Anda di halaman 1dari 8

v[v Tvnvvvn )c.

vvncvvvn STMIK TRIGUNA DHARMA


.+-,e+/ +::. m.-, e:.: +: . !
BAB I
PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
A. PENGERTIAN DAN LATAR FILOSOPIS
Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan
untuk mempersiapkan warga negara berfikir kritis dan bertindak demokratis,
melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi
adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat. Lebih tegas dikatakan Pendidikan Kewarganegaraan membangun
kesiapan warga negara menjadi warga dunia (Global Society).
Undang-undang no. 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 39 ayat 2 menyebutkan bahwa isi Kurikulum wajib memuat : 1. Pendidikan
Pancasila, 2. Pendidikan Agama dan 3. Pendidikan Kewarganegaraan. Di
Perguruan Tinggi Pendidikan Kewarganegaraan diejawantahkan salah satunya
melalui mata Kuliah Pendidikan Kewiraan. Yang diajarkan pada masa Orde Baru.
Seiring dengan perkembangan Politis dari era otoriterian ke era demokratisasi.
Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan Kewiraan dianggap
sudah tidak relevan dengan semangat reformasi dan demokratisasi. Pendidikan
Kewiraan ditinggalkan karena berbagai alasan, antara lain; Pola pembelajaran
yang indoktrinatif dan monolitik, dan mengabaikan dimensi afektif dan
psikomotorik.
Secara histories, Kurikulum Pendidikan Nasional yang khusus mengemban
misi Demokrasi adalah: Civics (tahun 1957-1962), Pendidikan Kemasyarakatan
(tahun 1964), Pendidikan Kewarganegaraan Negara (tahun 1968-1969),
Pendidikan Kewarganegaraan Negara, Civics dan Hukum (tahun 1973), PMP
(tahun 1975-1984), dan PPKn (tahun 1994), di Tingkat Perguruan Tinggi ada mata
kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945 (tahun 1960-an), Filsafat
Pancasila (tahun 1970 sampai sekarang), Pendidikan Kewiraan (tahun 1989-1990-
an) dan Pendidikan Kewarganegaraan (tahun 2000-sekarang). Nama mata Kuliah
Kewarganegaraan, ada fakar lain menyebutnya dengan nama Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) seperti Azyumardi Azra (Tim CCE: :
ndonesian Central of Civic Education)
B. VISI, MISI, DAN TUJUAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Visi Misi dari mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah: Pertama,
kemampuan penguasaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) yang
terkait materi inti Pendidikan Kewarganegaraan (civic education),antara lain
Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani (civil society), dan Kedua, Kecakapan
dan kemampuan sikap kewarganegaraan (civic disposition) antara lain
pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keberagaman,
v[v Tvnvvvn )c.vvncvvvn STMIK TRIGUNA DHARMA
.+-,e+/ +::. m.-, e:.: +: .
kepekaan terhadap masalah warga negara, ketiga, Kecakapan dan kemampuan
mengartikulasikan keterampilan kewarganegaraan (civic skill) seperti kemampuan
partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan public, kemampuan control
terhadap penyelenggara Negara dan pemerintahan.
Puncak dari perjuangan bangsa kita adalah saat diproklamasikan
kemerdekaan ndonesia tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Semangat
bangsa ndonesia saat itu tercurah dengan pekik kemerdekaan. Di sana sini
terdengar teriakan "MERDEKA. Bendera merah putih dibentangkan dimana-
mana.
Tapi jika kita lihat kenyataan saat ini, ironis memang. Perjuangan para
pahlawan dengan mengorbankan jiwa dan raga disia-siakan begitu saja. Buktinya,
kini kita tidak lagi menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri. Para pemuda sebagai
cikal bakal bangsa ini, sudah tidak lagi bangga dengan bangsanya. Mereka lebih
memilih kebudayaan barat yang menurut mereka lebih modern dan lebih baik.
Rasa nasionalisme mereka pun sudah sangat berkurang. Selain itu, isu-isu yang
setiap hari mengancam kita, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar tidak
pernah berhenti.
Jika kita mau berpikir sebenarnya mau dikemanakan negeri ini?? Siapa
yang akan mengurus negeri ini?? Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh
hati nurani kita masing-masing.
