( dokter ) mengeluarkan laporan visum et repertu. Dalam laporan visum et reprtum ini dilakukan pemeriksaan dalam segi korban orang dewasa atau di bawah umur ( anak anak ), dalam keadaan sadar yang baik atau yang buruk, rambut rapi atau kusut, berpenampilan bersih atau kotor, sikap pada pemeriksaan membantu atau tidak membantu, sehat secara jasmani, dijumpai kelainan pada alat kelamin dan kandungan atau tidak, tes laboratorium untuk sel mani positif atau negatif, pada pemeriksaan memberikan barang tertentu ( kemungkinan adanya sidik jari pelaku di barang yang dibawa korban, senjata ancaman, sisa obat bius, dan lain lain ) yang diserahkan kepada polisi sebagai bukti lanjutan ( alat bukti petunjuk ). Dari pemeriksaan visum et repertum maka ahli ( dokter ) dapat menarik kesimpulan korban telah diperkosa atau tidak, atau terjadi percobaan pemerkosaan. Laporan visum et repertum inilah yang dapat dijadikan alat bukti surat. Dari laporan visum ini juga dapat ditemukan alat bukti yang ke tiga yaitu alat bukti petunjuk. Dari pemeriksaan visum dapat ditemukan alat bukti petunjuk, seperti sidik jari pelaku, sperma pelaku, rambut kemaluan pelaku yang mungkin menempel pada pakaian korban. Selain melalui keterangan ahli, peranan ilmu kedokteran kehakiman dapat diperoleh melalui tempat kejadian perkara ( TKP ). Apabila korban atau polisi atau saksi ( apabila korban ditemukan oleh seseorang ) mengetahui lokasi tindak pidana pemerkosaan ilmu kedokteran kehakiman dapat dipergunakan untuk merenkonstruksi kejadian pidana tersebut diketahui kronologis kejadian , yang juga dapat menemukan barang bukti seperti pisau (sebagai alat untuk mengancam), yang memiliki kemungkinan disembunyikan atau dibuang di sekitar lokasi kejadian, bercak bercak darah ( apabila terjadi perlawanan ), sidik jari pelaku yang menempel di lokasi kejadian ( di pintu, meja atau perabot yang lain ), identitas pelaku seperti KTP, SIM, atau identitas yang lain yang tertinggal karena perbuatan sempat diketahui atau terlupa mengambil yang dapat mempermudah menemukan pelaku, serta barang barang yang lainnya yang dapat memperlancar kinerja aparat hukum untuk menemukan pelaku kejahatan tindak pidana pemerkosaan tersebut. B. Peranan Visum et repertum dalam menyelesaikan Tindak Pidana Pemerkosaan Visum et repertum dapat dikatakan sebagai bagian dari ilmu kedokteran kehakiman, karena dengan menggunakan ilmu kedokteran kehakiman, maka visum dapat dipergunakan sebagai alat bukti keterangan surat dan alat bukti petunjuk. Dengan pemeriksaan visum dapat diketahui kebenaran terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Dengan visum et repertum dapat diketahui adanya persetubuhan atau tidak. Tetapi walaupun ada persetubuhan bila tidak disertai ejakulasi pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dilakukan secara pasti. Hal ini mengakibatkan dokter tidak dapat menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan, yang dapat disimpulkan adalah terjadi persetubuhan, perkiraan waktu persetubuhan harus ditentukan. Walaupun demikian bila terbukti terjadi persetubuhan, perkiraan waktu persetubuhan harus ditentukan, Karena ini menyangkut alibi ( tersangka atua terdakwa ). Dalam proses penyidikan. Sperma dapat ditemukan dalam kurun waktu maksimal tiga puluh enam jam, sedangkan apabila korban meninggal dapat ditemukan dalam waktu tujuh sampai delapan hari. Pembuktian persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput darah yang robek, yang ada pada umunya penyembuhan dicapai dalam waktu tujuh sampai sepuluh hari. Pembuktian persetubuhan juga dapat diperiksa dengan pemeriksaan kehamilan, tetapi