Anda di halaman 1dari 3

1. Patofisiologi Trauma Listrik Secara umum, energi listrik membutuhkan aliran energi (elektron-elektron) dalam perjalanannya ke objek.

Semua objek bisa bersifat konduktor (menghantarkan listrik) atau resistor (menghambat arus listrik). Kulit berperan sebagai penghambat arus listrik yang alami dari sebuah aliran listrik. Kulit yang kering memiliki resistensi sebesar 40.000-100.000 ohm. Kulit yang basah memiliki resistensi sekitar 1000 ohm, dan kulit yang tebal kira-kira sebesar 2.000.000 ohm. Anak dengan kulit yang tipis dan kadar air tinggi akan menurunkan resistensi, dibandingkan orang dewasa. Tahanan dari alat-alat tubuh bagian dalam diperkirakan sekitar 500-1000 ohm, termasuk tulang, tendon, dan lemak memproduksi tahanan dari arus listrik. Pembuluh darah, sel saraf, membran mukosa, dan otot adalah penghantar listrik yang baik. Dengan adanya luka listrik , pada sayatan melintang akan memperlihatkan kerusakan jaringan.3,4 Elektron akan mengalir secara abnormal melewati tubuh yang menyebabkan perlukaan ataupun kematian dengan cara depolarisasi otot dan saraf, menginisiasi aliran listrik abnormal yang dapat menggangu irama jantung dan otak, atau produksi energi listrik menyebabkan luka listrik dengan cara pemanasan yang menyebabkan nekrosis dan membentuk porasi (membentuk lubang di membran sel).5 2. Aliran sel yang melewati otak, baik tegangan tinggi atau tegangan rendah, dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan secara langsung menyebabkan depolarisasi sel-sel saraf otak. Arus bolak balik dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel jika aliran listrik melewati daerah dada. Hal ini dapat terjadi saat aliran listrik mengalir dari tangan ke tangan, tangan ke kaki, atau dari kepala ke tangan/kaki. (3) 3. 4. MEKANISME TRAUMA(5) 5. Pada trauma listrik umumnya menyebabkan luka bakar. Luka tumpul sekunder juga dapat terjadi jika korban terjatuh dari ketinggian setelah tersengat arus listrik. Secara umum, luka bakar listrik dapat diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu: 6. a. Kontak langsung (direct contact) 7. Trauma tipe ini, jika terjadi pada tegangan yang tinggi (Voltase di atas 1000 V) dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang parah, nekrosis jaringan lunak dan tulang, kerusakan otot, dan gagal ginjal.

8. Lesi yang muncul pada tubuh berupa Lesi Kontak, terjadi pada kulit yang kontak atau bersentuhan dengan konduktor arus listrik. Kulit yang melepuh, biasanya pada ujung-ujung jemari atau telapak tangan. Kadang-kadang daerah yang melepuh ini dipenuhi dengan cairan atau gas dan setelah kematian, baik sebagian ataupun keseluruhan akan mengempis. Terdapat sedikit atau tidak ada reaksi inflamasi dan gambarannya menyerupai lepuh post mortem. Kesemua efek ini disebabkan karena pengaruh panas oleh arus listrik terhadap keratin dengan sifat resisten tinggi. 9. b. Kontak tidak langsung (indirect contact) 10. Contohnya seperti karena kilasan (flash), lidah/nyala api (flame) dan bunga api listrik (arc).Trauma tipe ini hanya menyebabkan luka bakar superfisial pada kulit, wajah, dan tangan. Kontak yang sebentar atau sedikit akan menyebabkan percikan atau loncatan antara kabel dengan kulit. Menyebabkan suatu lesi berupa nodul-nodul kecil diatasnya terdapat keratin yang kaku dan berwarna kekuningan. Karena meleburnya lapisan paling luar dari stratum korneum, yang kemudian mengeras. Sekitar lesi: kulit yang mengeras karena kontraksi dari kapiler. Pada semua kasus kematian karena listrik tegangan tinggi mendapat luka bakar di tubuhnya. Pada listrik tegangan rendah, luka bakar umumnya terjadi pada titik masuk, titik keluar listrik atau pada jarak tertentu antara keduanya jika arus memasuki areal yang luas dengan hambatan minimal, mungkin tidak akan ditemukan luka bakar. Contoh terbaik dalam hal ini ialah bunuh diri di bak mandi. Jika hanya terjadi kontak yang singkat dengan kawat beratus, mungkin tidak terjadi suatu luka bakar. Orang dapat pingsan karena fibriliasi ventrikel dan terlempar dari kabel. Jika kontak tetap berlangsung, akan timbul luka bakar yang berat. Luka bakar disebabkan oleh panas yang dihasilkan oleh listrik.

3. Mansjoer, Arif, dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2000; H: 370-1

4. Idries,Abdul M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta. Binarupa Aksara. 1997. H: 108 117

5.

Cushing, Tracy A. [online]. 2010. [cited 28 October 2010]. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/770179-overview

Anda mungkin juga menyukai