Banyak usaha yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan rasa
nasionalisme para pemuda. Salah satu contohnya adalah pelaksanaaan upacara
bendera setiap hari Senin dan hari-hari bersejarah. Upacara tersebut bukan hanya
sebagai upaya untuk mengumpulkan siswa atau mahasiswa tetapi sebenarnya arti
dari upacara itu adalah untuk mengingatkan kita akan jasa para pahlawan yang
telah berjuang untuk bangsa ini. Selain itu agar kita menyadari betapa
berharganya bangsa ini.
Selain itu untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa diadakan mata kuliah
umum yang wajib untuk diikuti yakni, Pendidikan Kewarganegaraan yang dulunya
disebut dengan Pendidikan Kewiraan.
C. RUANGLINGKUP PENDIDIKANKEWARGANEGARAAN
Pendidikan Kewarganegaraan (C'CT'C Education) memiliki atas tiga-materi
pokok (core materials) yaitu demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat
madani (civil society). Ketiga materi inti tersebut kemudian dijabarkan menjadi
beberapa materi yang menjadi bahan kajian dalam pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) yaitu (1) Pendahuluan; (2) dentitas Nasional;
(3) Negara; (4) Kewarganegaraan;
(5) Konstitusi; (6) Demokrasi; (7) Otonomi Daerah; (8) Good Governance;
(9) HaK Asasi Manusia (HAM) dan (10) Masyarakat Madani.
v[v Tvnvvvn )c.vvncvvvn STMIK TRIGUNA DHARMA
.+-,e+/ +::. m.-, e:.: +: .
Dengan demikian isi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education) diarahkan untuk nation and character building bangsa ndonesia yang
relevan dalam memasuki era demokratisasi.
D. PARADIGMAPENDIDIKANKEWARGANEGARAAN
Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan menunjukkan
bagaimana proses pendidikan berlangsung dan pada tahap berikutnya akan dapat
meramalkan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil dari proses pendidikan.
Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar
pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen, materi dan
manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praksis), paling tidak
terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal yaitu paradigma
feodalistik dan paradigma humanistik.
Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan
(Perguruan Tinggi) merupakan tempat melatih dan mem persiapkan peserta untuk
masa datang. Oleh karena itu peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan
sebagai obyek semata dalam pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-
satunya sumber ilmu, kebenaran dan informasi, berperilaku otoriter dan birokratis.
Materi pembelajaran disusun secara rigid sehingga memasung kreativitas peserta
didik (mahasiswa) dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan termasuk
manajemen pembelajaran bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam
penerapan strategi pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinadf dan otoriter.
Akibat dari orientasi tersebut, lulusan pendidikan menjadi manusia robot dan tidak
kreatif serta tidak demokratis atau otoriter. Paradigma feodalistik dalam praksis
pendidikan telah berlangsung cukup lama dalam dunia pendidikan nasional mulai
dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Sementara itu paradigma humanistik mendasarkan pada asumsi bahwa
peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang
berbeda-beda. Karena itu, dalam pandangan ini peserta didik (mahasiswa)
ditempatkan sebagai subyek sekaligus obyek pembelajaran, sementara dosen
diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran
yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik,
bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat
kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Model
materi pembelajaran tersebut mendorong terdptanya kelas pembelajaran yang
hidup (life classroom) yang dalam istilah Ace Suryadi disebut sebagai global
classroom. Begitu juga manajemen pepdidikan dan pembelajarannya menekankan
pada dimensi desentralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan
pnggunaan strategi pembelaj'aran yang bervariasi dan demokratis. Untuk itu kelas
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, dalam istilah Udin S. Winataputra,
diperlakukan sebagai laboratorium demokrasi di mana semangat
kewarganegaraan yang memancar dari cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan
secara interaktif.
v[v Tvnvvvn )c.vvncvvvn STMIK TRIGUNA DHARMA
.+-,e+/ +::. m.-, e:.: +: . 4
Dalam situasi itu, dosen dan mahasiswa secara bersama-sama
mengembangkan dan memelihara iklim demokrasi. mplikasi dari paradigma
humanistik tersebut, peserta didik (mahasiswa) dimungkinkan menjadi lulusan
yang memiliki kreativitas tinggi, kemandirian dan sikap toleransi yang tinggi,
karena dalam proses pembelajaran telah tumbuh iklim dan kultur yang demokratis.
