Anda di halaman 1dari 3

Labels: Artikel

Bahagia Karena Cantik


dikutip (halaman 122-125) dari:
Judul Buku: Belanja Sampai Mati; Ancaman Komersialisasi Remaja Masa Kini
Penerbit: Resist Book, Yogyakarta
Cetakan: I, 2008

Gagasan bahwa ‘bentuk tubuh yang sempurna dan kesempurnaan estetik akan membawa kebahagiaan’
bukanlah ide baru. Menurut sejarahwan Joan Jacobs Brumberg, pengarang buku The Body Project:An
Intimate History of American Girls, gadis-gadis masa Victorian juga diajarkan untuk jadi gadis bertubuh
paling menarik. Agar menarik, mereka harus punya bentuk tubuh yang berbeda. Mereka mengenakan
korset dan tampil lugu apapun resikonya. Pengorbanan yang harus mereka lakukan bisa jadi kelaparan,
bekerja keras, mencukur, menindik dan mentato tubuhnya tetapi tidak menyerahkan keperawanannya.

Tapi Brumberg juga menulis gadis-gadis masa kini lebih berorientasi pada tubuh. Remaja perempuan abad
19 “punya orientasi yang berbeda dengan gadis-gadis sekarang (sebelum Perang Dunia II) para gadis
jarang menyebutkan tubuh mereka sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan diri.” Sebaliknya di jaman
anak muda bermerek, tubuh dianggap sebagai sesuatu yang harus diolah, ditolak, disedihkan, kemudian
dapat dipulihkan dengan belanja.

Sander Gilman dalam buku Creating Beauty to Cure the Soul: Race and Psycholoy in the Shaping of
Aesthetic Surgery (1998), menghubungkan pertumbuhan operasi kosmetik dengan meningkatnya
penggunaan Prozac (obat anti depresi-penj.) dan penyakit psikologi semakin dianggap sebagai masalah
kesehatan tubuh; bahwa kebahagiaan seseorang dapat tercapai melalui pengobatan dari luar yang
membutuhkan biaya. Berdasarkan logika serupa, saline (nama obat-penj.) dianggap penting untuk
mengatasi masalah gadis berpayudara kecil atau buruk. “Gagasan mengobati jiwa adalah alasan utama
operasi kecantikan yang membuat “pasien” merasa punya tubuh “sehat” tapi “jiwanya tak bahagia”, kata
Gilman.

Seperti halnya kebiasaan berbelanja di toko mahal, keyakinan operasi kecantikan dan konsumsi produk
mewah diajarkan oleh orang tua pada anak-anak. Baik ibu maupun anak perempuannya sekarang berpikir
bahwa tubuh adalah benda plastik, benda yang bisa meleleh kemudian dibentuk sesuai keinginan:
perubahan pemikiran atau tubuh bisa saja dilakukan asal ada uang. Seperti yang tertulis dalam Boston
Globe pada Maret 2001, generasi baby boomer dengan senang hati menularkan keyakinannya pada
generasi selanjutnya:”Banyak ahli bedah kecantikan mengatakan pada saya bahwa klien remajanya
meningkat tajam akhir-akhir ini…. Mantan pasien mengajarkan pada anak-anaknya tentang operasi dan ahli
bedah sebagai ritual penting. (Barry) Davidson (seorang ahli bedah plastik) mengatakan, seringkali ada dua
generasi melakukan implan payudara bahkan bukan lagi hal yang aneh jika tiga generasi melakukannya.
“Seorang anak perempuan memiliki bentuk payudara sama dengan ibunya, sang nenek yang melihat itu
memutuskan bahwa ia akan melakukan operasi serupa,” jelasnya.
Jumlah orang tua Generasi Y yang melakukan operasi plastik sangat mengejutkan, pada tahun 2000 ada
3,2 juta orang usia 35-50 tahun melakukan operasi plastik. Operasi kecantikan semakin bisa dimaklumi,
operasi itu tak ubahnya seperti produk perancang yang dikenakan oleh ibu dan anak.