karena waktu yang dibutuhkan cukup lama, sehingga nilai bukti menjadi kurang, karena kemungkinan tersangka bertambah, yang dapat mempersulit penyidik karena membutuhkan waktu untuk mengungkapkan kasus. Hal lain yang dapat menjadi petunjuk membuktikan terjadinya persetubuhan adalah apabila korban terjangkit penyakit kelamin dari pelaku yang menderita penyakit kelamin dari pelaku yang menderita penyakit kelamin yang sejenis. Apabila masa inkubasi penyakit singkat dapat membantu dalam proses pembuktian dibandingkan dengan penyakit kelamin yang masa inkubasinya lama, contoh sifilis. Dalam tindak pidana pemerkosaan sering ditemukan tanda tanda kekerasan, yang paling sering ditemukan di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka luka ini biasanya berbentuk luka luka lecet bekas kuku, gigitan serta memar. Walaupun demikian tentang pembuktian kekerasan tidak berarti meninggalkan bekas berbentuk luka, tetapi bisa juga sisa pembiusan. Oleh karena itu tindak pidana pemerkosaan pemeriksaan toksilogi ( ilmu racun ) merupakan prosedur rutin. Dalam pemeriksaan korban faktor waktu dan keaslian barang bukti menentukan keberhasilan pemeriksaa. Tanda tanda persetubuhan, luka luka akibat persetubuhan akan menyembuh dan pada mayat akan menjadi hancur. Untuk itu pemeriksaan sedini mungkin dapat membantu. Pakaian yang telah diganti, membersihkan diri, telat melapor akan menyulitkan pemeriksaan karena keadaannya yang tidak asli atau bukti menjadi hilang. Karena itulah diharapkan korban sesegera mungkin melapor apabila terjadi tindak pidana pemerkosaan. Visum tidak terbatas untuk menunjukan tanda tanda telah terjadi tindak pedana pemerkosaan terhadap orang yang berlainan jenis kelamin, tetapi kuga terhadap sesama jenis laki laki ( homoseksual ), dan sesama jenis perempuan ( lesbian ). Untuk menunjukan terjadi tindakan pidana pemerkosaan terhadap sesama jenis laki laki dapat dilakukan pemeriksaan di dalam dubur atau mulut korban terdapat sperma atau tidak. Bentuk dubur telah berubah apabila pesetubuhan telah sering dilakukan, bentuk dubur menjadi berbentuk corong ( funal shape ), dan otot spencternya tidak dapat berfungsi dengan baik. Sedangkan untuk membuktikan terjadinya tindak pidana pemerkosaan terhadap sesama perempuan dilakukan pemeriksaan terjadi kelainan genital yang diakibatkan oleh manipulasi genital dengan tangan atau alat bantu lainnya. Dalam menemukan pelaku tindak pidana pemerkosaan juga dapat menggunakan visum et reperum. Apabila pelaku langsung tertangkap setelah melakukan tindak pidana pemerkosaan, karena tertangkap tangan ( pelaku berdalih kebetulan lewat, dan bermacam alasan lainnya ), atau korban telah mengenal pelaku atau korban memberikan ciri ciri pelaku, atau ada saksi melihat pelaku keluar dari tempat kejadian terjadinnya pemerkosaan, dokter dapat menggunakan visum untuk menemukan adanya sel epithel vagina yang melekat pada penis, tentu saja hal ini baru dapat ditemukan apabila pelaku langsung tertangkap setelah melakukan dan belum membersihkan diri. Tetapi walaupun begitu pemeriksaan ini hanya membuktikan tersangka telah bersetubuh, belum membuktikan persetubuhan dilakukan dengan korban, karena sel epithel vagina korban dicocokan dengan yang ditemukan di penis tersangka, dengan melihat data data yang telah ada. Pemeriksaan sperma yang ditemukan pada saat pemerikassan barang bukti atau yang ada pada tubuh korban juga dapat menentukan golongan darah pelaku, hal ini juga dapat membantu untuk menentukan pelaku tindak pidana pemerkosaan. C. Upaya menanggulangi kendala yang dihadapi dalam menyelesaikan perkara pemerkosaan Kendala