Karenanya, orientasi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), mulai dari
pendidikan dasar sampai Pendidikan Tinggi, harus lebih menerapkan paradigma
humanistik. Dengan paradigma humanistik, pengalaman belajar (learning
experience) yang diterima peserta didik menjadi lebih bermakna dan menjadikan
pengetahuan yang diperolehnya (learning to know) tersimpan dalam memori yang
sejati dan menjadi pendorong untuk selalu belajar tentang masalah demokrasi, hak
asasi manusia dan masyarakat madani (civil society).
Di samping itu, pengalaman pembelajaran yang berorientasi humanistik
membuat peserta didik menemukan jati dirinya (learning to be) sebagai manusia
yang sadar akan tanggung jawab individu dan sosial. Pengetahuan dan kesadaran
diri yang tercipta dari hasil pembelajaran tersebut mendorong peserta untuk
melakukan sesuatu (learnmg to do) yang didasari oleh pengetahuan yang
dimilikinya. Apa yang dilakukan oleh peserta didik dimaksudkan dalam rangka
pembelajaran untuk membangun kehidupan bersama (learning to live together).
Kehidupan bersama tersebut dibangun atas dasar kesadaran akan realitas
keragaman dan saling memerlukan.
Leaming to Uve together menjadi penting, khususnya menghadapi dunia
yang penuh konflik dan banyaknya pelanggaran HAM. Kehidupan yang damai ird
bukan hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat, orang tua,
siswa/mahasiswa, guru/dosen dan semua pihak. Dalam lingkup Asia-Pasifik yang
ditandai dengan keragaman budaya, bahasa, tatanan geografis, sosio-politik,
agama, dan tingkat ekonomi, kaum muda perlu diajarkan kepada keindahan dari
keragaman kultural ini. Learning to live together dalam konteks globalisasi yang
kooperatif berarti juga upaya pelestarian nilai-nilai budaya dan kemanusian
sehingga ada usaha bersama untuk saling mengasihi dalam kehidupan bersama.
Dengan demikian, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan baik sebagai
pendidikan demokrasi maupun sebagai pendidikan HAM mensyaratkan situasi
pembelajaran yang interaktif, empiris, kontekstual, kasuistis, demokratis dan
humanis.
E. URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Tata pemerintahan dan kenegaraan menuju era demokratisasi dita ndai
paling tidak oleh beberapa hal yaitu (a) lahirnya kepemimpinan politik nasional
yang dipilih melalui mekanisme demokrasi yaitu proses pemilu yang dalam sejarah
ndonesia dipandang sangat bebas, jujur dan adil serta demokratis; (b) proses
pemilihan kepemimpinan politik nasional dalam sidang umum MPR tahun 1999
yang juga berlangsung sangat demokratis; (c) terjadinya peralihan kekuasan politik
dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati dalam forum Sidang stimewa MPR
tahun 2001 juga berlangsung damai.
v[v Tvnvvvn )c.vvncvvvn STMIK TRIGUNA DHARMA
.+-,e+/ +::. m.-, e:.: +: .
Momentum historis itu sangat berguna bagi terselenggaranya tata
kehidupan politik ke negaraan di tanah air lebih baik. Namun demikian, proses dan
tata kehidupan politik ya ng telah berjalan dalam usia relatif dini nampaknya belum
memberikan dampak yang mengembirakan dan menunjukkan tanda-tanda yang
meyakinkan (convincing signs), karena masih ditemukan beberapa tindakan
kontra-produktif dan destruktif seperti tindakan pelan ggaran HAM, kecenderungan
tindakan yang mengarah pada "destabilisasi", kecenderungan tindakan
mobokrasi, tindak kekerasan, rendahnya penegakkan hukum bagi para pelaku
pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan , masih maraknya tindak korupsi,
tin gginya pertentangan antara legislatif dengan yudikatif dalam kerangka otonomi
daerah dan sebagainya.
Demokrasi menurut Prof. Dr. A. Syafi'i Ma'arif bukan sebuah hanya
wacana, pola pikir atau perilaku politik ya ng dapat dibangun sekali jadi, bukan pula
"barang instan". Demokrasi menurutnya adalah proses yang masyarakat dan
negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan yang
dapat menciptakan kesejahteraan, menegakan keadilan baik secara sosial,
ekonomi maupun politik. Dari sudut pandang tersebut, demokrasi dapat tercipta
bila masyarakat membangun kesadaran sendiri tentang pentingnya demokrasi
dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, negara
sebagai instrumen politik dan ekonomi suatu bangsa juga harus memiliki kemauan
politik (political will) dan tindakan politik (political action) untuk me ndukung
terwujudnya demokrasi.