Philip Miller juga melihat operasi plastik semakin diterima oleh keluarga. “Sang ibu melakukan operasi
hidung saat berusia 16 atau 17 tahun,” kata Miller – seorang ahli bedah remaja yang berpraktek sejak 30
tahun lalu. Sebuah praktik rahasia yang dilakukan agar sesuai dengan ciri-ciri fisik etnis seseorang. “Ketika
ibu membawa anaknya mengunjungi dokter bedah plastik, sang ibu merasa bersahabat dengan anaknya,”
kata Miller. “Mereka mengatakannya dengan bangga, ‘Sekarang anak saya melakukannya.’” Cerita versi
terburuk ketika, “Jika sang ibu tak pernah melakukan operasi maka ia merasa agak iri – ia ingin itu seperti
anak kecil,” kata Miller. “Semakin banyak ibu yang juga merasa senang jika anaknya mendapatkan sesuatu
yang tidak bisa dibelinya ketika remaja.”

Carolyn dibesarkan dengan budaya semacam itu. Ia melihat ibu-ibu kelas menengah atas berusia 30-an,
40-an dan 50-an melakukan implan payudara. Menurut Carolyn, mereka akan menawari anaknya.
(Sekalipun ia seorang ahli bedah plastik: dokter yang akan mengoperasi Carolyn adalah ayah teman
sekolahnya). Orang tua kaya yang menolak permintaan anaknya melakukan operasi tidak lagi dapat
menolak dengan tegas atau keras. Mereka mungkin juga merasa bingung dan bimbang dengan permintaan
anak perempuannya. Mereka membutuhkan ahli bedah bukan untuk operasi tetapi untuk memperoleh
informasi. Informasi itu digunakan untuk menghalang-halangi niat anaknya. Dengan ekspresi datar, ahli
bedah plastik Brian Forley menceritakan pada saya tentang seorang ibu dan anak perempuan yang
mengunjungi tempat prakteknya. Ketika seorang gadis berusia 16 tahun mengunjunginya dengan
bercucuran air mata sambil menceritakan bahwa ia harus punya payudara baru, ibunya duduk dan
mendengarkan. Wajah ibunya beku. Forley berkesimpulan bahwa sang ibu berpikir ia adalah senjata
terakhir. “Ia berharap saya menjelaskan sesuatu pada anak perempuannya,” kata Forley. “Saya berusaha”
(Tentu saja, tak semua ahli bedah plastik berusaha mencegah gadis remaja melakukan operasi kecantikan;
tapi sepertinya gadis itu bisa menemukan ahli bedah lain yang mau melakukan itu jika Forley tak mau.).

Karena situasi sosial, tidaklah mengherankan jika pasien Forley tidak datang karena keinginannya sendiri;
lagi pula ia masih sangat muda. Pelekatan merek tubuh dimulai sejak dini, saat abg. Seperti yang dikatakan
seorang gadis 16 tahun sesaat sebelum melakukan operasi pembesaran payudara, “Sejak berusia 13 tahun
aku mulai tahu dan kemudian berpikir melakukan operasi untuk memperbaiki payudaraku.”

Carolyn mulai memimpikan payudara lebih besar sejak usia yang sama. “Seingatku, aku tak pernah suka
payudaraku,” katanya. “Sejak berusia 13 tahun, aku merasa tidak nyaman jika berdekatan dengan orang
lain – aku tidak suka tubuhku. Aku ingin pembesaran payudara sejak umur 13 tahun karena sebelumnya
aku pernah melihat foto telanjang.”

Kita mungkin khawatir terhadap kegilaan anak-anak terhadap citra diri, kedewasaan dan seksualitas tapi
tatanan sosial telah menciptakan ketergantungan ganda itu. Gadis dan wanita ditempeli identitas sesuai
dengan barang yang mereka konsumsi. Mereka ingin membeli kemudian menjadi sosok sempurna seperti
bintang media dan bintang film yang juga dipermak. Mereka juga menempati wilayah “sesudah” dalam
dongeng ala operasi kosmetik, penampilan “sebelum” dan “sesudah.” Dongeng yang terinsipirasi dari teknik
periklanan primitif atau pujian hasil operasi plastik. Seperti yang dikatakan Carolyn, “Aku nonton sesuatu di
HBC tentang operasi plastik lalu aku memutuskan untuk melakukannya.”

Anda mungkin juga menyukai