dalam menyelesaikan kasus tindak pidana pemerkosaan yang berkaitan dengan banyaknya korban pemerkosaan yang tidak melapor kepada polisi disebabkan karena korban merasa malu karena perbuatan tersebut dianggap suatu aib untuk dirinya. Upaya yang dapat dilakukan agar korban mau melaporkan adalah peran aktif polisi dalam hal menanyakan peristiwa dengan tanpa memaksa, dan dalam menanyakan kejadian tidak memeberikan kesan bahwa korban yang salah, karena secara tidak sengaja memancing pelaku melakukan tindak pidana pemerkosaan. Untuk memperlancar korban memberikan keterangan sebaiknya yang bertugas menanyakan peristiwa tindak pidana pemerkosaan adalah polisi wanita, agar korban merasa nyaman dan aman karena merasa lebih mudah menceritakan pada sesamanya kaum perempuan, juga karena adanya rasa empati sebagai sesama perempuan. Jasa seorang psikiater juga dapat membantu menenangkan perasaan korban yang merasa terguncang, sehingga dalam memberikan keterangan korban dapat menceritakan secara terperinci. Kendala kedua dalam menyelesaikan tindak pidana pemerkosaaan adalah ketakutan korban apabila peristiwa tindak pidana pemerkosaan diketahui oleh keluarga, teman dan lingkungan. Korban merasa terkucil, rendah diri, diantara keluarga, teman dan lingkungan, karena merasa dirinya tidak pantas berada di sekitar mereka karena mendapat musibah tersbut. Karena itu peranan orang orang terdekat dan sekitarnya dalam memberikan perlindungan dan rasa aman, hal ini juga membantu penyembuhan mental korban atas peristiwa tindak pidana pemerkosaan, peran aktif mereka juga dapat membuat korban menceritakan kronologis peristiwa kejadian dengan baik karena merasa diperhatikan, mendapat dukungan, merasa dilindungi dan aman. Kendala ketiga tindak pidana pemerkosaan adalah terungkap identitas korban dan rumah korban ke khalayak ramai. Hal ini dapat membuat kemungkinan pelaku meneror korban agar tidak melanjutkan proses tindak pidana pemerkosaan. Terungkapnya identitas membuat korban merasa malu dan terhina, karena merasa dirinya dipojokkan, karena korban merasa orang menghakimi bahwa dirinya yang mengundang pelaku untuk melakukan perbuatan pemerkosaan. Untuk itu dalam menangani kasus tindak pidana pemerkosaan diharapkan seminimal mungkin mengurangi menyebutkan identitas, misalnya nama korban disebutkan dengan inisial atau dengan nama lain. Selain itu dengan meminimalkan penyebutan identitas juga dapat membantu aparat hukum untuk menangkap pelaku, karena pelaku tidak mempunyai kesempatan untuk mengancam korban agar tidak memberikan keterangan kasus tindak pidana pemerkosaan dengan lancar. Selain itu dengan menutupi identitas korban dapat menambah keyakinan korban untuk membantu aparat hukum menangkap pelaku sebenarnya. Kendala keempat dalam menangani kasus tindak pidana pemerkosaan adalah pelaku menyatakan bahwa perbuatan ini dilakukan atas dasar suka sama suka. Untuk membuktikannya adalah dengan melalui pemeriksaan visum et repertum. Dengan pemeriksaan ini dapat membantu menjelaskan bahwa perbuatan itu adalah tindak pidana pemerkosaan. Dengan visum dapat menunjukan bahwa perbuatan pelaku adalah termasuk tindak pidana pemerkosaan. Walaupun perbuatan ini dilakukan atas dasar suka sama suka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 287 KUHP apabila tindak pidana dilakukan dengan anak di bawah umur ( 15 tahun ), tetapi ancaman pidana ini hanya apabila dilakukan dengan pengaduan ( delik aduan ). Apabila tindak pidana dilakukan dengan orang yang telah menikah diancam dengan pidana dalam Pasal 284 KUHP, tindak pidana ini juga baru diancamkan apabila dilakukan dengan pengaduan.