Proses demokrasi yang baru "seumur jagung" dialami bangsa ndonesia
dalam era transisi ini berada dalam situasi carut marut, karena sebagian
komponen bangsa masih menunjukkan dan mempertontonkan perilaku anarkis,
akibat politik yang tidak berkeadaban dan perilaku destruktif lainnya baik oleh
kalangan elit politik dan pemerintahan maupun oleh massa. Sebagian besar
perilaku massa memahami dan menjalankan demokrasi sebagai ajang kebebasan
yang tanpa batas dan aturan, sedangkan sebagian perilaku elit politik yang
seharusnya memberi teladan demokrasi berkeadaban justru melakukan artikulasi
politiknya secara totaliter, intoleran yang pada akhirnya membuat rakyat miris,
muak dan apatis melihatnya. Hal itu terjadi, seperti dikatakan oleh Azyumardi Azra,
karena belum tumbuhnya demokrasi keadaban (civilitized democracy) atau apa
yang dikatakan oleh Robert W. Heffner sebagai keadaban demokrasi (democratic
civility).
Selain itu, masih ada pihak-pihak tertentu yang melakukan pemaknaan
demokrasi secara sepihak yaitu hanya menjadi jargon verbalistik, j ualan dan
retorika politik kaum elit tetapi "jauh panggang dari api praktik demokrasi". Karena
demokrasi dipahaminya hanya berada dalam alam utopia dan idea, tidak dapat
v[v Tvnvvvn )c.vvncvvvn STMIK TRIGUNA DHARMA
.+-,e+/ +::. m.-, e:.: +: .
eksis dalam alam praksis. Daftar kemerosotan keadaban demokrasi dapat dilihat
dengan tidak berdayanya law and order di kalangan masyarakat luas, masih,
terpuruknya kewibawaan aparatur penegak hukum dan keamanan, sehingga
sering terjadi proses "hukum dan pengadilan jalanan" terhadap orang-orang yang
disangka melakukan tindak pidana dan krimin al. Situasi demikian semakin
membuat demokrasi terpuruk, yang pada akhimya justru akan menggerogoti iklim
dan kultur demokratis itu sendiri. Dengan demikian, keadaan tersebut jelas tidak
kondusif bagi transisi ndonesia menuju demokrasi, karena demokrasi
berkeadaban hanya dapat terwujud melalui aktor-aktor demokrat dari kalangan elit
politik dan masyarakat dalam berkata dan bertindak yang mengedepankan
moralitas politik.
Keberhasilan transisi ndonesia ke arah tatanan demokrasi keadaban yang
lebih genuine dan otentik merupakan suatu proses yang komplek dan panjang.
Sebagai proses yang komplek dan panjang transisi ndonesia menuju demokrasi
keadaban tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra, mencakup tiga
agenda besar yang berjalan secara simultan dan sinergis. Pertama, reformasi
konstitusional (constitutional reforms) yang menyangkut perumusan kembali
falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi
kelembagaan (institutional reforms) yang menyangkut pengembangan dan
pemberdayaan lembaga-lembaga politik dan lembaga kenegaraan seperti MPR,
DPR, MA, DPA dan sebagainya. Ketiga, pengembangan kultu r atau budaya politik
(political cu ltu re) yang lebih demokratis melalui pendidikan.
Jika pada point pertama dan kedua, reformasi dilakukan pada tataran
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka menurut Azra, ada point ketiga
yakni pengembangan kultur demokratis harus dilakukan dengan melibatkan
semua segmen masyarakat mulai dari elit politik hingga rakyat awam. Salah satu
cara untuk me ngembangkan kultur demokratis berkeadaba n adalah melalui
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Dengan demikian pendidikan
(Pendidikan Kewarganegaraan) bisa menjadi pilar kelima (the fifth estate) bagi
tegaknya demokrasi erkeadaban.
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) dengan demikian harus
mampu menjadikan dirinya sebagai salah. satu instrumen pendidikan politik yang
mampu melakukan empowerment bagi masyarakat, terutama masyarakat kampus
melalui berbagai program pembelajaran yang mencerminkan adanya rekonstruksi
sosial (social reconstruction) dengan cara demikian, berbagai patologi sosial
(penyakit masyarakat) dapat dianalisis untuk kemudia n dicarikan solusi atau
terapinya. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) harus dapat
pula dijadikan sebagai wahana dan instrumen untuk melakuka n social engineering
dalam rangka membangun social capital yang efektif bagi tumbuhnya cultur
v[v Tvnvvvn )c.vvncvvvn STMIK TRIGUNA DHARMA
.+-,e+/ +::. m.-, e:.: +: . 7
demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta
tumbuhnya masyarakat madani (civil society).
Untuk menjadi pilar penegakkan demokrasi berkeadaban, pendidikan
(Pendidikan Kewarganegaraan) harus keluar dari sistem yang oleh Paulo Freire
disebut pendidikan sistem bank (banking system education) yaitu sistem
pendidikan yang sangat rigid, otoriter dan doktriner. Sistem pendidikan gaya bank
tersebut melahirkan budaya bisu (silent culture), juga dapat menjadi kendaraan
politik, kepentingan suatu rezim, arena indoktrinasi, alat melanggengkan
kekuasaan suatu rezim dan pemasungan kreativitas manusia. Dalam sistem
pendidikan itu, proses yang berlangsung hanya proses pengajaran yaitu kegiatan
transfer of knowledge. Gambaran buruk tentang penyelenggaraan pendidikan di
atas merupakan bukti empirik adanya pemahaman yang salah terhadap hakikat
pendidikan. Aktivitas pendidikan yang berbau paksaan tersebut harus diubah, yang
menekankan kerja dan prestasi individual harus dilengkapi secara berimbang
dengan kerja dan prestasi kelompok. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan
oleh Mochtar Buchori, reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Arah
reformasi pendidikan menurutnya diorientasikan pada restorasi budaya politik yaitu
pembentukan basic political competencies, pengembangan budaya berpolitik yang
santun, pengembangan tata kehidupan bermasyarakat yang damai dan
menghindari kekerasan (avoidance of vialence) mengajak masyarakat
menegakkan sendi-sendi untuk menegakkan food and clean governance,
membangun masyarakat madani (civil society) yang mampu mengurus diri sendiri
sambil mengawasi pemerintah dan penciptaan kemampuan belaj ar (learn ing
capacity) yang tinggi. Hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran yang tidak
saja pemberian pengetahuan, melainkan aktivitas untuk membangun kesadaran,
kedewasaan dan kemandirian serta pembebasan. Kesadaran, kedewasaan,
kemandirian dan pembebasan merupakan tujuan inti pendidikan dan demokrasi.
Dengan demikian, batasan antara pendidikan dan demokrasi terdapat titik temu
yang sangat signifikan. Karena itu, pendidikan (Pendidikan Kewarganegaraan)
yang merupakan pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM
merupakan arena yan g efektif dalam membangun mentalitas dan kultur demokratis
berkeadaban. Hal itu sejalan dengan misi sejarah (historical mission) dan
tanggung jawab fundamental dunia pendidikan (Pendidikan Kewarganegaraan).
Pendidikan Kewarganegaraan versi lain menyebutnya Pendidikan
Kewarganegaraan berlangsung dalam lingkup persekolahan dan luar sekolah.
Pada mgkup persekolahan, Pendidikan Kewarganegaraan berlangsung sejak dini
sampai perguruan tinggi. Dengan demikian, Pendidikan Kewarganegaraan di
Perguruan Tinggi pada dasarnya merupakan komponen utama pendidikan
demokrasi yang sengaja dirancang, dilaksanakan, dievaluasi dan secara kreatif
v[v Tvnvvvn )c.vvncvvvn STMIK TRIGUNA DHARMA
.+-,e+/ +::. m.-, e:.: +: .
dikembangkan secara sinambung yang memusatkan perhatia n pada pengkajian
konsep dan proses demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil
Society).
Menurut Azra, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kebutuha n
mendesak bagi bangsa dalam membangun demokrasi berkeadaban karena
beberapa alasan. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political
literacy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan
lembaga-lembaganya di kalangan warga negara. Kedua, meningkatnya political
apathism yang ditunjukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam
proses-proses politik. Pembentukan warga negara yang cerdas secara intelektual,
emosional dan sosial, memiliki keadaban demokratis dan demokrasi berkeadaba n
merupakan tuntutan dan keniscayaan. Karena Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education) merupakan sarana pendidikan yang dibutuhka n oleh negara-
negara demokrasi baru untuk mela hirkan generasi muda dan masyarakat yang
mengetahui tentang pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan yang diperlukan
dalam mentransformasikan, mengaktualisasikan dan melestarikan demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai