Anda di halaman 1dari 112

ISBN 979-95999-5-4

PUBLIKASI ILMIAH

STRATEGI PENYEDIAAN LISTRIK NASIONAL DALAM RANGKA MENGANTISIPASI PEMANFAATAN PLTU BATUBARA SKALA KECIL, PLTN, DAN PEMBANGKIT ENERGI TERBARUKAN

EDITOR : IR. INDYAH NURDYASTUTI, APU IR. M. SIDIK BOEDOYO, M.ENG. JAKARTA, JANUARI 2005 PUSAT PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KONVERSI DAN KONSERVASI ENERGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

PUBLIKASI ILMIAH

ISBN 979-95999-5-4

STRATEGI PENYEDIAAN LISTRIK NASIONAL DALAM RANGKA MENGANTISIPASI PEMANFAATAN PLTU BATUBARA SKALA KECIL, PLTN, DAN PEMBANGKIT ENERGI TERBARUKAN

EDITOR : IR. INDYAH NURDYASTUTI, APU IR. M. SIDIK BOEDOYO, M.ENG.

JAKARTA, JANUARI 2005

PUSAT PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KONVERSI DAN KONSERVASI ENERGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Publikasi ilmiah:

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Pembangkit Energi Terbarukan
Editor: Nurdyastuti, Indyah, Ir, APU. Boedoyo, M. Sidik, Ir, M.Eng. ISBN 979-95999-5-4

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Pembangkit Energi Terbarukan
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa ijin sah dari penerbit.
Disain cover & tata letak : Supriyadi Diterbitkan oleh: Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Konversi dan Konservasi Energi, BPPT Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340 Telp. +62 (21) 316 9754 Fax. +62 (21) 316 9765

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI TOPIK PENELITIAN 1. Analisis Prakiraan Kebutuhan Energi Nasional Jangka Panjang Di Indonesia Joko Santoso dan Yudiartono Sensitifitas Analisis Potensi Produksi Pembangkit Listrik Renewable Untuk Penyediaan Wahid Listrik Indonesia La Ode Muhammad Abdul Analisis Pengaruh Konservasi Listrik Di Sektor Rumah Tangga Terhadap Total Kebutuhan Listrik Di Indonesia Erwin Siregar dan Nona Niode Analisis Dampak Penghapusan Captive Power Terhadap Sistem Kelistrikan Di Indonesia Indyah Nurdyastuti Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Di Indonesia Irawan Rahardjo dan Ira Fitriana Pengaruh Penerapan PLTU Batubara Skala Kecil Terhadap Strategi Kelistrikan Di Wilayah Timur Indonesia M. Sidik Boedoyo Analisis Dampak Kenaikan Harga Minyak Mentah Dan Batubara Terhadap Sistem Pembangkit Di Indonesia Hari Suharyono Analisis Sistem Pembangkit Listrik Di Jawa Terhadap Penyediaan Batubara Yang Tidak Terbatas (2000-2030) Adhi D. Permana dan Muchammad Muchlis Analisis Pemanfaatan Biodisel Terhadap Sistem Penyediaan Energi Endang Suarna Analisis Pengambilan Keputusan Untuk Perencanaan Pembangkit Tenaga Listrik Agus Sugiyono 1 i ii

2.

13

3.

23

4.

29

5. 6.

43 53

7.

63

8.

75

9.

87

10.

101

ii

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL JANGKA PANJANG DI INDONESIA


Joko Santosa dan Yudiartono

ABSTRACT
In forecasting the demand, Indonesia is divided into several regions. Sumatera is considered as one region; Java has three regions; Kalimantan constitutes five regions; and the rest is grouped as Other Island which comprises ten regions. The demand for each region is divided into two categories, i.e. electricity demand and non-electricity demand. The growth of electricity demand is assumed to be 7% per annum. The nonelectricity demand in transportation sector grows higher than any other sectors. The electricity demand growth for residential sector is higher than that of for non-residential. This is a reflection of the improvement of the residential economy and the change of life style. From the first to the end of the period (2000 2035), Java that its demand accounts for about 50% of total final energy demand experiences the highest energy demand growth of 5.1%.

PENDAHULUAN

Kebutuhan energi di Indonesia dibedakan atas beberapa sektor pengguna energi seperti industri, rumah tangga, transportasi, pemerintahan, dan komersial. Besarnya kebutuhan energi final terbesar pada tahun 2003 adalah sektor industri, yaitu sebesar 188,14 ribu SBM kemudian disusul sektor transportasi sebesar 185,90 ribu SBM dan sektor rumah tangga sebesar 114,97 ribu SBM. Sedangkan besarnya kebutuhan energi final per jenis energi pada tahun tersebut, adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 329,82 ribu SBM, gas bumi sebesar 63,82 ribu SBM, listrik 55,48 ribu SBM, batubara sebesar 31,13 ribu SBM, dan LPG sebesar 8,767 ribu SBM. Kebutuhan energi final tersebut dapat di suplai dari sumber energi nasional ataupun di impor dari negara lain, apabila pasokan energi nasional tidak mencukupi. Kemampuan pasokan energi nasional terkait erat dengan ketersediaan sumber daya energi dan kemampuan ekonomi nasional. Selama kurun waktu 30 tahun (2000-2003), kebutuhan energi final di Indonesia diasumsikan meningkat sebesar 5,7% per tahun dari 3.429,08 PJ pada tahun 2000 menjadi 14.089,34 PJ pada tahun 2030. Agar kebutuhan energi final yang selalu meningkat tersebut, dapat terpenuhi, dibutuhkan adanya peningkatan investasi di bidang energi di Indonesia yang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi sistem penyediaan energi nasional. Peningkatan investasi di bidang energi di Indonesia dapat dikatakan sangat tepat, mengingat Indonesia mempunyai beragam sumber daya energi fosil (batubara, gas, dan minyak bumi) serta sumber daya energi terbarukan (energi surya, energi air, panas bumi, dan angin) yang cadangannya cukup melimpah akan tetapi pemanfaatannya belum optimal, kecuali minyak bumi yang cadangannya sangat terbatas. Untuk memperoleh gambaran kebutuhan energi nasional jangka panjang per sektor pengguna energi secara menyeluruh, diperlukan adanya penelitian mengenai Analisis Prakiraan Kebutuhan Energi Nasional Jangka Panjang di Indonesia. Penelitian Analisis Prakiraan Kebutuhan Energi Nasional Jangka Panjang di Indonesia disini dilakukan dengan menggunakan metoda ekonometri dengan mengkaitkan aspek makro ekonomi seperti Produk Domestik Bruto (PDB) dan aspek demografi seperti pertumbuhan penduduk, serta mempertimbangkan pertumbuhan kebutuhan listrik nasional, ekspor dan impor energi, serta cadangan energi yang dipunyai. Dalam penelitian ini, wilayah kebutuhan energi di Indonesia dibagi menjadi beberapa wilayah untuk mempermudah dalam menganalisis prakiraan kebutuhan energi

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

nasional jangka panjang di Indonesia, khususnya dalam menentukan jenis energi yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan energi di wilayah tersebut. Hasil analisis prakiraan kebutuhan energi nasional jangka panjang di Indonesia ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan strategi penyediaan energi jangka panjang di Indonesia.

METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Wilayah Kebutuhan Energi Dalam penelitian ini, Indonesia dibagi menjadi beberapa wilayah kebutuhan energi, yaitu Pulau Sumatera (satu wilayah), Pulau Jawa (tiga wilayah, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, Pulau Kalimantan (lima wilayah, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Diluar Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), serta wilayah pulau lainnya (Other Island) yang terbagi ke dalam 10 wilayah, yaitu Pulau Sulawesi (lima wilayah, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Diluar Sulawesi Tengah), Pulau Maluku (satu wilayah), Pulau Papua (satu wilayah), Nusa Tenggara Barat (dua wilayah, yaitu Nusa Tenggara Barat dan diluar Nusa Tenggara Barat), dan Nusa Tenggara Barat Timur (satu wilayah). Setiap wilayah, kebutuhan energinya dibagi kedalam dua kategori, yaitu kebutuhan energi listrik dan kebutuhan energi bukan listrik. Kebutuhan energi listrik per wilayah dibagi menjadi kebutuhan listrik untuk rumah tangga dan kebutuhan listrik bukan untuk rumah tangga (non residential), mengingat sektor rumah tangga merupakan sektor pengguna listrik terbesar. Sedangkan kebutuhan energi bukan listrik hanya diperkirakan total untuk semua jenis energi pada semua sektor pengguna energi (rumah tangga, pertanian, industri, transportasi dan komersial). Setiap sektor pengguna energi memerlukan energi sebagai bahan bakar, kecuali beberapa industri yang memanfaatkan energi bukan hanya sebagai bahan bakar namun juga sebagai bahan baku. Tabel 1 memperlihatkan hubungan antara sektor kebutuhan energi dan klasifikasi pengguna energi yang diambil dalam penelitian ini. Tabel 1. Hubungan antara Kebutuhan Energi dan Klasifikasi Pengguna Energi per Sektor
Sektor Kebutuhan Energi Rumah Tangga Klasifikasi Pengguna Energi Bahan Bakar: Kompor Penerangan Peralatan Listrik Bahan Bakar: Bus besar dan kecil Mikrolet/KWK Mobil Penumpang Taxi Transportasi lainnya Bahan Bakar: Ketel Uap Bahan Bakar: Peralatan Listrik Peralatan Sipil Berat Bahan Bakar: Peralatan Listrik Tungku Ketel Uap Bahan Baku dan Reduktor Pupuk Logam Bahan Bakar: Peralatan Listrik Ketel Uap

Transportasi

Pertanian Konstruksi

Industri

Jasa atau Komersial

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

2.2 Proyeksi Kebutuhan Energi Kebutuhan energi pada setiap sektor diproyeksikan berdasarkan data historis yang dapat diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Depertemen Perindustrian dan Perdagangan, Statistik BPS, Pertamina, PGN, Statistik PLN, BPS, Dirjen Migas, DJLPE, IPB, Biro Perencanaan Deptamben, DLLAJR, Departemen Perhubungan, Ditlantas Mabes Polri, Pertamina dan PT Kereta Api. 2.2.1 Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor Industri Proyeksi kebutuhan energi di sektor industri diperkirakan berdasarkan perkiraan elastisitas kebutuhan energi final sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto dengan asumsi elastisitas di Indonesia secara bertahap besarnya sama dengan elastisitas negara maju. Selain itu prakiraan elastisitas dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2035 juga mengacu elastisitas dari berbagai negara yang mempunyai kondisi seperti Indonesia. Laju pertumbuhan PDB diperkirakan berdasarkan data input-output (I-O), ekspor impor barang dan jasa yang diambil dari BPS tahun 2000 yang besarnya ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Proyeksi Pertumbuhan PDB Indonesia Pada Harga Konstan Tahun 2000 *
Tahun Pertengahan Periode 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 PDB (Milyar Rupiah) 1.266.248 1.530.264 1.902.896 2.428.324 3.179.678 4.244.225 5.679.731 (Juta US Dollar) 153.156 185090 230.161 293.713 384.591 513.351 686.980 Pertumbuhan PDB (%)

3,20 4,12 4,66 5,20 5,74 6,00 6,00 6,00

2035 7.600.761 919.334 * 1 USD = Rp. 8.268,Sumber: BPS, 2002 dan BPPT, 2004

Dengan pendekatan elastisitas dan perkiraan PDB dari tahun 2005 sampai dengan 2035 dapat diperkirakan kebutuhan energi final sektor industri pada kurun waktu 2005 sampai dengan 2035 yang diperhitungkan berdasarkan Persamaan 1. Kebutuhan energi final sektor industri = Perkiraan Elastisitas * PDB (1)

Prakiraan kebutuhan energi di sektor industri dalam penelitian ini diperhitungkan berdasarkan kebutuhan energi useful. Kebutuhan energi useful diperhitungkan berdasarkan kebutuhan energi final per jenis energi dan efisiensi peralatan (tungku dan ketel uap) yang mengkonsumsi energi dengan menggunakan Persamaan 2. Kebutuhan energi useful = Kebutuhan energi final x Efisiensi per jenis peralatan (2)

2.2.2 Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor Komersial, dan Pertanian Listrik merupakan jenis energi yang banyak dikonsumsi di sektor komersial dan pertanian, sehingga untuk memperkiran proyeksi kebutuhan energi di sektor ini hanya diperlukan data konsumsi listrik yang diambil dari Statistik PLN. Laju pertumbuhan kebutuhan energi final di sektor komersial dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2035 diperkirakan sebesar 7% per tahun yang diambil berdasarkan laju pertumbuhan konsumsi listrik dari tahun 1990 sampai tahun 2003.

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

2.2.3 Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor Transportasi dan Rumah Tangga Prakiraan kebutuhan energi di sektor transportasi dan rumah tangga diproyeksikan berdasarkan intensitas energi per jenis peralatan (alat transportasi, kompor, lampu, dan semua peralatan listrik di rumah tangga) yang mengkonsumsi energi. Intensitas energi per jenis peralatan per jenis energi diperhitungkan berdasarkan data historis. Data historis yang diperlukan pada sektor transportasi adalah: Jumlah alat transportasi yang terdaftar per jenis model transportasi (darat, laut, dan udara); Jelajah kendaraan per tahun; Konsumsi bahan bakar spesifik tiap 100 km; dan. Efisiensi kendaraan Sedangkan data historis yang diperlukan untuk memproyeksikan kebutuhan energi pada sektor rumah tangga (RT) adalah: Konsumsi energi final untuk penerangan, memasak dan non memasak; Statistik penjualan bahan bakar; Jumlah penduduk Indonesia; Prakiraan laju pertumbuhan penduduk; Pangsa jumlah penduduk kota dan desa per wilayah; dan Jumlah RT desa dan kota per wilayah. Persamaan 3 digunakan untuk menghitung intensitas energi di sektor transportasi yang selanjutnya intensitas energi per jenis kendaraan dipakai untuk memperkirakan kebutuhan energi sektor transportasi dari tahun 2005 hingga tahun 2035. Konsumsi bahan bakar per jenis kendaraan Intensitas energi per jenis kendaraan = ------------------------------------------------------Jarak tempuh dalam 1 tahun

(3)

Seperti halnya sektor industri, kebutuhan energi dari tahun 2005 hingga tahun 2035 di sektor transportasi dalam penelitian ini juga diperhitungkan berdasarkan kebutuhan energi useful seperti ditunjukkan pada Persaman 4. Total proyeksi kebutuhan energi useful sektor transportasi (tahun 2005 hingga tahun 2035 = ! Banyaknya kendaraan*Jarak tempuh dalam 1 tahun*intensitas energi*Efisiensi kendaraan

(4)

Prakiraan kebutuhan energi final di sektor rumah tangga dari tahun 2005 hingga tahun 2035 diperhitungkan berdasarkan intensitas energi per jenis peralatan RT (kompor, lampu, dan peralatan lainnya) yang diperhitungkan berdasarkan Persamaan 5 dan banyaknya RT adalah diperhitungkan dari proyeksi penduduk dibagi dengan 5. Konsumsi energi final per jenis peralatan RT Intensitas energi per jenis peralatan RT = ----------------------------------------------------------Banyaknya RT

(5)

Prakiraan laju pertumbuhan penduduk Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2035 diasumsikan berdasarkan data historis yang cenderung mengalami penurunan untuk setiap 10 tahun periode dengan perbedaan berkisar antara 0,3 1,5 % (Tabel 3).

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 3. Populasi Penduduk Indonesia per Wilayah (Tahun 2000 2035)


Tahun Pertengahan Periode 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Sumatra 43.309.533 45.818.918 48.279.621 50.708.605 53.121.146 55.538.398 57.978.107 Jawa 121.351.376 128.031.884 134.565.405 140.998.722 147.373.582 153.746.701 160.165.310 166.693.733 Kalimantan 11.332.204 12.220.604 13.108.126 13.999.567 14.899.575 15.815.497 16.753.857 17.724.251 Other Island 30.272.839 32.747.910 35.228.025 37.726.142 40.254.982 42.835.066 45.484.796 48.231.466 Indonesia 206.265.952 218.819.316 231.181.176 243.433.037 255.649.285 267.935.662 280.382.070 293.114.158 Pertumbuhan (%) 1,24 1,19 1,11 1,04 0,98 0,94 0,91 0,89

2035 60.464.708 Sumber: BPS, yang diolah

ANALISIS PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI

3.1 Kebutuhan Energi Final Di Indonesia Menurut Wilayah Dan Menurut Sektor Proyeksi kebutuhan energi final di Indonesia per wilayah mulai tahun 2000 sampai dengan 2035 ditunjukkan pada Grafik 1.
18000 16000 Final Demand (PJ/a) 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035 Other Island Kalimantan Sumatra Java

Year

Grafik 1. Kebutuhan Energi Final Per Wilayah (PJ/a) Grafik 1 menunjukkan bahwa pangsa kebutuhan energi final untuk wilayah Kalimantan selama kurun waktu 35 tahun (2000-2035) adalah sekitar 8% dari total kebutuhan energi final. Kebutuhan energi final untuk wilayah Kalimantan paling kecil dibandingkan dengan wilayah lainnya, sedangkan Jawa mempunyai pangsa kebutuhan energi yang paling besar, yaitu sekitar 50% dari total kebutuhan energi final di Indonesia. Hal tersebut disebabkan semua kegiatan yang mendorong peningkatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa, sehingga laju pertumbuhan kebutuhan energi di Pulau Jawa dari tahun 2000-2035 mencapai sekitar 5,1% per tahun. Sebaliknya walaupun Pulau Sumatra dan Kalimantan kaya sumber energi, namun industri yang ada di ke dua wilayah tersebut tidak mengalami perkembangan yang pesat, selain itu penduduknya tidak padat seperti penduduk di Pulau Jawa yang menyebabkan laju pertumbuhan kebutuhan energi di Pulau Sumatra pada kurun waktu tersebut hanya mencapai sekitar 4,5% per tahun. Dengan adanya perbedaan laju pertumbuhan kebutuhan energi final di semua wilayah Indonesia menyebabkan pertumbuhan kebutuhan energi rata-rata untuk semua wilayah adalah sebesar 4,8% per tahun lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan kebutuhan energi di Pulau Jawa. Kebutuhan listrik untuk rumah tangga lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan listrik bukan untuk rumah tangga (non residential), mengingat sektor rumah tangga merupakan sektor penguna listrik

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

terbesar. Sedangkan kebutuhan energi bukan listrik diperkirakan untuk setiap sektor yang mengkonsumsi energi tidak termasuk listrik, yaitu rumah tangga, pertanian, industri, transportasi dan komersial. Sektor industri adalah sektor yang banyak mengkonsumsi energi, karena energi di sektor ini bukan hanya dipakai sebagai bahan bakar tetapi juga dimanfaatkan sebagai bahan baku. Setelah itu disusul oleh sektor transportasi dan rumah tangga yang dalam kenyataannya sektor transportasi merupakan sektor penunjang dari semua kegiatan, sedangkan dengan pertambahan penduduk akan meningkatkan kebutuhan energi di sektor RT. Grafik 2 menunjukkan kebutuhan energi final menurut sektor dari tahun 2000 sampai dengan 2035.
18000 16000 14000 Final Demand (PJ/a) 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035 Year
Non Electricity for Agriculture Non Electricity for Industry Non Electricity for Services Non Electricity for Residential Electricity for Non Residential Non Electricity for Construction Non Electricity for Minning Non Electricity for Transport Electricity for Residential

Grafik 2. Kebutuhan Energi Final Di Indonesia Menurut Sektor (PJ/a) 3.2 Kebutuhan Energi Di Berbagai Sektor Untuk Wilayah Jawa 3.2.1 Kebutuhan Energi Sektor Industri Kebutuhan energi useful untuk sektor industri di Pulau Jawa, baik untuk ketel uap (indirect heat) maupun tungku (direct heat) adalah seperti yang digambarkan pada Grafik 3.

4500 Useful Energy Demand (PJ/a) 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2000 2005 2010 2015 2020 Year 2025 2030 2035

Industry Direct Heat BBM/Gas Central Jawa Industry Direct Heat BBM/Gas West Jawa Industry Indirect Heat East Jawa

Industry Direct Heat BBM/Gas East Jawa Industry Indirect Heat Central Jawa Industry Indirect Heat West Jawa

Grafik 3. Kebutuhan Energi Useful Untuk Boiler dan Furnace di P. Jawa (PJ/a)

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Kebutuhan energi untuk industri yang menggunakan ketel uap (indirect heat) dan tungku (direct heat) di Jawa Barat lebih tinggi dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan prakiraan pertumbuhan selama periode 2000 s.d. 2035 adalah sebesar 5,2% per tahun untuk industri yang menggunakan ketel uap dan 5,4% per tahun untuk tungku. Lebih tingginya kebutuhan energi untuk industri di Jawa Barat termasuk Jakarta disebabkan Jawa Barat termasuk Jakarta mempunyai fasililitas yang berupa prasarana fisik, non-fisik, dan sarana pemasaran yang lebih baik daripada daerah Jawa lainnya, sehingga perkembangan industrinyapun dapat meningkat sesuai yang diharapkan. 3.2.2 Kebutuhan Energi Sektor Transportasi Kebutuhan energi untuk sektor transportasi di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terdiri dari kebutuhan energi untuk bus umum ukuran besar, bus umum ukuran kecil (metromini), mikrolet, taxi, dan kendaraan pribadi. Kebutuhan energi untuk bus besar, bus kecil, mikrolet dan kendaraan pribadi di Jawa Barat jauh lebih tinggi dibanding dengan wilayah Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Hal tersebut dimungkinkan selain Jawa Barat mempunyai kegiatan yang padat guna menunjang perekonomian nasional dan daerah, juga jarak tempuh yang relatif jauh. Selain itu, Jawa Barat termasuk Jakarta mempunyai tingkat pendapatan dan PDRB yang lebih tinggi dibanding daerah Jawa lainnya dan mobilitas penduduk di Jawa Barat juga paling tinggi. Hal ini akan berakibat pada tingginya kebutuhan energi di sektor transportasi di Jawa Barat. Kebutuhan energi untuk bus ukuran besar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur diasumsikan tumbuh sebesar 4,5% per tahun. Pada tahun 2000, kebutuhan energi untuk bus ukuran besar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing adalah sebesar 2,3 PJ 0,2 PJ dan 0,1 PJ. Seperti halnya bus ukuran besar, untuk bus ukuran kecil keberadaannya juga sangat diperlukan untuk memperlancar kegiatan sampai kepelosok daerah di wilayah Jawa, sehingga kebutuhan energinya di wilayah Jawa Barat diasumsikan meningkat lebih dari 5 kali lipat dari sebesar 10 PJ pada awal periode dan menjadi sebesar 52,9 PJ pada akhir periode. Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk jenis transportasi yang sama, kebutuhan energi masing-masing diasumsikan tumbuh sebesar 4,9% per tahun dari sebesar 0,8 PJ dan 0,4 PJ pada awal periode. Kebutuhan energi untuk jenis kendaraan pribadi pada wilayah Jawa Timur pada awal periode adalah sepertiga dari kebutuhan energi untuk jenis kendaraan pribadi di wilayah Jawa Barat. Kebutuhan energi untuk jenis kendaraan pribadi pada wilayah Jawa Tengah pada periode yang sama hanya seperenam dari kebutuhan energi untuk jenis kendaraan pribadi di wilayah Jawa Barat. Prakiraan pertumbuhan kebutuhan energi untuk jenis kendaraan pribadi pada ketiga wilayah tersebut diasumsikan sebesar 5% per tahun (Grafik 4).
250

Useful Energy Demand (BVkm/a)

200

150

100

50

0 2000 2005 2010 2015 2020 Year 2025 2030 2035

Transport Big Public Bus Central Jawa Transport Mikrolet/KWK Central Jawa Transport Car Central Jawa Transport Small Public Bus East Jawa Transport Taxi East Jawa Transport Big Public Bus West Jawa Transport Mikrolet/KWK West Jawa Transport Car West Jawa

Transport Small Public Bus Central Jawa Transport Taxi Central Jawa Transport Big Public Bus East Jawa Transport Mikrolet/KWK East Jawa Transport Car East Jawa Transport Small Public Bus West Jawa Transport Taxi West Jawa

Grafik 4. Energi Useful untuk Sektor Transportasi Darat (BVkm/th)

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

3.2.3 Kebutuhan Listrik Kebutuhan listrik untuk sektor bukan rumah tangga di Pulau Jawa jauh lebih tinggi dibanding dengan kebutuhan listrik sektor rumah tangga, dengan pangsa lebih dari 80%, mengingat pemakaian listrik di sektor RT masih tergolong kurang efisien. Prakiraan pertumbuhan energi listrik untuk sektor rumah tangga di pulau Jawa adalah sebesar 7,3% per tahun, sedikit lebih rendah dibanding prakiraan pertumbuhan energi listrik untuk sektor bukan rumah tangga, yaitu sebesar 7,6%. Hal ini disebabkan dengan semakin tingginya harga jual listrik, konsumen rumah tangga berusaha untuk melakukan penghematan penggunaan listrik, sehingga sedikit demi sedikit penggunaan listrik di sektor ini akan menjadi lebih efisien. Sebaliknya untuk sektor industri, dengan hilangnya pengaruh krisis ekonomi, industri mulai tumbuh kembali yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan listrik di sektor ini. Grafik 5 menunjukkan kebutuhan listrik di wilayah Jawa dari tahun 2000 hingga 2035.
4000 3500 3000 Kebutuhan Energi Listrik 2500 2000 1500 1000 500 0 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035

Tahun Electricity Non HH Jawa Electricity HH Jawa

Grafik 5. Kebutuhan Listrik Utk Wilayah Jawa (PJ/a) dari Tahun 2000 hingga 2035 3.3 Kebutuhan Energi Wilayah Sumatra Dalam penelitian ini Pulau Sumatera hanya diasumsikan menjadi satu wilayah, sedangkan kebutuhan energi di pulau ini dibagi kedalam beberapa sektor, yaitu sektor pertanian, konstruksi, listrik untuk rumah tangga, listrik untuk bukan rumah tangga, rumah tangga bukan listrik, industri manufaktur, pertambangan, jasa, dan transport. Grafik 6 menunjukkan kebutuhan energi final di wilayah Sumatra dari tahun 2000 hingga 2035.
5000 4500 4000 3500 Final D em and 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2000 2005 2010 2015 Tahun Agriculture Manufacturing Industry Residential Electricity Construction Mining Services Electricity Non HH Residential Non Electricity Transport 2020 2025 2030 2035

Grafik 6. Kebutuhan Energi Final Menurut Sektor Untuk Wilayah Sumatra (PJ/a)

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Grafik 6 menunjukkan bahwa kebutuhan energi terbesar di wilayah Sumatra pada setiap periode adalah sektor industri manufaktur, dengan pangsa lebih dari 35% dan diperkirakan selama kurun waktu 35 tahun tumbuh sebesar 3,9% per tahun. Sektor rumah tangga mempunyai kebutuhan listrik yang relatif tinggi dibanding sektor lainnya. Kebutuhan listrik di sektor RT di Sumatra diperkirakan tumbuh sebesar 11,5% per tahun selama kurun waktu 35 tahun, sehingga pada akhir periode kebutuhan listrik di sektor rumah tangga meningkat 44 kali lipat dibanding awal periode. Ditinjau dari segi penggunaan energi, sektor industri mempunyai pangsa terbesar dibandingkan kebutuhan energi sektor lainnya, sedangkan ditinjau dari pertumbuhan kebutuhan energi di pulau ini, sektor rumah tangga mempunyai peningkatan pertumbuhan kebutuhan energi paling tinggi. Hal ini bisa dimengerti karena konsumsi listrik per rumah tangga di Sumatra saat ini masih kecil apabila dibandingkan dengan Jawa. Seiring dengan semakin meningkatnya tingkat pendapatan rumah tangga, semakin meningkat pula kebutuhan akan listrik di RT. 3.4 Kebutuhan Energi Wilayah Kalimantan Seperti telah disebutkan pada awal makalah, Pulau Kalimantan dibagi kedalam lima wilayah yaitu wilayah KalSel, KalBar, KalTim, KalTeng, dan wilayah luar KalSel. Kebutuhan energi untuk semua sektor dan kebutuhan listrik untuk rumah tangga dan bukan rumah tangga di setiap wilayah Kalimantan dipetimbangkan, namun yang ditunjukkan adalah total kebutuhan energi final dan kebutuhan listrik untuk semua wilayah Kalimantan. 3.4.1 Kebutuhan energi Final Kebutuhan energi final sektor pertanian di wilayah Kalimantan diperkirakan tumbuh lebih kecil dibanding sektor pertambangan, sektor industri manufaktur, dan sektor transportasi, yaitu hanya sebesar 1,8% per tahun dari tahun 2000 hingga 2035. Hal ini disebabkan kondisi geografi dan demografi di Kalimantan tidak begitu mendukung sektor pertanian. Kebutuhan energi final yang paling besar di wilayah Kalimantan adalah sektor industri manufaktur, dengan pangsa mendekati 40%. Pada awal periode, sektor manufaktur di seluruh wilayah Kalimantan membutuhkan sekitar 109 PJ dan meningkat menjadi 376 PJ pada akhir periode, dengan prakiraan pertumbuhan sebesar 3,6% per tahun dari tahun 2000 hingga 2035. Meskipun sektor industri mengkonsumsi energi paling besar, namun selama kurun waktu tersebut, kebutuhan energi sektor transportasi dan pertambangan meningkat lebih tinggi dan diperkirakan masing-masing selama kurun waktu tersebut, tumbuh sebesar 5,6% dan 5,2% per tahun. Sektor transportasi dan sektor pertambangan di wilayah Kalimantan menyumbangkan nilai yang besar terhadap perekonomian daerah, karena Kalimantan adalah pulau yang cukup luas dan kaya akan bahan tambang. Kebutuhan energi final per sektor dari tahun 2000 hingga 2035 ditunjukkan pada Grafik 7.
1400

1200

Kebutuhan Energi Final

1000

800

600

400

200

0
2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035

Tahun Agriculture Kal. Residential Non Elec. Kal. Construction Kal. Services Kal. Manufacturing Industry Kal. Transport Kal. Mining Kal.

Grafik 7. Kebutuhan Energi Final Menurut Sektor Di Wilayah Kalimantan

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

3.4.1 Kebutuhan Listrik Kebutuhan listrik total paling besar di wilayah Kalimantan adalah wilayah Kalimantan Selatan, sedangkan wilayah Kalimantan tengah mempunyai kebutuhan listrik total paling rendah dibanding wilayah lain di Kalimantan. Banyaknya industri pertambangan di Kalimantan Selatan menyebabkan tingkat kebutuhan listriknya paling tinggi. Prakiraan pertumbuhan kebutuhan listrik non rumah tangga adalah sebesar 4,2% per tahun untuk semua wilayah, kecuali wilayah Kalimantan Barat sebesar 6,5% per tahun dari tahun 2000 hingga 2035. Prakiraan pertumbuhan energi listrik untuk sektor rumah tangga dalam kurun waktu tersebut di semua wilayah Kalimantan adalah sebesar 9,4% per tahun. Dengan prasarana fisik maupun non-fisik yang tidak begitu mendukung di Kalimantan menyebabkan kebutuhan listrik untuk sektor non-rumah tangga tidak setinggi sektor rumah tangga. Tingginya pertumbuhan listrik sektor rumah tangga disebabkan karena konsumsi listrik per rumah tangga di Kalimantan masih rendah. Kebutuhan listrik untuk wilayah Kalimantan ditunjukkan pada Grafik 8.

250

Kebutuhan Energi Listrik

200

150

100

50

2000

2005

2010

2015 Tahun

2020

2025

2030

2035

Elec. Non HH Central Kal. Elec. Non HH East Kal. Elec. Non HH Other South Kal. Elec. Non HH South Kal. Elec. Non HH West Kal.

Residential Residential Residential Residential Residential

Elec. Central Kal. Elec. East Kal. Elec. Other South Kal. Elec. South Kal. Elec. West Kal.

Grafik 8. Kebutuhan Listrik Untuk Wilayah Kalimantan (PJ/a) 3.5 Kebutuhan Energi Wilayah Pulau Lainnya (Other Island) Wilayah Other Island pada penelitian ini dibagi menjadi 5 wilayah besar, yaitu Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Pulau Papua dan kepulauan Maluku. 3.5.1 Kebutuhan Energi Di luar Listrik Untuk Wilayah Other Island Kebutuhan energi untuk sektor rumah tangga bukan listrik mempunyai pangsa paling besar dibanding sektor lain, yaitu lebih dari 50% dengan prakiraan pertumbuhan sebesar 4,6 % per tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2035. Sektor transportasi mempunyai prakiraan pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 6% per tahun selama kurun waktu tersebut, dengan kebutuhan energi total sebesar 62,38 PJ pada awal periode (tahun 2000) dan meningkat menjadi sekitar 473 PJ di akhir periode (tahun 2035) atau meningkat lebih dari tujuh kali lipat. Hal tersebut ditunjang dengan kurang begitu berkembangnya sektor industri di wilayah ini, sehingga dapat dikatakan wajar bila pangsa terbesar dipunyai oleh sektor rumah tangga non listrik, seperti kebutuhan energi untuk memasak dan penerangan non listrik. Sektor jasa di wilayah other island ini tingkat prakiraan pertumbuhannya paling kecil, hanya 1,1% per tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2035. Sektor pertanianpun mempunyai prakiraan pertumbuhan cukup kecil yaitu 2% per tahun selama kurun waktu tersebut dengan pangsa hanya 3,6%. Kecilnya laju pertumbuhan energi non listrik pada sektor komersial dan pertanian di wilayah other Island bisa dimengerti, karena sektor komersial biasanya tumbuh tinggi di daerah yang sudah sangat berkembang seperti di Jawa. Sedangkan sektor pertanian di wilayah other Island masih sangat tradisional sehingga kebutuhan energinya tidak begitu tinggi. Grafik 9 menunjukkan menunjukkan kebutuhan energi final di other Island.

10

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

2500

2000 Kebutuhan Energi Final

1500

1000

500

0
2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035

Tahun Agriculture Other Island Mining Other Island Transport Other Island Construction Other Island Residential Non Electricity Other Island Manufacturing Industry Other Island Services Other Island

Gambar 9. Kebutuhan Energi Final Menurut Sektor Wilayah Other Island 3.5.2 Kebutuhan listrik wilayah Sulawesi Pulau Sulawesi terbagi kedalam lima wilayah, yaitu wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan wilayah luar Sulawesi Tengah. Kebutuhan listrik, baik untuk rumah tangga maupun bukan rumah tangga, untuk wilayah Sulawesi Selatan mempunyai nilai yang paling tinggi, mendekati 10,7 PJ pada awal periode (tahun 2000) dan meningkat lebih dari 8 kali lipat pada akhir periode (tahun 2035), dengan prakiraan pertumbuhan listrik sebesar 6,3% per tahun selama kurun waktu tersebut. Wilayah Sulawesi Tengah mempunyai kebutuhan listrik total terendah, hanya 0,67 PJ pada awal periode. Dibanding daerah Sulawesi lainnya, Sulawesi Selatan merupakan daerah yang paling berkembang dan terbuka, hal ini berpengaruh pada perkembangan semua sektor yang ada di wilayah ini seperti industri, rumah tangga dan lain-lain. Dengan alasan tersebut sehingga tidak mengherankan jika daerah Sulawesi Selatan membutuhkan listrik yang paling besar. 3.5.3 Kebutuhan Listrik Wilayah Nusa Tenggara Di Nusa Tenggara terbagi kedalam tiga wilayah, yaitu wilayah Nusa Tenggara Barat, wilayah luar Nusa Tenggara Barat, dan wilayah Nusa Tenggara Timur. Kebutuhan listrik total di wilayah Nusa Tenggara nilainya tidak berbeda jauh antara satu dengan lainnya, sedangkan pertumbuhan listrik untuk rumah tangga adalah sebesar 9,6% per tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2035. Nilai ini sama dengan prakiraan pertumbuhan listrik rumah tangga untuk wilayah Sulawesi. Jika dilihat prasarana fisik dan non-fisik serta tingkat PDRB di tiga wilayah di Nusa Tenggara mempunyai kondisi yang sama dan perkembangan industri juga tidak begitu mengesankan, sehingga kebutuhan listrik untuk rumah tangga meningkat cepat karena konsumsi listrik spesifik per rumah tangga dan rasio elektrifikasi di wilayah ini masih sangat rendah. 3.5.4 Kebutuhan Listrik Wilayah Maluku dan Papua Kebutuhan listrik total wilayah Papua lebih tinggi dibanding dengan kebutuhan listrik untuk wilayah Maluku, yaitu pada awal periode sebesar 1,2 PJ untuk wilayah Maluku dan 1,95 PJ untuk wilayah Papua. Sedangkan prakiraan pertumbuhan listrik khusus untuk rumah tangga di kedua wilayah tersebut diasumsikan sama, yaitu sebesar 9,6%. Kondisi wilayah Maluku dan Papua tidak jauh berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara karena masih berada di Indonesia Bagian Timur sehingga laju kebutuhan listrik juga mempunyai kesamaan.

KESIMPULAN

Dengan laju pertumbuhan penduduk yang cenderung turun dari 1,24% menjadi 0,89% dan pertumbuhan PDB yang meningkat sekitar 3,2% 6% per tahun dari awal hingga akhir periode (2000 2035), menyebabkan kebutuhan energi di Indonesia diasumsikan naik rata-rata sebesar 4,8% per

11

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

tahun selama kurun waktu tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa setelah dilanda krisis ekonomi, semua sektor yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan, industri, rumah tangga, transportasi, konstruksi dan jasa mulai tumbuh kembali. Kebutuhan energi di Jawa mengalami pertumbuhan tertinggi sekitar 5,1% dan Sumatra yang terkecil sekitar 4,5%. Mengenai pangsa kebutuhan energi, Jawa mempunyai pangsa terbesar sekitar 50% sedangkan pangsa terkecil ada pada Kalimantan, sekitar 8%. Jika dilihat menurut sektor, sektor transportasi tumbuh paling tinggi. Seiring dengan meningkatnya PDB, kebutuhan akan transportasi juga semakin tinggi. Pertumbuhan kebutuhan energi listrik untuk sektor rumah tangga lebih tinggi daripada untuk sektor bukan rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ekonomi dan mutu kehidupan dari rumah tangga di Indonesia semakin membaik. DAFTAR PUSTAKA 1. AUSAID ASEAN. The Future Technologies for Power Plant in Indonesian Regions with Particular Reference to the Use of Renewable Energy and Small Scale Coal Steam Power Plant. AAECP Energy Policy and Systems Analysis Project, Third National Policy Study for Indonesia, December 2004. 2. KFA BPPT. Energy Strategies Energy R+D Strategies Technology Assessment for Indonesia, Energy Demand: Analysis, Data and Modeling. February 1986. 3. Nona Niode dan Endang Suarna. Analisis Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi setelah Krisis dan Kaitannya dengan Kebutuhan Energi nasional, Publikasi Ilmiah, BPPT, Jakarta, April 2000.

12

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

SENSITIVITAS ANALISIS POTENSI PRODUKSI PEMBANGKIT LISTRIK RENEWABLE UNTUK PENYEDIAAN LISTRIK INDONESIA
La Ode Muhammad Abdul Wahid

ABSTRACT
Electricity demand has been estimated to grow in the growth rate of 7.1%/year from 2000 to 2025. Therefore, an increase of electricity generation capacity from 39 GW in 2000 to 142 GW in 2025 is needed to meet the increase of this electricity demand. Renewable energy for electricity generation would be 4.04 GW of the total generation capacity in 2020 or 2.48 GW additional generation capacity from total electricity generation capacity of 2000. The National Energy Policy has stated that electricity generation from renewable energy is targeted to be 5% of the total national electricity generation capacity in the future. This target should be answered whether can be achieved or not. The target can be achieved, if additional electricity generation from renewable such as geothermal, micro hydro, and solar energy become the priority to be used for electricity generation. In consequence, as these renewable sources are still considered not economically competitive, an incentive for using the renewable energy source for power generation is needed to be competed with others energy sources for power generation.

PENDAHULUAN

Dalam Kebijakan Energi Nasional, (KEN), disebutkan bahwa pemanfaatan energi baru dan sumberdaya energi terbarukan, seperti tenaga air termasuk minihidro, panasbumi, biomasa, angin, gelombang, dan matahari sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan perlu mendapat perhatian lebih agar pemanfaatannya dapat maksimal. Sejauh ini, penggunaan energi baru dan sumberdaya energi terbarukan relatif terbatas, apalagi biaya pembangkitan listrik berbahan bakar energi tersebut relatif lebih mahal dibanding penggunaan energi fosil. Namun, sejalan dengan meningkatnya harga bahan bakar energi fosil (batubara, BBM, dan gas), dan timbulnya isu lingkungan, baik yang bersifat lokal maupun global, menyebabkan prospek pemanfaatan energi baru dan terbarukan menjadi terbuka. Dalam upaya mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan, KEN menetapkan target pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebagai bahan bakar pembangkit listrik pada tahun 2020 adalah sebesar 5% terhadap total produksi listrik nasional. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena pada tahun 2000 kapasitas pembangkit listrik dengan bahan bakar energi baru dan terbarukan baru mencapai sekitar 4% terhadap total kapasitas pembangkit listrik nasional. Kapasitas ini tidak termasuk kapasitas PLTA di atas 10 MW. Disamping itu, kebutuhan listrik akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan membaiknya pendapatan masyarakat yang mengakibatkan jumlah kapasitas pembangkit listrik dengan bahan bakar energi baru dan terbarukan juga akan meningkat yang pada tahun 2000 baru mencapai sekitar 1,56 GW. Persoalan lain yang menjadi perhatian adalah terbatasnya potensi energi baru dan terbarukan. Potensi minihidro dan biomasa relatif kecil, cadangan panasbumi dapat mencapai 7 GW, sedangkan potensi tenaga surya tidak terbatas. Melihat kondisi pertumbuhan kebutuhan listrik, terbatasnya cadangan energi baru dan terbarukan, dan adanya target KEN tahun 2020, perlu dilakukan analisis kemampuan produksi pembangkit listrik berbahan bakar energi baru dan terbarukan, untuk mengetahui apakah target produksi listrik dari jenis pembangkit ini pada tahun 2020 dapat tercapai atau tidak.

13

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam melakukan analisis ini, kebutuhan listrik yang diasumsikan tumbuh rata-rata 7,1% per tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2025 akan dipenuhi oleh jenis pembangkit yang bervariasi mulai dari pembangkit berbahan bakar fosil dan berbahan bakar energi terbarukan. Pilihan jenis pembangkit tersebut sesuai dengan prinsip least-cost melalui hasil keluaran Model Optimasi MARKAL dengan menggunakan teknik linier programming. Untuk mengetahui potensi pemanfaatan energi terbarukan, cadangan energi terbarukan dimasukkan sebagai input dalam data dasar sesuai dengan besaran potensi cadangan terbukti masing-masing energi terbarukan. Batasan kapasitas pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, diantaranya berupa pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), tenasa surya (PLTS), biomasa (PLTB), limbah sampah (PLTL), minihidro (PLTM) diasumsikan dengan mempertimbangkan KEN. Dalam hal ini kapasitas PLTM dibatasi di bawah 10 MW, sedangkan kapasitas pembangkit lainya tidak diberikan pembatasan. Kelima jenis pembangkit ini dalam makalah ini disebut pembangkit listrik tenaga renewable yang selanjutnya disingkat PLTR. Data dasar, selain mempertimbangkan cadangan energi terbarukan juga mempertimbangkan beberapa asumsi, diantaranya harga minyak mentah (28 $/barrel), harga batubara (29 $/ton), kapasitas pelabuhan penerima batubara di Jawa terbatas, jaringan listrik dan pipa nasional sesuai rencana, ekspor LNG dan gas sesuai kontrak, serta pemanfaatan LNG untuk kebutuhan domestik. Dalam KEN, target produksi listrik yang dihasilkan PLTR pada tahun 2020 mencapai 5% terhadap total produksi listrik nasional. Untuk menganalisis apakah target tersebut dapat tercapai, maka dilbuat beberapa kasus berdasarkan perbedaan target produksi listrik PLTR pada tahun 2010, 2015, dan 2020. Target produksi listrik PLTR diasumsikan mulai dari 3%, 4%, 5%, 6%, dan 7%, sehingga total kasus yang diambil 15 kasus. Pada diagram alir analisis kemampuan produksi pembangkit listrik berbahan bakar energi baru dan terbarukan dengan menggunakan model MARKAL yang ditunjukkan pada Gambar 1, 15 kasus tersebut dinyatakan dalam kasus lainnya.

Gambar 1. Diagram Alir Analisis Kemampuan Produksi Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Energi Baru dan Terbarukan dengan Menggunakan Model MARKAL Total kasus yang dijadikan bahan analisis adalah 16 kasus (1 kasus dasar + 15 kasus lainnya) yang namanya didasarkan pada jenis energi terbarukan (RNW) yang diikuti dengan tahun target mulai dilakukan yang dinyatakan dalam angka, yaitu angka 1 untuk tahun 2020, angka 2 untuk tahun 2015, dan angka 3 untuk tahun 2010, dan selanjutnya diikuti dengan besarnya target yang juga dinyatakan

14

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

dalam angka sesuai besarnya target. Sebagai contoh, Kasus RNW15 adalah Kasus PLTR pada tahun 2020 (angka 1) dengan target produksi listrik PLTR sebesar 5% (angka 5), Kasus RNW23 adalah kasus PLTR pada tahun 2015 (angka 2) dengan target produksi listrik PLTR sebesar 3% (angka 3), serta Kasus RNW37 adalah Kasus PLTR pada tahun 2010 (angka 3) dengan target produksi listrik PLTR sebesar 7% (angka 7). Dengan berbagai variasi kasus produksi listrik PLTR tersebut akan diperoleh gambaran apakah target KEN reasionable atau tidak, dan apakah target KEN masih dapat ditingkatkan bahkan diberlakukan lebih awal (tahun 2010 atau tahun 2015) sesuai dengan kondisi cadangan terbukti energi terbarukan saat ini. 3 HASIL PENELITIAN

3.1 Total Biaya Sistem untuk Semua Kasus Hasil run Model Optimasi MARKAL memperlihatkan bahwa total biaya sistem untuk ke 16 kasus bervariasi ditunjukkan pada Grafik 1. Grafik 1 memperlihatkan bahwa total biaya sistem akibat produksi listrik sebesar 5% terhadap total produksi listrik nasional pada tahun 2020 (RNW15) besarnya sama dengan total biaya sistem kasus dasar (base). Total biaya sistem kasus dasar adalah sebesar 678.140 juta dollar. Total biaya sistem merupakan biaya yang diperlukan akibat pemanfaatan energi, mulai dari penambangan, pengangkutan, pengolahan dan konversi, sampai ke penggunaan energi. Selain itu Grafik 1 juga memperlihatkan bahwa produksi listrik berbanding lurus dengan total biaya sistem, sehingga semakin banyak produksi listrik yang dihasilkan oleh PLTR, semakin besar pula total biaya sistem. Begitupun, jika waktu produksi listrik PLTR dipercepat akan mengakibatkan total biaya sistem tinggi. Fenomena di atas memperlihatkan bahwa target KEN pada tahun 2020 sebesar 5% produksi listrik nasional dipasok oleh PLTR secara ekonomi dapat tercapai. Apabila besaran target tersebut ditingkatkan menjadi 6% dan 7% atau waktu pencapaian target tersebut dipercepat (2010 atau 2015), akan meningkatan total biaya sistem penyediaan energi nasional yang diakibatkan dari pemanfaatan PLTR tidak kompetitif dibanding dengan pemanfaatan energi fosil sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
678400 678350 678300 Juta Dollar 678250 678200 678150 678100 678050 678000 BA SE

Grafik 1. Total Biaya Sistem Menurut W1 W1 W1 W2 W2 W2 W2 W2Kasus W3 W3 W1 W1


3 4 5 6 7 3 4 5 6 7 3 4

RN

RN

RN

RN

RN

RN

RN

RN

RN

RN

RN

RN

RN W3 5

RN W3 6

RN W3 7

Kasus

Grafik 1. Total Biaya Sistem dari Berbagai Kasus 3.3. Kapasitas dan Produksi Listrik PLTR Sesuai Kasus Dasar

3.3.1. Kapasitas PLTR Proyeksi kebutuhan listrik nasional tahun 2000 2025 diperkirakan akan tumbuh rata-rata 7,1% per tahun dari 106 TWH pada tahun 2000 menjadi 698 TWH pada tahun 2025 atau terjadi peningkatan 6,6 kali terhadap tahun 2000. Proyeksi kebutuhan tersebut mempertimbangkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional Tahun 2004 dan pemakaian listrik yang dibangkitkan sendiri (captive power). Proyeksi kebutuhan listrik nasional tahun 2000 2004 ditunjukkan pada Grafik 2.

15

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

800 700 Kebutuhan Listrik (GWH) 600 500 400 300 200 100 0 2000 2005 2010 2015 2020 2025

Grafik 2 . Proyeksi Kebutuhan Listrik Nasional tahun 2000 2005 (TWH) Dengan kebutuhan listrik tersebut, kapasitas pembangkit yang diperlukan untuk memenuhi permintaan listrik akan meningkat dari 39 GW pada tahun 2000 menjadi 142 GW pada tahun 2025 dengan laju peningkatan rata-rata 5,3% per tahun. Penambahan kapasitas merupakan hasil optimasi model MARKAL yang berdasarkan least cost dengan melihat kondisi ketersediaan cadangan energi dan biaya pembangkitan listrik dari setiap jenis pembangkit. Secara umum, kapasitas pembangkit menurut jenis pembangkit ditunjukkan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 tampak bahwa PLTU batubara merupakan jenis pembangkit yang mendominasi kapasitas pembangkit listrik nasional masa depan disusul PLTGU (combined cycle). Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa sesuai dengan Kasus Dasar, PLTN (nuklir) merupakan opsi pembangkit listrik, terutama di Jawa, yang menjadi pilihan optimal di masa datang. Seperti diuraikan terdahulu bahwa dalam Kasus Dasar kemampuan pelabuhan penerima batubara di Jawa terbatas. Dalam hal ini, kapasitas pelabuhan penerima batubara di Jawa diperkirakan akan meningkat dari 12,21 juta ton pada tahun 2000 menjadi 131,08 juta ton pada tahun 2025. Pemanfaatan PLTN mungkin tidak menjadi pilihan optimal apabila kapasitas pelabuhan penerima batubara di Jawa tak terbatas. Analisis prospek PLTN akan diuraikan dalam makalah terpisah. Tabel 1. Kapasitas Pembangkit Listrik Nasional (GW)
Kapasitas Pembangkit (GW) 2000 2005 2010 2015 Kogen Gas 1,38 1,50 1,70 1,82 PLTN 0 0 0 0 PLTA 3,78 3,59 3,60 6,84 PLTB 0,58 0,58 0,55 0,77 PLTD 12,29 9,67 6,87 4,41 PLTG 3,49 5,53 5,44 5,42 PLTGU 5,47 5,47 6,59 5,33 PLTL 0 0 0 0 PLTM 0,22 0,35 0,34 0,34 PLTP 0,76 0,87 0,98 1,02 PLTS 0 0 0 0,02 PLTUB 7,17 8,93 26,52 43,32 PLTUM 3,53 2,98 1,65 1,22 Sumber: Hasil Run Model Optimasi MARKAL Jenis Pembangkit 2020 1,99 4.00 8,85 0,88 0,99 5,73 9,93 0 0,33 2,83 0,16 62,95 1,10 2025 2,16 11,20 10,03 0,95 1,04 3,88 25,43 0 0,33 3,71 2,88 80,62 0,01

Selain kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil tersebut, pemanfaatan renewable energi pada pembangkit listrik juga menjadi solusi optimal di masa datang. Kapasitas PLTA (skala besar) diperkirakan dapat meningkat menjadi 10 GW pada tahun 2025. Selain PLTA yang mempunyai kapasitas 10 MW ke atas, pemanfaatan PLTR (tidak termasuk PLTA kapasitas 10 MW ke atas) menurut Kasus Dasar juga diperkirakan meningkat secara perlahan hingga tahun 2015 dan meningkat tajam pada periode tahun 2020 dan 2025. Peningkatan kapasitas PLTR secara tajam pada tahun 2020 dan 2025 disebabkan karena keterbatasan cadangan energi fosil (minyak, batubara, dan gas). Jenis PLTR yang dominan pada tahun tersebut adalah PLTP dan PLTS (lihat Grafik 3).

16

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

9 Biomasa 8 7 Kapasitas (GW) 6 5 4 3 2 1 0 2000 PV Panasbumi Mini Hidro

2005

2010

2015

2020

2025

Grafik 3. Kapasitas PLTR Menurut Kasus Dasar Biaya investasi kedua jenis pembangkit ini adalah 1.245 $/kW (PLTP) dan 1.650 $/kW (PLTS) dengan efisiensi masing-masing sebesar 38% untuk PLTP dan 29% untuk PLTS. Peningkatan kapasitas PLTP terutama terjadi di Sumatra karena potensi PLTP di wilayah ini belum digarap secara maksimal, sebaliknya peningkatan kapasitas PLTP di Jawa relatif terbatas karena hampir semua cadangan terbukti yang ada sudah dimanfaatkan. Adapun pemanfaatan PLTS mayoritas berlangsung di Jawa karena terbatasnya sumberdaya energi di Jawa. 3.3.2. Produksi Listrik PLTR Kapasitas PLTR tersebut di atas (tidak termasuk PLTA) ditunjukkan pada Grafik 4. Pada tahun 2000, produksi listrik PLTR mencapai 6,33% terhadap total produksi pembangkit listrik nasional, sedangkan kapasitas PLTR hanya sekitar 4,03% terhadap total kapasitas pembangkit listrik nasional. Sekitar 53% dari produksi listrik PLTR tersebut pada tahun 2000 dihasilkan oleh pembangkit kogenerasi dengan bahan bakar biomasa, disusul oleh PLTP sebesar 32% dan PLTM sebesar 15%. Produksi PLTR diperkirakan akan meningkat pada tahun 2005 seiring dengan beroperasinya PLTP Lampung 2 # 55 MW. Dari Grafik 4 terlihat bahwa produksi listrik PLTR mencapai lebih dari 5% terhadap total produksi listrik nasional. Hal ini berarti bahwa KEN yang menargetkan produksi listrik PLTR pada tahun 2020 adalah sebesar 5% terhadap total produksi listrik nasional dapat tercapai sesuai hasil optimasi yang mempertimbangkan least-cost dengan kondisi kebutuhan listrik sesuai Grafik 2. Kondisi ini akan berbeda jika prakiraan kebutuhan listrik mengalami pertumbuhan yang lebih pesat, sedangkan potensi cadangan renewable tetap. Untuk itu, upaya penambahan kapasitas PLTR perlu dilakukan sesuai dengan kapasitas yang ditunjukkan pada Tabel 1.
8% 7% % Produksi Listrik Renewable 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% 2000

2005 Minihidro

2010

2015 Panasbumi

2020 PV

2025 Biomasa

2030

Grafik 4. Persen Produksi Listrik PLTR Menurut Kasus Dasar

17

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

3.4. Tambahan Kapasitas PLTR 3.4.1. Menurut Kasus Penetrasi 15 Kasus lainnya terhadap Kasus Dasar tidak semuanya berdampak terhadap peningkatan atau penurunan kapasitas PLTR seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil run Model MARKAL memperlihatkan bahwa hanya 9 kasus dari 15 kasus yang berdampak terhadap peningkatan kapasitas PLTR akibat penurunan atau peningkatan target produksi PLTR. Peningkatan produksi PLTR bukan hanya berlangsung untuk target produksi listrik PLTR lebih dari 5% namun juga terjadi untuk target produksi listrik PLTR 4% dan 5% pada tahun 2010 dan 2015. Seperti ditunjukkan pada Grafik 4 bahwa sesuai Kasus Dasar pada tahun 2020 produksi listrik PLTR dapat mencapai 5% terhadap total produksi listrik nasional. Peningkatan target produksi listrik PLTR mencapai 6% dan 7% pada tahun 2020 (Kasus RNW16 dan RNW17) jelas akan meningkatkan kapasitas PLTR. Dari Grafik 5a dan 5b nampak ada 2 jenis pembangkit PLTR yang menjadi pilihan, yaitu PLTM dan PLTS. Hanya saja, peningkatan kapasitas PLTR tersebut berdampak terhadap peningkatan total biaya sistem sebesar 43 juta $ untuk Kasus RNW16 dan meningkat tajam menjadi 158 juta $ untuk Kasus RNW17 terhadap Kasus Dasar. Untuk itu, kedua kasus ini (RNW16 dan RNW17) sebaiknya tidak dijadikan sebagai target oleh Pemerintah untuk diadopsi dalam KEN. Peningkatan total biaya sistem tersebut karena biaya produksi PLTM dan PLTS lebih tinggi dibanding dengan biaya produksi pembangkit fosil lainnya. Target produksi listrik PLTR sebesar 3% dan 4% pada tahun 2020 (Kasus RNW13 dan RNW14) tidak berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan karena target ini dibawa target yang dapat dicapai dalam Kasus Dasar (lebih dari 5%, lihat Grafik 4). Tabel 2. Tambahan Kapasitas Pembangkit Renewable Kasus Lainnya Relatif Terhadap Kasus Dasar (GW)
Kasus RW16 RW17 Jenis Pembangkit PLTM PLTS PLTM PLTS PLTB PLTP PLTS PLTP PLTS PLTM PLTP PLTS PLTM PLTP PLTS PLTB PLTP PLTS PLTM PLTP PLTS PLTM PLTP PLTS PLTB Hasil Run Model MARKAL Tambahan Kapasitas Terhadap Kasus Dasar (GW) 2010 2015 2020 2025 0,00 0,00 0,21 0,36 0,00 0,00 1,49 1,98 0,00 0,00 0,21 0,36 0,00 0,00 4,03 5,52 0,00 0,00 0,00 0,03 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,57 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,01 0,21 0,36 0,00 1,08 0,00 0,00 0,00 0,01 1,50 1,99 0,00 0,02 0,22 0,37 0,00 1,37 0,00 0,00 0,00 0,69 3,99 5,49 0,00 0,02 0,00 0,03 0,02 0,57 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,06 0,01 0,01 0,21 0,36 0,31 1,08 0,00 0,00 0,00 0,01 1,50 1,99 0,01 0,02 0,22 0,37 0,66 1,37 0,00 0,00 0,02 0,69 3,99 5,49 0,00 0,02 0,00 0,03

RW24 RW25 RW26

RW27

RW35 RW36

RW37

Sumber:

Fenomena apa yang dapat diperoleh jika target produksi listrik PLTR pelaksanaannya dipercepat 5 tahun menjadi tahun 2015. Hasil run model MARKAL memperlihatkan bahwa dengan percepatan pelaksanaan target tersebut menyebabkan perlunya peningkatan kapasitas PLTR apabila target produksi listrik PLTR di atas 4 %. Hal ini bukan menjadi hal yang surprise karena sesuai Grafik 4 (Kasus Dasar) produksi listrik PLTR pada tahun 2015 berada sedikit di bawah 4%. Dengan demikian, peningkatan target produksi listrik PLTR sama dengan atau lebih besar dari 4% akan dihasilkan peningkatan kapasitas PLTR. Peningkatan kapasitas PLTR pada tahun 2015, sesuai hasil pilihan

18

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

model, adalah berupa PLTP (lihat Grafik 5C 5F), kecuali untuk kasus RNW27 berupa PLTP dan PLTS. Pemilihan PLTS diakibatkan telah dioperasikannya seluruh potensi PLTP dan PLTM. Seperti halnya gambaran pelaksanaan target produksi listrik pada tahun 2020, peningkatan produksi listrik PLTR sama dengan atau lebih besar dari 4% akan meningkatkan total sistem biaya energi, yaitu 1 juta $ untuk target produksi listrik PLTR sebesar 4%, 12 juta $ (5%), 66 juta $ (6%), dan 210 (7%).

Grafik 5. Tambahan Kapasitas PLTR Menurut Kasus Sesuai Grafik 4, target produksi listrik PLTR di di atas 5% pada tahun 2010 akan meningkatkan total biaya sistem energi masing-masing untuk target PLTR 5% pada tahun 2010 sebesar 13 juta $, target 6% sebanyak 78 juta $, dan target 7% sejumlah 234 juta $. Jenis PLTR yang menjadi opsi untuk mengisi peningkatan target produksi listrik tesebut adalah PLTP. Variasi tambahan kapasitas PLTR

19

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

menurut target produksi PLTR tahun 2010 ditunjukkan pada Grafik 5G 5I. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa: Target produksi listrik PLTR sebesar 3% terhadap total produksi listrik nasional dapat dilaksanakan pada tahun 2010 tanpa meningkatkan total biaya sistem energi. Prioritas peningkatan kapasitas PLTR menurut tahun pencapaian adalah PLTP (tahun 2010 dan 2015) serta PLTM dan PLTS pada tahun 2020 dan 2025. 3.4.2. Menurut Jenis Pembangkit Penetapan produksi listrik PLTR sesuai target sebagaimana dicerminkan dalam berbagai variasi Kasus Lainnya (15 kasus) berdampak terhadap penambahan kapasitas PLTR dibanding kapasitas PLTR pada Kasus Dasar. Penambahan kapasitas PLTR tersebut berbeda antara satu jenis PLTR dengan jenis PLTR lainnya. Sesuai hasil run model MARKAL (lihat Grafik 6) memperlihatkan bahwa tambahan kapasitas PLTP dibanding Kasus Dasar diperlukan pada tahun 2010 dan tahun 2015. Pada Grafik 6 terlihat bahwa tambahan kapasitas PLTP berlangsung untuk target produksi listrik PLTR mulai sebesar 5%, 6%, dan 7%. Untuk target produksi listrik PLTR sebesar 5% terhadap total produksi listrik nasional, diperlukan tambahan kapasitas PLTP sekitar 0,5 GW baik untuk Kasus RNW25 (tahun 2015) maupun Kasus RNW35 (tahun 2010). Jika target produksi PLTR ditingkatkan menjadi 6% dan 7%, diperlukan tambahan kapasitas PLTP masing-masing sebesar 0,3 GW tahun 2010 dan 1,33 GW tahun 2015 untuk Kasus RNW26, serta 0,66 GW tahun 2010 dan 1,33 GW tahun 2015 untuk Kasus RNW36 Grafik 6 juga memperlihatkan bahwa pertambahan target produksi listrik PLTR berakibat kepada peningkatan kapasitas PLTP pada tahun 2010 dan 2015, sedangkan pada tahun 2020 dan 2025 tidak terjadi tambahan kapasitas PLTP. Hal ini disebabkan karena biaya produksi listrik PLTP relatif lebih murah dibanding dengan jenis PLTR lainnya, sehingga PLTP, menurut model optimasi, dimanfaatkan terlebih dahulu, sebelum model memilih alternatif lainnya. Karena seluruh potensi PLTP sudah digunakan pada tahun 2010 dan 2015, maka pada tahun 2020 dan 2025 tidak tersedia lagi potensi PLTP yang dapat dikembangkan.

Grafik 6. Tambahan Kapasitas PLTP menurut % Target Produksi Listrik PLTR Peningkatan kapasitas PLTM akibat target produksi listrik PLTR (3% - 7%) hanya terjadi untuk target produksi listrik PLTR sebesar 6% dan 7%, itupun terutama berlangsung tahun 2020, dan tahun 2025. Dari Grafik 7 terlihat bahwa peningkatan kapasitas PLTM, baik untuk target produksi listrik 6% maupun 7%, terhadap Kasus Dasar adalah hampir sama, untuk semua Kasus Lainnya. Rata-rata peningkatan kapasitas PLTM terhadap Kasus Dasar adalah 0,02 GW tahun 2010 dan tahun 2015,

20

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

0,22 GW tahun 2020, dan 0,37 GW tahun 2025. Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa semua potensi PLTM pada target 6% sudah dimanfaatkan, sehingga peningkatan target produksi listrik PLTR sebesar 7% tidak dapat dipenuhi oleh peningkatan kapasitas PLTM. Hal ini juga berlangsung untuk PLTP (lihat penjelasan di atas). Gambaran lain yang didapat dari analisis ini adalah bahwa peningkatan kapasitas PLTM menjadi solusi setelah seluruh potensi PLTP termanfaatkan.

Grafik 7. Tambahan Kapasitas PLTM menurut % Target Produksi Listrik PLTR Oleh karena kapasitas PLTP dan PLTM tidak dapat ditingkatkan lagi (karena seluruh potensinya sudah termanfaatkan), maka diperlukan tambahan kapasitas PLTR lainnya untuk memenuhi target produksi listrik PLTR tersebut. Dari Grafik 8 nampak bahwa PLTS merupakan jenis pembangkit yang dapat menjadi solusi dalam pemenuhan target produksi listrik PLTR. Hal ini disebabkan karena dalam kajian ini (Kasus Dasar) biaya investasi PLTS diperkirakan akan menurun menjadi 1.650 $/kW sejak tahun 2010 dibanding sebesar 5.200 $/kW pada tahun 2000. Faktor lain yang menjadi penyebab terpilihnya PLTS adalah kapasitas PLTS dalam analisis ini tidak dibatasi karena negara kita terletak di daerah khatulistiwa yang kaya akan radiasi matahari. Pada Grafik 8 terlihat bahwa PLTS diperlukan terutama pada tahun 2025, baik untuk Kasus Dasar maupun untuk ke 15 Kasus Lainnya. Semakin tinggi target produksi listrik PLTR diperlukan kapasitas PLTS yang semakin besar, bahkan untuk target produksi listrik PLTR sebesar 7% terhadap total produksi listrik nasional, PLTS diperlukan lebih awal (tahun 2015). Maksimum kapasitas PLTS pada tahun 2025 adalah sebesar 8,37 GW atau terjadi peningkatan kapasitas PLTS sebanyak 5,45 GW dibanding Kasus Dasar.

Grafik 8. Tambahan Kapasitas PLTS menurut % Target Produksi Listrik PLTR

21

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Penambahan kapasitas PLTB (biomasa) akibat peningkatan target produksi listrik PLTR relatif terbatas mengingat tingginya biaya investasi atas teknologi PLTB. 4 KESIMPULAN

Pertumbuhan listrik selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 diperkirakan tumbuh rata-rata 7,1% per tahun. Dengan pertumbuhan ini diperlukan kapasitas pembangkit nasional dari sekitar 39 GW pada tahun 2000 menjadi 142 GW pada tahun 2025. Sesuai dengan prakiraan pertumbuhan listrik dan potensi PLTR, produksi listrik PLTR pada tahun 2020 dapat mencapai 5% terhadap total produksi listrik nasional yang dibangkitkan oleh seluruh kapasitas pembangkit listrik yang ada. Besaran kapasitas PLTR tersebut mampu bersaing secara ekonomi dengan kapasitas pembangkit listrik lainnya. Hal ini sejalan dengan target produksi listrik PLTR yang dituangkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dengan total produksi listrik PLTR pada tahun 2020 diperlukan kapasitas PLTR sekitar 4,04 GW, dimana sekitar 2,83 GW berupa PLTP. Kapasitas PLTR pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 1,56 GW. Target produksi listrik KEN apabila ditingkatkan melebihi 5% sesuai dengan target KEN saat ini, maka diperlukan tambahan kapasitas PLTR dengan prioritas diberikan kepada PLTP, disusul PLTM, dan PLTS. Namun, tambahan kapasitas PLTR ini tidak kompetitif, sehingga memerlukan insentif agar PLTR tersebut dapat bersaing dengan jenis pembangkit lainnya.

DAFTAR PUSTAKA 1. BPPT: Indonesian MARKAL Database Document, 2004. 2. BPPT: Energy Demand Forecast for the Period 2000 up to 2025, Study Report for BPMIGAS. 3. BPPT: Penyusunan dan Instalasi Sistim Analisis untuk Pemasaran Gas Bumi. 2003. 4. PLN: PLN Statistics 2002. 5. PLN: Rencana Penyediaan Tenaga Listrik Luar Jawa-Madura-Bali 2003-2010. Jakarta, September 2003. 6. PT Parikesit Indotama-BPPT. Laporan Hasil Studi Evaluasi dan Pengkajian Bidang Teknologi Energi. Desember 2003. 7. DSDM : Jaringan Transmisi Nasional. Jakarta, Februari 2003. 8. Municipal Waste potential in Indonesia, Personel communication. 2004.

9. DESDM. Kebijakan Energi Nasional Tahun 2020. 2004

22

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS PENGARUH KONSERVASI LISTRIK DI SEKTOR RUMAH TANGGA TERHADAP TOTAL KEBUTUHAN LISTRIK DI INDONESIA
Erwin Siregar dan Nona Niode

ABSTRACT
The improvement of device efficiency in the household sector at a rate of 1 % per year will conserve energy and thus decrease electricity consumption and cost. The Government needs to implement promotion program and socialization of such use of electricity device to achieve this target. Several programs through which the Government may pursue include Government Education Program, labelization of device standard, lamp efficiency standard, and Demand Side Management.

PENDAHULUAN

Rumah tangga merupakan sektor pengguna listrik nomor dua terbesar di Indonesia setelah industri. Pada tahun 2003 konsumsi listrik di sektor rumah tangga mencapai 35.753,05 MWh, sedangkan industri mencapai 36.497,25 MWh. Dengan diasumsikan rata-rata pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 7% pertahun selama kurun waktu 30 tahun, mengakibatkan konsumsi listrik di sektor rumah tangga akan meningkat dengan tajam dari 21,52 Gwh pada tahun 2000 menjadi sekitar 444,53 Gwh pada tahun 2030. Peningkatan konsumsi listrik di sektor ini diakibatkan dari peningkatan penduduk dan peningkatan pendapatan penduduk per kapita, sayangnya peningkatan konsumsi listrik tidak diimbangi dengan pasokan listrik yang memadai. Kurangnya pasokan listrik saat ini disebabkan sulitnya mendapatkan dana investasi pembangunan pembangkit listrik baru, karena dana PLN terbatas sedangkan investor masih belum ada yang berminat untuk menanamkan modal di bidang kelistrikan. Kendala ini dirasakan sejak terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997 dimana pertumbuhan permintaan listrik lebih besar dari kemampuan penyediaan listrik. Kondisi ini terus belangsung sampai tahun 2005, sehingga jumlah kebutuhan listrik masyarakat yang tidak dapat dipenuhi semakin meningkat. Untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan listrik, khususnya di sektor rumah tangga dapat dilakukan dengan memanfaatkan kompor, lampu dan peralatan listrik hemat energi dengan efisiensi tinggi. Pemanfaatan peralatan hemat energi secara tidak langsung akan dapat mengurangi konsumsi listrik ke sektor rumah tangga atau dengan konsumsi listrik yang sama dapat meningkatkan jumlah pelanggan sektor rumah tangga. Mengacu dari penjelasan tersebut, dilakukanlah penelitian pengaruh konservasi listrik di sektor rumah tangga terhadap total kebutuhan listrik. Pada penelitian ini besarnya kebutuhan energi di semua sektor diasumsikan tetap, sedangkan analisis konservasi pemakaian listrik di fokuskan untuk melihat keuntungan konservasi listrik terhadap biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi listrik dan konsumsi listrik. 2 METHODE PENELITIAN

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah model MARKAL dengan mengambil dua kasus, yaitu kasus dasar (BASE CASE) dan kasus peningkatan efisiensi (CONSERV) dengan mengurangi pemakaian listrik di sektor rumah tangga sebesar 1% per tahun mulai tahun 2005. Fungsi

23

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

obyektif yang diambil pada ke dua kasus tersebut adalah biaya minimum, sehingga untuk jenis pembangkit listrik yang mempunyai biaya pembangkitan lebih rendah dibanding dengan biaya pembangkit listrik lainnya akan terpilih. Diagram alir dari analisis pengaruh konservasi listrik di sektor rumah tangga terhadap total kebutuhan listrik ditunjukkan pada Gambar 1.

BASE CASE Input Utam a: Peralat Sektor RT Demand per Sektor

Perangkat Lunak (Model MARKAL)

Kasus: CONSERV Pengurangan Pemakaian Listrik 1% per Tahun

Keluaran: Kapasitas Per Jenis Pembangkit Listrik Total Produksi Listrik Total Biaya Sistim

Analisis Keuntungan Konservasi Listrik

Perbedaan Kap Pemb Listrik/Prod Listrik/ Tot Biaya Sistem

Hasil Analisis

Gambar 1. Diagram Alir Analisis Pengaruh Konservasi Listrik di Sektor Rumah Tangga terhadap Total Kebutuhan Listrik Asumsi yang sama untuk ke dua kasus tersebut adalah harga minyak mentah sebesar 28 US$/barrel, kapasitas pelabuhan penerima batubara di Pulau Jawa terbatas, pertumbuhan tenaga listrik sebesar 7% per tahun, harga eksport batubara US$ 29,78/Ton, keterbatasan potensi minihydro dan geothermal, interkoneksi jaringan listrik Sumatra dan Jawa pada tahun 2015, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah pada tahun 2020, Jawa dan Nusa Tenggara pada tahun 2020, antar Sulawesi pada tahun 2015, dan antar seluruh wilayah Kalimantan pada tahun 2015, serta kurun waktu penelitian mulai tahun 2000 sampai dengan 2030. 3 HASIL ANALISIS

Selama kurun waktu 30 tahun, pada kasus dasar diperkirakan kapasitas pembangkit listrik di Indonesia meningkat dari 21,14 GW pada tahun 2000 menjadi 175,94 GW pada tahun 2030 atau meningkat sebesar 7,32%/tahun. Pada kasus CONVERS, selama kurun waktu tersebut kapasitas pembangkit listrik hanya meningkat sebesar 6,98%/tahun dari 21,14 GW pada tahun 2000 menjadi 159,99 GW pada tahun 2030. Perubahan total kapasitas antara BASE CASE dan CONVERS terjadi mulai tahun 2010, sedangkan pada tahun 2000 dan 2005 total kapasitas pembangkit listrik tidak mengalami perubahan. 3.1 Load Distribution Demands (FR (Z)(Y)) Load Distribution Demand (FR (Z)(Y)) adalah kebutuhan listrik yang dikaitkan dengan waktu penggunaannya pada saat beban puncak (peak load) dan beban dasar (base load), saat musim kemarau (dry) dan musim penghujan (wet) yang biasanya dinyatakan dalam fraksi. Oleh karena itu FR (Z)(Y) sangat berpengaruh terhadap penyediaan listrik di semua sektor dan selanjutnya akan mempengaruhi terhadap pilihan jenis pembangkit listrik. Besarnya fraksi tergantung jenis sektor atau jenis industri yang memakai listrik, baik yang berada di Luar Jawa maupun di Jawa. Pada penelitian ini fraksi FR (Z)(Y) dibedakan atas FR (Z)(Y) untuk kebutuhan listrik di sektor rumah tangga dan kebutuhan listrik di sektor bukan rumah tangga dan besarnya dibedakan atas Jawa dan Luar Jawa . FR (Z)(Y) Jawa diambil dari data PLN berdasarkan data kurva beban Jawa dalam satu tahun, sedangkan FR (Z)(Y) Luar Jawa didasarkan pada data kurva beban Papua, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

24

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 1. Fraksi Tahunan pada kondisi Beban Puncak (Peak), Diluar Beban Puncak (Off-Peak), dan Antara (Shoulder) saat Musim Kemarau (Dry) dan Penghujan (Wet) untuk Jawa dan Luar Jawa
Fraksi QHR(Z)(Y) 0,2291 0,2291 0,1042 0,1667 0,1042 0,1667 Listrik untuk Rumah Tangga Jawa FR(Z)(Y) 0,1604 0,1604 0,1573 0,1823 0,1573 0,1823 Luar Jawa FR(Z)(Y) 0,2043 0,2043 0,1350 0,1607 0,1350 0,1607 Listrik untuk Bukan Rumah Tangga Jawa Luar Jawa FR(Z)(Y) FR(Z)(Y) 0,2623 0,2043 0,2623 0,2043 0,1061 0,1350 0,1316 0,1607 0,1061 0,1350 0,1316 0,1607

Fraksi Musim I-D I-N Dry peak S-D Dry off-peak S-N Wet peak W-D Wet off-peak W-N Sumber: Database MARKAL. Wet shoulder Dry shoulder

3.2 Kapasitas Pembangkit Listrik per Jenis Energi Seperti telah dijelaskan bahwa pengaruh konservasi energi di sektor pembangkit listrik terjadi mulai pada tahun 2010. Pembangkit listrik yang sangat berpengaruh terhadap konservasi energi di sektor rumah tangga sebesar 1% per tahun adalah gas turbin, karena gas turbine mempunyai waktu konstruksi yang relatif cepat dan mudah dibangun. Selanjutnya makin meningkatnya konsumsi listrik di sektor rumah tangga pada kasus dasar, menyebabkan besarnya konservasi energi di sektor rumah tangga makin meningkat, sehingga bukan hanya gas turbin yang kapasitasnya meningkat, tetapi PLTU Batubara 7MW juga akan meningkat, karena seperti halnya gas turbin PLTU batubara skala kecil mudah dibangun (stocker) dengan biaya yang murah (biaya investasi diambil dari China). Peningkatan besarnya konservasi energi antara kasus dasar dan CONSERV tercermin dari besarnya perbedaan perubahan kapasitas listrik dari 0,3 GW pada tahun 2010 menjadi 15,95 GW pada tahun 2030. Tabel 2 menunjukkan besarnya kapasitas pembangkit listrik dari berbagai jenis pembangkit listrik. Tabel 2. Kapasitas Pembangkit Listrik di Indonesia Menurut Kasus Dasar dan Konservasi (GW)
Jenis Pembangkit PLTU Batubara PLTD GAS TURBINE HSD GAS TURBIN PLTN PLTU Minyak PLTP PLTA Gas Comb. Cycle 2010 Dasar Conserv 19,51 2,24 1,83 1,65 0,00 1,37 0,98 2,39 6,59 19,1 2,24 1,73 1,69 0,00 1,37 0,98 2,39 6,76 36,26 2015 Dasar Conserv 34,27 1,69 2,02 1,62 0,00 1,00 1,02 5,59 5,33 52,54 32,59 1,71 1,88 1,64 0,00 1,00 1,02 3,00 5,50 48,34 2020 Dasar Conserv 51,27 0,03 2,65 1,51 4,00 0,91 2,83 7,60 9,93 80,73 51,27 0,04 2,59 1,55 3,22 0,91 2,83 7,52 8,12 78,05 2025 Dasar Conserv 69,16 0,01 1,39 0,96 11,2 0,00 3,71 8,78 25,43 120,64 2030 Dasar Conserv 89,70 1,40 1,28 3,03 13,92 0,10 5,47 8,71 36,38 159,99

69,01 101,05 0,03 1,34 0,06 10,81 0,00 3,71 8,41 19,83 1,39 1,53 12,47 13,92 0,10 5,47 9,97 30,04

T otal Kap 36,56 Sumber: Keluaran Model MARKAL

113,2 175,94

3.3 Total Biaya Sistem yang tidak didiscount Terhadap Produksi Listrik Pada tahun 2010 total biaya sistem yang tidak didiscount mencapai 52.310 Juta US$ dengan total produksi listrik nasional sebesar 886 PJ. Dengan melakukan konservasi listrik di sektor rumah tangga sebesar 1% per tahun mulai tahun 2010, menyebabkan total biaya sistem yang tidak didiscount turun sebesar 352 Juta US$, sedangkan produksi listrik juga mengalami penurunan sebesar 21 PJ. Hal tersebut disebabkan kapasitas pembangkit listrik batubara dan gas turbine turun dari 19,51 GW dan 1,83 GW pada kasus dasar menjadi 19,1 GW dan 1,73 GW pada kasus CONSERV. Perbedaan penurunan produksi listrik tidak berbanding lurus dengan pengurangan total biaya sistem yang tidak di discount, hal tersebut terkait dengan kapasitas pembangkit listrik yang dipilih. Walaupun jenis pembangkit listrik yang terpilih mulai tahun 2015 sampai dengan tahun 2030 tidak berbeda, namun

25

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

apabila ditinjau dari perbedaan kapasitas antara kasus dasar dan kasus CONSERV terlihat bahwa kapasitas pada tahun 2015 lebih besar dibanding tahun 2020, 2025, dan 2030. Hal ini mengakibatkan perbedaan total biaya sistem yang tidak didiscount pada tahun 2015 menjadi lebih tinggi dibandingkan tahun 2020, 2025, dan 2030. Grafik 1 menunjukkan hubungan antara total biaya sistem yang tidak di discount dengan produksi listrik pada kasus dasar dan kasus CONSERV.
200000 150000 100000 50000 0
2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035 Tahun
DASAR Undiscounted Tot Sistem Cost KONSERVASI Undiscounted Tot Sistem Cost DASAR PRODUKSI KONSERVASI PRODUKSI

6000 5000 4000 3000 2000 1000 0

Grafik 1. Hubungan Total Biaya Sistem yang tidak Didiscount dengan Produksi Listrik

3.4

Perbedaan Biaya Sistem yang tidak didiscount Terhadap Penurunan Konsumsi Listrik antara Kasus dasar dan kasus CONSERV (US$/MWh) Penurunan konsumsi listrik diperkirakan akan mengurangi perbedaan total biaya sistem yang tidak di discount. Dengan dilakukannya konservasi listrik di sektor rumah tangga sebesar 1 MWh pada tahun 2010 akan dapat menghemat biaya sebesar 61,10 US$, namun penghematan tersebut selalu dikaitkan dengan jenis dan kapasitas pembangkit listrik yang memproduksi listrik. Hal tersebut yang menyebabkan penghematan total biaya sistem pada tahun 2015 tertinggi dibandingkan tahun 2010, 2020, 2025, dan 2030. Besarnya penghematan biaya sistem untuk 1 MWh konsumsi listrik pada tahun 2015 adalah sebesar 88,15 US$. Tabel 3 menunjukkan hubungan antara penghematan biaya sistem terhadap pengurangan konsumsi listrik per MWh.
Tabel 3. Hubungan Penghematan Biaya Sistem Undiscounted terhadap Pengurangan Konsumsi Listrik per MWh
Parameter Total Biaya Sistem Undisc Konsumsi Listrik Unit Juta US$) GWh 2010 352,10 5.762,27 61,10 2015 1.212,70 13.757,26 88,15 2020 1.645,50 29.913,84 55,01 2025 3.667,90 65,07 2030 7.631,10 76,18 2035 10.732,90 174.540,00 61,49

56.364,77 100.166,40

US$/MWh Sumber: Hasil Keluaran Model MARKAL.

3.4 Pengaruh Penggunaan Bahan Bakar Terhadap Total Biaya Sistim dan Emisi CO2 Hasil keluaran model MARKAL menunjukkan bahwa selama jangka waktu 35 tahun (2000-2035) besarnya total biaya sistem penyediaan energi adalah 678.140 juta US$ pada kasus dasar dan sebesar 666.828 juta US$ pada kasus CONSERV. Pengaruh yang sangat besar terhadap penurunan biaya sistem, adalah pada penurunan pemanfaatan batubara, disusul minyak bumi, renewable, gas dan nuklir, sehingga emisi CO2 yang dihasilkan juga menurun sekitar 80,7 Juta Ton. Pengaruh penggunaan bahan bakar terhadap total biaya sistem dan Emisi CO2 ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Penggunaan Bahan Bakar Terhadap Total Biaya Sistim dan Emisi CO2
Kasus DASAR CONSERV Total Biaya Juta US$ 678140,00 666828,00 CO2 Juta Ton 4122,95 4042,25 Minyak 219851,00 212310,00 -7541,50 Gas) 78119,00 77187,50 -931,50 Penggunaan (PJ) Batubara 227252,00 216508,50 -10743,50 Nuklir
Renewable

14703,50 14328,50 -375,00

Produksi Listrik (PJ)

Undiscounted Cost (Juta US$)

120731,50 116979,50 -3752,00

Penghematan -11312,00 -80,70 Sumber: Hasil Keluaran Model MARKAL.

26

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 3 menunjukkan bahwa dengan adanya konservasi energi di sektor rumah tangga hanya sebesar 1% per tahun menyebabkan terjadinya penurunan kebutuhan listrik yang selanjutnya akan mempengaruhi terhadap besarnya kapasitas pembangkit listrik yang pada akhirnya akan mengurangi penggunaan energi batubara, minyak, gas, renewable, dan nuklir. Gambaran ini diharapkan dapat mendorong pemerintah agar dapat mempertimbangkan percepatan kebijakan konservasi energi di semua sektor pengguna energi. Kebijakan konservasi energi dapat berhasil apabila pemerintah sebelum memberlakukan kebijaksanaan tersebut terlebih dahulu melakukan sosialisasi, promosi dan pembelajaran kepada semua sektor pengguna energi dalam hal pengelolaan energi (Demand Side Management). Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan untuk menerapkan labelisasi sesuai standar untuk semua jenis peralatan termasuk standard effisiensi untuk penerangan. 4 KESIMPULAN

Rumah tangga (RT) merupakan sektor pengguna listrik nomor dua terbesar di Indonesia setelah industri dan diasumsikan diperkirakan selama kurun waktu 30 tahun kebutuhan listrik RT rata-rata tumbuh sebesar 7%/tahun dari 21,52 Gwh pada tahun 2000 menjadi sekitar 444,53 Gwh pada tahun 2030. Model MARKAL diambil untuk menganalisis pengaruh konservasi listrik di sektor RT terhadap total kebutuhan listrik di Indonesia dengan mengambil dua kasus, yaitu kasus dasar (BASE CASE) dan kasus peningkatan efisiensi (CONSERV) dengan mengurangi pemakaian listrik di sektor rumah tangga sebesar 1%/tahun mulai tahun 2005. Dalam input model Load Distribution Demand (FR (Z)(Y)) dibedakan antara Jawa dan Luar Jawa, mengingat (FR (Z)(Y)) sangat berpengaruh terhadap penyediaan listrik di Jawa dan Luar Jawa dan dapat mempengaruhi terhadap pilihan jenis pembangkit listrik. Pembangkit listrik yang sangat terpengaruh dari konservasi energi di sektor rumah tangga sebesar 1% per tahun adalah gas turbin, karena gas turbin mempunyai waktu konstruksi yang relatif cepat dan mudah dibangun. Besarnya peningkatan konservasi energi antara kasus dasar dan CONSERV tercermin dari besarnya perbedaan perubahan kapasitas listrik dari 0,3 GW pada tahun 2010 menjadi 15,95 GW pada tahun 2030. Dengan melakukan konservasi listrik di sektor rumah tangga sebesar 1% per tahun mulai tahun 2010, menyebabkan total biaya sistem yang tidak didiscount turun sebesar 352 Juta US$, sedangkan produksi listrik juga mengalami penurunan sebesar 21 PJ. Perbedaan penurunan produksi listrik tidak berbanding lurus dengan pengurangan total biaya sistem yang tidak didiscount, hal tersebut terkait dengan kapasitas pembangkit listrik yang dipilih. Dengan dilakukan konservasi listrik di sektor rumah tangga sebesar 1 MWh pada tahun 2010 akan dapat menghemat biaya sebesar 61,10 US$, dan penghematan total biaya sistem tertinggi terjadi pada tahun 2015. Besarnya penghematan biaya sistem untuk 1 MWh konsumsi listrik pada tahun 2015 adalah sebesar 88,15 US$. Gambaran ini diharapkan dapat mendorong pemerintah agar dapat mempertimbangkan percepatan kebijakan konservasi energi di semua sektor pengguna energi. Kebijakan konservasi energi dapat berhasil apabila pemerintah sebelum memberlakukan kebijaksanaan tersebut terlebih dahulu melakukan sosialisasi, promosi dan pembelajaran kepada semua sektor pengguna energi dalam hal pengelolaan energi (Demand Side Management). Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan untuk menerapkan labelisasi sesuai standar untuk semua jenis peralatan termasuk standar effisiensi untuk penerangan.

DAFTAR PUSTAKA 1 2 BPPT. Database Model MARKAL INDONESIA, Desember 2004 Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi. Statistik Ketenagalistrikan dan Energi Tahun 2003. Jakarta 2003.

27

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

3 4 5

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. KEPMEN Rencana Umum Katenagalistrikan Nasional 2004-2013. 2004 PLN. PLN Statistics 2002. PLN. Rencana Penyediaan Tenaga Listrik Luar Jawa-Madura-Bali 2003-2010. Jakarta, September 2003.

28

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS DAMPAK PENGHAPUSAN CAPTIVE POWER TERHADAP SISTEM KELISTRIKAN DI INDONESIA


Indyah Nurdyastuti

ABSTRACT
Based on the results of the BASE CASE, the total capacity of captive power in Java is projected to decrease between 2000 to 2030, but those capacities in Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua are projected to increase. However, based on the captive case, the total capacity of captive in all islands in Indonesa is projected to decrease between 2000 and 2030, due to the replacement of captive power in 2020. However, the case for Java shows similarity in capacity between the BASE CASE and the captive case between 2000 and 2030. This means that at present the quality of reliability and availability of electricity distribution in Java is considered higher than those present in other islands. Given these situations, the captive case has been developed. The results suggest that the Government of Indonesia has to increase the reliability and availability of the electricity distribution in other islands as soon as possible to succesfuly replace captive power in 2020 by other centralized power generation.

PENDAHULUAN

Total konsumsi listrik pada sektor industri, rumah tangga, bisnis dan lainnya (sosial, gedung pemerintah, dan penerangan jalan umum) di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 79.165 GWh dengan pangsa masing-masing adalah 43%, 39%, 13% dan 5%. Pada tahun 2003 total konsumsi listrik tersebut meningkat menjadi 90.441 GWh atau pada kurun waktu 2000-2003 tumbuh rata-rata sebesar 4,5% per tahun, dengan sektor bisnis mengalami pertumbuhan konsumsi listrik terbesar yaitu 7,7% per tahun, kemudian disusul sektor lainnya yang tumbuh sebesar 7,4% per tahun. Sedangkan konsumsi listrik di sektor industri dan rumah tangga pada kurun waktu tersebut masing-masing tumbuh sebesar 2,4% dan 5,4% per tahun. Untuk memenuhi konsumsi listrik pada tahun 2000 di berbagai sektor tersebut, diperlukan total kapasitas pembangkit listrik PLN dan non PLN (termasuk captive power) sebesar 37,59 GW (20,76 GW untuk Pembangkit Listrik PLN dan 1,61 GW untuk Pembangkit Listrik Swasta serta captive power sebesar 15,22 GW). Apabila konsumsi listrik untuk semua sektor diasumsikan tumbuh seperti kurun waktu tersebut akan memicu pada kenaikan pertumbuhan kapasitas pembangkit listrik PLN, swasta, dan captive power, dengan kontribusi produksi listrik dari captive power mencapai sekitar 50% dari total produksi listrik nasional. Kontribusi produksi listrik dari captive power nasional dimasa mendatang tersebut dianggap terlalu besar, sehingga pangsa produksi listrik dari captive power perlu dipikirkan untuk dikurangi . Masih diperlukannya captive power saat disebabkan ada beberapa industri yang dalam produksinya memerlukan suplai listrik yang berkesinambungan dan tegangan yang relatif stabil yang selama ini sangat sulit untuk diandalkan dari suplai PLN, mengingat saat ini availability (ketersediaan) dan reliability (keandalan) dari listrik yang disediakan PLN masih relative rendah. Dimasa datang dengan terwujudnya industri ketenagalistrikan yang efektif, efisien dan mandiri, memungkinkan target PLN untuk menjaga kesinambungan dan keandalan pasokan listrik dengan tegangan yang relatif stabil sesuai dengan tingkat yang diharapkan oleh semua konsumen pada tahun 2020 dapat telaksana. Selanjutnya, beberapa jenis captive power yang dimanfaatkan baik sebagai proses produksi maupun hanya sebagai stand by di industri sudah tidak diperlukan, kecuali

29

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

photovoltaic, biomasa dan minihydro/hydro yang masih dibutuhkan terutama di wilayah yang terpencil yang tidak dialiri listrik PLN. Dengan perkiraan pertumbuhan kapasitas pembangkit listrik selama kurun waktu 2000-2030 sebesar 7,7% per tahun akan mengakibatkan kapasitas pembangkit listrik dan captive power meningkat masing-masing menjadi 177,78 GW dan 31,17 GW. Peningkatan kapasitas captive power tersebut, walaupun relative kecil, namun belum mencerminkan keadaan seperti yang diharapkan yaitu terhapusnya captive power pada tahun 2020, kecuali yang masih diperlukan di daerah terpencil yang tidak dialiri listrik PLN. Penelitian dampak penghapusan captive power terhadap sistem kelistrikan di Indonesia setelah dihapuskannya captive power tahun 2020 merupakan hal yang sangat penting, karena analisis hasil penelitian tersebut dapat menggambarkan kesinambungan pasokan listrik ke konsumen di seluruh wilayah Indonesia. 2 METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Perangkat Lunak Dalam melakukan penelitian dampak penghapusan captive power mulai tahun 2020 terhadap sistem kelistrikan di Indonesia digunakan perangkat lunak dalam hal ini model MARKAL. Model ini dipilih karena model ini memiliki kemampuan untuk menganalisis sistem energi secara menyeluruh termasuk penyediaan listrik dengan seluruh alternatif sumber energi dan teknologi energi. Masukan model yang sangat diperlukan adalah data tekno-ekonomis dari semua jenis teknologi termasuk pembangkit listrik dan captive power baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia. Data tekno-ekonomis merupakan data utama dalam model untuk menunjang optimasi pemilihan teknologi dengan konsep minimum cost. Diagram alir analisis dampak penghapusan captive power terhadap sistem kelistrikan di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Analisis Dampak Penghapusan Captive Power terhadap Sistem Kelistrikan di Indonesia 2.2 Analisis Dampak Penghapusan Captive Power Dampak penghapusan captive power terhadap sistem kelistrikan di analisis berdasarkan keluaran model MARKAL pada kasus dasar dan kasus penghapusan captive power dengan mempertimbangkan biaya sistem penyediaan energi yang rendah dan opsi pemilihan teknologi yang ramah lingkungan.

30

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Kurun waktu yang diambil untuk analisis adalah mulai tahun 2000 sampai tahun 2030 dan hasil keluaran model yang dibutuhkan untuk bahan analisis adalah jenis dan kapasitas pembangkit listrik serta captive power, total sistem biaya untuk undiscounted dan discounted cost, total pemakaian energi (batubara, gas, minyak dan renewable) dan CO2, serta shadow price (biaya pokok produksi listrik). Penghapusan captive power diharapkan memberikan dampak positif bagi ekonomi makro, memberikan kesinambungan pasokan listrik jangka panjang, dan mendorong penggunaan energi non fosil. 3 HASIL PENELITIAN

Sebelum menganalisis hasil penelitian berdasarkan keluaran model terlebih dahulu harus dilakukan evaluasi data pembangkit listrik yang telah ada pada tahun 2000. Evaluasi data tersebut amat penting untuk dapat melihat keakuratan keluaran model dengan membandingkan data kapasitas pembangkit listrik tahun 2000 dan kapasitas pembangkit listrik keluaran model pada periode 1. Kurun waktu untuk setiap periode dalam penelitian ini adalah 5 tahun, sehingga untuk periode 1 mencakup dari tahun 1998 sampi tahun 2002.

3.1 Evaluasi Data Kapasitas Pembangkit Listrik Tahun 2000 Seperti yang dijelaskan pada bab pendahuluan, pada akhir tahun 2000 total kapasitas pembangkit listrik PLN dan non PLN (termasuk captive power) adalah sebesar 37,59 GW (20,76 GW untuk Pembangkit Listrik PLN dan 1,61 GW untuk Pembangkit Listrik Swasta serta 15,22 GW untuk captive power). Jenis pembangkit listrik PLN dan non PLN yang telah terpasang sampai akhir tahun 2000 tersebar di seluruh wilayah Indonesia, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dan Gas Turbin terpasang di wilayah Sumatra Bagian Selatan dan Jawa, PLTU Minyak dan PLTU Gas terpasang di wilayah Sumatra Bagian Utara dan Jawa, Gas Combined Cycle terpasang di wilayah Kalimantan Barat, Sumatra Bagian Utara dan Jawa, High Speed Diesel (HSD) Gas Turbin terpasang di wilayah Batam, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra Bagian Selatan, Sumatra Bagian Utara dan Jawa, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) terpasang di semua wilayah Indonesia, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) hampir di semua wilayah kecuali Batam, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara, serta Panas Bumi yang saat itu baru terpasang di Jawa. Pada umumnya, wilayah yang mempunyai cadangan gas bumi atau yang terlewati jaringan pipa gas telah memanfaatkan gas bumi dalam memproduksi listriknya, sedangkan untuk wilayah yang tidak mempunyai cadangan gas bumi ataupun jaringan pipa gas lebih memilih untuk memanfaatkan sumber energi yang mudah diperoleh, diesel, dan sumber energi setempat. Sebagai contoh di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), khususnya di daerah terpencil (remote areas), province Riau, Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu memanfaatkan diesel power plants (PLTD) untuk membangkitkan listrik, karena wilayah ini kebutuhan listriknya rendah. Di semua wilayah, biasanya PLTD digunakan pada saat peak load, sehingga PLTD amat berperan pada wilayah yang pada saat base load kebutuhan listriknya rendah. Besarnya kapasitas terpasang per jenis captive power per propinsi pada akhir tahun 2000 ditunjukkan pada Tabel 1.

31

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 1. Kapasitas Terpasang Captive Power Per Jenis Pembangkit Per Propinsi (MW)
Propinsi PLTA PLTUMinyak PLTUBatubara PLTUGas 42,81 6,17 1090,07 PLT Disel 113,49 167,24 50,63 498,94 101,38 10,58 231,41 141,67 224,14 64,58 204,26 345,41 39,88 15,38 45,22 176,12 200,98 174,91 64,53 265,60 9,23 3145,58 800,88 577,36 83,88 2693,68 1206,10 5361,89 8507,47 PLT Gas PLTULimbah Kayu 40,98 56,26 8,89 57,51 14,00 10,42 40,08 3,60 6,00 13,10 25,50 Total

D.I Aceh Sumatra Utara 535,68 0,16 Sumatra Barat 0,84 12,00 Riau 78,95 Jambi Bengkulu Sumatra Selatan 95,06 Lampung 5,18 Kalimantan Barat Kalimantan Tengah 4,38 Kalimantan Selatan 7,50 68,75 Kalimantan Timur 20,83 167,08 Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan 477,04 26,40 5,28 Maluku Irian Jaya 5,60 Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Luar Jawa 1019,16 238,30 253,27 Jawa Timur 107,11 Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Barat 157,28 2,25 69,20 D.K.I Jaya Jawa 157,28 183,36 69,20 Indonesia 1176,44 421,66 322,47 Sumber: Statistik Ketenagalistrikan Dan Energi Tahun 2000

347,24 9,25 364,66 8,92 196,85 71,40

21,34 0,18

188,03

85,54 357,82

4,30 2,82

4,48

1514,16 226,39 2,00 545,88 774,27 2288,43

1444,50 221,51

280,64 5,88 7,68 3,84

539,61 761,12 2205,62 17,40 298,04

544,52 774,76 72,36 2090,13 124,30 10,58 555,08 258,33 227,92 74,96 379,15 1104,67 39,88 15,38 45,22 689,14 200,98 187,81 64,53 426,68 9,23 7895,61 1361,77 661,04 87,72 4007,90 1206,10 7324,52 15220,13

Analisis Kapasitas Pembangkit Listrik dan Captive Power Berdasarkan Keluaran Model MARKAL Berdasarkan keluaran model MARKAL, pada kasus dasar, total kapasitas pembangkit listrik dan captive power di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 38,45 GW dan meningkat menjadi 208,95 GW pada tahun 2030. Perbedaan total kapasitas pembangkit listrik dan captive power antara hasil keluaran model MARKAL dengan data statistik PLN dan Statistik Ketenagalistrikan dan Energi Tahun 2000, disebabkan hasil keluaran model MARKAL tahun 2000 sudah mempertimbangkan pertambahan kapasitas pembangkit listrik dan captive power sampai dengan tahun 2005, sedangkan data statistik PLN dan Statistik Ketenagalistrikan dan Energi Tahun 2000 hanya menunjukkan besarnya kapasitas pembangkit listrik dan captive power pada tahun 2000. Selama kurun waktu 30 tahun tersebut, total kapasitas pembangkit listrik akan meningkat sebesar 7,4% per tahun dari 21,16 GW pada tahun 2000 menjadi 177,78 GW pada tahun 2030, sedangkan total kapasitas captive power hanya meningkat sebesar 2% per tahun dari 17,29 GW pada tahun 2000 menjadi 31,7 GW pada tahun 2030. Pada kasus penghapusan captive mulai tahun 2020, total kapasitas pembangkit listrik hanya sedikit meningkat dari kasus dasar, yaitu sebesar 7,6% per tahun atau pada tahun 2030 meningkat menjadi 189,25 GW, begitupula dengan captive power peningkatannya menjadi lebih kecil dibanding kasus dasar, yaitu sebesar 1,2% per tahun atau menjadi 24,48 GW pada tahun 2030. Masih adanya peningkatan captive power pada kasus ini disebabkan ada jenis captive (cogeneration) yang keberadaannya sangat menguntungkan industri (kayu, gula, kertas dan tekstil) serta ada jenis captive (biomasa, photovoltaic, dan hydro/minihydro) lainnya yang keberadaannya dapat membantu pemenuhan kebutuhan listrik terutama di daerah terpencil yang jauh dari aliran listrik PLN. Sampai dengan tahun 2005, total kapasitas pembangkit listrik pada ke dua kasus tersebut sama dan selanjutnya mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2030 total kapasitas pembangkit listrik pada ke dua kasus tersebut berbeda. Perbedaan total kapasitas pembangkit listrik pada kasus penghapusan captive pada tahun 2020 terhadap kasus dasar disebabkan pada kasus penghapusan captive

3.2

32

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

tersebut, mulai tahun 2010 beberapa jenis captive, kapasitas terpasangnya tidak ditingkatkan hanya dibiarkan sesuai life time nya, sehingga berangsur-angsur akan menurun, sedangkan beberapa jenis captive lainnya sesuai dengan kasus yang diambil yaitu sudah tidak diproduksikan lagi sejak tahun 2020, sehingga kapasitas dari captive tersebut digantikan oleh PLTU Batubara (Sumatra, Jawa dan Sulawesi); PLTD (untuk semua wilayah kecuali Sumatra dan Jawa); Gas Gas Turbin (untuk semua wilayah kecuali Kalimantan dan Pada tahun 2000 hingga 2005 pembangkit Sulawesi); serta HSD Gas Turbin (Sulawesi). Listrik combined cycle merupakan pembangkit listrik dengan kapasitas terbesar dengan pangsa 26% dari total kapasitas terpasang disusul PLTU Batubara, PLTD, PLTU Minyak, dan HSD Gas Turbin. Sedangkan pada tahun 2010 sampai dengan 2030 pada ke dua kasus tersebut, combined cycle tidak lagi merupakan pembangkit listrik dengan kapasitas terbesar akan tetapi sebaliknya PLTU Batubara yang tadinya hanya menduduki peringkat ke dua, pada kurun waktu tersebut, PLTU Batubara menjadi pembangkit listrik dengan kapasitas terbesar baru kemudian disusul combined cycle dan untuk pembangkit listrik lainnya pangsanya relatif kecil. Hal tersebut disebabkan biaya pembangunan PLTU Batubara dapat bersaing dengan pembangkit listrik combined cycle. Pulau Jawa mempunyai kapasitas pembangkit listrik combined cycle dan PLTU Batubara dengan pangsa terbesar. Pada awalnya pangsa kapasitas pembangkit listrik combined cycle di Jawa mencapai lebih dari 80% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik combined cycle di Indonesia, dan sisanya tersebar di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sumatra. Sedangkan pangsa kapasitas terpasang PLTU Batubara di Pulau Jawa mencapai sekitar 90% dari kapasitas terpasang PLTU Batubara di Indonesia. Walaupun kapasitas PLTU batubara di Jawa mempunyai pangsa terbesar, akan tetapi pangsa kapasitas PLTU Batubara di Jawa tersebut berangsur-angsur menurun hingga pada tahun 2030 menjadi 69%, karena selain adanya peningkatan dari pembangkit listrik combined cycle juga berdasarkan hasil model ini mulai tahun 2020 PLTN sedikit demi sedikit akan mulai dapat bersaing. Bersaingnya PLTN terhadap PLTU Batubara disebabkan penambahan kapasitas pelabuhan penerima batubara di Jawa dibatasi, sehingga pasokan batubara ke Jawa terbatas dan penambahan kapasitas PLTU Batubara hanya mampu sesuai dengan besarnya pasokan batubara. Sebaliknya dengan penurunan kapasitas PLTU Minyak dan PLTD menyebabkan pangsa kapasitas PLTU Batubara di Sumatra, Kalimantan Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan meningkat. Perbedaan kapasitas pembangkit listrik dari ke dua kasus tersebut mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2030 ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan Kapasitas Pembangkit Listrik pada Kasus Dasar dan Kasus Penghapusan Captive Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2030
2010 Dasar PLTU Batubara PLTD Gas Gas Turbin HSD Gas Turbin Hydro Nuklir PLTUMinyak Panas Bumi 19,63 2,24 1,83 1,65 2,39 0 1,37 0,98 Captive 19,06 2,37 1,79 1,68 2,39 0 1,37 0,98 2015 Dasar 34,52 1,69 2,02 1,68 5,53 0 1,00 1,02 5,39 Captive 34,4 2,08 2,51 1,70 5,83 0 1,00 1,02 5,85 2020 Dasar 52.33 0,03 2,65 1,99 7,54 4,00 0,91 2,83 9,58 Captive 52.17 1,01 3,08 2.41 8.08 4,61 0,91 2,83 10,11 2025 Dasar 70.89 0,01 1,39 2.12 8.72 11,2 0 3,71 24,4 Captive 71.24 4,08 2,13 2.41 9.26 11,2 0 3,71 30,27 2030 Dasar 103,5 1,39 1,53 13.69 9.91 13,92 0,10 5,47 28,25 Captive 105, 93 5,72 2,73 14,2 8 10.4 5 13,9 2 0,10 5,47 30,4 7

Combined Cycle 6,59 7,05 Sumber: Keluaran Model MARKAL, 2004

33

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Perbandingan total kapasitas pembangkit dan captive power pada kasus dasar (BASECASE) dan kasus penghapusan captive (captivecase) dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2030 ditunjukkan pada Grafik 1.

200 180 160 Kapasitas (GW) 140 120 100 80 60 40 20 0 2000 2005 2010 2015 Tahun 2020 2025 2030 Basecase Tot Kap Pembangkit Basecase Tot Kap Captive Captivecase Tot Kap Pembangkit Captivecase Tot Kap Captive

Grafik 1. Perbandingan Total Kapasitas Pembangkit dan Captive Power pada BASECASE dan Captivecase Pada kedua kasus yang diambil, sejak tahun 2005 kapasitas captive diesel, minyak dan HSD Gas Turbin berangsur-angsur berkurang sesuai dengan life time nya. Hal tersebut disebabkan kebutuhan listrik di industri sudah dicukupi oleh produksi listrik PLN, sehingga industri yang wilayahnya dialiri listrik PLN tidak memerlukan captive power lagi atau captive power hanya berfungsi sebagai cadangan. Perbedaan kapasitas captive power per jenis dari kedua kasus tersebut dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2030 ditunjukkan pada Grafik 2.
20 18 16 Kapasitas (GW) 14 12 10 8 6 4 2 0 Captive Captive Captive Captive Captive Captive Captive Dasar Dasar Dasar Dasar Dasar Dasar Dasar 2030
Photo Voltaic Captive Diesel Captive Hydro+Minihidro Captive Biomass Captive Batubara Captive HSD Gas Turbine Captive Minyak Captive Cogeneration

2000

2005

2010

2015

2020

2025

Grafik 2. Perbedaan Kapasitas Captive Power per Jenis pada BASECASE dan Captivecase Berlainan dengan ketiga captive tersebut, dari grafik 2 terlihat bahwa captive batubara yang pada kasus dasar kapasitasnya meningkat setelah adanya kasus penghapusan captive power yang di mulai pada tahun 2020 menyebabkan pada kasus ini terjadi penurunan kapasitas secara drastis karena beberapa daerah yang memanfaatkan captive batubara memungkinkan dapat menggantikannya

34

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

dengan suplai listrik PLN. Sedangkan photovoltaic dan biomasa pada ke dua kasus tersebut kapasitasnya meningkat, disebabkan captive ini terpasang di daerah terpencil yang jauh dari listrik PLN. Sedangkan captive hydro/minihydro kapasitasnya tetap karena captive tersebut mempunyai life time yang cukup lama yaitu 50 tahun, sedangkan penelitian ini hanya dilakukan pada kurun waktu 30 tahun. Captive cogeneration sebagai penghasil listrik tidak mungkin dihapuskan karena sangat menguntungkan, terutama pada industri yang menghasilkan steam. Ditinjau berdasarkan wilayah yang memanfaatkan captive ternyata dari ke dua kasus tersebut, yaitu kasus dasar dan kasus penghapusan captive, Pulau Jawa mempunyai total kapasitas captive tertinggi disusul Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, sedangkan Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua hanya sebagaian kecil yang ditunjukkan pada Grafik 3.

16 14 12 10 Kapasitas (GW) 8 6 4 2 0 Da sa r Ca pti ve Da sa r Ca pti ve Da sa r Ca pti ve Da sa r Ca pti ve Da sa r Ca pti ve Da sa r Ca pti ve Da sa r Ca pti ve


Tot.Captive Jawa Tot.Captive Kalimantan Tot.Captive Maluku, NTB, NTT Tot.Captive Sumatra Tot.Captive Sulawesi Tot.Captive Papua

2000

2005

2010

2015

2020

2025

2030

Grafik 3. Perbedaan Kapasitas Captive Power per Wilayah pada BASECASE dan Captivecase Jenis dan kapasitas captive per wilayah untuk kasus dasar dan kasus penghapusan captive dibahas secara rinci pada sub-bab berikut. 3.2.1 Jenis dan Kapasitas Captive di Pulau Jawa Pulau Jawa mempunyai penduduk yang paling besar dengan kepadatan penduduk yang paling padat dibanding dengan pulau lainnya, sehingga kebutuhan listriknya juga paling besar, apalagi semua kegiatan ekonomi terpusat di pulau tersebut. Sampai tahun 2004 masih banyak industri di pulau ini yang memanfaatkan captive untuk memproduksi listrik, akan tetapi dengan adanya komitmen PLN untuk meningkatkan kehandalan dan menjaga kesinambungan suplai listriknya, mengakibat keberadaan captive, terutama captive yang berbahan bakar batubara, diesel, dan minyak bakar di industri berangsur-angsur dapat dihapuskan. Hal tersebut dapat terlihat dari keluaran mode pada kasus dasar dan kasus penghapusan captive, setelah tahun 2020 semua jenis captive tersebut sudah tidak diperlukan lagi, akan tetapi untuk jenis captive biomasa dan cogeneration keberadaannya masih diperlukan, terutama pada industri kayu dan industri gula serta tekstil. Sedangkan captive minihydro/hydro dan photovoltaic diperlukan untuk melistriki daerah terpencil yang jauh dari aliran listrik PLN. Khusus captive photovoltaic apabila pada ke dua kasus tersebut diberlakukan biaya investasi sebesar 5.830 juta $/GW dan 3.190 juta $/GW, biaya captive tersebut tidak akan dapat bersaing dengan jenis captive lainnya, akan tetapi captive photovoltaic tersebut dapat bersaing setelah biaya investasinya diturunkan menjadi 1.650 juta $/GW dan pemakaian diesel serta minyak bakar pada captive dihapuskan. Hal tersebut menyebabkan total kapasitas captive di

35

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Pulau Jawa setelah tahun 2025 meningkat. Berbagai jenis captive dan kapasitasnya di Pulau Jawa ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan Kapasitas Captive di Pulau Jawa (GW)
2010 Dasar Batubara Diesel HSD Gas Turbin Minihydro+Hydro Minyak Biomass Cogeneration Photovoltaic 2,48 2,68 0,46 0,16 0,11 0,07 1,04 0 Captive 2,48 2,68 0,46 0,16 0,11 0,07 1,04 0 2015 Dasar 2,48 1,34 0,33 0,16 0,07 0,09 1,13 0 5,60 Captive 2,48 1,34 0,33 0,16 0,07 0,09 1,13 0 5,60 2020 Dasar 2,48 0 0,20 0,16 0,07 0,11 1,26 0 4,28 Captive 2,48 0 0,20 0,16 0,07 0,11 1,26 0 4,28 2025 Dasar 0 0 0 0,16 0 0,12 1,38 0 1,66 Captive 0 0 0 0,16 0 0,12 1,38 0 1,66 2030 Dasar 0 0 0 0,16 0 0,14 1,51 12,16 13,97 Captive 0 0 0 0,16 0 0,14 1,51 13,20 15,01

Total 7,00 7,00 Sumber: Keluaran Model MARKAL, 2004

3.2.2 Jenis dan Kapasitas Captive di Sumatra Berlainan dengan Pulau Jawa, walaupun Sumatra kaya akan berbagai sumber energi, akan tetapi industri yang ada di Sumatra relatif kecil. Sumatra mempunyai penduduk yang lebih kecil dibandingkan Jawa dengan kepadatan penduduk rendah, sehingga kebutuhan listriknya lebih rendah dari pada Jawa. Berbagai jenis captive dan kapasitasnya di Pulau Sumatra ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis dan Kapasitas Captive di Sumatra (GW)
2010 Dasar Batubara Diesel HSD Gas Turbin Minihydro+Hydro Minyak Biomass Cogeneration Photovoltaic 3,76 0,66 0,50 0,54 0,11 0,42 0,46 0 Captive 3.73 0.66 0,50 0,54 0,11 0,42 0,46 0 Dasar 4.62 0.33 0,25 0,54 0,07 0,61 0,48 0 6,90 2015 Captive 3.73 0.33 0,25 0,54 0,07 0,61 0,48 0,29 6,30 Dasar 4.6 0 0 0,54 0,07 0,68 0,50 0 6,39 2020 Captive 3.72 0 0 0,54 0,07 0,68 0,50 0,29 5,80 Dasar 3.84 0 0 0,54 0 0,74 0,53 2,30 7,95 2025 Captive 2.35 0 0 0,54 0 0,74 0,53 2,76 6,92 Dasar 0.86 0 0 0,54 0 0,81 0,57 2,30 5,08 2030 Captive 0 0 0 0,54 0 0,81 0,57 2,76 4,68

Total 6,45 6,42 Sumber: Keluaran Model MARKAL, 2004

Pada Tabel 4 terlihat bahwa captive batubara, biomasa, cogeneration ,minihydro/hydro dan photovoltaic tetap diperlukan di pulau ini, mengingat di pulau ini masih banyak industri yang berproduksi didaerah terpencil yang jauh dari aliran listrik PLN dan adapula beberapa industri yang dalam produksinya memerlukan batubara dan biomasa bahkan ada industri yang menghasilkan steam, sehingga dalam menghasilkan listriknya sumber energi tersebut dapat dimanfaatkan. Khusus captive photovoltaic apabila pada ke dua kasus tersebut diberlakukan biaya investasi sebesar 5.830 juta $/GW dan 3.190 juta $/GW, biaya captive tersebut tidak akan dapat bersaing dengan jenis captive lainnya, akan tetapi captive photovoltaic tersebut dapat bersaing setelah biaya investasinya diturunkan menjadi 1.650 juta $/GW dan pemakaian diesel dan minyak bakar pada captive dihapuskan. 3.2.3 Jenis dan Kapasitas Captive di Kalimantan Seperti halnya Sumatra, Kalimantan juga kaya akan berbagai sumber energi, tetapi kegiatan yang menunjang perekonomian di pulau ini relatif kecil. Selain itu seperti Sumatra, kepadatan penduduk di pulau ini juga rendah, yang mengakibatkan kebutuhan listriknyapun relatif rendah dibandingkan Jawa. Pada kasus dasar sampai dengan tahun 2030 semua captive dibutuhkan disini, karena ketersediaan

36

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

listrik PLN masih belum menyeluruh ke pelosok Kalimantan. Pada kasus penghapusan captive, mulai tahun 2025 keberadaan captive batubara dan minyak bakar sudah tidak dibutuhkan dan digantikan dengan captive biomasa, karena captive biomasa lebih murah dibandingkan dengan ke dua captive tersebut. Seperti di Jawa dan Sumatra, keberadan captive cogeneration pada industri yang menghasilkan steam tetap dipertahankan karena menguntungkan. Sedangkan photovoltaic sangat diperlukan untuk melistriki daerah terpencil yang jauh dari aliran listrik PLN apabila biaya investasinya diturunkan menjadi 1.650 juta $/GW. Berbagai jenis captive dan kapasitasnya di Pulau Kalimantan ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis dan Kapasitas Captive di Pulau Kalimantan (GW)
2010 Dasar Batubara Diesel HSD Gas Turbin Minyak Biomasa Cogeneration 0,24 0,41 0,92 0,03 0,05 0,13 Captive 0,24 0,41 0,93 0,03 0,05 0,13 2015 Dasar 0,90 0,24 1,07 0,05 0,06 0,14 0 2,46 Captive 0,24 0,24 1,06 0,03 0,06 0,14 0 1,77 2020 Dasar 2,19 0,38 1,14 0,05 0,08 0,15 0,13 4,12 Captive 0,24 0,42 1,21 0,03 0,09 0,15 0,34 2,48 2025 Dasar 3,97 0,52 1,21 0,01 0,08 0,16 0,54 6,49 Captive 0 0,42 0,92 0 0,61 0,16 0,59 2,70 2030 Dasar 4,62 1,17 1,18 0,01 0,14 0,17 0,64 7,93 Captive 0 0,42 0,64 0 0,71 0,17 1,48 3,42

Photovoltaic 0 0 Total 1,78 1,79 Sumber: Keluaran Model MARKAL, 2004

3.2.4 Jenis dan Kapasitas Captive di Sulawesi Sulawesi dalam memenuhi kebutuhan listrik dalam kegiatan perekonomiannya membutuhkan captive hingga jaringan transmisi PLN yang menghubungkan listrik ke konsumen di pulau ini telah tersambung ke seluruh wilayah Sulawesi. Pada kasus dasar dan kasus penghapusan captive sampai dengan tahun 2030 beberapa jenis captive, yaitu captive batubara, captive biomasa, captive minihydro/hydro dan captive batubara dibutuhkan disini. Berbagai jenis captive dan kapasitasnya di Pulau Sulawesi ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis dan Kapasitas Captive di Sulawesi (GW)
2010 Dasar Batubara Diesel Minihydro+Hydro Minyak 0,41 0,56 0,50 0,03 Captive 0,44 0,44 0,50 0,03 2015 Dasar 0,80 0,62 0,50 0,03 0,01 1,96 Captive 0,78 0,41 0,50 0,03 0,01 1,73 2020 Dasar 1,35 0,38 0,50 0 0,01 2,24 Captive 0,78 0,16 0,50 0 0,01 1,45 2025 Dasar 2,07 0,24 0,50 0 0,01 2,82 Captive 0,77 0,03 0,50 0 0,01 1,31 2030 Dasar 2,65 0,09 0,50 0 0,01 3,25 Captive 0,60 0 0,50 0 0,01 1,11

Biomass 0,01 0,01 Total 1,51 1,42 Sumber: Keluaran Model MARKAL, 2004

Jenis dan Kapasitas Captive di Pulau Maluku, Nusa Tenggara Barat, Dan Nusa Tenggara Timur Pulau Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur dalam menjalankan perekonomiannya memerlukan pasokan listrik secara berkesinambungan, dimana sebagaian besar kebutuhan listriknya diperoleh dari captive diesel mengingat kebutuhan listrik di wilayah ini masih relatif kecil. Selain kegiatannya yang masih terbatas, juga penduduknya yang relatif kecil dengan kepadatan yang rendah, sehingga captive diesel dan captive photovoltaic sangat sesuai untuk memenuhi kebutuhan listrik seperti yang ditunjukkan pada kasus dasar. Pada kasus penghapusan captive, dalam memenuhi kebutuhan listriknya sampai dengan tahun 2030 hanya captive photovoltaic yang sangat berperan disini, karena captive ini sangat sesuai dengan kondisi setempat. Berbagai jenis captive dan kapasitasnya di Pulau Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur ditunjukkan pada Tabel 7.

3.2.5

37

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 7. Jenis dan Kapasitas Captive di Pulau Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (GW)
2010 Dasar Diesel Photovoltaic 0,23 0 Captive 0,23 0 2015 Dasar 0,15 0,01 0,16 Captive 0,12 0,01 0,13 2020 Dasar 0,20 0,01 0,21 Captive 0 0,01 0,01 2025 Dasar 0,27 0,01 0,28 Captive 0 0,01 0,01 2030 Dasar 0,35 0,01 0,36 Captive 0 0,01 0,01

Total 0,23 0,23 Sumber: Keluaran Model MARKAL, 2004

3.2.6 Jenis dan Kapasitas Captive di Papua Seperti halnya Sumatra dan Kalimantan, Papua juga kaya akan berbagai sumber energi, seperti gas bumi, minyak bumi dan energi air, sedangkan industri yang ada di Papua masih sangat terbatas, sehingga kebutuhan listriknyapun juga masih rendah. Selain itu penduduk dan kepadatan penduduknya juga rendah. Berbagai jenis captive dan kapasitasnya di Papua ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Jenis dan Kapasitas Captive di Papua (GW)
2010 Dasar Diesel HSD Gas Turbin Minihydro+Hydro Cogeneration Total 0,09 0,08 0,01 0,07 0,25 Captive 0,09 0,08 0,01 0,07 0,25 2015 Dasar 0,04 0,13 0,01 0,07 0,25 Captive 0,04 0,13 0,01 0,07 0,25 2020 Dasar 0 0,23 0,01 0,08 0,32 Captive 0 0,23 0,01 0,08 0,32 2025 Dasar 0 0,32 0,01 0,09 0,42 Captive 0 0,18 0,01 0,09 0,28 2030 Dasar 0 0,48 0,01 0,09 0,58 Captive 0 0,15 0,01 0,09 0,25

Sumber: Keluaran Model MARKAL, 2004

Tabel 8 menunjukkan bahwa pada kasus dasar dan kasus penghapusan captive sampai dengan tahun 2015 semua captive (diesel, HSD gas turbin, Minihydro+Hydro, dan cogeneration) dibutuhkan disini, karena keterbatasan ketersediaan listrik PLN. Selanjutnya mulai tahun 2020, keberadaan captive diesel sudah tidak diperlukan. 3.3 Discounted dan Undiscounted Total Biaya Sistem Discounted dan undiscounted total biaya sistem pada kasus penghapusan captive pada tahun 2000 sampai 2010 lebih kecil dibandingkan dengan total sistem biaya pada kasus dasar, karena pemanfaatan renewable (panas bumi, tenaga air, tenaga surya, dan biomasa) pada kasus dasar lebih tinggi dibandingkan kasus penghapusan captive. Pada umumnya biaya pembangkitan pembangkit listrik berbahan bakar renewable dan nuklir lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batubara, gas bumi, dan minyak). Setelah tahun 2010, yaitu tahun 2015 sampai tahun 2030 pemanfaatan renewable dan nuklir pada pembangkit listrik lebih besar dibandingkan dengan kasus dasar. Oleh karenanya dengan adanya perbedaan pemanfaatan renewable dan nuklir pada pembangkit listrik dari ke dua kasus tersebut, mengakitbatkan discounted dan undiscounted total biaya sistem pada kasus penghapusan captive lebih tinggi dibandingkan dengan discounted dan undiscounted total biaya sistem pada kasus dasar. Perbedaan discounted total biaya sistem pada kasus dasar dan kasus penghapusan captive dari periode tahun 2000 sampai 2030 ditunjukkan pada Grafik 4 dan Grafik 5.

38

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

160,000 140,000 Undiscounted Tot Sy: US$/Year 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 BASE CASE CAPTIVE CASE

3,500

30,000 Discounted Total System Cost (US$/Tahun) 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030
SELISIH

400 300 200 100 0 Selisih Discounted Total System Cost (Juta S$/Tahun)

3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 Differences Undiscour Cost

100.0 200.0

BASE CASE

CAPTIVE CASE

SELISIH

Grafik 4. Perbedaan Discounted Biaya Sistem Kasus Dasar terhadap Kasus Captive Tahun 2000 sampai 2030 3.4

Grafik 5. Perbedaan undiscounted Total Biaya Sistem Kasus Dasar terhadap Kasus Captive Tahun 2000 sampai 2030

Hubungan Discounted Total Biaya Sistem terhadap Emisi CO2, Pemakaian Minyak, Pemakaian Gas, Pemakaian Batubara, Pemakaian Nuklir, dan Pemakaian Renewable Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2035, terlihat bahwa total peningkatan pemanfaatan renewable dan nuklir diikuti dengan peningkatan pemanfaatan minyak dan gas bumi serta pengurangan pemanfaatan batubara. Peningkatan minyak dan gas bumi pada kasus penghapusan captive dari kasus dasar masih lebih kecil dibandingkan pengurangan pemakaian batubara, sehingga pada kasus penghapusan captive dapat mengurangi besarnya CO2. Selain itu pengurangan besarnya CO2 pada kasus penghapusan captive juga disebabkan terjadinya peningkatan pemanfaatan renewable dan nuklir terhadap kasus dasar. Tabel 9 menunjukkan hubungan discounted total biaya sistem, CO2, pemakaian minyak, pemakaian gas, pemakaian batubara, pemakaian nuklir, dan pemakaian renewable pada kasus penghapusan captive dan kasus dasar. Tabel 9. Hubungan Discounted Total Biaya Sistem terhadap Emisi CO2, Pemakaian Minyak, Pemakaian Gas, Pemakaian Batubara, Pemakaian Nuklir, dan Pemakaian Renewable pada Kasus Penghapusan Captive terhadap Kasus Dasar
Tahun 2000 2035 Discounted Total Sistem Biaya Juta US$ Base Captive 678140 680505 CO2 Juta Ton 4123 4067 Pemakaian Minyak PJ 219851 222971 Pemakaian Gas PJ 78119 80445 2326 Pemakaian Batubara PJ 227252 218551 -8701 Pemakaian Nuklir PJ 14704 14901 197 Pemakaian Renewable PJ 120732 123032 2301

Perbedaan 2365 -56 3120 Keterangan: Pertumbuhan kebutuhan listrik rata-rata per tahun adalah 7% Sumber : Keluaran Model MARKAL, 2004

3.5 Biaya Pokok Produksi Listrik Dari hasil penelitian disini besarnya biaya pokok produksi listrik sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu biaya bahan bakar, biaya investasi, biaya operasi dan perawatan (fix dan variabel) serta life time pembangkit listrik, serta biaya transmisi dan distribusi sampai ke konsumen (Tabel 10). Hasil keluaran model untuk biaya pokok produksi listrik (shadow price) sampai konsumen per wilayah yang ditunjukkan pada Tabel 10 merupakan biaya rata-rata siang dan malam dari semua jenis pembangkit listrik dengan mempertimbangkan biaya transmisi dan distribusi sampai ke konsumen. Oleh karenanya dengan adanya peningkatan produksi listrik yang berasal dari penambahan kapasitas pembangkit listrik dari pembangkit listrik berbahan bakar renewable dan nuklir pada tahun

39

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

2010 sampai dengan 2030 pada kasus dasar dan kasus penghapusan captive menyebabkan biaya pokok produksi listrik rata-rata meningkat. Tabel 10. Biaya Pokok Produksi Listrik rata-rata per Wilayah (Rp/kWh)
Kasus Dasar Jawa Sumatra KalSel KalBar KalTeng KalTim SulSel SulTra Sulteng SuLut Maluku Papua NTB 2010 Kasus Captive 522 471 453 626 598 311 391 893 885 619 554 347 510 2015 Kasus Kasus Dasar Captive 604 587 708 635 1046 379 420 1038 1064 816 994 380 877 928 606 596 702 635 1289 474 412 1337 1411 833 999 360 868 951 2020 Kasus Kasus Dasar Captive 684 702 752 980 918 423 420 811 768 769 902 283 878 1046 691 759 665 996 994 743 702 848 800 779 1293 689 880 1047 2025 Kasus Kasus Dasar Captive 820 933 803 974 915 490 419 872 833 793 899 365 872 1038 827 942 1103 1093 1096 1030 868 924 877 862 1283 1187 891 1042 2030 Kasus Kasus Dasar Captive 967 998 547 976 918 534 420 757 766 760 905 365 844 990 971 997 1063 1086 1082 1015 811 866 837 825 1286 1181 868 1017

523 489 463 626 598 310 414 861 819 619 554 356 510

NTT 969 971 Sumber: Keluaran Model MARKAL, 2004

KESIMPULAN

1) Sampai tahun 2004 masih banyak industri yang memanfaatkan captive untuk memproduksi listrik agar mendapatkan pasokan listrik secara berkesinambungan dengan tegangan yang relatif stabil yang belum didapatkan dari produksi listrik PLN. Hal tersebut disebabkan saat ini availability (ketersediaan) dan reliability (keandalan) dari listrik yang disediakan PLN masih relatif rendah, tetapi PLN sudah berkomitmen untuk meningkatkan keandalan dan menjaga kesinambungan suplai listriknya dan pada tahun 2020 PLN berharap kesinambungan suplai listrik dan keandalan penyediaan listrik dengan tegangan yang relatif stabil sesuai dengan tingkat yang diharapkan oleh semua konsumen. Selanjutnya, keberadaan captive (captive batubara, diesel, dan minyak bakar) di industri pada daerah yang dilewati listrik PLN berangsur-angsur dapat dihapuskan, sedangkan untuk melistriki daerah terpencil keberadaan captive hydro/minihydro, photovoltaic dan biomasa masih diperlukan. 2) 3) Hasil keluaran model MARKAL pada kasus dasar dan kasus penghapusan captive memperlihatkan bahwa setelah tahun 2020 semua jenis captive kecuali captive biomasa, hydro/minihydro, photovoltaic dan cogeneration sudah tidak diperlukan lagi. Captive photovoltaic dan biomasa pada ke dua kasus tersebut kapasitasnya meningkat, disebabkan captive ini terpasang di daerah terpencil yang jauh dari listrik PLN. Sedangkan captive hydro/minihydro kapasitasnya tetap karena captive tersebut mempunyai life time yang cukup lama yaitu 50 tahun, sedangkan penelitian ini hanya dilakukan pada kurun waktu 30 tahun. Captive cogeneration sebagai penghasil listrik tidak mungkin dihapuskan karena sangat menguntungkan, terutama pada industri yang menghasilkan steam. Dapat bersaingnya pemanfaatan captive photovoltaic dengan jenis captive lainnya pada ke dua kasus tersebut disebabkan biaya investasi dari captive photovoltaic diprediksi turun dari 5.830 juta $/GW dan 3.190 juta $/GW pada periode tahun 2000 dan 2005 menjadi 1.650 juta $/GW dari tahun 2010 sampai tahun 2035. Discounted dan undiscounted total sistem biaya pada kasus penghapusan captive pada tahun 2000 sampai 2010 lebih kecil dibandingkan dengan total sistem biaya pada kasus dasar, karena pemanfaatan renewable (panas bumi, tenaga air, tenaga surya, dan biomasa) pada kasus dasar lebih

40

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

tinggi dibandingkan kasus penghapusan captive. Pada umumnya biaya pembangkitan pembangkit listrik berbahan bakar renewable dan nuklir lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batubara, gas bumi, dan minyak). Oleh karenanya dengan adanya peningkatan kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2010 sampai dengan 2030 pada kasus dasar dan kasus penghapusan captive yang sebagaian peningkatan kapasitasnya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar renewable dan nuklir menyebabkan terjadi peningkatan pada biaya pokok produksi listrik rata-rata. Juga adanya peningkatan kapasitas pembangkit listrik renewable dan nuklir pada kasus dasar lebih besar dibandingkan kasus penghapusan captive, mengakitbatkan discounted dan undiscounted total sistem biaya pada kasus penghapusan captive lebih tinggi dibanding kasus dasar, sebaliknya pada kasus penghapusan captive dapat mengurangi besarnya CO2. Setelah tahun 2010, yaitu tahun 2015 sampai tahun 2030 pemanfaatan renewable dan nuklir pada pembangkit listrik lebih besar dibandingkan dengan kasus dasar. Oleh karenanya dengan adanya Peningkatan minyak dan gas bumi pada kasus penghapusan captive dari kasus dasar masih lebih kecil dibandingkan pengurangan pemakaian batubara, oleh karena itu

DAFTAR PUSTAKA 1) 1. BPPT. Indonesian MARKAL Database Document, 2004. 2. BPPT. Indonesia Energy Demand Forecast for the Period 2000 up to 2025. ASEAN Report. 3. BPPT-BPMIGAS. Laporan Studi Penyusunan dan Instalasi Sistim Analisis untuk Pemasaran Gas Bumi. 2003. 4. Directorate General of Oil and Gas. Statistik Ketenagalistrikan dan Energi Tahun 2003. Jakarta 2003. 5. DESDM. KEPMEN Rencana Umum Katenagalistrikan Nasional 2004-2013. 2004. 6. PLN. PLN Statistics 2002. 7. PLN. Rencana Penyediaan Tenaga Listrik Luar Jawa-Madura-Bali 2003-2010. Jakarta, September 2003. 8. PT Parikesit Indotama-BPPT. Laporan Hasil Studi Evaluasi dan Pengkajian Bidang Teknologi Energi. Desember 2003. 9. ____________. Investment cost of Photovoltaic. US Research. 2004.

41

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS POTENSI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SURYA DI INDONESIA


Irawan Rahardjo dan Ira Fitriana

ABSTRACT
The high generating cost of PV power generation makes this technology unattractive compared with the conventional power generation. Based on MARKAL model and the assumption that the investment cost of PV is considered constant of 1,650 US$/kW after the year 2010, PV starts being economically feasible in the same year for rural area in some region in Indonesia. If the investment cost of PV is assumed to being constantly decline in every period, the competitiveness of PV is increasing and it is projected that the installed capacity would be four times as that in the base case in the year 2030. In Java island, PV could competitive againts other power generations because there is a limitation on coal harbor interms of loading capacity in Java. In the year 2030 PV could substitute some Coal Power Plant in some area in Indonesia.

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki banyak potensi energi terbarukan, seperti tenaga air (termasuk minihidro), panas bumi, biomasa, angin dan surya (matahari) yang bersih dan ramah lingkungan, tetapi pemanfaatannya belum optimal. Belum optimalnya pemanfaatan energi terbarukan disebabkan biaya pembangkitan pembangkit listrik energi terbarukan, seperti tenaga surya, tidak dapat bersaing dengan biaya pembangkitan pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil (bahan bakar minyak, gas bumi, dan batubara). Indonesia terletak di garis katulistiwa, sehingga Indonesia mempunyai sumber energi surya yang 2 berlimpah dengan intensitas radiasi matahari rata-rata sekitar 4.8 kWh/m per hari di seluruh wilayah Indonesia. Dengan berlimpahnya sumber energi surya yang belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan di sisi lain ada sebagian wilayah Indonesia yang belum terlistriki karena tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN, sehingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan sistemnya yang modular dan mudah dipindahkan merupakan salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pembangkit listrik alternatif. Sayangnya biaya pembangkitan PLTS masih lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya pembangkitan pembangkit listrik tenaga konvensional, karena sampai saat ini piranti utama untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik (modul fotovoltaik) masih merupakan piranti yang didatangkan dari luar negeri. Walaupun pemanfaatan PLTS belum optimal, tetapi sudah cukup banyak dimanfaatkan pada perumahan atau sering disebut Solar Home System (SHS), pompa air, televisi, komunikasi, dan lemari pendingin di PUSKESMAS di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di wilayah terpencil yang jauh dari jaringan listrik PLN. PLTS merupakan teknologi yang ramah lingkungan karena tidak melepaskan polutan seperti halnya pembangkit listrik tenaga fosil. Untuk mendapatkan gambaran potensi penerapan PLTS di Indonesia terhadap kendala penerapan PLTS di Indonesia dengan mempertimbangkan berbagai variasi biaya investasi, dilakukan penelitian mengenai Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak dan biaya investasi PLTS yang bervariasi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan pembangkit listrik alternatif terutama di daerah terpencil.

43

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Perangkat Lunak Perangkat lunak (software) yang digunakan dalam penelitian ini adalah model MARKAL, karena model ini memiliki kemampuan untuk menganalisis optimasi alternatif pembangkit listrik dengan mempertimbangkan biaya terendah untuk pemilihan sumber energi dan teknologi pembangkit listrik seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Jawa
Sumber energi Fosil dan Terbarukan: - Biaya; - Total cadangan dan Potensi

Fungsi Obyektif Minimum Cost

Kaliman tan Keluaran Kasus Dasar dan Kasus PVCOST : . Kapasitas PLTS . Produksi Listrik PLTS . Total System Cost . Emisi CO2

Sektor Listrik: 1. Teknologi Pembangkit Listrik (PLTU, PLTD, PLTG, PLTGU, PLTN, PLTA, PLTP, Minihydro, PLT Biomasa, dan PLTS): - Biaya (inv, varom, fixom); - Kapasitas, efisiensi, life time; - Emisi CO2 2. Transmisi dan Distribusi 3. Kurva beban

Sulawesi

Sumatra

MODEL MARKAL

Maluku

Kasus Dasar dan PVCOST

Nusa Tenggara

Analisis potensi PLTS di Indonesia

Gambar 1. Diagram Alir Analisis Potensi PLTS Di Indonesia 2.2 Analisis Potensi PLTS Potensi PLTS dianalisis berdasarkan hasil keluaran model MARKAL dengan mengambil dua kasus yaitu kasus dasar (BASE CASE) dan kasus biaya investasi PLTS bervariasi (PVCOST). Kasus dasar merupakan kasus dimana semua kondisi diambil berdasarkan kondisi tahun 2000. Sedangkan pada kasus biaya investasi PLTS bervariasi, biaya investasi PLTS diasumsikan berdasarkan pada penelitian Amerika Serikat, dimana pada penelitian tersebut biaya investasi PLTS dimasa mendatang diperkirakan akan terus menurun. Asumsi yang diperkirakan sama pada kedua kasus tersebut adalah harga minyak mentah sebesar 28 US$/barrel, kapasitas pelabuhan penerima batubara di Pulau Jawa terbatas, pertumbuhan tenaga listrik sebesar 7% per tahun, biaya operasi dan pemeliharaan tetap (FIXOM) sebesar 1% dari biaya investasi, dan kurun waktu penelitian mulai tahun 2000 sampai dengan 2030. Asumsi yang berbeda dari kedua kasus tersebut adalah biaya investasi PLTS. Biaya investasi PLTS pada kasus dasar diasumsikan sebesar 5.830 US$/kW pada tahun 2000, 3.190 US$/kW pada tahun 2005, dan 1.650 US$/kW pada tahun 2010 sampai akhir periode. Sedangkan biaya investasi PLTS pada kasus PVCOST pada tahun 2000, 2005, dan 2010 diasumsikan sama dengan kasus dasar yaitu 1.650 US$/kW, kemudian biaya investasi ini menurun menjadi 1.430 US$/kW pada tahun 2015, 1.210 US$/kW pada tahun 2020, 1.089 US$/kW pada tahun 2025, dan 968 US$/kW pada tahun 2030. Optimisasi potensi PLTS dengan menggunakan model MARKAL pada kedua kasus tersebut, dipertimbangkan berdasarkan biaya sistem penyediaan energi yang rendah dan dampak penggunaan energi terhadap lingkungan yang minimal. Hasil keluaran model MARKAL yang diperlukan untuk menganalisis perbedaan potensi PLTS di Indonesia pada kasus dasar dan PVCOST adalah kapasitas dan produksi listrik dari PLTS, total system cost, dan total emisi CO2.

44

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

HASIL PENELITIAN

3.1 Analisis Potensi Energi Surya Indonesia mempunyai intensitas radiasi yang berpotensi untuk membangkitkan energi listrik, dengan 2 rata-rata daya radiasi matahari di Indonesia sebesar 1000 Watt/m . Data hasil pengukuran intensitas radiasi tenaga surya di seluruh Indonesia yang sebagian besar dilakukan oleh BPPT dan sisanya oleh BMG dari tahun 1965 hingga 1995 ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Intensitas Radiasi Matahari di Indonesia


Lokasi Intensitas Radiasi 2 (Wh/m ) 4.097 4.951 5.234 4.187 4.324 4.446 2.558 4.149 5.488 4.500 4.300 4.552 4.172 4.796 4.573 4.911 5.512 5.720 5.263 5.747 5.117

Propinsi NAD SumSel Lampung DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur KalBar KalTim KalSel Gorontalo SulTeng Papua Bali NTB NTT Sumber: BPPT, BMG

Tahun Pengukuran 1980 1979-1981 1972-1979 1965- 1981 1980 1991 - 1995 1980 1980 1979-1981 1980 1980 1991-1993 1991-1995 1979 - 1981 1991 - 1995 1991-1995 1991-1994 1992-1994 1977- 1979 1991-1995 1975-1978

Posisi Geografis 4 15 LS; 96 52 BT o o 3 10 LS; 104 42 BT o o 4 28 LS; 105 48 BT o o 6 11 LS; 106 05 BT o o 6 07 LS; 106 30 BT o o 6 11 LS; 106 30 BT o o 6 11 LS; 106 39 BT o o 6 56 LS; 107 38 BT o o 6 59 LS; 110 23 BT o o 7 37 LS; 110 01 BT o o 7 18 LS; 112 42 BT o o 4 36 LS; 9 11 BT o o 0 32 LU; 117 52 BT o o 3 27 LS; 114 50 BT o o 3 25 LS; 114 41 BT o o 1 32 LU; 124 55 BT o o 0 57 LS; 120 0 BT o o 8 37 LS; 122 12 BT o o 8 40 LS ; 115 13 BT o o 9 37 LS; 120 16 BT o o 10 9 LS; 123 36 BT
o o

Pidie Ogan Komering Ulu Kab. Lampung Selatan Jakarta Utara Tangerang Lebak Bogor Bandung Semarang Yogyakarta Pacitan Pontianak Kabupaten Berau Kota Baru Gorontalo Donggala Jayapura Denpasar Kabupaten Sumbawa Ngada

Pada Tabel 1 terlihat bahwa Nusa Tenggara Barat dan Papua mempunyai intensitas radiasi matahari paling tinggi di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan Bogor mempunyai intensitas radiasi matahari paling rendah di seluruh wilayah Indonesia. Dalam penelitian potensi PLTS di Indonesia ini, semua wilayah baik yang mempunyai intensitas radiasi matahari paling tinggi maupun paling rendah dipertimbangkan. Secara umum biaya pembangkitan PLTS lebih mahal dibandingkan dengan biaya pembangkitan pembangkit listrik tenaga fosil, pembangkit listrik tenaga air, minihidro, dan panas bumi. Tetapi seiring dengan adanya penelitian dari Amerika yang menyatakan bahwa biaya investasi PLTS di masa datang akan menurun, sehingga dengan dihapuskannya subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara bertahap dimungkinkan PLTS dapat dipertimbangkan sebagai pembangkit listrik alternatif. Pada tahun 2002, masih banyak daerah terpencil dan pedesaan yang tidak dilewati jaringan listrik PLN, sehingga hanya pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang dimanfaatkan di daerah tersebut. Dengan makin sulitnya memperoleh kesinambungan pasokan minyak solar, menyebabkan beberapa wilayah di Indonesia memanfaatkan PLTS untuk subsitusi PLTD. Pemanfaatan PLTS khusus untuk daerah pedesaan yang kebutuhan listriknya rendah, mengingat di daerah ini listrik diutamakan untuk penerangan. Selain untuk penerangan ada beberapa wilayah yang memanfaatkan PLTS sebagai sumberdaya listrik untuk telekomunikasi, lampu suar, lemari pendingin (Puskesmas), dan pompa air. Pada tahun tersebut, total kapasitas terpasang PLTS di wilayah Indonesia hampir mencapai 3 MWp.

45

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

3.2 Analisis Perkiraan Kapasitas Listrik PLTS pada Kasus Dasar dan PVCOST Berdasarkan output model MARKAL dari kasus dasar dan PVCOST terlihat bahwa dengan biaya investasi PLTS sebesar 1.650 US$/kW, pada tahun 2010 PLTS sudah dapat bersaing dengan pembangkit listrik lainnya. Walaupun pada kenyataannya pada tahun 2002 beberapa wilayah di Indonesia telah memanfaatkan PLTS hampir sebesar 3 MWp yang diterapkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang mengacu pada Bantuan Presiden (BANPRES), bantuan dari luar negeri (AUSAid dan World Bank) serta beberapa badan Pemerintah lainnya seperti Direktorat Jendral Listrik Pertambangan dan Energi (DJLPE), Pememerintah Daerah (PEMDA) dan badan pemerintah lainnya yang dialokasikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Akan tetapi pemanfaatan PLTS tersebut dalam penerapannya tidak didasarkan pada harga ekonomi. Pada tahun 2010, kapasitas terpasang PLTS dari kedua kasus tersebut baru sekitar 0,0075 GW atau sekitar dua setengah kali lipat dari kapasitas terpasang pada tahun 2002. Sedangkan pada tahun 2015 kapasitas terpasang PLTS untuk kedua kasus tersebut meningkat menjadi 0,02 GW dan pada tahun 2030 kapasitas terpasang PLTS meningkat menjadi 15,15 GW pada kasus dasar dan 66,07 GW pada kasus PVCOST. Dengan demikian, kapasitas terpasang PLTS pada kasus PVCOST pada akhir periode (2030) meningkat hingga 4 (empat) kali kapasitas PLTS terpasang pada kasus dasar. Pertumbuhan kapasitas rata-rata pada kasus dasar dan kasus PVCOST selama kurun waktu 15 tahun adalah 55,6% per tahun pada kasus dasar dan 71,7% per tahun pada kasus PVCOST. Pertumbuhan yang sangat besar tersebut dapat dikatakan tidak rasional, karena pada kenyataannya biaya investasi PLTS di Indonesia tidak akan menurun secara drastis dari 5.830 US$/kW menjadi 1.650 US$/kW dan akhirnya menjadi 968 US$/kW. Hal tersebut disebabkan piranti utama PLTS yaitu modul fotovoltaik masih diimpor dari negara lain dan efisiensi dari modul fotovoltaik sangat rendah yaitu sebesar 16% yang menyebabkan harga PLTS per kW masih sangat tinggi. Grafik 1 menunjukkan perkiraan biaya investasi dan kapasitas terpasang PLTS di Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2030 pada kasus dasar dan PVCOST.

Biaya Investasi (US$/kW)

6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030
BASE Biaya Invest PVCOST Biaya Invest BASE Kapasitas PVCOST Kapasitas

60 50 40 30 20 10 0

Grafik 1. Perbandingan biaya investasi dan kapasitas PLTS (Kasus Dasar dan PVCOST) Adanya penurunan biaya investasi pada PVCOST terhadap kasus dasar sebesar 220 US$/kW pada tahun 2015, 440 US$/kW pada tahun 2020, 561 US$/kW pada tahun 2025, dan 682 US$/kW pada tahun 2030 menyebabkan terjadinya peningkatan kapasitas PLTS pada PVCOST yang ditunjukkan pada Grafik 2. Penurunan biaya investasi PLTS tidak berbanding lurus dengan peningkatan kapasitas, dimana penurunan biaya investasi sebesar 561 US$/kW sangat berpengaruh pada peningkatan kapasitas PLTS yang terjadi pada tahun 2025 dengan biaya investasi PLTS sebesar 1.089 US$/kW. Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan biaya investasi sebesar 561 US$/kW adalah merupakan titik jenuh persaingan biaya investasi PLTS dengan pembangkit listrik lainnya.

46

Kapasitas PLTS (GW)

7,000

70

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

60 Peningkatan Kapasitas (Juta kW) 50 40 30 20 10 0 2015 2020 2025 2030


Peningkatan Kapasitas Penurunan Biaya Investasi

800 700 600 500 400 300 200 100 0

Grafik 2. Penurunan biaya investasi dan Peningkatan kapasitas PLTS (Kasus Dasar dan PVCOST) 3.2.1 Pemanfaatan PLTS per Wilayah Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada tahun 2002 total kapasitas terpasang PLTS di wilayah Indonesia hampir mencapai 3 MWp, seiring dengan adanya Bantuan Presiden (melalui BPPT) pada tahun 1996 tentang pemanfaatan PLTS di 15 provinsi di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah terpencil yang sulit dijangkau oleh jaringan distribusi listrik nasional (PLN) dengan kapasitas 50 Wp per rumah tangga dengan total unit sebanyak 3.430. Selanjutnya, pemerintah mencetuskan Program Listrik Sejuta Rumah, khususnya untuk 9 provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang sampai saat ini telah terpasang sebanyak 37.800 unit. Kemudian ditambah dengan kapasitas terpasang PLTS yang diterapkan melalui DJLPE, Pemerintah Daerah, Departemen Kesehatan, dan Badan Pemerintah lainnya. Sayangnya pemanfaatan PLTS ini tidak dapat berkembang, bahkan sebagian PLTS yang terpasang telah rusak dan belum diperbaiki karena banyak mengalami kendala teknis dan ekonomi seperti tingginya biaya investasi dan perawatan. Sejalan dengan penurunan biaya investasi PLTS seperti yang diasumsikan pada penelitian ini, prospek pemanfaatan PLTS di kemudian hari akan semakin terbuka, terutama di daerah yang pasokan listriknya terbatas dan tidak terjangkau listrik PLN. Perkiraan kapasitas dan produksi listrik PLTS di beberapa wilayah pada kasus dasar dan kasus penurunan biaya investasi PLTS ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Kapasitas Dan Produksi Listrik PLTS pada Kasus Dasar dan PVCOST
2010 Kap. Prod. (GW) (PJ) Jawa BASE 0 0 PVCOST 0 0 Kalimantan BASE 0 0 PVCOST 0 0 Sumatra BASE 0 0 PVCOST 0 0 Sulawesi BASE 0 0 PVCOST 0 0 Maluku BASE 0 0 PVCOST 0 0 Nusa BASE 0,0075 0,03 Tenggara 0,03 PVCOST 0,0075 BASE 0,0075 0,03 TOTAL 0,03 PVCOST 0,0075 Sumber: Keluaran Model MARKAL Wilayah Kasus 2015 Kap. Prod. (GW) (PJ) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,01 0,09 0,01 0,09 0,01 0,08 0,01 0,08 0,02 0,17 0,02 0,17 2020 Kap. Prod. (GW) (PJ) 0 0 1,39 10,61 0,13 1,01 0,43 3,32 0 0 0,09 0,67 0 0 0 0 0,02 0,15 0,02 0,15 0,01 0,08 0,04 0,28 0,16 1,24 1,97 15,03 2025 Kap. Prod. (GW) (PJ) 0 0 5,32 40,6 0,54 4,13 0,77 5,91 2,3 17,58 4,67 35,63 0 0 0,32 2,43 0,03 0,24 0,03 0,24 0,01 0,08 0,05 0,42 2,28 22,03 11,16 85,23 2030 Kap. Prod. (GW) (PJ) 12,16 92,85 46,65 356,17 0,64 4,88 1,67 12,68 2,3 17,58 16,85 128,65 0 0 0,79 5,94 0,04 0,32 0,04 0,32 0,01 0,08 0,07 0,52 15 115,71 66,07 504,28

Sesuai hasil model MARKAL dengan biaya investasi sebesar 1.650 US$/kW, pada tahun 2010 Nusa Tenggara sudah dapat memanfaatkan PLTS untuk memenuhi kebutuhan listriknya, pada tahun 2015 selain Nusa Tenggara, Maluku juga dapat memanfaatkan PLTS untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Hal tersebut sangat tepat karena kedua wilayah tersebut mempunyai potensi intensitas radiasi

Penurunan Biaya Investasi (US$/kW)

47

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

matahari yang tinggi sekitar 5,7 kWh per m , kondisi geografis yang terdiri dari beberapa kepulauan yang menyebabkan penduduknya tersebar, pasokan listrik terbatas, adanya kebijakan pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan pembangkit listrik skala kecil yang memanfaatkan sumber energi setempat dan terbarukan, serta mengembangkan tenaga listrik yang modular yang dapat diinstalasi di lokasi yang sulit tanpa membutuhkan jaringan transmisi dan distribusi. Pada Tabel 2 terlihat bahwa apabila biaya investasi PLTS tetap sebesar 1.650 US$/kW, pada tahun 2010, PLTS selain dapat diinstalasi di Maluku dan Nusa Tenggara juga dapat diinstalasi di Kalimantan. PLTS sangat berpotensi untuk diterapkan di Maluku karena Maluku mempunyai kondisi geografi yang terdiri dari kepulauan. Hal tersebut yang menyebabkan produksi listrik PLTS di Maluku meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 6,24% per tahun, yaitu dari 0,09 PJ pada tahun 2015 menjadi 0,32 PJ pada tahun 2030. Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menggunakan PLTD untuk memenuhi beban puncaknya, tetapi PLTD di wilayah ini umumnya sudah tua sehingga produksi listriknya semakin menurun, sehingga pada tahun 2010, PLTS sudah mulai berperan di kedua wilayah Nusa Tenggara dengan total produksi listrik sebesar 0,03 PJ (kasus dasar dan PVCOST) dan meningkat menjadi 0,08 PJ (kasus dasar) dan 0,52 PJ (PVCOST) pada tahun 2030. PLTS di wilayah ini tidak mampu bersaing dengan PLTA dan PLTU Batubara 7 MW dan hanya menggantikan kapasitas PLTD yang semakin berkurang. Hampir 96% dari kapasitas terpasang PLTD berada di luar Jawa, tetapi sebagian besar PLTD tersebut telah berusia cukup tua, misalnya PLTD di Kalimantan Timur dan Riau telah beroperasi selama 15 sampai 25 tahun yang menyebabkan produksi listriknya semakin menurun, kondisi ini merupakan salah satu faktor bagi meningkatnya peran PLTS. Di wilayah Kalimantan, dalam rangka memeratakan pembangunan, pemerintah daerah Kalimantan telah melakukan optimasi penyediaan listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah terpencil dan terisolir dengan memanfaatkan PLTS melalui dana APBN dan APBD. PLTS di Kalimantan dapat menunjang PLTD yang digunakan untuk memenuhi beban puncak, khusus di Kalimantan Barat, pemanfaatan PLTS akan bersaing dengan PLTA. Produksi listrik PLTS di Kalimantan pada tahun 2020 adalah 1,01 PJ (kasus dasar) dan 3,32 PJ (PVCOST) dan pada tahun 2030 meningkat menjadi 4,88 PJ (kasus dasar) dan 12,68 PJ (PVCOST). Berlainan dengan Kalimantan Barat, PLTS di Kalimantan Timur akan dapat bersaing dengan PLTU Batubara 100 MW dengan catatan setelah biaya investasi PLTS lebih rendah dari 1.650 US$/kW, sedangkan di Kalimantan Tengah PLTS mulai berperan pada tahun 2030. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik di Sumatra dan umur PLTD yang terpasang sudah mencapai lebih dari 15 tahun, memungkinkan pada tahun 2025 wilayah Sumatra juga memerlukan pemanfaatan PLTS untuk menunjang pasokan listrik di wilayah tersebut, khususnya di daerah terpencil dan di daerah yang terisolasi. Produksi listrik dari PLTS pada tahun 2025 sebesar sebesar 17,58 PJ (kasus dasar), sedangkan pada PVCOST, pada tahun 2020 PLTS sudah mulai berperan dengan produksi listrik sebesar 0,67 PJ dan meningkat menjadi 128,65 PJ pada tahun 2030. Meningkatnya peran PLTS di Sumatra ditunjang dari umur PLTD di wilayah ini sudah tua, serta adanya rencana strategis pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan listrik dengan memanfaatkan sumber energi setempat seperti mini/mikrohidro dan energi surya sejak tahun 2005. Seperti halnya di wilayah Sumatra, di Jawa pertumbuhan konsumsi tenaga listrik rata-rata dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 mencapai 7% per tahun, apabila pertumbuhan konsumsi tenaga listrik rata-rata diasumsikan tetap, pada tahun 2030 Jawa diperkirakan membutuhkan PLTS sebesar 12,16 GW. Hal tersebut dipicu dengan terbatasnya pasokan gas bumi, BBM, dan batubara pada pembangkit listrik, mengingat gas bumi lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan bahan bakar di sektor industri, sedangkan BBM lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi. Selain itu, untuk meningkatkan pemakaian batubara harus ditunjang pengembangan pelabuhan penerima batubara di Jawa. Pengembangan pelabuhan penerima batubara di Jawa memerlukan lahan sangat luas dengan biaya investasi yang relatif besar. Akan tetapi pemanfaatan PLTS sebesar 12,16 GW pada kasus dasar dan 46,65 GW pada kasus PVCOST di Jawa dan 16,85 GW pada kasus PVCOST di Sumatra dapat dikatakan tidak rasional mengingat

48

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

masih ada sumber energi setempat yang dapat dimanfaatkan seperti mini/mikrohidro dan panas bumi yang belum dimanfaatkan secara optimal. 3.2.2 Pengaruh Penggunaan Bahan Bakar terhadap Total Biaya Sistem Hasil keluaran model MARKAL menunjukkan bahwa selama jangka waktu 30 tahun (2000-2030) besarnya total biaya sistem pemenuhan kebutuhan energi adalah 678.140 juta US$ pada kasus dasar dan kasus PVCOST adalah sebesar 675.854 juta US$. Penurunan total biaya sistem pada kasus PVCOST ini disebabkan adanya penurunan penggunaan energi fosil, seperti minyak, gas, batubara, dan nuklir. Sehingga peningkatan penggunaan energi terbarukan tidak berpengaruh terhadap penurunan biaya sistem, karena peningkatan kapasitas pembangkit listrik tertinggi terjadi pada pembangkit listrik tenaga air termasuk mini/mikrohidro yang biaya investasinya relatif murah, sedangkan PLTS kapasitasnya relatif kecil dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga air. Pengaruh yang sangat besar terhadap penurunan biaya sistem adalah pada penurunan PLTN, karena biaya investasi PLTN lebih tinggi dibanding dengan pembangkit listrik fosil. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan kapasitas yang relatif kecil akan berdampak pada penurunan total biaya sistem yang cukup berarti apalagi ditunjang dengan adanya penurunan kapasitas pembangkit listrik fosil. Untuk pembangkit listrik yang berbahan bakar minyak dan batubara pada perbedaan penggunaan yang besar baru sangat berpengaruh terhadap penurunan total biaya sistem, karena biaya investasi dan distribusi serta penambangan dari minyak bumi dan batubara relatif rendah, apalagi harga BBM masih disubsidi. Berdasarkan hasil model ternyata penurunan penggunaan energi minyak dan batubara sebesar 10.684 PJ dan 10.162 PJ akan sangat berpengaruh terhadap penurunan total biaya sistem. Berlainan dengan gas bumi walaupun penurunan penggunaan energi gas sebesar 183 PJ sedikit berpengaruh terhadap penurunan total sistem biaya akan tetapi peranan penurunan gas bumi terhadap penurunan total sistem biaya tidak dapat diabaikan. Pengaruh penggunaan bahan bakar terhadap total biaya sistem ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Penggunaan Bahan Bakar terhadap Total Biaya Sistem
Total Biaya Sistem (mUS$) Penggunaan Minyak (PJ) 219851 209167 -10684 Gas (PJ) 78119 77936 -183 Batubara (PJ) 227252 217090 -10162 Nuklir (PJ) 14704 14662 -42 Energi Terbarukan (PJ) 120732 142027 21295

Kasus

BASE 678140 PVCOST 675854 Perbedaan -2286 Sumber: Keluaran Model MARKAL

3.2.3 Perbedaan Emisi CO2 pada Kasus Dasar dan PVCOST Sebagaimana diketahui PLTS adalah termasuk pembangkit listrik bersih dan tidak menghasilkan CO2 seperti pembangkit listrik energi fosil. Perbedaan emisi CO2 pada kasus dasar dan kasus PVCOST dipicu dengan adanya perbedaan penggunaan energi minyak dan batubara, sedangkan penggunaan gas hanya sedikit berpengaruh. Pengurangan penggunaan minyak, batubara dan gas bumi pada PVCOST dari kasus dasar terhadap total konsumsi energi pada tahun 2030 lebih besar dibandingkan pada tahun 2010, sehingga pengurangan emisi CO2 pada tahun 2030 menjadi paling optimal. Pada tahun 2030 diasumsikan bahan bakar fosil sudah semakin terbatas dan sebagai gantinya untuk memenuhi kebutuhan listrik akan ditunjang dari PLTN dan pembangkit listrik energi terbarukan. Sedangkan pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2025, penggunaan batubara dan gas bumi pada PVCOST sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kasus dasar yang berakibat pada peningkatan besarnya CO2. Peningkatan penggunaan batubara dan gas bumi dipicu adanya peningkatan kebutuhan listrik tetapi pemanfaatan PLTD di seluruh wilayah Indonesia terbatas. Perbandingan emisi CO2 pada kasus dasar dan PVCOST ditunjukkan pada Tabel 4.

49

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 4. Perbandingan Emisi CO2 pada Kasus Dasar dan PVCOST (JutaTon)
Kasus BASE PVCOST Perbedaan
Sumber: Keluaran model MARKAL

2010 140,70 140,39 -0,31

2015 120,06 121,06 1,00

2020 97,23 97,46 0,23

2025 75,19 77,33 2,14

2030 61,84 55,53 -6,31

KESIMPULAN
2

Intensitas radiasi matahari rata-rata di seluruh wilayah Indonesia sekitar 4,8 kWh/m yang berpotensi untuk membangkitkan energi listrik dan dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Kendala yang dihadapi pada penerapan PLTS di Indonesia adalah tingginya biaya investasi, piranti utama PLTS yaitu modul fotovoltaik masih diimpor dari negara lain dan efisiensi dari modul fotovoltaik hanya sebesar 16% yang menyebabkan harga PLTS per kW masih sangat tinggi. Oleh karena itu untuk meningkatkan kapasitas terpasang dari PLTS, Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi atau menambah kandungan lokal terhadap pembuatan piranti pendukung PLTS. Penambahan kandungan lokal tersebut akan menekan biaya pembangkitan PLTS sehingga PLTS menjadi lebih beralasan sebagai pembangkit listrik alternatif. Hasil keluaran model MARKAL mengidentifikasikan bahwa pada kasus dasar meskipun biaya investasi tetap konstan sebesar 1.650 US$/kW, PLTS sejak tahun 2010 dapat bersaing dengan pembangkit listrik lainnya, bahkan setiap periode terjadi kenaikan kapasitas. Hal ini disebabkan pada tahun 2010 PLTD di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah terpencil seperti di Maluku, Nusa Tenggara dan Kalimantan kapasitasnya berkurang, sehingga untuk daerah yang berpotensi memanfaatkan PLTS akan menggantikan kekurangan kapasitas PLTD dengan PLTS. Selain kapasitas PLTD berkurang karena umurnya juga karena biaya bahan bakarnya yang semakin mahal dengan adanya penghapusan subsidi BBM secara bertahap Peningkatan kapasitas PLTS juga dipicu dengan penurunan biaya investasi, sehingga diasumsikan apabila biaya investasi terus menurun di setiap periode (PVCOST), pada akhir periode (tahun 2030) kapasitas terpasang PLTS diproyeksikan dapat mencapai lebih dari 4 kali kapasitas terpasang PLTS pada kasus dasar. Kenaikan kapasitas PLTS yang tinggi pada akhir periode ini terjadi di wilayah Jawa dan Sumatra. Peranan PLTS di Jawa dan Sumatra disebabkan gas bumi dan bahan bakar minyak sudah terbatas, sehingga gas bumi lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan industri dari pada untuk pembangkit listrik. Di Sulawesi, PLTS baru dapat bersaing dengan pembangkit energi lain bila biaya investasi diturunkan hingga di bawah 1.650 US$/kW sebagaimana diasumsikan pada kasus penurunan biaya investasi PLTS (PVCOST). Maluku dan Nusa Tenggara yang kondisi geografisnya terdiri dari kepulauan dengan biaya investasi sebesar 1.650 US$/kW, PLTS sudah dapat bersaing dengan pembangkit lain, dan dengan semakin menurunnya biaya investasi PLTS, peran PLTS di kedua wilayah itu akan semakin meningkat. PLTS di Papua tidak dapat bersaing dengan pembangkit lain, karena Papua mempunyai beberapa sumber energi (tenaga air, gas bumi, minyak bumi, dan batubara) yang berpotensi untuk menghasilkan listrik melalui PLTA, PLTD, PLTG dan Cogeneration, sehingga semurah apapun biaya investasi, PLTS tetap tidak terpilih.

50

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

DAFTAR PUSTAKA 1. AusAID ASEAN, AAECP Energy Policy and System Analysis Project, Third National Policy Study for Indonesia, The Future Technologies for Power Plant in Indonesian Regions with Particular Reference to the Use of Renewable Energy and Small Scale Coal Steam Power Plant, 2004. 2. BPPT. Out put model MARKAL 3. Fitriana, I., Evaluation of Socio-Economic Aspects Of Solar Home System Programme Implementation In Indonesia, 2003 4. Schweizer-Ries, P., Fitriana, I., The BANPRES-LTSMD-Programme, Report on the Questionaire, ISE Fraunhofer, 1998 5. http: www.infobmg.com.

51

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

52

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

PENGARUH PENERAPAN PLTU BATUBARA SKALA KECIL TERHADAP STRATEGI KELISTRIKAN DI WILAYAH TIMUR INDONESIA
M. Sidik Boedoyo

ABSTRACT
Indonesia is a developing country that has a various enegy resources, such as oil, coal, natural gas, geothermal, hydro etc. Although Indonesia consist of 13 thausands islands, but the most populated island is Jawa with around of 120 millions (60% of the total population) people live there, the supply of electricity especilaly for outside Jawa has became a big issue on natonal energy policy. Until now, the electricity generation by diesel power plant is more than 95% of the total generation outside Jawa. Since diesel oil import is increased year by year, the Indonesian government has plan to reduce or maintain the diesel import by energy diversification, such as utilization of biodiesel and gasohol for transportation sector and coal for power generation. This paper will illustrate the potential market and impacts of the small coal steam power plant to the electricity program of East Region of Indonesia.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang banyak memiliki potensi batubara dan energi terbarukan, sedangkan minyak bumi potensinya sangat terbatas dan gas bumi walaupun potensinya besar, tetapi dalam pemanfaatannya memerlukan penanganan khusus. Kondisi ini menyebabkan batubara akan dapat menjadi sumberdaya energi utama dalam penyediaan energi di Indonesia, terutama sebagai bahan bakar dalam pembangkit listrik di masa mendatang. Pulau Jawa yang merupakan pusat kebutuhan energi karena kepadatan penduduknya serta kepadatan industrinya, saat ini menggunakan listrik melebihi 70% produksi listrik nasional. Neraca daya kelistrikan PLN menunjukkan bahwa kapasitas terpasang di Jawa adalah sebesar 15.499 MW (73% total kapasitas nasional), sedangkan diluar Jawa sebesar 5.614 MW (27% total kapasitas nasional). Beban puncak di Jawa mencapai 13.378 MW atau 86% dari total kapasitas terpasang di Jawa dan di luar Jawa mencapai 3.783 MW atau 67% dari total kapasitas terpasang di luar Jawa. Seluruh pulau Jawa Madura telah terhubung dengan jaringan transmisi, pulau Sumatra masih terbagi dalam 3 wilayah besar dan akan segera terhubung dalam satu transmisi, sedangkan pulau lain ada yang mempunyai jaringan transmisi tetapi sebagian besar mempunyai karakteristik yang berbeda, yaitu penduduknya yang tersebar, kepadatan industrinya relatif rendah, belum terhubung oleh jaringan transmisi dan hampir seluruh pembangkitan menggunakan PLTD. Bila di pulau Jawa, diesel hampir tidak dipergunakan dalam pembangkitan listrik PLN , terkecuali untuk captive power, maka penyediaan listrik di luar pulau Jawa pada umumnya dipenuhi oleh PLTD baik untuk beban dasar, beban puncak maupun captive power. Kondisi saat ini adalah sebagian dari PLTD tersebut sudah tua, secara teknis ekonomi tidak layak operasi, baik karena ongkos operasi yang sangat tinggi atau sudah harus diganti atau direcondisioning. Mengingat biaya operasi, khususnya bahan bakar PLTD adalah sangat mahal, maka perlu dicari alternatif yang layak secara ekonomis, teknis, diantaranya adalah pemanfaatan energi terbarukan serta penggunaan PLTU Batubara skala kecil.

53

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Dari pengamatan awal dipastikan bahwa rata-rata beban dasar di kabupaten-kabupaten luar Jawa dan Sumatra adalah berkisar antara 5 sampai 10 MW, dan sebagian sangat memungkinkan untuk digantikan dengan pembangkit yang lebih ekonomis. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan penelitian penerapan PLTU Batubara skala kecil dan dampak positif terhadap program kelistrikan di Indonesia wilayah timur. 2 METHODOLOGI PENELITIAN

Analisis yang dilaksanakan dalam studi ini akan menggunakan model MARKAL yang merupakan suatu model komprehensif yang dipergunakan dalam perencanaan energi. Model yang dalam langkah mendapatkan hasil optimal menggunakan linier programing ini, bersifat demand driven yang artinya kebutuhan energi harus dipenuhi oleh penyediaan energi, multi period yang meliputi beberapa periode perhitungan (dalam penelitian ini diambil periode analisa dari tahun 2005 2030). Oleh karena itu dirasakan model MARKAL merupakan model yang tepat untuk melihat pengaruh PLTU batubara skala kecil di Indonesia wilayah timur. Gambaran aliran proses Analisis Pemanfaatan PLTU Skala Kecil Terhadap Strategi Kelistrikan Nasional secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Aliran Proses Analisis Pemanfaatan PLTU Skala Kecil Terhadap Strategi Kelistrikan Nasional 2.1. Kebutuhan Listrik Dalam menentukan kebutuhan listrik, langkah awal dari peneliti ini adalah mengumpulkan data tentang konsumsi listrik, penjualan listrik, pembangkitan, kapasitas terpasang dan lain-lain, khususnya diluar Jawa dan Sumatra. Data tersebut kemudian dievaluasi untuk memperoleh gambaran kondisi kebutuhan listrik dan beban puncak listrik yang ada di wilayah tersebut, sebagai input dalam model MARKAL. Kebutuhan listrik sebagaimana disebutkan adalah hal yang sangat mutlak, karena kebutuhan listrik ini akan sangat menentukan penyedian listriknya. Kurun waktu yang diambil pada penelitian ini adalah selama 30 tahun, yaitu dari tahun 2000 sampai tahun 2030, sehingga perkiraan kebutuhan listrik diasumsikan mulai tahun 2000 sampai tahun 2030. Perkiraan kebutuhan listrik diasumsikan dengan memperhitungkan laju pertumbuhan kebutuhan listrik rata-rata untuk semua wilayah Indonesia adalah 6,6% per tahun (skenario rendah) dan 7,7% per tahun (skenario tinggi). Analisis Pengaruh Penerapan PLTU Batubara Skala Kecil Terhadap Strategi Kelistrikan di Wilayah Timur Indonesia dalam makalah ini diambil berdasarkan skenario tinggi yaitu 7,7% per tahun yang merupakan hasil analisis BPPT terhadap RUKN. 2.2. Beban Puncak Listrik Beban puncak merupakan hal yang sangat mendasar dalam pemilihan teknologi pembangkit listrik. Sebagai gambaran setiap jenis pembangkit sesuai dengan karakteristiknya dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu pembangkit beban puncak dan pembangkit beban dasar. Pembangkit beban puncak adalah pembangkit yang mempunyai waktu pengoperasian cepat dan fleksibel dalam

54

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

pengaturan beban, antara lain PLTG, PLTA dan PLTD. Pembangkit beban dasar, adalah pembangkit yang mempunyai waktu pengoperasian yang lama dan tidak fleksibel dalam pengaturan beban, antara lain PLTU, dan PLTGU. Berkaitan dengan hal ini perhitungan beban puncak serta kurva beban suatu wilayah adalah sangat penting didalam perencanaan kelistrikan. Data kelistrikan yang dikumpulkan, antara lain meliputi data kapasitas pembangkitan per jenis dan per wilayah, daya mampu pembangkitan listrik per jenis pembangkit dan per wilayah, faktor beban serta beban puncak kelistrikan untuk seluruh wilayah Indonesia. Data utama diperoleh dari Statistik PLN dan RUKN, serta dari sumber-sumber lain. Dari data tersebut diperoleh prakiraan kapasitas serta beban puncak di tiap-tiap wilayah tersebut dari tahun 2005 sampai tahun 2030. 2.3 Input Data Pada Model Data dasar model untuk penyusunan strategi kelistrikan nasional, selain kebutuhan energi adalah, potensi sumberdaya energi, pembangkit yang sudah beroperasi, rencana pembangkit yang akan dioperasikan, serta pilihan-pilihan teknologi yang mungkin akan dapat dioperasikan di masa mendatang. Pada model diinputkan juga parameter ekonomi umum, teknologi pembangkit yang meliputi biaya investasi, biaya operasi dan maintenance (biaya tetap dan variabel), biaya distribusi, dan lain-lain. Keluaran model merupakan gambaran prakiraan dan proyeksi dari penyediaan listrik, kapasitas terpasang per jenis pembangkit untuk setiap wilayah mulai dari tahun 2005 sampai tahun 2020. Data ini diperoleh dari berbagai sumber, melalui data sekunder, diskusi, internet dan lain-lain. Data yang diutamakan adalah yang berkaitan dengan pembangkit dan fasilitas yang ada di Indonesia, dan bila tidak ada maka dipergunakan data resmi dari sumber luar negeri. 2.4. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Energi Sumberdaya energi fosil terdiri dari minyak bumi, gas bumi dan batubara (termasuk gambut), sedangkan sumberdaya energi terbarukan terdiri dari biomasa, hidro, panas bumi, surya, angin dan samudra. Potensi sumberdaya merupakan faktor yang penting dari model MARKAL, karena bila rencana instalasi dan kapasitas sisa diambil sebagai batas bawah (lower bound), maka potensi sumberdaya merupakan batas atas (Upper bound). Kegiatan eksplorasi minyak bumi terus dilaksanakan, sehingga jumlah cadangan terbukti dapat ditingkatkan dari sekitar 2 milyar barel pada tahun 1970 menjadi sekitar 5 milyar barel pada tahun 1980-an, dan dengan masih ditemukannya cadangan baru pada dekade 1990-2001, cadangan terbukti dapat dipertahankan pada tingkat sekitar 5 milyar barel. Berbeda dengan cadangan minyak bumi, cadangan gas alam mengalami peningkatan yang cukup berarti. Bila cadangan gas alam per 01 Januari 1999, cadangan gas alam Indonesia baru mencapai sekitar 158,3 TSCF, dengan adanya penemuan cadangan baru, maka pada tanggal 01 Januari 2000 cadangan gas alam tersebut meningkat menjadi 170,3 TSCF. Dengan penemuan cadangan baru ini berarti selama tahun 1999 telah ditemukan cadangan baru dengan total sekitar 12 TSCF atau sekitar 7,5% dari total cadangan yang ada terutama di wilayah Sumatra Tengah (Riau dan Jambi). Data mengenai sumberdaya batubara per kelas/jenis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sumberdaya Batubara per Kelas/Jenis (dalam ribu ton)
Wilayah - Sumatra - Kalimantan - Jawa - Sulawesi - Irian Jaya Total Antrasit 132,000 132,000 Bituminus 651,000 4,483,138 15,000 5,149,138 13.49% Sub Bituminus 2,460,928 8,654,504 45,729 24,262 166,228 11,351,651 29.75% Lignit 21,523,559 21,523,559 56.41% Total 24,767,487 13,137,642 60,729 24,262 166,228 38,156,348

Persentase 0.35% Sumber: Dit. Batubara, 2000

55

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Pada 01 Januari 2000, total potensi tenaga air yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia adalah berada di Pulau Jawa 75.674 MW, yang telah dimanfaatkan hingga akhir tahun 2000 tersebut adalah 3.015,2 MW atau sekitar 4% dari total potensi yang ada. Papua memiliki potensi tenaga air yang besar, tetapi kebutuhan listrik yang sangat terbatas tidak memungkinkan untuk memanfaatkan potensi energi yang mencapai 16 GW ini. Pulau Sumatra mempunyai potensi panas bumi paling besar (9.462 MWe) dan tersebar di 31 daerah, tetapi yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 2 MWe yang berlokasi di G. Sibayak. Berlainan dengan Pulau Sumatra, Pulau Jawa walaupun total cadangan panas buminya (5.431 MWe) tidak sebesar cadangan panas bumi Pulau Sumatra, akan tetapi pemanfatannya jauh lebih besar, karena kebutuhan listrik di Pulau Jawa lebih terpusat, tersedia jaringan transmisi listrik PLN, dan merupakan potensi dengan enthalpi tinggi. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Angin di Indonesia tidak begitu pesat, walaupun banyak wilayah di Indonesia yang mempunyai potensi tenaga angin yang cukup besar. 2.5. Pertumbuhan Kelistrikan di Indonesia Gambaran umum tentang pembangkit menunjukkan bahwa PLTA sebagian besar terpasang di Pulau Jawa saja, dan hanya sebagian kecil yang ada di luar Jawa, khususnya di Sumatra dan Sulawesi. Sedangkan PLTP dari seluruh potensi yang ada baru dikembangkan di Jawa sebesar sekitar 650 MW dan di Sulawesi sebesar 20 MW (Statistik Kelistrikan 2005, PT. PLN Persero). PLTU batubara serta PLTGU yang sebagian besar berbahan bakar gas bumi masih mendominasi dalam pembangkitan tenaga listrik, sedangkan hampir seluruh pembangkit lainnya beroperasi pada beban puncak, terkecuali PLTD terutama diluar Jawa, bekerja pada seluruh beban, dan PLTP. merupakan pembangkit listrik beban dasar. Tabel 2 menunjukkan perbandingan antara pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit listrik serta daya mampu per jenis pembangkit dari tahun 1994 sampai 2002. Tabel 2. Perbandingan Antara Kapasitas dan Daya Mampu Pembangkit (MW)
Jenis Pembangkit PLTA PLTU PLTG PLTGU PLTP PLTD Kapasitas Daya Mampu Kapasitas Daya Mampu Kapasitas Daya Mampu Kapasitas Daya Mampu Kapasitas Daya Mampu Kapasitas Daya Mampu Kapasitas 1994 2,178.3 2.178,3 4,755.6 4.580,5 982.4 732,8 3,942.1 3.661,9 305.0 305,0 2,164.1 1.502,4 1996 2,184.0 2.184,0 5,020.6 4.242,5 1,093.3 885,8 5,053.3 4.719,3 308.7 306,4 2.448.8 2.005,2 1998 3,006.8 3.006,8 6,770.6 6.700,4 1,347.4 1.086,7 6,561.0 6.463,1 360.0 360,0 2,535.0 1.649,4 2000 3,015.2 3.015,2 6,770.6 6.508,3 1,203.3 901,9 6,863.2 6.694,5 360.0 360,0 2,549.9 1.692,6 2002 3,155.2 3.155,2 6,900.0 6,144,2 1,224.7 862,0 6,863.2 6.074,4 380.0 379,9 2,585.1 1.657,3

Daya Mampu Sumber: Statistik PLN 2002

Pada tahun 2002, neraca daya kelistrikan PLN menunjukkan kapasitas pembangkit terpasang di Jawa adalah sebesar 15.499 MW (73% total kapasitas nasional), diluar Jawa sebesar 5.614 MW (27% total kapasitas nasional), dimana daya mampu pembangkit di Jawa mencapai 13.540 MW atau 87% dari total kapasitas terpasang dan di luar jawa mencapai 4.414 MW atau 78% dari total kapasitas terpasang. Disamping itu, kapasitas captive power (CP) untuk luar Jawa mencapai 5.499 MW, dimana 3.833 MW merupakan CP murni dan 1.665 MW merupakan CP cadangan dan di Jawa mencapai 6.014 MW, dimana 1.838 MW merupakan CP murni dan 4.176 MW merupakan CP cadangan.

56

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Mengingat kondisi geografis sebagian wlayah di Indonesia yang berpulau-pulau dengan kebutuhan listrik yang rendah dan tersebar, PLTD merupakan satu-satunya jenis pembangkit yang saat ini layak digunakan. 2.6. Penyediaan Energi Data yang lengkap kemudian diinputkan ke model MARKAL dan dirun sehingga mencapai hasil optimal. Dengan menggunakan model MARKAL ini, pembangkit-pembangkit yang ada pada wilayahwilayah yang telah diseleksi tadi dikompetisikan, sehingga dapat diketahui pembangkit mana yang layak dioperasikan di wilayah tersebut. Penerapan beberapa kasus dalam model akan memberikan hasil beberapa alternatif penyediaan energi. Hasil dari run komputer kemudian dianalisis untuk mendapatkan hasil studi sesuai dengan tujuan yang diharapkan. 2.7. Analisis Pengaruh PLTU Batubara Skala Kecil di Indonesia Wilayah Timur Hasil model kemudian dianalisis untuk setiap kasus, sehingga dapat diketahui pengaruh penerapan PLTU batubara skala kecil pada kelistrikan, khususnya pada Indonesia wilayah timur. Selain itu dengan membandingkan kasus yang ada dapat diperkirakan pengaruh faktor yang diambil terhadap strategi kelistrikan yang diambil. 3 HASIL STUDI

Dalam penyusunan data base dalam model MARKAL diambil asumsi untuk kasus dasar atau BASE CASE. Asumsi yang diambil dalam kasus dasar antara lain adalah : Harga minyak mentah US$ 28/Barrel; Harga ekspor batubara US$ 29.78 /Ton; Terminal penerimaan batubara di Jawa dibatasi sampai 200 juta ton/tahun; Kontrak eskpor Gas dan LNG yang ada saat ini; Pertumbuhan listrik 7%/tahun; Harga PV (photovoltaic) turun sampai US$ 1650/kW pada tahun 2010 dan setelah itu konstan; Minihidro dan panas bumi dimanfaatkan sesuai dengan potensinya; Batas atas dari kapasitas pembangkit listrik di pulau lain sesuai dengan kapasitas jaringan; Memungkinkan penyediaan LNG domestik; Transmisi antara Sumatra Jawa di tahun 2015; Transmisi antara Jaringan Sulawesi Utara dan Selatan di tahun 2015 Transmisi seluruh wilayah di Kalimantan di tahun 2015. Transmisi antara Kalimantan Timur dengan Sulawesi Tengah di tahun 2020. Transmisi antara Jawa dan Nusa Tenggara di tahun 2020. 3.1 Prakiraan Kebutuhan Listrik Kebutuhan energi di Indonesia dalam model MARKAL dikategorikan dalam 4 wilayah yaitu, Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Pulau Lain, tetapi khusus untuk kelistrikan dikategorikan dalam 16 wilayah yaitu, Jawa 3 wilayah, Sumatra 1 wilayah, Kalimantan 4 wilayah, Sulawesi 4 wilayah, NTB, NTT, Maluku dan Papua. Hal ini karena adanya perbedaan dalam biaya distribusi bahan bakar dari pelabuhan pengirim ke pelabuhan/fasilitas penerima. Listrik disediakan tidak hanya oleh PLN tetapi juga oleh pihak lain, antara lain industri. Selain disebabkan ketidaksanggupan PLN dalam penyediaan listrik untuk memenuhi kebutuhan riil, tetapi juga karena industri tertentu membutuhkan kehandalan (reliabilitas) listrik yang terjamin, baik dalam kapasitas, kualitas (tegangan), juga ketersediaan atau availabilitas yang kadang-kadang tidak dapat dipenuhi oleh PLN. Proyeksi kebutuhan listrik dari hasil running model memberikan gambaran kebutuhan dari dua jenis yaitu kebutuhan rumah-tangga dan kebutuhan non rumah-tangga untuk setiap provinsi. Pada tabel 3 ditunjukkan proyeksi kebutuhan tenaga listrik di Indonesia dari tahun 2000 sampai tahun 2030, dimana kedua jenis kebutuhan listrik tersebut digabung menjadi satu, dan mengingat dalam

57

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

pembahasan ini Indonesia wilayah Timur akan menjadi perhatian utama, maka Sumatra, Jawa dan Kalimantan tidak dijabarkan per propinsi. Tabel 3. Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik di Indonesia
Provinsi/Pulau Jawa Sumatra Kalimantan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Sulawesi Utara N.T.B. N.T.T. Maluku Papua 2000 273,1 58,38 21,8 10,7 4,75 2,69 2,63 1,92 1,11 1,19 1,94 2005 405,6 87,94 30,91 14,01 6,21 3,52 3,45 2,52 1,45 1,56 2,55 2010 599,14 134,91 45,54 18,79 8,33 4,73 4,63 3,4 1,96 2,09 3,42 2015 876,31 203,51 66,83 25,03 11,1 6,28 6,17 4,52 2,61 2,78 4,55 1209,69 2020 1.265,02 306,48 99,4 33,56 14,89 8,43 8,26 6,05 3,5 3,73 6,1 1.755,42 2025 1.783,01 464,19 151,07 45,57 20,21 11,45 11,22 8,22 4,74 5,06 8,28 2.513,02 2030 2.506,63 711,96 178,27 63,27 28,07 15,9 15,59 11,42 6,58 7,04 11,51 3.556,24 Prtbh (%) 7,67 8,69 7,26 6,10 6,10 6,10 6,11 6,12 6,11 6,10 6,11 7,74

Total Indonesi 380,21 559,72 826,94 Sumber : RUKN, Statistik PLN 2002-2003 serta hasil perhitungan

Dari tabel tersebut terlihat bahwa kebutuhan listrik Jawa, Sumatra dan Kalimantan terhadap kebutuhan listrik nasional mencapai 93% pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 90% pada tahun 2030. Mengingat penelitian ini membahas pengaruh penerapan PLTU Batubara terhadap kelistrikan di Indonesia wilayah timur, maka untuk selanjutnya ditunjukkan hasil penelitian terhadap wilayah timur Indonesia, diluar Jawa, Sumatra dan Kalimantan. 3.2 Penyediaan Listrik Kasus Dasar Untuk memenuhi kebutuhan listrik diperlukan pasokan listrik yang diproduksi dari berbagai pembangkit listrik. Teknologi yang digunakan pada pembangkit listrik pada setiap wilayah sangat tergantung dari kondisi wilayah tersebut. Teknologi yang tepat untuk suatu wilayah mungkin tidak layak untuk wilayah yang serupa tetapi yang mempunyai karakteristik berbeda. Dalam penelitian ini pendekatan yang diambil adalah pendekatan ekonomis, artinya seluruh jenis pembangkit di kompetisikan dalam model dan pembangkit listrik yang lolos dan masuk dalam sistem dinyatakan telah layak secara ekonomis. Tabel 4 menunjukkan kapasitas pembangkitan listrik untuk setiap provinsi di Indonesia wilayah timur atau diluar Jawa Sumatra dan Kalimantan dari tahun 2005 sampai tahun 2030. Hasil keluaran model menunjukkan bahwa secara sistem, ternyata tidak seluruh wilayah yang layak untuk menerapkan PLTU batubara 7 MW, walaupun pada sebagian besar wilayah menunjukkan bahwa PLTU batubara 7 MW layak untuk diterapkan dalam kapasitas yang cukup besar. Tabel 5 menunjukkan wilayah yang mungkin akan membangkitkan listriknya dengan menerapkan teknologi PLTU batubara 7 MW, serta kapasitas pembangkitannya.

58

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 4. Proyeksi Kapasitas PLT di Indonesia Wilayah Timur 2005 2030 (GW)
Wilayah/Jenis Pembangkit Sulawesi Tenggara - PLTU BTBR 7 MW - PLTA+PLTM - PLTD Sulawesi Tengah - PLTU BTBR 25 MW - PLTU BTBR 7 MW LAIN - PLTD - PLTA+PLTM - PLTG BARU 30 MW Sulawesi Selatan - PLTU BTBR 7 MW - PLTA+PLTM - PLTD - PLTG 30 MW - PLTGU - PLTU Minyak - PLTU Biomasa Sulawesi Utara - PLTA+PLTM - PLTD - PLTG 30 MW - PLTGU - PLTP 55 MW Nusa Tenggara Timur - PLTU BTBR 7 MW - PLTD - PLTA Nusa Tenggara Barat - PLTU BTBR P.P 7 MW - PLTD - PLTG 30 MW Nusa Tenggara Barat - PLTS Papua - PLTA+PLTM - PLTD - Kogenerasi - PLTG CAP Maluku - PLTU BTBR 7 MW - PLTS - PLTD Sumber: Output Model Markal 2000 0,23 0 0 0,23 0,13 0 0 0,11 0,02 0 0,98 0,01 0,63 0,21 0 0,06 0,06 0,01 0,29 0,06 0,23 0 0 0 0,11 0 0,11 0 0,42 0 0,42 0 0 0 0,39 0,01 0,3 0,08 0 0,32 0 0 0,32 2005 0,3 0 0 0,3 0,18 0 0 0,16 0,02 0 1,08 0,17 0,62 0,16 0 0,06 0,06 0,01 0,24 0,06 0,18 0 0 0 0,09 0 0,09 0 0,31 0 0,31 0 0 0 0,37 0,01 0,23 0,08 0,05 0,24 0 0 0,24 2010 0,41 0,03 0 0,38 0,24 0 0 0,2 0,02 0,02 1,34 0,41 0,6 0,1 0,1 0,06 0,06 0,01 0,29 0,06 0,12 0 0 0,11 0,1 0,02 0,05 0,03 0,23 0,03 0,2 0 0 0 0,32 0,01 0,16 0,07 0,08 0,16 0 0 0,16 2015 0,54 0,05 0,06 0,43 0,32 0,03 0 0,2 0,06 0,03 1,73 0,8 0,59 0,05 0,19 0,06 0,03 0,01 0,36 0,06 0,06 0,06 0 0,18 0,15 0,03 0,04 0,08 0,28 0,04 0,11 0,06 0,06 0,01 0,28 0,01 0,07 0,07 0,13 0,15 0,04 0,01 0,1 2020 0,38 0,06 0,06 0,26 0,29 0,03 0,01 0,13 0,06 0,06 2,67 1,35 0,58 0 0,33 0,4 0 0,01 0,77 0,06 0 0,15 0,38 0,18 0,19 0,04 0,05 0,1 0,35 0,06 0,03 0,15 0,1 0,01 0,32 0,01 0 0,08 0,23 0,21 0,06 0,02 0,13 2025 0,35 0,12 0,06 0,17 0,29 0,03 0,06 0,07 0,06 0,07 3,64 2,07 0,58 0 0,42 0,56 0 0,01 1,31 0,06 0 0,21 0,86 0,18 0,27 0,07 0,08 0,12 0,48 0,08 0,04 0,21 0,14 0,01 0,42 0,01 0 0,09 0,32 0,28 0,09 0,03 0,16 2030 0,28 0,15 0,06 0,07 0,25 0,03 0,09 0,02 0,06 0,05 5,71 2,65 0,58 1,37 0,54 0,56 0 0,01 1,37 0,06 0 0,27 0,86 0,18 0,38 0,15 0,11 0,12 0,67 0,12 0,04 0,3 0,2 0,01 0,58 0,01 0 0,09 0,48 0,39 0,13 0,04 0,22

59

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 5. Kapasitas PLTU Batubara 7 MW pada beberapa Propinsi (MW)


Provinsi Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Sulawesui Selatan Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Maluku Sumber: Output Model Markal 2000 0 0 10 0 0 0 2005 0 0 170 0 0 0 2010 30 0 410 20 30 0 2015 50 0 800 30 40 40 2020 60 10 1,350 40 60 60 2025 120 60 2,070 70 80 90 2030 150 90 2,650 150 120 130

Dari gambaran diatas dapat diperhitungkan bahwa penerapan PLTU Batubara 7 MW dapat mensubstitusi minyak solar yang dipergunakan oleh PLTD sebesar 7.491 KLiter pada tahun 2000; 127.000 KLiter pada tahun 2005; sampai mencapai 2,46 Juta Kiloliter pada tahun 2030. 3.3 Penggunaan Energy Carrier Domestik di Indonesia Wilayah Timur Dalam memperhitungkan penggunaan energy carrier di Indonesia wilayah timur, diambil pendekatan bahwa hanya kilang Balikpapan, Kalimantan serta Kasim di Papua yang akan mensuplai bahan bakar untuk Indonesia wilayah timur. Demikian juga hanya batubara Kalimantan yang akan memenuhi kebutuhan batubara di Indonesia wilayah timur. Diperkirakan produksi batubara Kalimanatan untuk keperluan domestik akan terus meningkat dengan sangat cepat untuk memenuhi kebutuhan batubara di pulau Jawa, Kalimantan serta untuk di wilayah timur Indonesia. Tabel 6 menunjukkan penggunaan energy carrier di Kalimantan dan Pulau Lain untuk kebutuhan domestik. Tabel 6. Proyeksi Penggunaan Energy Carrier di Kalimantan dan Pulau Lain (PJ)
Pulau Kalimantan - Cok Coke - Kok Kondensate Kal - MDL M.D.- REF. - NGK NAT.GAS E.K - OML/OMK Crude - SBK SUBBIT.Coal Pulau Lain - CO1 Coke - OM1 Crude Oil - NG1 Wiliagar Gas Field - NG2 Existing Gas Field - NG3 Sengkang Gas Field 0,4 14,9 0 7 1,2 0,5 20,4 11 0 1,2 0,7 20,9 324,7 0 3,1 0,8 20,9 335,1 0 7,4 1,1 20,9 118,3 0 0 1,3 20,9 167,1 0 0 1,7 0 255,2 0 0 4,94 0,00 11,05 0,3 129,6 0 1.172,8 556,4 141,1 0,4 0 0 1.201,3 432,5 178 0,6 0 97,2 1.181,6 398,7 877,3 0,8 0 175,3 1.007,2 430,7 1.796,8 1 0 235,7 957,1 467,5 2.674,5 1,3 0 339,8 795,6 634,5 3.565,0 1,6 0 432,3 597,6 945,5 4.397,8 7,75 -2,22 1,78 12,15 5,74 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 Prtbh %

KESIMPULAN

1. PLTU batubara 7 MW mempunyai pasar yang cukup besar di seluruh wilayah Sulawesi, kecuali Gorontalo dan Sumatra Utara, NTB, NTT dan Maluku. Papua diperkirakan belum ekonomis untuk mengembangkan PLTU batubara skala kecil.

60

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

2. Batubara Kalimantan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan batubara di Indonesia wilayah timur, disamping untuk memenuhi kebutuhan pulau Jawa. Hal ini menyebabkan produksi batubara Kalimantan untuk keperluan domestik meningkat dengan pesat. 3. Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil dapat mensubstitusi penggunaan minyak solar sebagai bahan bakar PLTD sebesar 2,46 Juta KiliLiter pada tahun 2030. DAFTAR PUSTAKA 1. PT. PLN Persero. Statistik PLN 2002 & 2003, Jakarta 2004 2. DESDM. Rencana Umum Kelistrikan Nasional 2004- 2013, Jakarta, 15 April 2004. 3. Direktorat Transmisi dan Distribusi, PT. PLN (Persero). Rencana Penyediaan Tenaga Listrik Luar Jawa-Madura-Bali 2003-2010, Jakarta, September 2003. 4. UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002. 5. YBUL BPPT, Perencanaan Energi Kabupaten Timika 2000 2015, Jakarta Mei 2001. 6. BPPT. File kerja Tim Perencanaan Energi .

61

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

62

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK MENTAH DAN BATUBARA TERHADAP SISTEM PEMBANGKIT DI INDONESIA
Hari Suharyono

ABSTRACT
Power generation in Indonesia relies on coal and refined products, more than 60% of the capacities use those fuel. Captive power generation capacity contributes about 45% of the total installed capacity in Indonesia. It is Government program to reduce the role of captive power by introducing interconnection links in order to make the electricity system in the country more reliable. High coal and/or crude oil prices will impact on the selection of power generation type. High coal price gives the least impact on energy system, while high coal and crude oil prices give the most impact on energy system.

PENDAHULUAN

Pemilihan jenis pembangkit listrik secara umum ditentukan oleh ketersediaan jenis bahan bakar, harga bahan bakar, lokasi pembangkit yang dikehendaki, beban listrik yang dilayani (dasar atau puncak). Model MARKAL dipilih untuk analisis dampak kenaikan minyak mentah dan batubara terhadap sistem pembangkit di Indonesia, karena model ini mempunyai kemampuan menganalisis sistem energi secara menyeluruh termasuk sektor listrik dengan seluruh alternatif sistem pembangkit listrik yang ada. Pembangkit listrik di Indonesia berdasarkan tujuan pembangunannya dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu pembangkit umum dan pembangkit captive. Pembangkit umum adalah pembangkit milik swasta atau PLN yang produksi listriknya dijual ke masyarakat umum, sedangkan pembangkit captive adalah pembangkit yang produksi listriknya terutama digunakan untuk keperluan sendiri. Pada beberapa pembangkit captive, kelebihan listrik yang diproduksi juga dijual kepada masyarakat umum. Pada tahun 2000, kontribusi pembangkit captive cukup besar, kapasitas pembangkit captive mencapai 45% dari total kapasitas pembangkit di Indonesia pada tahun 2000. Adanya interkoneksi yang mencakup wilayah yang luas dimasa datang diharapkan dapat meningkatkan kehandalan sistem listrik umum, sehingga kapasitas pembangkit captive dapat berkurang. Hal ini terkait dengan program Pemerintah untuk meningkatkan peran pembangkit umum, mengingat listrik yang dibangkitkan oleh sebuah pembangkit berkapasitas besar akan berbiaya lebih murah dari pada listrik yang dibangkitkan oleh sebuah pembangkit berkapasitas kecil. Pada tahun 2000, kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan bahan bakar minyak (BBM) mencapai 62% dari total kapasitas pembangkit. Pada tahun 2030, diproyeksikan pembangkit listrik berbahan bakar batubara akan mendominasi sistem pembangkit listrik di Indonesia. Meningkatnya harga batubara dan minyak mentah akan mempengaruhi pilihan jenis pembangkit listrik yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik. Besarnya dampak peningkatan harga tersebut dapat terukur dari peningkatan biaya total investasi masing-masing kasus kenaikan harga yang dianalisis. Hasil penelitian yang dianalisis pada makalah ini mencakup kasus dasar, kasus harga batubara tinggi, kasus harga minyak mentah tinggi dan kasus harga batubara dan minyak mentah tinggi. Pada

63

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

kasus dasar, proyeksi penyediaan listrik dibuat berdasarkan kondisi tahun 2000, sedangkan pada kasus-kasus yang lain, dianalisis perubahan jenis pembangkit yang digunakan sebagai akibat dari kenaikan harga batubara dan minyak. Selain itu, untuk semua kasus yang dipilih juga dianalisis total investasi yang dibutuhkan. 2 METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Perangkat Lunak Dalam penelitian analisis dampak kenaikan harga minyak mentah dan batubara terhadap sistem pembangkit listrik telah dipilih perangkat lunak model MARKAL. Hasil yang diperoleh adalah pemenuhan kebutuhan energi yang dimasukan kedalam model dengan biaya paling minimum. Guna pengoperasian model MARKAL, diperlukan data cadangan sumber daya energi, teknologi energi (pemroses dan pemakai), biaya investasi, pemeliharaan dan operasi, dan kebutuhan energi. Data tersebut merupakan data dasar yang digunakan sebagai input ke dalam model, sedangkan hasil run dari model ini adalah penyediaan energi nasional termasuk jenis pembangkit yang memberikan biaya minimal. Selanjutnya hasil keluaran model ini merupakan dasar untuk melakukan analisis lebih lanjut. Peningkatan harga minyak mentah atau batubara merupakan tambahan masukan data bagi model MARKAL. Selanjutnya dengan menggunakan tambahan masukan data tersebut, diperoleh hasil run dari model MARKAL yang sesuai dengan tambahan masukan data yang diberikan. Harga BBM yang dihasilkan oleh kilang minyak adalah berdasarkan harga pokok (shadow price) yang diperoleh dari model MARKAL. Perbandingan antara hasil run model MARKAL dengan tambahan masukan data dan hasil run model MARKAL dengan data dasar akan memberikan gambaran tentang pengaruh perubahan harga minyak mentah atau batubara terhadap sistim pembangkit listrik. Secara garis besar proses pengolahan data pada model MARKAL termasuk perubahan masukan yang digunakan pada analisis ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur Kerja Model MARKAL 2.2 Asumsi Data untuk Kasus Dasar, HIGHCOAL, HIGHOIL, dan HIGHOIL1 Beberapa data dasar yang penting dalam analisis pada kasus dasar adalah harga minyak mentah sebesar 28$/bbl, harga BBM ekspor dan impor terkait dengan harga minyak mentah, LNG digunakan di dalam negeri, harga batubara ekspor 29,78$/ton, dan tersedianya interkoneksi jaringan listrik di seluruh Sulawesi mulai tahun 2015, interkoneksi jaringan listrik di seluruh Kalimantan mulai tahun 2015, interkoneksi jaringan listrik Jawa - Sumatra mulai tahun 2015, interkoneksi jaringan listrik Kalimantan Timur - Sulawesi Tengah mulai tahun 2020, dan interkoneksi jaringan listrik Jawa - Nusa (1) Tenggara mulai tahun 2020 . Selain itu, pertumbuhan kebutuhan listrik untuk seluruh Indonesia diasumsikan sebesar 7% per tahun. Selanjutnya untuk kasus kenaikkan harga minyak mentah (HIGHOIL) dan batubara (HIGHCOAL) yang digunakan sebagai asumsi adalah 50 $/bbl untuk minyak mentah, dan 50 $/ton untuk batubara

64

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ekspor. Peningkatan ini diasumsikan mulai terjadi pada tahun 2005. Harga batubara ekspor terkait dengan biaya teknis produksi batubara, dimana harga ekspor tersebut sudah termasuk keuntungan produser, pajak untuk pemerintah dan royalti yang diberikan oleh produser kepada pemerintah. HIGHOIL1 merupakan gabungan antara HIGHOIL dan HIGHCOAL. 2.3 Asumsi Data Pembangkit Listrik di Indonesia untuk Semua Kasus yang Dipilih Data pembangkit diperoleh dari berbagai sumber, untuk PLTU 7 MW digunakan data PLTU skala (2) kecil berkapasitas 7 MW di Berau , untuk pembangkit listrik dengan bahan bakar sampah rumah (3) tangga digunakan data Malaysia , untuk pembangkit listrik photovoltaic diasumsikan akan terjadi penurunan biaya per kW nya, yaitu dari 5,83 US$/kW tahun 2000 menjadi 3,19 US$/kW tahun 2005, dan 1,65 US$/kW tahun 2010(4). Data berbagai jenis pembangkit listrik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik pembangkit listrik di Indonesia
Jenis pem bangkit PLTU batubara PLTU batubara skala kecil PLTU minyak CCGT Cogen. Temp. rendah Pembangkit diesel Gas Turbine Nuklir*) Nuklir*) Panas bumi Bagasse/Biomasa Sampah rum ah tangga *) Kapasitas (MW) 600 7 120 500 25 3,5 120 600 1000 55 25 25 Biaya investasi (US$/kW) 1502 1193 1710 830 2218 1462 437 2703 2260 1245 3061 3000 Biaya tetap O&M ($/kW/yr) 14,1 27 10,4 8,5 3,4 11,5 6,6 34,0 62,4 36 37 50 Lifetime (Tahun) 25 25 25 20 25 20 20 25 35 25 25 20

Sumber: Pustaka 5, Catatan:*) hanya untuk Jawa

HASIL PENELITIAN

Dengan mempertimbangkan harga minyak mentah sebesar 28$/bbl dan harga batubara 29,78 $/ton pada kasus dasar, 50 $/ton harga batubara pada HIGHCOAL, 50 $/bbl harga minyak mentah untuk HIGHOIL, dan 50 $/bbl harga minyak mentah serta 50 $/ton harga batubara pada kasus HIGHOIL1 dapat diperoleh total sistem biaya (discounted total cost), emisi CO2, pemakaian energi fosil, nuklir, dan renewable yang ditunjukkan pada Tabel 2. Table 2 . Total Sistem Biaya (discounted total cost), Emisi CO2, Pemakaian Energi Fosil, Nuklir, dan Renewable
Kasus Dasar HIGHCOAL HIGHOIL HIGHOIL1 Discounted total cost (Juta US$) 678140 688130 787435 800253 CO2 (Juta ton) 4123 3899 4549 4396 Pem akaian (PJ) Minyak 219851 229623 177089 178649 Gas 78119 78084 75612 76242 Batubara 227252 214760 266147 256182 Nuklir 14704 15374 15349 15349 Renewable 120732 123370 127919 134239

Note: Parameter HIGHOIL1 adalah gabungan parameter HIGHOIL dan HIGHCOAL

Tabel 2 memperlihatkan bahwa discounted total cost tertinggi diperoleh pada kasus HIGHOIL1, kirakira 15,3% lebih tinggi dari discounted total cost pada kasus dasar, diikuti oleh kasus HIGHOIL yang kira-kira 13,9% lebih tinggi dari discounted total cost pada kasus dasar, sedangkan kasus HIGHCOAL memiliki discounted total cost yang tidak banyak berbeda dengan kasus dasar. Berdasarkan discounted total cost dari kasus-kasus ini, harga minyak mentah berpengaruh terhadap total biaya

65

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

sistem, dimana harga minyak yang tinggi mengakibatkan total biaya sistem yang tinggi. Sementara itu perubahan harga batubara yang tinggi tidak terlalu berpengaruh terhadap total biaya sistem. Pada harga batubara yang tinggi, pemakaian batubara dan gas menjadi berkurang, sedangkan pemakaian bahan bakar lainnya meningkat bila dibandingkan dengan kasus dasar. Pada harga minyak mentah yang tinggi, pemakaian minyak dan gas menjadi berkurang, sedangkan pemakaian bahan bakar lainnya meningkat bila dibandingkan dengan kasus dasar. Selanjutnya pada harga minyak mentah dan batubara yang tinggi, pengaruh yang terlihat adalah pemakaian minyak dan gas mengalami penurunan, sedangkan pemakaian batubara mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kasus dasar. Pada semua kasus peningkatan harga yang dianalisis, terjadi peningkatan pemakaian renewable dan nuklir bila dibandingkan dengan kasus dasar. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan harga batubara dan minyak mentah meningkatkan harga listrik yang dibangkitkan, sehingga renewable dan nuklir menjadi pilihan untuk pembangkit listrik. 3.1 Kasus Dasar 3.1.1 Kapasitas Pembangkit Listrik Kapasitas total pembangkit umum dan pembangkit captive di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 38,45 GW, dimana 55% diantaranya adalah pembangkit umum sedangkan sisanya adalah pembangkit captive (Lihat Tabel 3). Tabel 3. Kapasitas seluruh pembangkit listrik
Jenis pembangkit 2000 GW % 11,5 0,1 9,8 14,2 0,7 2,0 2,0 6,7 0,0 0,0 8,1 0,0 55,0 1,5 3,6 7,1 0,1 22,1 6,4 3,1 1,1 45,0 100,0 GW 19,54 0,09 2,24 6,59 1,83 1,65 0,98 2,39 0 0 1,37 0 36,68 0,55 1,7 2,72 0,02 8,78 1,96 1,21 0,28 17,22 53,9 2010 % 36,3 0,2 4,2 12,2 3,4 3,1 1,8 4,4 0,0 0,0 2,5 0,0 68,1 1,0 3,2 5,0 0,0 16,3 3,6 2,2 0,5 31,9 100,0 GW 52,09 0,24 0,03 9,93 2,65 1,51 2,83 7,6 0 4 0,91 0,16 81,95 0,88 1,99 4,67 0,02 6,89 1,57 1,21 0,23 17,46 99,41 2020 % 52,4 0,2 0,0 10,0 2,7 1,5 2,8 7,6 0,0 4,0 0,9 0,2 82,4 0,9 2,0 4,7 0,0 6,9 1,6 1,2 0,2 17,6 100,0 GW 102,6 0,66 1,39 30,04 1,53 12,47 5,47 9,97 0 13,92 0,1 15,15 193,3 1,1 2,34 4,62 0,02 5,1 1,66 1,21 0,05 16,1 209,4 2030 % 49,0 0,3 0,7 14,3 0,7 6,0 2,6 4,8 0,0 6,6 0,0 7,2 92,3 0,5 1,1 2,2 0,0 2,4 0,8 0,6 0,0 7,7 100,0

Pembangkit umum PLTU batubara 4,41 PLTU batubara 7 MW 0,02 Pembangkit diesel 3,78 Gas Combined Cycle 5,47 Turbin Gas (Gas) 0,26 Turbin Gas (HSD) 0,78 Panas bumi 0,76 PLTA 2,57 Minihydro 0 PLTN 0 PLTU minyak 3,11 Photovoltaic 0 Subtotal 21,16 Pembangkit captive PLTU biomasa 0,58 CHP 1,38 PLTU batubara 65 MW 2,72 PLTU batubara 7 MW 0,02 Pembangkit diesel 8,51 Turbin gas 2,45 PLTA 1,21 PLTU minyak 0,42 Subtotal 17,29 Total 38,45 Sumber: Keluaran Model MARKAL

Kapasitas total pembangkit listrik diperkirakan meningkat menjadi 209,4 GW pada tahun 2030, dimana pangsa pembangkit umum menjadi 92,3% sedangkan sisanya adalah pembangkit captive. Dalam periode penelitian ini, kapasitas pembangkit umum meningkat sebesar 7,7% per tahun, sedangkan kapasitas pembangkit captive menurun sebesar 0,2% per tahun. Pada tahun 2000, kapasitas pembangkit yang terbesar pada pembangkit umum adalah gas combined cycle. Berdasarkan lokasinya, lebih dari 80% kapasitas gas combined cycle terdapat di Jawa, sisanya terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara dan Selatan, dan Sumatra. Selanjutnya diikuti oleh PLTU batubara, pembangkit listrik diesel, PLTU minyak, dan PLTA. Serupa dengan gas combined cycle, 90% dari kapasitas PLTU batubara juga terdapat di Jawa, pangsa tersebut akan

66

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

menurun menjadi sebesar 69% pada tahun 2030. Pada wilayah lain seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Utara dan Selatan, selama jangka waktu studi (2000-2030) terjadi penurunan pangsa PLTU minyak dan pembangkit listrik diesel, sedangkan pangsa dari jenis pembangkit yang lain mengalami peningkatan. Adapun kapasitas terbesar pada pembangkit captive pada tahun tersebut, adalah pembangkit listrik diesel, diikuti oleh PLTU batubara. Berdasarkan lokasinya, sekitar 57% pembangkit captive terdapat di Jawa. Pada tahun 2030, diproyeksikan PLTU batubara akan mendominasi pembangkit captive. PLTU batubara tersebut terutama berlokasi di Kalimantan dan Sulawesi. Berdasarkan lokasinya lebih dari 50% kapasitas pembangkit captive terdapat di Kalimantan. Pada wilayah dengan beban puncak yang rendah, PLTU batubara skala kecil 7 MW tampaknya merupakan alternatif yang menarik. PLTU nuklir juga merupakan alternatif untuk penyediaan listrik di Jawa mengingat terbatasnya kapasitas terminal penerima batubara di Jawa yang tidak akan mampu menangani peningkatan kebutuhan batubara. Selanjutnya, wilayah terpencil di Indonesia adalah lokasi yang menarik untuk pengembangan energi terbarukan di masa depan. Kapasitas PLTA dan panas bumi diproyeksikan meningkat secara berurutan dari 2,57 GW dan 0,76 GW pada tahun 2000 menjadi 9,97 GW and 5,47 GW pada tahun 2030. Kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar biomasa, batubara dan cogeneration (CHP) diproyeksikan meningkat secara berurutan dari 0,58 GW, 2,74 GW dan 1,38 GW pada tahun 2000 menjadi 1,1 GW, 4,64 GW dan 2,34 GW pada tahun 2030. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah, kapasitas pembangkit listrik captive diesel, turbin gas dan PLTU minyak akan menurun kapasitasnya di masa depan. 3.1.2 Produksi Listrik Berdasarkan wilayahnya, listrik diproduksi di Jawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Pada tahun 2000, total listrik yang dibangkitkan adalah sebanyak 426,9 PJ. Listrik terbesar dihasilkan oleh wilayah Jawa dengan jumlah 305,5 PJ, atau setara dengan 71,6% dari total listrik yang dihasilkan di Indonesia, sedangkan listrik terkecil dihasilkan oleh wilayah Maluku dengan jumlah 1,19 PJ, atau setara dengan 0,3% dari total listrik yang dihasilkan di Indonesia. Perincian dari listrik yang dibangkitkan berdasarkan wilayah yang dihasilkan dari model MARKAL dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi Listrik per Wilayah
2000 PJ Jawa 305,5 Kalimantan 24,76 Sumatra 69,01 Sulawesi 21,37 Maluku 1,19 Nusa Tenggara 3,13 Papua 1,94 Total 426,9 Sumber: Keluaran Model MARKAL Wilayah % 71,6 5,8 16,2 5,0 0,3 0,7 0,5 100,0 2010 PJ 663,59 39,46 127,91 37 2,09 5,54 3,95 879,54 % 75,4 4,5 14,5 4,2 0,2 0,6 0,4 100,0 2020 PJ 1426,23 94,66 326,64 68,56 3,83 10,01 6,27 1936,2 % 73,7 4,9 16,9 3,5 0,2 0,5 0,3 100,0 2030 PJ 2791,03 176,4 848,63 129,93 7,31 19,61 11,83 3984,74 % 70,0 4,4 21,3 3,3 0,2 0,5 0,3 100,0

Pertumbuhan pembangkit listrik pada wilayah-wilayah di Indonesia mempengaruhi pertumbuhan listrik nasional karena adanya interkoneksi jaringan pada beberapa daerah tersebut dengan jaringan listrik nasional. Pertumbuhan produksi listrik rata-rata per tahun dari tahun 2000 hingga 2030 di Jawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua secara berurutan adalah sebesar 7,7%, 6,8%, 8,7%, 6,2%, 6,2%, 6,3% dan 6,2%. Secara keseluruhan pertumbuhan produksi listrik rata-rata per tahun di Indonesia selama periode 2000-2030 adalah sebesar 7,8%. Sebagai gambaran lebih lanjut, pada tahun 2030 akan dibangkitkan listrik sebanyak 3.984,74 PJ di Indonesia. Jawa masih merupakan wilayah yang memproduksi listrik terbanyak dengan jumlah produksi sebanyak 2.791 PJ, atau setara dengan 70,1% dari total listrik yang dibangkitkan di Indonesia, sedangkan listrik terkecil tetap dibangkitkan Maluku dengan jumlah 7,3 PJ atau setara dengan 0,2% dari total listrik yang dibangkitkan di Indonesia.

67

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Berdasarkan sistem pembangkit yang digunakan, peran pembangkit umum meningkat pesat. Pada tahun 2000 sistem ini memberikan kontribusi sebanyak 58,7% dari total listrik yang dibangkitkan, sedangkan pada tahun 2030 memberikan kontribusi sebanyak 94%. Hal ini terkait erat dengan semakin tersedianya jaringan interkoneksi. Berdasarkan jenis pembangkit yang digunakan, PLTU batubara memberikan kontribusi terbesar terhadap listrik yang dibangkitkan. Pada tahun 2000, sebanyak 142,44 PJ atau 33,4% dari total listrik yang dibangkitkan berasal dari PLTU batubara, jumlah ini meningkat menjadi 2.301,68 PJ atau 57,7% dari total listrik yang dibangkitkan pada tahun 2030. Gas combined cycle dan gas turbin (GCC+GT) memberikan kontribusi yang berarti untuk penyediaan listrik dimasa depan. Pada tahun 2000, GCC+GT membangkitkan listrik sebanyak 15,67 PJ atau 3,7% dari total listrik yang dibangkitkan, jumlah ini meningkat pesat menjadi 712,63 PJ atau 17,9% dari total listrik yang dibangkitkan pada tahun 2030. Perincian dari listrik yang dibangkitkan berdasarkan jenis pembangkit dan kelompok pembangkit dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Listrik yang Dibangkitkan Berdasarkan Jenis Pembangkit
Jenis pembangkit 2000 PJ % 6,8 1,5 21,9 17,2 3,2 2,0 6,1 0,0 0,0 0,0 58,7 2,2 11,5 1,8 18,0 4,5 3,3 41,3 100,0 PJ 41,39 81,92 425,79 15,65 6,05 22,62 24,8 0,03 0 0 618,25 32,64 141,7 2,54 51,95 19 13,46 261,29 879,54 2010 % 4,7 9,3 48,4 1,8 0,7 2,6 2,8 0,0 0,0 0,0 70,3 3,7 16,1 0,3 5,9 2,2 1,5 29,7 100,0 PJ 48,36 190,27 1143,87 4,61 8,27 71,19 118,55 1,24 0 94,61 1680,97 19,14 180,4 2,08 13,05 19 21,56 255,23 1936,20 2020 % 2,5 9,8 59,1 0,2 0,4 3,7 6,1 0,1 0,0 4,9 86,8 1,0 9,3 0,1 0,7 1,0 1,1 13,2 100,0 PJ 55,7 696,36 2145,29 2,56 113,51 137,97 153,31 115,71 0,09 324,33 3744,83 16,27 156,39 0,89 20,64 19 26,72 239,91 3984,74 2030 % 1,4 17,5 53,8 0,1 2,8 3,5 3,8 2,9 0,0 8,1 94,0 0,4 3,9 0,0 0,5 0,5 0,7 6,0 100,0

Pembangkit umum CHP gas 29,03 GCC+GT 6,32 PLTU batubara 93,33 PLTU minyak 73,56 Pembangkit+GT diesel 13,67 Panas bumi 8,75 PLTA 26,10 Photovoltaic 0,00 Limbah rumah tangga 0,00 PLTN 0,00 Subtotal 250,76 Pembangkit captive GCC+GT 9,35 PLTU batubara 49,11 PLTU minyak 7,65 Pembangkit+GT diesel 76,96 PLTA 19,00 PLTU biomasa 14,07 Subtotal 176,14 Total 426,90 Sumber: Keluaran Model MARKAL

Pada tahun 2000, hampir separuh dari listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit captive menggunakan minyak sebagai bahan bakar, dimana lebih dari 90% memerlukan diesel sebagai bahan bakar (pembangkit+GT). Pada waktu yang sama PLTU batubara memberikan kontribusi lebih dari 25%. Pada tahun 2030, PLTU batubara memegang peranan penting pada pembangkit captive, dimana sebanyak 65% dari listrik yang dibangkitkan berasal dari PLTU batubara yang menyebabkan peran pembangkit berbahan bakar minyak menjadi berkurang. Beberapa jenis teknologi yang termasuk relatif baru, seperti photovoltaic, limbah rumah tangga dan nuklir muncul sebagai pilihan untuk membangkitkan listrik, yaitu photovoltaic mulai tahun 2010, limbah rumah tangga mulai tahun 2030 dan nuklir mulai tahun 2020. Listrik yang dibangkitkan oleh nuklir pada tahun 2030 adalah sebanyak 324,3 PJ atau setara dengan 8,1% dari total listrik yang dibangkitkan di Indonesia. Pembangkit nuklir menempati nomor urutan ke tiga berdasarkan jumlah listrik yang dibangkitkan pada tahun 2030. Sementara itu listrik yang dibangkitkan oleh limbah rumah tangga pada tahun 2030 adalah sebanyak 0,09 PJ, jumlah ini belum mencapai sepersepuluh persen dari total listrik yang dibangkitkan di Indonesia. 3.1.3 Biaya pembangkit listrik Variable yang digunakan untuk menghitung biaya pembangkit listrik adalah capacity factor (CF), life time, discount rate, biaya investasi untuk pembangkit, transmisi dan distribusi listrik, biaya operasi dan pemeliharaan baik yang tetap maupun yang variable untuk pembangkit, transmisi dan distribusi listrik, biaya bahan bakar dan pengangkutannya. Biaya pembangkit listrik untuk beberapa jenis pembangkit dengan beberapa besaran CF dapat dilihat pada Gambar 2.

68

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

$45

Coal Steam 7 MW Photovoltaic

$40

Diesel PP $35 Coal Steam 25 MW $30 Cost ($/GJ) Gas Turbine 30 MW Coal Steam 65 MW Gas Combined Cycle Coal Steam 100 MW Geothermal $15 Hydro $10

$25

$20

$5 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 Capacity Factor 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Gambar 2. Biaya beberapa pembangkit listrik untuk berbagai CF (Pustaka 5) Secara umum, biaya pembangkit listrik turun dengan meningkatnya CF. Pembangkit listrik photovoltaic dan diesel adalah jenis pembangkit yang relatif mahal untuk semua tingkat CF bila dibandingkan dengan jenis pembangkit listrik lainnya. Meskipun demikian keduanya mempunyai keunggulan yang spesifik, yaitu photovoltaic dapat digunakan pada daerah terpencil tanpa harus menyediakan bahan bakar, sedangkan diesel dapat dengan cepat menyediakan listrik dengan infrastruktur yang minimum. Kedua keunggulan ini mengakibatkan pembangkit listrik photovoltaic dan diesel tetap merupakan alternatif pembangkit listrik yang menarik, meskipun harganya mahal. Sebagian pembangkit memperlihatkan biaya pembangkit listrik yang relatif lebih rendah dari pembangkit listrik lainnya pada CF yang rendah, tetapi menjadi relatif lebih mahal pada CF yang tinggi. Pada sebagian pembangkit yang lain terlihat hal yang sebaliknya, yaitu biaya pembangkit yang mahal pada CF yang rendah dan menjadi murah pada CF yang tinggi. Kelompok pertama (biaya pembangkit yang murah pada CF yang rendah) seperti gas turbin biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik pada beban puncak, sedangkan kelompok kedua (biaya pembangkit yang murah pada CF yang tinggi) seperti panas bumi dan PLTU batubara biasa digunakan untuk memenuhi beban dasar. Sementara itu tenaga air layak dipilih pada capacity factor diatas 0,3. 3.2 Kasus untuk analisis Pada bagian ini akan dianalisis perbedaan jumlah listrik yang dibangkitkan berdasarkan kelompok pembangkit dan jenis pembangkit yang digunakan. Dalam analisis ini diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan teknologi yang drastis, sehingga perubahan jumlah listrik yang dibangkitkan juga merupakan gambaran perubahan kapasitas yang digunakan. Perincian dari masing-masing perubahan tersebut akan disampaikan pada sub-subbab berikut. 3.2.1 Kasus harga batubara tinggi Perubahan dari jumlah listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit adalah merupakan selisih dari total listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit pada kasus HIGHCOAL selama perioda studi (2000-2035) terhadap total listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit pada kasus dasar selama periode yang sama. Perincian perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 memperlihatkan bahwa harga batubara yang tinggi mengakibatkan menurunnya jumlah listrik yang dibangkitkan oleh PLTU batubara, baik untuk pembangkit umum maupun captive. Sebagai dampak dari penurunan ini, mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah listrik yang dibangkitkan

69

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

oleh jenis pembangkit listrik yang lain. Beberapa jenis pembangkit yang mengalami peningkatan yang besar adalah gas turbin berbahan bakar diesel, pembangkit listrik panas bumi, pembangkit listrik photovoltaic dan PLTN. Pembangkit dan gas turbin berbahan bakar diesel adalah merupakan jenis pembangkit yang memiliki investasi yang relatif rendah dengan biaya operasi dan pemeliharaan yang tinggi, sedangkan Pembangkit listrik panas bumi, Pembangkit listrik photovoltaic dan PLTN adalah jenis pembangkit yang memiliki investasi yang relatif tinggi dengan biaya operasi dan pemeliharaan yang rendah. Batubara adalah salah satu bahan bakar pembangkit listrik yang relatif murah biayanya, peningkatan harga batubara akan mengakibatkan beralihnya pemakaian batubara ke bahan bakar yang lain. Secara keseluruhan, dampak dari jenis pembangkit yang dipilih sebagai akibat harga batubara yang tinggi adalah meningkatnya biaya total investasi bila dibandingkan dengan kasus dasar, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 6. Perubahan Jumlah Listrik yang Dibangkitkan Berdasarkan Jenis Pembangkit
Jenis pembangkit Pembangkit umum CHP gas GCC+GT PLTU batubara PLTU minyak Pembangkit+GT diesel Panas bumi PLTA Photovoltaic Limbah rumah tangga PLTN Pembangkit captive GCC+GT PLTU batubara PLTU minyak Pembangkit+GT diesel PLTA PLTU biom asa Perubahan (PJ) -6,5 73,8 -2555,6 71,0 1828,4 321,4 40,3 486,0 0,0 242,6 -32,1 -697,4 19,4 222,0 0,0 -0,7

3.2.2 Kasus harga minyak mentah tinggi Perubahan dari jumlah listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit adalah merupakan selisih dari total listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit pada kasus HIGHOIL selama perioda studi (2000-2035) terhadap total listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit pada kasus dasar selama perioda yang sama. Perincian perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perubahan Jumlah Listrik yang Dibangkitkan Berdasarkan Jenis Pembangkit
Jenis pembangkit Pembangkit umum CHP gas GCC+GT PLTU batubara PLTU minyak Pembangkit+GT diesel Panas bumi PLTA Photovoltaic Limbah rumah tangga PLTN Pembangkit captive GCC+GT PLTU batubara PLTU minyak Pembangkit+GT diesel PLTA PLTU biom asa Perubahan (PJ) -410,2 -6451,0 6077,0 858,3 -5072,7 -1285,0 235,3 5150,2 0,0 -989,5 23,0 632,3 1409,8 -453,1 0,0 7,8

70

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Pada Tabel 7 terlihat bahwa harga minyak mentah yang tinggi mengakibatkan penurunan jumlah listrik yang dibangkitkan oleh gas (CHP dan GCC+GT), diesel (pembangkit+GT), panas bumi dan PLTN, tetapi meningkatkan listrik yang dibangkitkan oleh PLTU batubara dan minyak, PLTA dan photovoltaic pada pembangkit umum. Pada pembangkit captive, terjadi penurunan listrik yang dibangkitkan oleh diesel (pembangkit+GT) tetapi terjadi peningkatan listrik yang dibangkitkan oleh jenis pembangkit yang lain. PLTU minyak tidak dipengaruhi oleh peningkatan harga minyak mentah, hal ini disebabkan oleh pemakaian fuel oil/residu pada PLTU minyak. Fuel oil/residu adalah produk kilang yang berharga murah, sehingga harga minyak mentah yang tinggi tidak terlalu banyak merubah harga relatif fuel oil/residu terhadap bahan bakar yang lain, seperti batubara. Sebagai akibatnya, jumlah listrik yang dibangkitkan oleh PLTU minyak tetap meningkat dengan meningkatnya harga minyak mentah. Sementara itu minyak diesel adalah produk kilang yang berharga tinggi, sehingga harganya dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak mentah. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah listrik yang dibangkitkan diesel. Sementara itu harga gas di Dalam Negeri juga terkait dengan harga minyak mentah, sehingga kenaikan harga minyak mentah juga akan meningkatkan harga gas, yang selanjutnya juga berdampak pengurangan jumlah listrik yang dibangkitkan oleh gas (CHP dan GCC+GT). Terpilihnya batubara sebagai bahan bakar utama untuk pembangkit listrik akan mengurangi peran bahan bakar yang lain seperti nuklir dan panas bumi untuk pembangkit listrik, karena harga batubara relatif murahnya. Peningkatan jumlah listrik yang dibangkitkan oleh photovoltaic merupakan pilihan didaerah terpencil yang biasa menggunakan diesel untuk pembangkit listrik. Secara keseluruhan, dampak dari jenis pembangkit yang dipilih sebagai akibat harga minyak mentah yang tinggi adalah meningkatnya biaya total investasi bila dibandingkan dengan kasus dasar, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Pada harga minyak mentah yang tinggi, juga berpengaruh terhadap harga bahan bakar gas, sehingga biaya total investasi yang diperlukan adalah lebih besar dari pada harga batubara yang tinggi. 3.2.3 Kasus harga batubara dan minyak mentah tinggi Perubahan dari jumlah listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit adalah merupakan selisih dari total listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit pada kasus HIGHOIL1 selama perioda studi (2000-2035) terhadap total listrik yang dibangkitkan oleh setiap jenis pembangkit pada Kasus dasar selama perioda yang sama. Adapun perincian perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan jumlah listrik yang dibangkitkan berdasarkan jenis pembangkit
Jenis pembangkit Pembangkit umum CHP gas GCC+GT PLTU batubara PLTU minyak Pembangkit+GT diesel Panas bumi PLT Air Photovoltaic Limbah rumah tangga PLT Nuklir Pembangkit captive GCC+GT PLTU batubara PLTU minyak Pembangkit+GT diesel PLT Air PLTU biomasa Perubahan (PJ) -24,6 -2125,5 3759,6 -172,7 -5762,6 37,1 864,9 3130,4 0,4 -279,0 -179,6 489,2 117,7 -192,4 0,0 15,6

Pada Tabel 8 terlihat bahwa harga batubara dan minyak mentah yang tinggi mengakibatkan penurun jumlah listrik yang dibangkitkan oleh gas (CHP dan GCC+GT), PLTU minyak, diesel (pembangkit dan GT) dan PLTN tetapi peningkatan jumlah listrik dibangkitkan oleh PLTU batubara, panas bumi, PLTA dan photovoltaic pada pembangkit umum. Pada pembangkit captive, jumlah listrik yang dibangkitkan

71

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

oleh gas (GCC+GT) dan diesel (pembangkit dan GT) mengalami penurunan, sedangkan jumlah listrik yang dibangkitkan oleh jenis pembangkit yang lain mengalami peningkatan. Dampak yang diakibatkan oleh peningkatan harga batubara dan minyak mentah lebih menyerupai dampak harga minyak mentah yang tinggi dari pada harga batubara yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa batubara adalah termasuk bahan bakar pembangkit yang relatif rendah harganya, sedangkan diesel adalah bahan bakar pembangkit yang mahal harganya. Perubahan harga dari bahan bakar yang berharga mahal lebih berpengaruh terhadap pemakaiannya dari pada perubahan harga dari bahan bakar yang murah, sehingga harga relatif listrik yang dibangkitkan oleh batubara tetap lebih rendah dari pada harga listrik yang dibangkitkan oleh BBM. Selanjutnya keterkaitan harga gas dengan harga minyak mentah meningkatkan dampak harga minyak tinggi terhadap sistem pembangkit listrik di Indonesia. Secara keseluruhan, dampak dari jenis pembangkit yang dipilih sebagai akibat harga batubara dan minyak mentah yang tinggi adalah meningkatnya biaya total investasi bila dibandingkan dengan kasus dasar, seperti yang disampaikan pada Tabel 2. Pada tabel tersebut juga terlihat kedekatan dampak kasus harga batubara dan minyak mentah tinggi dengan dampak kasus harga minyak mentah yang tinggi.

KESIMPULAN

Pada saat ini peran pembangkit captive sangat berarti bagi sistem perlistrikan di Indonesia, dimana sebagian besar dari pembangkit ini berbahan bakar minyak. Pada pembangkit listrik umum, kontribusi listrik terbesar berasal dari PLTU batubara, meskipun kapasitas listrik terbesar adalah gas combined cycle. Pada tahun 2030, diproyeksikan bahwa pembangkit umum akan mendominasi sistem pembangkit di Indonesia, dan PLTU batubara akan memberikan kontribusi sekitar 54% dari jumlah listrik yang dibangkitkan. Berdasarkan wilayahnya, baik saat ini maupun pada tahun 2030, Jawa merupakan wilayah dengan jumlah pembangkit listrik terbesar, sedangkan Maluku merupakan wilayah dengan jumlah pembangkit listrik terkecil. Dimasa depan pengembangan energi terbarukan terutama berpusat di wilayah terpencil, selanjutnya teknologi pembangkit listrik yang relatif baru seperti photovoltaic, limbah rumah tangga dan nuklir juga merupakan pilihan. Berdasarkan kasus-kasus harga batubara dan minyak mentah tinggi yang dianalisis, biaya investasi tertinggi diperoleh pada Kasus harga batubara dan minyak mentah tinggi, sedangkan biaya investasi terendah diperoleh pada Kasus harga batubara tinggi. Pengaruh kenaikan harga minyak mentah lebih kuat dari pada pengaruh kenaikan harga batubara dalam kaitannya dengan penyediaan energi nasional. Hal ini terlihat pada Kasus harga batubara dan minyak mentah tinggi, dimana pola pemakaian bahan bakar pada Kasus ini lebih menyerupai pola pemakaian bahan bakar pada Kasus harga minyak mentah tinggi dari pada Kasus harga batubara tinggi. Dalam kaitannya dengan pemakaian batubara, BBM dan gas untuk pembangkit listrik, harga batubara yang tinggi mengakibatkan turunnya pemakaian batubara tetapi meningkatnya pemakaian bahan bakar yang lain. Harga minyak mentah yang tinggi mengakibatkan turunnya pemakaian gas dan diesel tetapi mengakibatkan naiknya pemakaian batubara dan fuel oil. Hal ini terkait dengan kondisi bahwa harga gas terkait dengan harga BBM, sementara itu fuel oil yang merupakan BBM murah kurang terpengaruh oleh kenaikan harga minyak mentah. Sementara itu harga batubara dan minyak mentah yang tinggi mengakibatkan menurunnya pemakaian gas dan BBM, tetapi meningkatkan pemakaian batubara. Harga minyak yang tinggi lebih berpengaruh terhadap jumlah pemakaiannya di pembangkit listrik dari pada harga batubara yang tinggi. Selanjutnya keterkaitan harga gas dan harga BBM mengakibatkan mahalnya harga minyak. DAFTAR PUSTAKA 1. PLN. Rencana Penyediaan Tenaga Listrik Luar Jawa-Madura-Bali 2003-2010. Jakarta, September 2003. 2. BPPT. Indonesian MARKAL Database Document, 2004.

72

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

3. ASEAN NPT. New ASEAN for Policy 2 Database, 2004. 4. . Investment cost of Photovoltaic. US Research. 2004.

5. BPPT. The Future Technologies for Power Plant in Indonesian Regions with Particular Reference to the Use of Renewable Energy and Small Scale Coal Steam Power Plant. The Asean-Australian Economic Cooperation Program (AAECP) Energy Policy and Systems Analysis Project, Report on the Third National Policy Study for Indonesia, Draft 01, Desember 2004.

73

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

74

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS SISTEM PEMBANGKIT LISTRIK DI JAWA TERHADAP PENYEDIAAN BATUBARA YANG TIDAK TERBATAS (2000 2030)
Adhi D. Permana dan Muchammad Muchlis ABSTRACT
This paper discusses the impact of coal supply capacity to Java on its electricity generating system. The MARKAL model is applied to provide optimal strategies on meeting energy demands in Java, given the following cases: a base case, denoted as BASE CASE, with restricted capacity on coal loading capacity and low oil and coal price, a modified base case, denoted as BASE-1 CASE, which is similar to the BASE CASE except with higher oil and coal price, an UNLIMIT-1 case which has unlimited coal terminal capacity with low oil and coal price, and an UNLIMIT-2 case that has unlimited coal terminal capacity but high oil and coal price. Our study shows that the competitiveness of various electricity generating technologies, namely nuclear, oil and gas fueled, and renewable energies with respect to the coal fueled technology are dictated by the capacity of coal terminals in Java, not solely by their generating costs.

PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai cadangan batubara yang relatif besar yang mencapai 38,87 milyar ton (Direktorat Batubara, 2000), dengan 11,57 milyar ton di antaranya berupa cadangan terukur (measured reserve) dan 5,37 milyar ton berupa cadangan yang dapat ditambang (mineable reserve). Cadangan batubara tersebut tersebar di Sumatra, Kalimantan, Papua dan Jawa. Jenis batubara yang ada di Indonesia adalah lignit dengan nilai kalor (NCV) antara 17,9 MJ/kg sampai 19,1 MJ/kg, subbituminus dengan nilai kalor (NCV) antara 21,87 MJ/kg sampai 23,93 MJ/kg, bittuminus dengan nilai kalor (NCV) sebesar 26,63 MJ/kg dan antrasit dengan nilai kalor (NCV) sebesar 32,32 MJ/kg. Dari semua jenis batubara yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar di pembangkit listrik dan industri adalah sub-bituminous dan bituminous, sedangkan antrasit dimanfaatkan sebagai reduktor di industri baja. Selain sebagai bahan bakar, batubara lignit, sub-bituminous, dan bituminous juga dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk memproduksi briket. Pemanfaatan batubara terbesar di Indonesia adalah sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik nasional pada tahun 2002 mencapai sekitar 70%. Tingginya peningkatan pemanfaatan batubara dalam negeri, khususnya di sektor pembangkit tenaga listrik dipicu adanya kebijakan diversifikasi energi, selain itu juga biaya investasi pembangkit listrik berbahan bakar batubara dapat bersaing dengan pembangkit listrik berbahan bakar minyak dan gas. Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan peningkatan kebutuhan listrik yang diperkirakan sebesar 7% per tahun selama kurun waktu 30 tahun (2000-2030), diperkirakan kebutuhan batubara dalam negeri, terutama di Pulau Jawa akan terus meningkat sehingga memperkecil peluang ekspor batubara. Peningkatan kebutuhan batubara di Pulau Jawa harus diimbangi dengan kesinambungan pasokan dan antisipasi terhadap emisi yang di akibatkan dari pembakaran batubara. Diantara pulau-pulau yang ada di Indonesia, Pulau Jawa mempunyai tingkat emisi yang paling tinggi. Sejalan dengan hal tersebut, peningkatan pemanfaatan batubara di pembangkit listrik di Jawa harus diimbangi dengan pemilihan teknologi pembangkit listrik yang bersih atau menambah peralatan pengurangan zat pencemar pada teknologi pembangkit konvensional, seperti electrostatic precipitator, desulphurisasi dan denitrifikasi. Selain itu, pemilihan teknologi pembangkit listrik juga diarahkan untuk meminimalkan emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran batubara.

75

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Berdasarkan ulasan tersebut dilakukan penelitian mengenai dampak tak terbatasnya pasokan batubara terhadap pemenuhan kebutuhan listrik di Pulau Jawa. Hasil penelitian ini dianalisis untuk mendapatkan sistem pembangkitan listrik yang optimal di Pulau Jawa. 2 METODE PENELITIAN

2.1 Perangkat Lunak dan Database Dalam penelitian ini digunakan perangkat lunak model MARKAL, yaitu model optimisasi untuk menentukan solusi strategi pasokan energi jangka panjang, terintegrasi, berkesinambungan, dan bersih lingkungan secara optimal serta dikendalikan oleh kebutuhan energi dan tergantung dari fungsi obyektif yang diambil. Model MARKAL menghasilkan solusi internal yang berupa harga bayangan (shadow price) yang mencerminkan nilai ekonomi untuk masing-masing bahan bakar dari tambang sampai ke pemakai dan kapasitas energi per jenis energi dan per jenis teknologi. Masukan (input) model MARKAL adalah data teknis-ekonomi sumber daya energi, proses dan konversi energi termasuk fasilitas pengangkutan energi, teknologi peralatan, dan prakiraan kebutuhan energi. Prakiraan kebutuhan energi dinyatakan dalam useful energy (apabila teknologi yang mengkonsumsi energi dipersaingkan) dan energi final (apabila teknologi yang mengkonsumsi energi tidak dipersaingkan). Kurun waktu yang diambil pada penelitian ini adalah 30 tahun dari tahun 2000 sampai tahun 2030 yang dinyatakan dalam enam periode, dimana satu periode sama dengan lima tahun. Dalam setiap periode, biaya-biaya diasumsikan konstan, investasi dilakukan di awal periode, dan biaya operasi berlaku untuk setiap tahun di periode tersebut namun diperhitungkan di awal periode. Database yang dipergunakan dalam studi ini dibagi berdasarkan wilayah Indonesia dan untuk masing-masing wilayah, sistem energinya di modelkan dengan memperhatikan hubungan energi antar wilayah dalam bentuk interkoneksi pipa gas, pipa minyak, tanker minyak/Bahan Bakar Minyak (BBM), tanker LPG/LNG, angkutan batubara (truk, kereta api, dan kapal laut), serta transmisi dan distribusi listrik. Gambar 1 menunjukkan pembagian wilayah kebutuhan energi.

Gambar 1. Pembagian Wilayah Kebutuhan Energi di Indonesia Gambar 1 memperlihatkan pembagian wilayah penelitian berdasarkan wilayah yang kebutuhan listriknya tinggi, yaitu Sumatra dibagi satu wilayah, Jawa dibagi menjadi tiga wilayah (Jawa barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), Kalimantan dibagi menjadi menjadi 5 wilayah (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Selatan Lainnya, dan Kawasan Indonesia Timur dibagi menjadi 10 wilayah (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah Lainnya, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Barat Lainnya, dan Nusa Tenggara Timur).

76

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Dalam menentukan solusi strategi pasokan energi yang optimal, model akan memilih strategi penyediaan energi yang menghasilkan total biaya sistem terkecil. Total biaya sistem dihitung berdasarkan biaya investasi per tahun, biaya tahunan operasi dan perawatan (maintenance) tetap dan variabel, biaya-biaya yang terkait dengan impor dan ekspor energi, produksi sumberdaya energi, angkutan dan transmisi energi, proses, konversi dan teknologi penggunaan energi serta emisi. 2.2 Pengambilan Kasus Pada penelitian ini dibuat dua kasus dasar, yaitu BASE dan BASE-1. Untuk bahan analisis Sistim Pembangkit Listrik di Jawa terhadap Penyediaan Batubara yang Tidak Terbatas dibuat kasus UNLIMIT-1 dan UNLIMIT-2. Asumsi yang digunakan dalam membuat BASE CASE adalah harga minyak mentah sebesar 28 US$/barel, harga ekspor batubara sebesar 29,78 US$/ton, dan kapasitas (terminal) penerimaan batubara di Jawa di batasi seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1. Tabel 1. Batas kapasitas terminal penerimaan batubara di Jawa (kasus BASE)
Terminal Suralaya Cigading Industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur Pembangkit Listrik di Jawa Tengah dan Jawa Timur 2000 130 64 -150 2005 150 64 -150 2010 450 264 241 450 Tahun (PJ/tahun) 2015 2020 750 1.050 464 664 441 641 750 1.050 2025 1.350 864 841 1.350 2030 1.650 1.064 1.041 1.650

Selain asumsi tersebut masih ada beberapa asumsi yang diambil, yaitu pertumbuhan kebutuhan listrik 7% per tahun, biaya investasi photovoltaic menurun hingga ke tingkat USD 1.650 / kW dan konstan setelah tahun 2010, batas kapasitas sumber energi minihidro dan geotermal sesuai potensi tersedia, dan pasokan listrik tergantung ketersediaan jaringan tranmisi dan distribusi listrik dengan mempertimbangkan rencana pengembangan jaringan listrik interkoneksi Sumatra dan Jawa (tahun 2015), Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah (tahun 2020), Jawa dan Nusa Tenggara (tahun 2020), seluruh Sulawesi (tahun 2015), dan seluruh wilayah Kalimantan (tahun 2015). BASE-1 asumsinya sama dengan BASE CASE, yang berbeda hanya pada harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel dan harga ekspor batubara sebesar 50 US$/ton. Pada kasus UNLIMIT-1 asumsinya sama dengan BASE CASE dengan perbedaan kapasitas pelabuhan penerima di Jawa pada kasus UNLIMIT-1 tidak dibatasi. Kasus UNLIMIT-2 asumsinya sama dengan BASE-1 dengan perbedaan kapasitas pelabuhan penerima di Jawa pada kasus UNLIMIT-2 tidak dibatasi. 3 HASIL PENELITIAN

3.1 Pembangkit Listrik di Pulau Jawa Berdasarkan keluaran model MARKAL, pada BASE CASE, UNLIMIT-1, BASE-1, dan UNLIMIT-2 total kapasitas pembangkit listrik termasuk captive di Jawa pada tahun 2000 masing-masing sebesar 24,22 GW, 25 GW, 24,72 GW, dan 25,58 GW masing-masing meningkat menjadi 142,23 GW, 164,11 GW, 166,58 GW, dan 229,32 GW pada tahun 2030. Pada semua kasus mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2030, PLTU Batubara dan pembangkit listrik combined cycle sangat berperan, karena biaya pembangkitan dari kedua jenis pembangkit tersebut murah, sehingga apabila pasokan batubara dan gas ke Jawa tidak dibatasi menyebabkan PLTN (pembangkit listrik nuklir) tidak dapat bersaing. Bersaingnya PLTN terhadap PLTU Batubara disebabkan penambahan kapasitas pelabuhan penerima batubara di Jawa dibatasi, sehingga pasokan batubara ke Jawa terbatas dan penambahan kapasitas PLTU Batubara hanya mampu sesuai dengan besarnya pasokan batubara. Selain itu dengan penurunan kapasitas PLTU Minyak dan PLTD menyebabkan bukan hanya PLTN yang dapat bersaing, tetapi kekurangan pasokan listrik akan dipenuhi dari listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit listrik renewable. Pada kasus BASE dan BASE-1 mulai tahun 2020 setelah PLTD sudah tidak beroperasi lagi dan pasokan batubara ke Jawa sudah terbatas, kekurangan pasokan listrik akan dipenuhi dari listrik yang dibangkitkan oleh PLTN. Sedangkan untuk kasus UNLIMIT-1 dan UNLIMIT-2, dimana pasokan

77

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

batubara ke Jawa tidak terbatas menyebabkan PLTN tidak terpilih, walaupun harga batubara dan minyak sudah diasumsikan lebih tinggi. Ini berarti bahwa pilihan PLTN tergantung dari besarnya pasokan batubara ke Jawa. Tabel 2 dan Tabel 3 memperlihatkan besarnya kapasitas pembangkit listrik yang ada di Pulau Jawa.

Tabel 2. Kapasitas Pembangkit Listrik di Jawa (BASECASE dan UNLIMIT-1) (GW)


Jenis Pembangkit BASE PLTU Batubara PLTA PLTD CHP PLTN PLTU Oil Geothermal HSD Gas Turbin Photovoltaic PLT-LK Gas Combined Cycle 6,45 2,51 5,47 0,75 0,00 3,00 0,76 0,60 0,00 0,06 4,62 2000 UNLIMIT-1 6,37 2,51 5,47 0,75 0,00 3,58 0,76 0,60 0.00 0,06 4,62 24,72 BASE 7,12 2,33 4,10 0,84 0,00 2,50 0,76 1,53 0,00 0,06 4,62 23,86 2005 UNLIMIT-1 7,04 2,33 4,10 0,84 0,00 3,11 0,76 1,60 0,00 0,06 4,62 24,46 BASE 21,38 2,33 2,74 1,04 0,00 1,28 0,76 1,50 0,00 0,07 5,74 36,84 2010 UNLIMIT-1 19,46 2,33 2,74 1,04 0,00 1,93 0,76 1,57 0,00 0,07 7,30 37,20 BASE 36,14 1,98 1,37 1,13 0,00 1,02 0,73 1,48 0,00 0,09 4,51 48,45 2015 UNLIMIT-1 31,84 1,98 1,37 1,13 0,00 1,68 0,73 1,55 0,00 0,09 7,52 47,89

Total 24,22 Sumber: Hasil Keluaran Model MARKAL

Tabel 2. Lanjutan (GW)


Jenis Pembangkit PLTU Batubara PLTA PLTD CHP PLTN PLTU Oil Geothermal HSD Gas Turbin Photovoltaic PLT-LK Gas Combined Cycle Total Sumber: Hasil Keluaran Model MARKAL BASE 48,36 1,80 0,00 1,26 4,00 0,98 1,77 1,38 0,00 0,11 8,91 68,57 2020 UNLIMIT-1 56,79 1,80 0,00 1,26 0,00 2,68 1,77 1,45 0,00 0,11 6,09 71,95 BASE 57,66 2,46 0,00 1,38 11,20 0,00 1,77 0,00 0,00 0,12 23,25 97,84 2025 UNLIMIT-1 89,14 1,62 0,00 1,38 0,00 1,77 1,77 0,00 0,00 0,12 12,93 108,73 BASE 70,84 3,25 0,00 1,51 13,92 0,00 1,77 11,54 12,16 0,14 27,10 142,23 2030 UNLIMIT-1 147,02 1,44 0,00 1,51 0,00 1,77 1,77 0,00 0,00 0,14 12,93 166,58

78

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 3. Kapasitas Pembangkit Listrik di Jawa untuk BASE-1 dan UNLIMIT-2 (GW)
2000 BASE-1 PLTU Batubara PLTA PLTD CHP PLTN PLTU Oil Geothermal HSD Gas Turbin Photovoltaic 7,23 2,51 5,47 0,75 0,00 3,00 0,76 0,60 0,00 UNLIMIT-2 7,23 2,51 5,47 0,75 0,00 3,58 0,76 0,60 0,00 BASE-1 12,90 2,33 5,10 0,82 0,00 2,50 0,76 0,49 0,00 0,06 4,62 29,58 2005 UNLIMIT-2 7,90 2,33 4,10 0,82 0,00 3,11 0,76 0,49 0,00 0,06 4,62 24,19 BASE-1 23,00 2,33 2,74 1,04 0,00 1,28 1,77 0,46 0,00 0,07 4,62 37,31 2010 UNLIMIT-2 22,74 2,33 2,74 1,04 0,00 2,94 1,77 0,46 0,00 0,07 4,93 39,02 BASE-1 36,85 1,98 1,37 1,13 0,00 1,02 1,77 0,44 0,00 0,09 3,81 48,46 2015 UNLIMIT-2 36,70 1,98 1,37 1,13 0,00 2,72 1,77 0,44 0,00 0,09 3,70 49,90

PLT-LK 0,06 0,06 Gas Combined Cycle 4,62 4,62 Total 25,00 25,58 Sumber: Hasil Keluaran Model MARKAL

Tabel 3.Lanjutan (GW)


Jenis Pembangkit BASE-1 PLTU Batubara PLTA PLTD CHP PLTN PLTU Oil Geotherm al HSD Gas Turbin Photo Voltaic PLT-LK Gas Combined Cycle 49,14 2,57 0,00 1,26 6,00 0,98 1,77 0,34 2,23 0,11 5,73 2020 UNLIMIT-2 60,04 1,80 0,00 1,26 0,00 2,68 1,77 0,34 0,00 0,11 4,20 72,20 BASE-1 57,68 3,13 0,00 1,38 11,20 0,00 1,77 3,23 6,98 0,12 16,36 101,85 2025 UNLIMIT-2 95,66 2,46 0,00 1,38 0,00 1,77 1,77 0,00 0,00 0,12 4,63 107,79 BASE-1 70,84 3,25 0,00 1,51 13,92 0,00 1,77 3,23 36,05 0,14 33,40 164,11 2030 UNLIMIT-2 210,13 2,36 0,00 1,51 0,00 1,77 1,77 0,00 0,00 0,14 11,64 229,32

Total 70,13 Sumber: Hasil Keluaran Model MARKAL

3.2 Biaya Pembangkitan per Jenis Pembangkit Biaya pembangkitan listrik dipengaruhi oleh beberapa variabel, yaitu faktor kapasitas, umur teknis (life time), suku diskonto (discount rate), biaya investasi pembangkit listrik, transmisi dan distribusi, biaya tetap operasi dan perawatan (maintenance) serta biaya tak tetap operasi dan perawatan pembangkit listrik, transmisi dan distribusi, dan biaya bahan bakar. Pada umumnya untuk berbagai jenis pembangkit listrik biaya pembangkitan listrik (USD/GJ) berbanding terbalik terhadap faktor kapasitas (Grafik 1). Faktor kapasitas menggambarkan tingkat produksi listrik, dengan meningkatnya produksi listrik akan mengurangi biaya pembangkitan listrik per satuan energi. Semakin tinggi faktor kapasitas menyebabkan biaya pembangkitan per GJ akan rendah. Faktor kapasitas yang diambil pada penelitian ini berkisar dari 0,99 sampai 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangkit listrik yang ada di Jawa dapat memproduksi listrik secara maksimal. Grafik 1 menunjukkan bahwa PLTU batubara 600 MW menghasilkan listrik dengan biaya paling murah dibandingkan jenis pembangkit listrik lainnya (PLTD dan PLTNuklir), dengan harga pasokan batubara sebesar 29,78 US$/ton. Grafik 2 menunjukkan besarnya biaya pembangkitan dari PLTU Batubara dengan harga pasokan batubara yang berbeda (29,78 US$/ton dan 50 US$/ton) dan dengan kasus

79

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

berbeda (BASE, BASE-1, UNLIMIT-1, dan UNLIMIT-2). Dari berbagai kasus tersebut ternyata perubahan harga pasokan batubara tidak mengubah kecenderungan (trend) harga pembangkitan, sehingga terlihat pada bentuk kurva yang mirip pada pembandingan kasus BASE dan BASE-1, serta kasus UNLIMIT-1 dan UNLIMIT-2 seperti ditunjukkan pada Grafik 2.
$45

$40

$35

$30

Biaya ($/GJ)

$25

$20

$15

$10

$5 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Faktor Kapasitas
Photovoltaic Coal Steam 65 MW W. Java Coal Steam PP 600 MW Nuclear 1000 MW PLTGU 100 MW Diesel PP Coal Steam 100 MW Captive Coal 65 MW Gas Turbine 120 MW Oil Steam PP 120 MW Gas Turbine 30 MW Hydro Nuclear 600 MW Geothermal 55 MW PLTD 3.5 MW

Grafik 1. Biaya Pembangkitan Listrik untuk berbagai Jenis Pembangkit


$35

$30

$25

Biaya ($/GJ)

$20

$15

$10

$5 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Faktor Kapasitas
Coal Steam 100 MW Coal 600 MW - Base-1 & Unlimit-2 Coal Steam PP 600 MW - Base PLTD 3.5 MW Coal 600 MW - Unlimit-1

Grafik 2. Biaya Pembangkitan Listrik PLTU Batubara dengan harga Batubara Beda BASE, BASE-1, UNLIMIT-1, UNLIMIT-2

3.4 Analisis Pasokan Batubara dan Harga Ekonomi Batubara Ke Jawa Berdasarkan hasil keluaran model MARKAL, pada kasus dasar terlihat bahwa kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara diproyeksikan meningkat dari 3,97 GW pada tahun 2000 menjadi 70,84 GW pada tahun 2030. Peningkatan kapasitas PLTU batubara akan meningkatkan kebutuhan batubara di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah yang selanjutnya akan diikuti dengan penambahan pasokannya.

80

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Di Jawa Barat, pasokan batubara untuk pembangkit listrik dapat melalui pelabuhan penerima Suralaya dan Cigading dan dengan adanya keterbatasan kapasitas pelabuhan penerima tersebut, menyebabkan pasokan batubara dari Sumatra (Ombilin,Bengkulu, dan Bukit Asam) sudah tidak mencukupi dan harus ditunjang dari batubara Kalimantan. Sebelumnya batubara Kalimantan lebih diutamakan untuk memasok kebutuhan batubara di pembangkit listrik dan industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, akan tetapi dengan meningkatnya kebutuhan batubara di industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga mengakibatkan adanya tambahan pasokan batubara dari Bengkulu ke industri yang berlokasi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan adanya penambahan pasokan dari batubara Kalimantan ke Jawa Barat dan Bengkulu ke Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebabkan terjadinya peningkatan biaya distribusi batubara. Peningkatan biaya distribusi batubara akan berpengaruh terhadap harga ekonomi dari pasokan batubara. Harga ekonomi pasokan batubara selain dipengaruhi oleh biaya distribusi batubara juga dipengaruhi oleh jenis batubara. Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan perbandingan harga ekonomi pasokan batubara ke Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada kasus BASE CASE dan BASE-1 terlihat bahwa harga ekonomi pasokan batubara mulai tahun 2020 meningkat. Hal ini disebabkan karena pasokan batubara bukan hanya berasal dari batubara Sumatra, namun juga dari Kalimantan. Jarak tempuh distribusi batubara dari Kalimantan ke Jawa Barat serta Bengkulu ke Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih jauh dibandingkan jarak tempuh batubara dari Sumatra ke Jawa Barat serta Kalimantan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tabel 4. Perbandingan harga ekonomi pasokan batubara ke Suralaya (Jawa Barat) tahun 2000 sd. 2030
Juta US$/PJ 2000 BASE BASE-1 UNLIMIT-1 1,46 1,91 1,42 2005 1,17 1,96 1,17 1,96 2010 1,48 1,96 1,48 1,96 2015 1,48 1,97 1,48 1,96 2020 2,14 2,9 1,48 1,96 2025 3,56 5,02 1,48 1,96 2030 5,04 7,17 1,48 1,96

UNLIMIT-2 1,91 Sumber: Keluaran Model MARKAL

Tabel 5. Perbandingan harga ekonomi pasokan batubara ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dari tahun 2000 sd. 2030
Juta US$/PJ 2000 BASE BASE-1 UNLIMIT-1 1,29 1,71 1,29 2005 1,28 1,75 1,28 1,75 2010 1,28 1,75 1,28 1,75 2015 1,28 1,86 1,28 1,75 2020 2,02 2,87 1,28 1,75 2025 3,56 5.02 1,28 1,75 2030 5,04 7,17 1,28 1,75

UNLIMIT-2 1,71 Sumber: Keluaran Model MARKAL

Sebaliknya dengan tidak adanya pembatasan kapasitas pelabuhan penerima di Jawa, menyebabkan batubara Sumatra dapat memasok batubara ke Jawa Barat dengan tidak terbatas sesuai dengan kebutuhannya, dan Kalimantan juga dapat memasok batubara ke Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak terbatas sesuai dengan kebutuhannya, sehingga biaya distribusinya akan lebih murah yang mengakibatkan harga ekonomi batubara stabil seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 dan 3 pada kasus UNLIMIT-1, dan UNLIMIT-2. 3.5 Hubungan antara Harga Ekonomi Listrik Rata-Rata dan Produksi listrik per Jenis Pembangkit di Pulau Jawa Kebutuhan listrik di Pulau Jawa setiap tahunnya meningkat, sehingga setiap tahun pasokan listrik juga akan meningkat. Peningkatan pasokan listrik harus diimbangi dengan adanya tambahan kapasitas pembangkit listrik yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi listrik. Seperti yang telah dijelaskan

81

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

sebelumnya pemilihan penambahan kapasitas selalu dikaitkan dengan biaya yang paling murah agar harga ekonomi dari listrik yang diproduksi rendah. Akan tetapi besarnya pangsa produksi listrik per jenis pembangkit juga sangat berpengaruh terhadap harga ekonomi listrik rata-rata. Tabel 6 dan Tabel 7 menunjukkan besarnya produksi listrik per jenis pembangkit listrik di Jawa pada BASE dan UNLIMIT-1 serta BASE-1 dan UNLIMIT-2. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk semua kasus yang diambil pangsa produksi PLTU Batubara terkecil terjadi pada tahun 2005 dan hal tersebut akan berpengaruh terhadap harga ekonomi listrik rata-rata. Walaupun produksi listrik yang dibangkitkan PLTU Batubara tergolong rendah akan tetapi harga ekonomi listrik rata-rata tidak hanya dipengaruhi oleh PLTU Batubara juga pembangkit listrik lainnya, sehingga pada tahun 2005 harga ekonomi listrik rata-rata untuk semua kasus paling tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya seperti yang ditunjukkan pada Grafik 3. Trend harga ekonomi listrik rata-rata untuk semua kasus dari tahun 2000 hingga 2030 mengikuti pangsa produksi listrik per jenis pembangkit.

Tabel 6. Produksi Listrik per Jenis Pembangkit Listrik di Jawa (BASECASE dan UNLIMIT-1) (PJ)
2000 BASE PLTU Batubara PLTA PLTD CHP PLTN PLTU Oil Geothermal HSD Gas Turbin Photovoltaic PLT-LK Gas Combined Cycle 500 MW 267,14 24,65 49,47 16,42 0,00 71,66 8,74 0,00 0,00 1,42 2,40 UNLIMIT-1 129,69 24,65 49,47 16,42 0,00 72,06 8,74 0,00 0,00 1,42 3,26 305,71 BASE 156,50 23,1 37,1 21,23 0,00 60,88 19,08 29,96 0,00 1,70 69,18 418,73 2005 UNLIMIT-1 154,93 23,1 37,1 21,23 0,00 60,88 19,08 28,66 0,00 1,70 69,18 415,86 BASE 469,61 23,10 24,73 26,13 0,00 17,38 19,08 0,00 0,00 1,98 73,67 655,68 2010 UNLIMIT-1 312,77 23,1 24,73 26,13 0,00 17,38 19,08 0,00 0,00 1,98 115,75 540,92 BASE 793,68 20,02 12,37 28,73 0,00 15,72 18,53 7,45 0,00 2,28 73,50 972,28 2015 UNLIMIT-1 699,41 20,02 12,37 28,73 0,00 16,67 18,53 6,57 0,00 2,28 127,55 932,13

TOTAL 441,9 Sumber: Keluaran Model MARKAL

Tabel 6. Lanjutan (PJ)


2020 BASE PLTU Batubara PLTA PLTD CHP PLTNuclear PLTU Oil Geotherm al HSD Gas Turbin Photovoltaic PLT-LK Gas Combined Cycle TOTAL Sumber: Keluaran Model MARKAL 1061,92 18,48 0,00 31,60 94,61 4,98 44,38 7,75 0,00 2,64 152,28 1418,64 UNLIMIT-1 1237,47 18,48 0,00 31,60 0,00 5,81 29,70 8,13 0,00 2,64 92,60 1426,43 BASE 1265,97 23,38 0,00 34,76 261,12 0,00 44,55 0,00 0,00 3,07 415,09 2047,94 2025 UNLIMIT-1 1957,07 16,94 0,00 34,76 0,00 0,00 29,70 0,00 0,00 3,07 157,03 2198,57 BASE 1555,35 33,15 0,00 37,92 324,33 0,00 44,55 95,23 92,85 3,59 603,97 2790,94 2030 UNLIMIT-1 3227,81 15,40 0,00 37.92 0,00 0,00 29.70 0,00 0,00 3,59 74,07 3388,49

82

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 7. Produksi Listrik per Jenis Pembangkit Listrik di Jawa (BASE-1 dan UNLIMIT-2) (PJ)
2000 BASE-1 PLTU Batubara PLTA PLTD CHP PLTN PLTU Oil Geothermal HSD Gas Turbin Photovoltaic PLT-LK Gas Combined Cycle TOTAL 179,98 58,61 49,47 16,30 0,00 48,75 19,08 0,00 0,00 1,52 26,54 400,25 UNLIMIT-2 121,12 24,65 49,47 16,30 0,00 48,75 19,08 0,00 0,00 1,52 26,54 307,43 2005 BASE-1 173,9 23,1 37,1 19,65 0,00 60,71 19,08 8,77 0,00 1,70 74,90 418,91 UNLIMIT-2 173,87 23,10 37,10 19,65 0,00 60,71 19,08 8,77 0,00 1,70 74,9 418,88 2010 BASE-1 499,78 23,10 24,73 26,13 0,00 4,53 29,70 0,00 0,00 1,98 51,89 661,84 UNLIMIT-2 469,61 23,1 24,73 26,13 0,00 17,38 19,08 0,00 0,00 1,98 73,67 655,68 2015 BASE-1 808,89 20,02 12,37 28,73 0,00 5,21 29,70 0,42 0,00 2,28 61,02 968,64 UNLIMIT-2 806,24 20,02 12,37 28,73 0,00 5,21 31,40 2,35 0,00 2,28 58,91 967,51

Sumber: Keluaran Model MARKAL

Tabel 7. Lanjutan (PJ)


2020 BASE-1 PLTU Batubara PLTA PLTD CHP PLTN PLTU Oil Geothermal HSD Gas Turbin Photovoltaic PLT-LK 1079,32 24,34 0,00 31,60 141,91 4,98 34,74 1,19 17,04 2,64 UNLIMIT-2 1294,50 18,48 0,00 31,60 0,00 4,98 29,7 1,91 0,00 2,64 34,38 1418,19 BASE-1 1266,35 31,42 0,00 34,76 261,12 0,00 44,55 9,06 53,26 3,07 317,58 2021,17 2025 UNLIMIT-2 2100,19 23,38 0,00 34,76 0,00 0,00 29,70 0,00 0,00 3,07 27,17 2218,27 BASE-1 1555,35 33,15 0,00 37,92 324,33 0,00 44,55 0,00 275,21 3,59 49,42768,10 2030 UNLIMIT-2 3091,91 22,43 0,00 35,24 0,00 0,00 29,70 0,00 0,00 3,59 78,02 3260,89

Gas Combined Cycle 83,46 TOTAL 1421,22 Sumber: Keluaran Model MARKAL

Grafik 3. Perbandingan Harga Ekonomi (shadow price) Listrik Rata-Rata di Jawa (BASE, BASE-1, UNLIMIT-1, dan UNLIMIT-2 )

83

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

3.6 Total Biaya Sistem Tabel 8 menunjukkan perbandingan hasil keluaran model MARKAL dari berbagai kasus, yaitu BASE, BASE-1, UNLIMIT-1, dan UNLIMIT-2. Tabel 5 menunjukkan bahwa penggunaan batubara pada kasus BASE sebesar 227.252 PJ dan meningkat menjadi 256.182 PJ pada kasus BASE-1, dan menjadi 279.137 PJ untuk kasus UNLIMIT-1 dan 291.978 PJ untuk kasus UNLIMIT-2. Namun dengan adanya keterbatasan pasokan batubara pada kasus BASE dan BASE-1 serta peningkatan harga minyak mentah dan harga ekspor batubara masing-masing dari 28 US$/barel (BASE) menjadi sebesar 50 US$/barel (BASE-1) dan dari 29,78 US$/ton (BASE) menjadi sebesar 50 US$/ton (BASE1), mengakibatkan penggunaan energi Nuklir meningkat dari 14.704 PJ (BASE) menjadi 15.349 PJ (BASE-1) dan energi terbarukan meningkat dari 120.732 PJ(BASE) menjadi 134.239 PJ (BASE-1). Sebaliknya, penggunaan sumber-sumber energi lainnya seperti minyak dan gas pada kasus BASE-1 lebih kecil dibandingkan kasus BASE yang diakibatkan adanya kenaikan penggunaan energi Nuklir dan energi terbarukan. Tabel 8. Perbandingan Hasil Penggunaan Energi Fosil, Nuklir, dan Terbarukan pada Berbagai Kasus (BASE, BASE-1, UNLIMIT-1, dan UNLIMIT-2 )
Discounted Total Biaya Sistem juta US$ 678.140 793.933 670.505 785.094 Minyak PJ 219.851 178.649 195.356 172.089 Gas PJ 78.119 76.242 69.681 75.785 Coal PJ 227.252 256.182 279.137 291.978 Nuklir PJ 14.704 15.349 0 0 Energi Terbarukan PJ 120.732 134.239 112.172 118.905

Kasus BASE BASE-1 UNLIMIT-1

UNLIMIT-2 Sumber: Keluaran Model MARKAL

Penggunaan batubara pada kasus UNLIMIT-1 lebih besar dibandingkan kasus BASE, tetapi discounted total biaya sistem untuk kasus UNLIMIT-1 (670.505 juta US$) lebih rendah daripada kasus BASE (678.140 jutaUS$). Hal tersebut disebabkan adanya penggunaan energi Nuklir pada kasus BASE yang meningkatkan biaya investasi pada pembangkit listrik. Begitu juga pada pembangkit untuk kasus UNLIMIT-2 (785.094 juta US$) terhadap kasus BASE-1 (793.933 juta US$). 3.7 Emisi CO2 Sejalan dengan meningkatnya penggunaan batubara akan berakibat pada kenaikan emisi CO2 seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Hasil perkiraan emisi CO2 menunjukkan bahwa antara periode 2005 sampai 2010 pada semua kasus akan terjadi peningkatan emisi CO2 yang signifikan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan produksi listrik yang dihasilkan dari pembangkitan listrik berbahan bakar fosil. Tabel 9. Perbandingan emisi CO2 antara kasus BASE, BASE-1, UNLIMIT-1, dan UNLIMIT-2 dari tahun 2000 s.d. 2030 (juta ton)
Kasus BASE BASE-1 UNLIMIT-1 2000 149,26 145,08 148,91 2005 128,65 140,14 128,33 140,61 2010 140,70 150,11 138,4 150,41 2015 120,06 128,25 120,00 127,08 2020 97,23 104,88 107,82 112,40 2025 75,19 81,09 90,83 97,98 2030 61,84 65,79 79,58 82,27

UNLIMIT-2 145,07 Sumber: Keluaran Model MARKAL

KESIMPULAN

Kapasitas terminal batubara memegang peran penting dalam menentukan daya saing pasokan batubara pada pembangkit listrik. Secara umum, tak terbatasnya pasokan batubara ke Jawa akan meningkatkan pemanfaatan batubara di pembangkit listrik yang selanjutnya meningkatkan emisi CO2. Dengan harga pasokan batubara sebesar 29,78 US$/ton dapat menghasilkan biaya pembangkitan

84

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

PLTU Batubara 600 MW paling murah dibandingkan biaya pembangkitan PLTD dan PLTNuklir. Hal tersebut menyebabkan PLTU Batubara 600 MW menjadi pilihan yang lebih menarik untuk meningkatkan produksi listrik. Dari berbagai kasus tersebut ternyata perubahan harga pasokan batubara menjadi 50 US$/ton tidak mengubah kecenderungan (trend) harga pembangkitan listrik. Pangsa produksi listrik per jenis pembangkit juga sangat berpengaruh terhadap harga ekonomi listrik rata-rata. Adanya penggunaan energi Nuklir dapat meningkatkan biaya investasi pada pembangkit listrik yang selanjutnya akan meningkatkan discounted total biaya sistem, namun dapat mengurangi terjadinya emisi CO2 .

DAFTAR PUSTAKA 1. BPPT. The Future Technologies for Power Plant in Indonesian Regions with Particular Reference to the Use of Renewable Energy and Small Scale Coal Steam Power Plant, Third National Policy Study for Indonesia. 2004.

2. BPPT. Indonesian MARKAL Database, Document 2004. 3. 4. Direktorat Batubara. Statistik Departemen Pertambangan dan Energi. 2000. PLN. Statistik PLN. 2002.

85

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS PEMANFAATAN BIODIESEL TERHADAP SISTEM PENYEDIAAN ENERGI


Endang Suarna

ABSTRACT
Oil has very important role to meet the energy demand in Indonesia. This energy source is still subsidized by the Government of Indonesia therefore as oil consumption continues to increase, the burden of government on the subsidy is also increase. Biodiesel from palm oil or renewable energy utilization is expected to reduce the consumption and reduce the burden. As the biodiesel is known as a clean renewable energy source, the biodiesel utilization is also expected to support the energy sustainable development program in the country. Therefore, the biodiesel utilization prospect for the future needs to be analyzed. Based on MARKAL (Market Allocation) Model that used as a tool to estimate the prospect of biodiesel as the energy source especially for tranportation sector in the future. Under the base case, indeed biodiesel can not be economically compete with middle distillate or diesel oil, therefore all of oil demand in the transportation sector will be met from refinery product until 2035 with the shadow price of 4.55 US $/GJ. However, under the biodiesel utilization scenario; biodiesel will be utilized 1%, 2%, and 3% of the total diesel oil consumption for 2010, 2015, and 2020 until 2035 respectively with the shadow price of 34.1 US $/GJ. While, based on supply availability, Sumatra and Kalimantan are expected not only supplying biodiesel for its own domestic demand, but also they have to supply biodiesel for Jawa. In addition, Kalimantan is also expected to supply biodiesel for other islands. Biodiesel even though is still not economically feasible to utilize in the transportation sector, it has strategically function for energy diversification and for supporting energy sustainable development in the country.

PENDAHULUAN

Minyak Bumi merupakan sumber energi fosil yang dimanfaatkan sebagai bahan baku kilang di dalam negeri dan untuk dieksport sebagai sumber devisa. Hasil kilang adalah BBM yang antara lain terdiri atas premium, minyak tanah, minyak solar (ADO), minyak diesel, dan minyak bakar yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi pada sektor pembangkit listrik, transportasi, industri, dan rumahtangga. Peningkatan konsumsi BBM di Indonesia, bukan saja akan menambah beratnya beban Pemerintah dalam penyediaan BBM, tetapi juga akan semakin beratnya beban subsidi atas BBM yang diberikan pemerintah. Mengingat untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, Pemerintah Indonesia masih harus mengimpor BBM dari luar negeri yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Seperti diketahui harga BBM terkait dengan harga minyak bumi, sehingga dengan semakin meningkatnya harga minyak dunia, akan meningkatkan biaya pengadaan BBM import. Oleh karena itu, penganeka ragaman (diversifikasi) sumber energi selain berguna untuk menambah pilihan sumber energi, juga berguna untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak di Indonesia. Pemanfaatan bioDiesel sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui dapat merupakan salah satu pilihan untuk membantu mengatasi besarnya tekanan kebutuhan BBM terutama diesel atau minyak solar di Indonesia. Biodiesel dapat dibuat dari bahan baku minyak kelapa sawit, jarak pagar, dan (16) kedelai , namun berdasarkan kuantitas dan pengembangan produksi, pembuatan biodiesel dengan bahan baku minyak kelapa sawit kelihatannya lebih potensial, karena sudah tersedianya perkebunan kelapa sawit dan produksi CPO (Crude Palm Oil). Biodiesel tersebut dapat dimanfaatkan oleh sektor-

87

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

sektor pengguna diesel, seperti sektor pembangkit listrik, transportasi, dan industri. Namun pemakaian diesel terbesar adalah di sektor transportasi, sehingga program diversifikasi energi melalui pemanfaatan biodiesel tersebut akan lebih diutamakan untuk sektor transportasi, walaupun pemakaian biodiesel untuk sektor pembangkit listrik dan industri juga tidak diabaikan. Sejak tahun 2000 biodiesel dari kelapa sawit sudah dipergunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor seperti kendaraan dinas dan traktor di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan dan terbukti tidak mempunyai masalah baik pada mesin maupun pada kinerjanya (13 dan 17) . Secara teknis pilihan biodiesel dari kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk sektor transportasi tidak mengalami kendala mengingat biodiesel mempunyai karakteristik yang sama dengan diesel, sehingga pemanfaatan biodiesel juga dapat sebagai bahan bakar penunjang diesel di sektor pembangkit listrik asalkan secara ekonomi bisa bersaing dengan diesel. Dari segi dampak lingkungan, biodiesel juga diketahui (13 dan 17) relatif bersih dari emisi bahan pencemar . Pemanfaatan biodiesel diharapkan bukan saja dapat mengurangi besarnya kebutuhan diesel yang dapat berdampak terhadap berkurangnya beban pemerintah atas subsidi, tetapi juga dapat mendukung program pemanfaatan energi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Peluang pemanfaatan biodiesel sebagai sumber energi di masa datang akan dianalisis berdasarkan proyeksi kebutuhan energi yang dibuat dengan menggunakan model MARKAL (Market Allocation). Model tersebut dapat memproyeksikan kebutuhan biodiesel termasuk biaya pokok dari biodiesel menurut wilayah Indonesia di masa datang. Berdasarkan hasil tersebut dapat dianalisis kebutuhan luas perkebunan kelapa sawit serta produksi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku biodiesel di masa datang. 2 METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian pemanfaatan bioDiesel terhadap sistem penyediaan energi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak model MARKAL (Market Allocation) dan dalam pelaksanaannya dilakukan melalui beberapa kegiatan antara lain: a) Pengumpulan data yang antara lain berhubungan dengan parameter ekonomi produksi dan pemanfaatan biodiesel seperti biaya investasi, biaya operasi dan maintenance dari perkebunan kelapa sawit, pabrik minyak sawit, dan pabrik biodiesel; serta energy balance pembuatan biodiesel; b) Evaluasi, analisis data, dan prakiraan kebutuhan untuk dimasukan ke dalam model MARKAL; c) Run model MARKAL; dan d) Analisis hasil keluaran model. Hasil keluaran model MARKAL yang berupa prakiraan pemanfaatan diesel dan biodiesel dianalisis untuk menentukan strategi penyediaan energi yang optimal dengan mempertimbangkan biaya termurah. Secara umum diagram alir dari proses pemanfaatan biodiesel yang berasal dari hasil perkebunan kelapa sawit yang berbentuk tandan buah segar (TBS) menjadi minyak sawit (CPO) sampai menjadi biodiesel yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar truk dan mobil serta pembangkit listrik dalam model MARKAL ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar. 1 Rantai Konversi dan Elemen Sistem Energi Dalam Model MARKAL
Keterangan: TBS = Tandan Buah Segar. CPO = Crude Palm Oil atau minyak sawit. ADO = Automobile Diesel Oil atau minyak solar. SPBU = Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum.

88

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Dalam penelitian ini biodiesel yang diproduksi diasumsikan berasal dari CPO parit yang jumlahnya 1% dari total produksi CPO, sehingga teknologi yang dimasukan ke dalam model dimulai dari teknologi konversi pembuatan biodiesel dari bahan baku CPO. Mengingat optimasi pemilihan energi dan teknologi dari model ini mengacu pada biaya termurah, sehingga besarnya biaya investasi, biaya operasi dan pemeliharaan, khususnya proses pembuatan biodiesel dari CPO dan biaya produksi CPO sangat memegang peranan. Dalam penelitian ini satuan biaya dinyatakan dalam US dollars per PJ. Dalam model tersebut ditentukan 2 Kasus yaitu Kasus Dasar (BASE CASE) dan Kasus pemanfaatan biodiesel. Pada kasus dasar diasumsikan bahwa semua kondisi berjalan sebagaimana adanya, sedangkan Kasus Biodiesel mengasumsikan bahwa biodiesel akan dipergunakan sebagai bahan bakar campuran bahan bakar diesel di masa datang. Asumsi-asumsi yang dipergunakan pada Kasus dasar antara lain: Harga minyak mentah US $28/barrel; Harga batubara ekspor US $29,78/ton; Pertumbuhan listrik 7 persen/tahun; Biaya photovoltaic menurun sampai 682 US $/kW Pembatasan (bound) untuk minihydro dan geothermal sesuai dengan potensi; Batas atas dari kapasitas untuk pembangkit listrik di pulau-pulau lain yang ditentukan oleh ukuran grid transmisi; Penyediaan LNG untuk dalam negeri; Interkoneksi antara Sumatra dan Jawa pada tahun 2015; Interkoneksi antara Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah pada tahun 2020; Interkoneksi antara Jawa dengan Nusa Tenggara pada tahun 2020; Interkoneksi semua wilayah di Kalimantan pada tahun 2015 Asumsi-asumsi yang dipergunakan pada Kasus Biodiesel meliputi asumsi yang dipergunakan pada Kasus Dasar ditambah dengan target pemanfaatan biodiesel sesuai Landmark Kementrian Riset dan Teknologi. Target yang diambil pada penelitian ini adalah pemakaian biodiesel untuk sektor transportasi masing-masing 1%, 2%, dan 3% dari total konsumsi minyak solar atau ADO (Automotive Diesel Oil ) masing-masing pada tahun 2010, 2015, dan 2020 dan seterusnya sampai periode tahun 2035, sedangkan untuk pembangkit listrik, pemakaian biodiesel tidak ditargetkan hanya bergantung pada harga ekonomi. 3 EVALUASI DAN ANALISIS DATA

Berdasarkan hasil keluaran model MARKAL pada kasus dasar ternyata biodiesel harga ekonominya tidak dapat bersaing dengan bahan bakar diesel, sehingga apabila harga ekonomi yang menjadi acuan untuk pemanfaatan biodiesel menyebabkan biodiesel tidak akan terpilih untuk dimanfaatkan di sektor industri, pembangkit listrik, dan transportasi. Berdasarkan target pemanfaatan biodiesel di sektor transportasi, mulai tahun 2010 terjadi peningkatan biaya ekonomi campuran biodiesel dan diesel untuk sektor transportasi, sebaliknya peningkatan biaya campuran biodiesel dan diesel menyebabkan campuran biodiesel dan diesel tidak akan terpilih untuk dimanfaatkan di pembangkit listrik dan industri. Analisis pemanfaatan biodiesel terhadap sistem penyediaan energi lebih ditekankan pada perkembangan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, potensi biodiesel dari kelapa sawit, serta peluang pemanfaatan biodiesel untuk bahan bakar kendaraan pada sektor transportasi ditinjau dari aspek ekonomis dan teknis. Analisis peluang pemanfaatan biodiesel tersebut didasarkan pada hasil run model MARKAL yang dipergunakan untuk menentukan strategi penyediaan energi yang optimal berdasarkan biaya terendah menurut wilayah di Indonesia. 3.1 Konsumsi BBM Di Indonesia Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) yang terdiri atas premium atau bensin, minyak solar atau ADO (Automobile Diesel Oil), IDO (Industrial Diesel Oil), minyak bakar atau FO (Fuel Oil), minyak tanah

89

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

atau kerosene, avtur, dan avgas diasumsikan dari penjualan Pertamina ke sektor-sektor pemakai yang besarnya dari tahun ke tahun meningkat terus seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Konsumsi BBM Menurut Sektor (1992 2002)
Transportasi (juta KL) (%) 40,48 15,27 1992 48,26 23,21 1998 46,08 23,40 1999 46,60 25,55 2000 46,96 26,25 2001 47,28 27,33 2002 Sumber: Ditjen Migas, 1992-2002 Tahun Industri (juta KL) 8,12 10,45 11,57 11,86 12,38 12,34 (%) 21,53 21,73 22,79 21,64 22,16 21,35 Rumahtangga (juta KL) (%) 22,43 8,46 20,91 10,65 23,34 11,85 22,63 12,41 21,90 12,24 20,11 11,63 P. Listrik (juta KL) (%) 15,56 5,87 9,10 4,38 7,79 3,96 9,14 5,01 8,98 5,02 11,26 6,51 Total (juta KL) 37,72 48,09 50,78 54,82 55,89 57,80

Sebagian besar dari kebutuhan BBM tersebut dipergunakan oleh sektor transportasi. Bahkan pangsa penggunaan BBM oleh sektor tersebut dari tahun ke tahun meningkat terus, yaitu dari tahun 1992 sampai dengan 2002 mencapai lebih 40% menjadi lebih 47%. Sementara itu dalam periode waktu sepuluh tahun tersebut kebutuhan BBM meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 4,36%/tahun (Ditjen. Migas 1992-2002). Besarnya penggunaan BBM oleh sektor transportasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya pilihan jenis bahan bakar oleh sektor transportasi, yaitu hanya BBM yang berbentuk cair, meskipun sudah ada bahan bakar gas (BBG) yang dipergunakan oleh sektor ini di beberapa kota besar dan dalam jumlah yang terbatas. Sementara itu, sektor-sektor lainnya mempunyai pilihan jenis bahan bakar yang lebih luas, seperti misalnya sektor industri selain menggunakan BBM juga menggunakan batubara, dan gas. Demikian pula dengan sektor tenaga listrik selain menggunakan BBM juga menggunakan batubara, gas, tenaga air, dan panas bumi, sedangkan sektor rumahtangga selain menggunakan BBM juga menggunakan LPG, gas kota, dan kayubakar. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan BBM pada sektor transportasi, sedangkan cadangan minyak sebagai penghasil BBM yang ketersediaannya tidak dapat diperbaharui semakin terbatas, strategi penyediaan energi, khususnya pada sektor transportasi perlu mendapat perhatian. 3.2 Konsumsi BBM Di Sektor Transportasi Sektor transportasi sebagai sektor pemakai BBM terbesar di Indonesia, hampir seluruh kebutuhan energinya dipenuhi oleh BBM seperti premium, ADO, IDO, FO, avtur, dan avgas. Sebagian besar dari konsumsi BBM pada sektor transportasi tersebut dipenuhi dari jenis bahan bakar premium dan ADO yang masing-masing mencapai pangsa lebih dari 50% dan 46% pada tahun 2002 seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Konsumsi BBM Menurut Jenis Pada Sektor Transportasi
Jenis BBM 1.Premium 2.ADO 3.IDO 4.FO 5.Avgas 6.Avtur 1992 (000 Kl) (%) 1998 (000 Kl) 10972 10808 107 519 6 797 (%) 47.28 46.57 0.46 2.23 0.02 3.43 100 1999 (000 Kl) 11515 10957 102 270 6 545 23396 (%) 49.22 46.83 0.44 1.16 0.02 2.33 100 2000 (000 Kl) 12422 12073 119 186 5 744 25548 (%) 48.62 47.26 0.46 0.73 0.02 2.91 100 2001 (000 Kl) 13057 12829 81 281 0 0 26248 (%) 49.74 48.88 0.31 1.07 0.00 0.00 100 27329 2002 (000 Kl) 13732 12651 106 287 553* (%) 50.25 46.29 0.39 1.05 2.02 0.00 100

7204 47.18 6974 45.67 162 77 9 845 1.06 0.50 0.06 5.53

Total 15271 100 23208 Sumber: Ditjen. Migas 1992-2002 * Diperkirakan meliputi avgas dan avtur.

Besarnya konsumsi BBM terutama pada sektor transportasi tersebut diperkirakan akan menambah beban pemerintah, bukan saja oleh semakin terbatasnya sumber atau cadangan minyak, tetapi juga oleh karena kedua jenis komoditi tersebut disubsidi oleh pemerintah, sehingga semakin besarnya konsumsi premium dan ADO atau minyak solar akan menyebabkan semakin besarnya subsidi yang harus ditanggung pemerintah.

90

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Beban pemerintah tersebut harus ditambah lagi dengan semakin meningkatnya BBM terutama ADO impor dari sekitar 4,25 juta kiloliter atau 26,72 barel pada tahun 1992 yang meningkat lebih dari duakali lipat menjadi 9,64 juta kiloliter atau 60,61 barel pada tahun 2002. Jumlah tersebut merupakan sekitar 29% dan 40% dari total kebutuhan ADO pada tahun 1992 dan 2002. Selain itu dalam periode waktu yang sama, Indonesia juga harus mengimport minyak mentah (crude oil) untuk bahan baku kilang dari sekitar 60,76 juta barel pada tahun 1992 yang meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 124,15 juta barrel pada tahun 2002(18). Semakin meningkatnya impor minyak mentah untuk dipergunakan sebagai bahan baku untuk kilang (14) dan semakin meningkatnya harga minyak mentah dunia bahkan pernah mencapai harga $55/barel , sedangkan produk kilang untuk keperluan domestik masih disubsidi, semakin beratlah beban Pemerintah Indonesia dalam menanggung beban subsidi tersebut. Adanya impor ADO untuk memenuhi kebutuhan ADO dalam negeri juga menambah beban subsidi yang harus ditanggung Pemerintah Indonesia. Import ADO tersebut dari tahun ke tahun semakin meningkat, pada tahun 1992 impor ADO mencapai 29% dari total penggunaan ADO semua sektor, sedangkan pada tahun 2002 impor tersebut meningkat menjadi hampir 40% dari total penggunaan ADO semua sektor tahun (7) tersebut . Dalam rangka mengurangi tekanan kebutuhan BBM dan besarnya beban subsidi minyak yang ditanggung pemerintah Indonesia, penganeka-ragaman (diversifikasi) sumber energi terutama pada sektor transportasi merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu baik kajian teknis maupun ekonomis dari penyediaan bahan bakar pengganti atau alternatif yang akan dipergunakan untuk sektor transportasi perlu dilakukan. 3.3 Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit Biodiesel dari bahan baku kelapa sawit untuk dipergunakan sebagai bahan bakar alternatif pada sektor transportasi, berdasarkan teknologi proses dan potensi kesiapan penyediaan bahan baku merupakan suatu pilihan yang tepat, karena biodiesel tersebut dapat diproduksi dari CPO (Crude Palm Oil) yang dihasilkan dari hasil pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Berdasarkan pengelolaan atau kepemilikannya perkebunan kelapa sawit di Indonesia terdiri atas tiga, yaitu perkebunan negara, perkebunan swasta, dan perkebunan rakyat. Perkembangan luas total perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam lima tahun terahir, yaitu dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 diperkirakan meningkat dengan pertumbuhan sekitar 15% per tahun, sehingga luas perkebunan kelapa sawit pada periode tersebut meningkat sekitar dua kali lipat dari 2,52 juta hektar menjadi 5,07 juta hektar. Total luas perkebunan tersebut, sebagian besar dikelola oleh perkebunan swasta yang pada tahun 2002 mencapai sekitar 52%, disusul oleh perkebunan rakyat sekitar 36%, dan perkebunan negara sekitar 12%. Sebagian besar hampir 77% dari total luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2002 berada di Pulau Sumatra, sedangkan luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sekitar 19%, dan di pulau-pulau lain seperti Sulawesi dan Irian Jaya atau Papua kurang dari 4%. Sementara itu luas perkebunan kelapa sawit di Jawa hanya sekitar 0,5% dari total luas perkebunan di Indonesia. Luas perkebunan kelapa sawit, baik dari perkebunan negara, perkebunan swasta, maupun perkebunan rakyat beserta produksi minyak sawit CPO yang dihasilkan dari perkebunan tersebut menurut wilayah dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2002, Papua meskipun mempunyai pangsa luas perkebunan kelapa sawit yang relatif kecil di antara pangsa di wilayah-wilayah lainnya, namun Papua mempunyai perkembangan luas perkebunan yang paling pesat, yaitu 22,41% per tahun. Pesatnya pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit setiap tahun di Papua menunjukkan besarnya potensi pengembangan luas perkebunan di wilayah tersebut. Sementara itu, Jawa selain mempunyai pangsa luas perkebunan kelapa sawit yang paling kecil, Jawa juga mempunyai pertumbuhan luas perkebunan yang terkecil. Hal tersebut disebabkan semakin terbatasnya lahan untuk perkebunan di wilayah tersebut. Dalam periode waktu yang sama, pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan adalah 18,51% per tahun atau kedua tercepat setelah Papua, sehingga wilayah ini selain mempunyai potensi penyediaan bahan baku CPO yang cukup besar, juga mempunyai potensi perluasan lahan

91

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

perkebunan kelapa sawit yang cukup besar. Sumatra mempunyai potensi penyediaan CPO yang paling besar, namun potensi pengembangan luas perkebunan kelapa sawit di Sumatra relatif lebih terbatas daripada potensi pengembangan luas perkebunan di Papua dan Kalimantan. Tabel 3. Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit dan Produksi CPO.
x 1000
1997 Wilayah Luas (Ha) 1. Sumatra: a. Perk.Rakyat b. Perk.Negara c. Perk.Swasta 2. Jawa a. Perk.Rakyat b. Perk.Negara c. Perk.Swasta 3. Kalimantan a. Perk.Rakyat b. Perk.Negara c. Perk.Swasta 4. Sulawesi a. Perk.Rakyat b. Perk.Negara c. Perk.Swasta 5. Irian Jaya a. Perk.Rakyat b. Perk.Negara c. Perk.Swasta INDONESIA a. Perk.Rakyat b. Perk.Negara 1978 611 382 985 22 6 11 4 409 159 38 213 88 25 10 53 19 11 8 0 2516 813 449 Prod. (ton) 4768 1004 1637 2126 33 14 12 7 437 195 115 127 91 43 21 27 51 36 15 0 5380 1293 1800 1998 Luas (Ha) 2140 678 407 1055 22 6 11 4 493 166 51 276 112 30 14 68 23 11 5 6 2789 891 489 Prod. (ton) 4950 1059 1625 2266 32 13 12 7 491 197 163 131 119 46 42 31 48 33 15 0 5640 1348 1857 1999 Luas (Ha) 2384 801 430 1153 21 6 11 4 637 187 56 395 102 31 14 57 28 13 5 10 3172 1038 516 Prod. (ton) 5294 1224 1700 2370 29 17 11 1 523 225 104 194 107 47 11 49 52 31 21 0 6005 1544 1846 2000 Luas (Ha) 2744 891 438 1414 21 6 11 4 844 233 58 554 108 34 15 58 52 25 6 21 3770 1190 529 Prod. (ton) 6597 1569 1788 3240 34 18 13 4 741 299 133 309 118 53 12 53 91 39 25 27 7581 1978 1971 2001 Luas (Ha) 2810 900 446 1464 21 6 11 4 971 236 62 674 114 36 16 62 56 26 6 24 3973 1205 541 Prod. (ton) 6850 1731 1803 3316 37 19 14 4 834 327 138 369 148 61 16 71 100 43 25 32 7969 2181 1996 3791 2002 Luas (Ha) 3890 1477 516 1898 23 6 12 5 957 254 59 644 143 41 25 77 53 30 19 4 5067 1808 632 2627 Prod. (ton) 8190 2979 1418 3794 34 14 16 4 1065 320 104 640 261 65 49 148 72 49 21 3 9622 3427 1608 4588

c. Perk.Swasta 1254 2287 1409 2435 1617 2615 2051 3632 2227 Sumber: Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001, dan-2002.

Sementara itu dalam periode waktu yang sama atau dari tahun 1997 s.d. 2002, produksi kelapa sawit berbentuk minyak sawit (CPO) yang dihasilkan dari tandan buah segar (TBS) dari perkebunan tersebut meningkat dengan pertumbuhan lebih rendah, yaitu 12,33% per tahun, sehingga produksi CPO tersebut meningkat dari 5,38 juta ton menjadi 9,62 juta ton. Lebih rendahnya pertumbuhan produksi CPO daripada luas perkebunan sawit di Indonesia tersebut kemungkinan disebabkan masih banyaknya perkebunan kelapa sawit yang tidak atau belum berproduksi pada tahun 2002 dibandingkan pada tahun 1997, sehingga ada penurunan rata-rata produksi per hektar dari rata-rata 2,14 ton CPO per hektar pada tahun 1997 menjadi 1,90 ton CPO per hektar pada tahun 2002. Produksi CPO per hektar tersebut menunjukkan rata-rata produksi yang berbeda baik menurut pengelola maupun wilayah perkebunan. Perkebunan Negara mempunyai rata-rata produksi CPO per hektar yang paling tinggi, disusul oleh Perkebunan Rakyat dan Perkebunan Swasta di Indonesia. Rata-rata tertinggi produksi CPO dari Perkebunan Negara tersebut terjadi pula di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, sedangkan di Papua dan Jawa, Perkebunan Rakyat mempunyai rata-rata produksi CPO yang paling dominan. Berdasarkan wilayah, Sumatra mempunyai rata-rata produksi CPO per hektar yang paling tinggi, yaitu 2,11 ton CPO per hektar; diikuti oleh Sulawesi 1,82 ton, Jawa 1,44 ton, Papua 1,37 ton, dan Kalimantan 1,11 ton CPO per hektar. Hasil produksi CPO per hektar tersebut tidak menunjukkan hasil produksi yang sebenarnya karena masih terdapatnya perkebunan kelapa sawit yang tidak atau belum berproduksi yang menjadi bilangan pembagi dalam perhitungan

92

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

tersebut, sehingga produksi rata-rata CPO per hektar di Indonesia diperkirakan lebih besar daripada angka-angka tersebut. Namun secara perhitungan konservatif rata-rata produksi CPO per hektar di Indonesia tersebut diperkirakan dapat mencapai 2 ton CPO dari setiap hektar perkebunan kelapa sawit. Perkiraan hasil produksi CPO tersebut tidak jauh dari rata-rata produksi CPO dari perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII yang berlokasi di Jawa Barat, yaitu memproduksi CPO rata-rata 1,9 ton dari setiap hektar perkebunan kelapa sawit. Produksi CPO tersebut dihasilkan dari pengolahan rata-rata 9,5 ton tandan buah segar (TBS) setiap tahun yang dihasilkan dari setiap hektar perkebunan kelapa sawit. Sementara umur produksi dari perkebunan kelapa sawit bisa mencapai 30 (15) tahun . CPO yang diproduksi di Indonesia tersebut sebagian besar atau sekitar 72% s.d. 73% diperuntukkan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng, sedangkan sisanya untuk membuat sabun. Demikian pula, CPO parit sebagai produk samping dari pembuatan CPO, jumlahnya diperkirakan hanya 1% dari produksi CPO. CPO parit tersebut biasanya dijual untuk dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun. Oleh karena itu, potensi kelapa sawit untuk dibuat CPO yang kemudian dapat dipergunakan untuk membuat biodiesel untuk bahan bakar kendaraan perlu dipertimbangkan penyediaannya. CPO untuk minyak goreng tersebut memerlukan proses lebih lanjut lagi sebelum dipergunakan sebagai biodiesel yang memenuhi spesifikasi tertentu untuk dipergunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor pada sektor transportasi. Sementara itu, proses alir pembuatan biodiesel dari CPO kelapa sawit yang dilakukan oleh Engineering Center BPPT diperlihatkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Pembuatan Biodiesel Dari Kelapa Sawit. Berdasarkan Gambar 2, CPO kelapa sawit sebelum dimasukan ke dalam reaktor ditambahkan katalis dan methanol , sedangkan hasil produk dari reaktor tersebut adalah biodiesel yang masih memerlukan proses pencucian dan pemurnian sehingga diperoleh biodiesel yang memenuhi syarat sebagai bahan bakar kendaraan pada sektor transportasi. Berdasarkan proses tersebut, satu ton bahan baku CPO dapat diperoleh 0,9 ton biodiesel (Engineering Center BPPT, 2004). Namun biodiesel yang dapat digunakan langsung untuk kendaraan bermesin diesel harus memenuhi spesifikasi teknis tertentu seperti diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4. Spesifikasi Biodiesel Berdasarkan hasil Penelitian BPPT
No. Test Property Satuan C C % wt % vol % vol % wt 2 mm /detik 3 gr/cm mgKOH/g mgKOH/g
o o

BioDiesel BPPT 15 172 0,0068 0,008 <0,05 0,001 4,6 0,87 0,4-0,6 Nil

Acceptable Value 18 max 65 min 0,05 max 0,05 max 0,05 max 0,01 max 1,9 6,0 0,86 0,90 0,8 max Nil max

Metode Test ASTM D.97 ASTM D.93 ASTM D.2622 ASTM D.473 ASTM D.95 ASTM D.482 ASTM D.445 ASTM D.1298 ASTM D.974 ASTM D.974

1. Pour Point 2. Flash Point PM.cc 3. Kadar Sulfur 4. Kadar Sedimen 5. Kadar Air 6. Kadar Abu o 7. Viskositas (40 C) o 8. Densitas (15 C) 9. TAN 10. SAN Sumber: Wirawan, S.S. (2004).

93

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Secara umum biodiesel yang diproduksi oleh Engineering Center BPPT telah memenuhi syarat yang telah ditentukan untuk dipergunakan sebagai bahan bakar kendaraan seperti diperlihatkan pada Tabel 4. Spesifikasi teknis tersebut penting untuk menentukan bisa tidaknya biodiesel secara teknis dipergunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermesin diesel, namun kelayakan ekonomi untuk menentukan apakah biodiesel dapat bersaing atau tidak dengan minyak solar (ADO) merupakan hal penting juga untuk dianalisis selain untuk menentukan peluang keberhasilan pemanfaatan biodiesel dipergunakan masyarakat, juga untuk menentukan apakah bisnis biodiesel tersebut menarik atau tidak bagi fihak investor dalam penyediaan biodiesel. Berdasarkan perkiraan Engineering Center BPPT (2004), biaya bahan baku biodiesel berbentuk CPO standar adalah US $400/ton atau sekitar Rp. 3.600,-/ton (Rp. 900/US$), sedangkan harga bahan baku berbentuk CPO parit adalah Rp. 350,sampai dengan Rp. 1.000,-/kg. Perkiraan biaya produksi CPO tersebut lebih tinggi daripada informasi yang diperoleh dari PT. Perkebunan Nusantara VIII (2004) yang memperkirakan biaya produksi minyak sawit atau CPO dari perkebunan tersebut adalah Rp. 2.600,-/kg, sedangkan harga pasar dari CPO tersebut mencapai Rp. 3.300,-/kg. Biaya produksi CPO tersebut sudah meliputi biaya investasi dan biaya pemeliharaan perkebunan kelapa sawit, serta biaya pengangkutan tandan buah segar (TBS) dari perkebunan ke pabrik pengolahan CPO. Sebagai informasi tambahan, biaya investasi untuk penanaman setiap hektar kelapa sawit diperkirakan mencapai Rp. 15.000.000,-/hektar, sedangkan biaya pemeliharaan (15) kelapa sawit setiap tahun mencapai Rp. 3.000.000,-/hektar/tahun . 4 ANALISIS HASIL

Biodiesel dari kelapa sawit merupakan salah satu pilihan dalam diversifikasi energi pada sektor transportasi. Perkebunan kelapa sawit sebagai sumber bahan baku biodiesel cukup luas, namun pengkajian mengenai potensi perkebunan kelapa sawit untuk sumber bahan baku biodiesel sebagai sumber energi untuk sektor transportasi perlu dilakukan lebih cermat, karena perkebunan kelapa sawit yang ada sudah diperuntukkan untuk produksi CPO (Crude Palm Oil ) untuk memproduksi minyak goreng. Namun potensi perkebunan kelapa sawit untuk produksi biodiesel, biaya produksi biodiesel, serta kendala yang dihadapi dalam pengembangan biodiesel perlu dikaji lebih lanjut, sehingga dapat diperoleh hasil kajian yang lebih akurat. 4.1 Peluang Pemanfaatan Biodiesel pada Kasus Dasar Berdasarkan hasil keluaran model MARKAL pada kasus dasar menunjukkan bahwa biodiesel tidak dapat bersaing dengan minyak diesel atau minyak solar (ADO) pada sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik di masa datang, karena biaya ekonomi dari biodiesel lebih mahal dibanding minyak diesel. Tabel 5 menunjukkan perkiraan konsumsi minyak diesel atau minyak solar dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) per wilayah menurut hasil keluaran model MARKAL pada kasus dasar. Tabel 5. Prakiraan Konsumsi Minyak Solar dari SPBU per wilayah pada Kasus Dasar (PJ/Tahun)
Wilayah Pulau Lain Bahan Bakar 2000 2005 44,70 0 107,14 0 28,78 0 99,82 0 2010 59,44 0 131,08 0 37,79 0 131,95 0 2015 81,02 0 168,46 0 50,97 0 179,03 0 2020 110,31 0 218,12 0 68,64 0 242,58 0 2025 146,57 0 272,19 0 90,06 0 320,36 0 2030 190,89 0 327,09 0 116,10 0 415,62 0

Diesel 35,81 BioDiesel 0 Jawa Diesel 89,66 BioDiesel 0 Kalimantan Diesel 23,34 BioDiesel 0 Sumatra Diesel 80,45 BioDiesel 0 Sumber: Hasil Keluaran Model MARKAL, 2004.

Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi diesel dari SPBU di masa datang diperkirakan akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 5,20% per tahun dalam waktu 30 tahun yang akan datang, yaitu dari

94

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

tahun 2000 hingga 2030. Pesatnya kebutuhan ADO tersebut disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan bermesin diesel di Indonesia yang diduga didorong oleh adanya perbaikan ekonomi selama periode waktu tersebut. Sumatra mempunyai pertumbuhan kebutuhan ADO yang paling pesat, sehingga pangsa kebutuhan ADO di Sumatra menjadi yang terbesar, yaitu hampir 40% pada tahun 2030, padahal pada tahun 2000, pangsa kebutuhan ADO di Sumatra hanya 35%, atau terbesar kedua setelah pangsa kebutuhan ADO di Jawa yang mencapai 31%. Dalam periode waktu yang sama, kebutuhan ADO di Jawa, meskipun meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 4,41% per tahun, namun pangsa kebutuhan ADO di Jawa menurun dari 39% pada tahun 2000 menjadi 31% pada tahun 2030. Sementara itu pangsa kebutuhan ADO pada tahun 2000 di Kalimantan sebesar 10% dan pulau-pulau lainnya yang terdiri atas Sulawesi, Papua, dan Maluku hanya 15% yang kemudian terjadi peningkatan menjadi 11% untuk Kalimantan dan 18% untuk pulau-pulau lainnya pada tahun 2030. Belum dapat bersaingnya biodiesel dengan ADO di Indonesia pada kasus dasar tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor ekonomi daripada oleh faktor teknis, meskipun masih ada beberapa faktor yang menjadi kendala yang diantaranya adanya subsidi terhadap ADO untuk sektor transportasi. Selain itu, parameter ekonomi seperti biaya investasi untuk pembuatan biodiesel yang dimasukkan sebagai input data ke dalam model juga diperoleh dari pabrik atau plant biodiesel skala kecil yang kemungkinan akan mempengaruhi skala ekonomi, karena semakin besar kapasitas pabrik biodiesel yang dibangun akan semakin murah harga produk per satuannya, dan sebaliknya semakin kecil kapasitas pabrik biodiesel yang dibangun akan semakin mahal harga produk tersebut per satuannya. 4.2 Peluang Pemanfaatan Biodiesel pada Kasus Biodiesel Pada penelitian ini target Landmark Kementrian Riset dan Teknologi (Ristek) pada Kasus Biodiesel dipertimbangkan pada pencampuran minyak solar dan biodiesel di SPBU. Prakiraan pemanfaatan diesel dan biodiesel di Indonesia per wilayah berdasarkan hasil keluaran model MARKAL ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Prakiraan Konsumsi Minyak Solar dan BioDiesel dari SPBU per wilayah pada Kasus Biodiesel (PJ/Tahun)
Wilayah Pulau Lain Bahan Bakar 2000 35,81 0 89,66 0 23,34 0 80,45 0 2005 44,70 0 107,14 0 28,78 0 99,82 0 2010 58,85 0,59 129,77 1,32 37,41 0,38 130,63 1,32 2015 79,40 1,62 165,09 3,36 49,95 1,02 175,45 3,58 2020 107,00 3,31 211,57 6,54 66,58 2,06 235,3 7,28 2025 142,17 4,40 264,03 8,16 87,36 2,70 310,75 9,61 2030 185,17 5,73 317,27 9,82 112,62 3,48 403,15 12,47

ADO BioDiesel Jawa ADO BioDiesel Kalimantan ADO BioDiesel Sumatra ADO BioDiesel Sumber: Hasil run Model MARKAL, 2004.

Tabel 6 memperlihatkan total konsumsi biodiesel dari SPBU untuk mensuplai beberapa wilayah di Indonesia yang mencapai 3,61 PJ atau 1% dari total konsumsi minyak solar pada SPBU pada tahun 2010 yang meningkat menjadi 31,5 PJ atau 3% dari total konsumsi minyak solar pada SPBU pada tahun 2030. Sebagian besar atau sekitar 55% dari kebutuhan biodiesel tersebut diperoleh dari produksi biodiesel di Sumatra, sedangkan sisanya diperoleh dari produksi biodiesel di Kalimantan. Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan memproduksi biodiesel di pergunakan bukan hanya di wilayahnya masing-masing, tetapi juga untuk mensuplai kebutuhan biodiesel di Pulau Jawa, dan Pulau-pulau lain. Oleh karena itu dari seluruh biodiesel yang dimanfaatkan di Jawa separuhnya diperoleh dari Sumatra dan separuhnya lagi diperoleh dari Kalimantan, sedangkan biodiesel yang dimanfaatkan di Pulau-pulau lain yang terdiri atas Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua (Irian Jaya) seluruhnya diperoleh dari Kalimantan. Prakiraan konsumsi biodiesel dari SPBU yang dihasilkan Model sesuai dengan ketersediaan perkebunan kelapa sawit sebagai sumber bahan baku biodiesel yang sebagian besar berada di Sumatra dan Kalimantan (Tabel 3). Model tersebut selain memperkirakan besarnya konsumsi biodiesel dan ADO yang dimanfaatkan pada sektor transportasi yang akan datang menurut wilayah, juga memperkirakan biaya pokok (biaya ekonomi) untuk pengadaan bahan bakar tersebut seperti diperlihatkan pada Tabel 7.

95

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 7. Perbandingan Biaya Pokok Minyak Solar dan Biodiesel (US $/GJ)
Kasus Bahan Bakar 2010 4,55 34,1 4,55 34,1 2015 4,55 34,1 4,55 34,1 2020 4,55 34,1 4,55 34,1 2025 4,55 34,1 4,55 34,1 2030 4,55 34,1 4,55 34,1 2035 4,55 34,1 4,55 34,1

Kasus Dasar ADO Skenario Biodiesel Biodiesel Kasus Dasar ADO Skenario Biodiesel Biodiesel Sumber: Hasil run Model MARKAL, 2004.

Pada kasus dasar biodiesel tidak dapat bersaing secara ekonomi dengan ADO atau minyak solar, karena biaya pokok ADO tersebut diperkirakan rata-rata hanya 4,55 US$/GJ atau setara dengan Rp. 1.474,2/liter. Sementara itu bila target pemanfaatan biodiesel yang harus dicapai pada tahun 2010 sampai tahun 2035, biaya pokok dari pengadaan biodiesel yang menguntungkan secara ekonomi adalah sekitar 34,10 US$/GJ atau setara dengan Rp. 3.079,20/kg atau Rp. 2.678,90/liter. Perhitungan tersebut mengasumsikan 1 US$ = Rp. 9.000,- dan nilai kalor ADO 1 PJ = 27.777,30 3 kiloliter dan nilai kalor biodiesel 1 PJ = 99.668,58 ton serta densitas biodiesel 0,87 gr/cm . Selain itu, masih disubsidinya harga minyak termasuk ADO juga diperkirakan dapat merupakan salah satu kendala pengembangan biodiesel sebagai sumber energi terbarukan untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Faktor lainnya seperti ketersediaan bahan baku untuk pembuatan biodiesel juga perlu dikaji. 4.2 Peluang Pemanfaatan Biodiesel dikaitkan dengan Ketersediaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Gambaran kebutuhan perkebunan kelapa sawit dan produksi CPO sebagai bahan baku biodiesel untuk memenuhi kebutuhan biodiesel untuk kendaraan bermotor dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2035 diperlihatkan pada Tabel 8. Tabel 8. Kebutuhan Perkebunan Kelapa Sawit Dan Produksi CPO Untuk Biodiesel
Wilayah Pulau Lain Jawa Kalimantan Sumatra (Unit) CPO (ton) Kb.sawit (Ha) CPO (ton) Kb.sawit (Ha) CPO (ton) Kb.sawit (Ha) CPO (ton) Kb.sawit (Ha) 2010 52175 26087 116730 58365 33604 16802 116730 58365 2015 143260 71630 297132 148566 90201 45100 316587 158294 2020 292710 146355 578346 289173 182170 91085 643786 321893 2025 389101 194551 721606 360803 238767 119383 849833 424916 2030 506716 253358 868403 434202 307744 153872 1102749 551374

Keterangan: Produksi CPO dari perkebunan kelapa sawit diasumsikan rata-rata 2 ton/hektar.

Tabel 8 memperlihatkan kebutuhan perkebunan kelapa sawit dan produksinya yang berupa CPO untuk memenuhi kebutuhan biodiesel apabila target pemanfaatan biodiesel sebesar 1% pada tahun 2010, 2% pada tahun 2015, dan 3% pada tahun 2020 dan seterusnya dari total perkiraan kebutuhan ADO pada tahun-tahun tersebut yang harus dipenuhi. Jumlah kebutuhan CPO untuk dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia sesuai dengan target pada tahun 2010 tidak dapat terpenuhi bila mengandalkan dari produksi CPO parit yang hanya sekitar 1% dari total produksi CPO pada tahun 2002. Pada tahun 2002, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai sekitar 5 juta hektar dengan produksi CPO sebesar 9,62 juta ton (lihat Tabel 3), sedangkan jumlah CPO yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku biodiesel hanya 1% (CPO parit), yaitu sekitar 96.200 ton. Sementara itu pada tahun 2010, kebutuhan CPO untuk bahan baku biodiesel mencapai 319.240 ton CPO yang diperkirakan dapat diproduksi dari 159.620 hektar perkebunan kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia, sehingga diperkirakan masih kekurangan bahan baku CPO sebesar 223.000 ton yang diperkirakan dapat diperoleh 111.500 hektar perkebunan kelapa sawit.

96

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Demikian pula kebutuhan biodiesel menurut wilayah pada tahun 2010, semua wilayah belum dapat memenuhi kebutuhan biodiesel bila harus dipenuhi dari perkebunan kelapa sawit yang ada di wilayahnya dengan tingkat produksi CPO dan luas perkebunan kelapa sawit tahun 2002. Sebagai contoh pada tahun 2010, Sumatra yang diperkirakan akan memerlukan biodiesel sebesar 1,32 PJ atau 105.163 ton yang diperkirakan memerlukan bahan baku CPO sebesar 116.730 ton yang dapat diproduksi dari 58.365 hektar perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, luas perkebunan kelapa sawit di Sumatra pada tahun 2002 adalah 3,89 juta hektar dengan produksi CPO 8,19 juta ton dan CPO parit hanya 1% yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel, Sumatra hanya mempunyai sekitar 81.900 ton CPO parit, sehingga masih kurang sekitar 34.830 ton CPO parit yang diperkirakan dapat diproduksi dari 17.415 hektar perkebunan kelapa sawit. Pemenuhan kebutuhan bahan baku CPO untuk dapat dibuat biodiesel sesuai dengan target tahun 2010 tidak dapat hanya mengandalkan CPO parit sebagai limbah yang jumlahnya hanya 1% dari produksi CPO, tetapi harus dipertimbangkan cara lain dalam penyediaan bahan baku untuk biodiesel tersebut yang antara lain: a) Meningkatkan jumlah persentase CPO untuk dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel dari 1%, menjadi sekitar 4% (1% CPO parit dan 3% CPO standar). Cara ini akan berdampak pada biaya penambahan bahan baku, karena CPO parit yang 1% merupakan limbah yang harganya murah, sedangkan yang 3% CPO standar harganya lebih mahal. Pemanfaatan produksi CPO untuk biodiesel tersebut merupakan penciptaan pasar baru bagi pemasaran CPO, sehingga hal tersebut dapat berguna dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sementara itu wilayah yang potensial untuk peningkatan persentase produksi CPO yang diperuntukan untuk biodiesel adalah Sumatra dan Kalimantan, karena kedua wilayah ini sudah mempunyai sumber produksi CPO yang cukup tinggi. b) Menambah luas perkebunan kelapa sawit yang hasil produksinya berupa minyak sawit (CPO) khusus diperuntukkan untuk memasok kebutuhan bahan baku biodiesel. Wilayah yang paling memungkinkan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit untuk penyediaan bahan baku biodiesel tersebut adalah Papua dan Kalimantan, karena kedua wilayah ini mempunyai pertumbuhan perluasan perkebunan kelapa sawit yang paling tinggi dan ketersediaan lahan yang masih luas sebagai potensi perluasan lahan yang besar. Namun untuk mengetahui lebih rinci mengenai kebutuhan lokasi yang cocok untuk pembangunan pabrik biodiesel, besarnya kapasitas pabrik biodiesel, luas lahan perkebunan untuk penyediaan bahan baku pabrik, serta biaya investasi dan operasi dari perkebunan kelapa sawit untuk biodiesel maupun dari pabrik biodiesel tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut. 4 KESIMPULAN

Berdasarkan ketersediaan bahan bakunya, pengadaan biodiesel yang dibuat dari kelapa sawit diperkirakan mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan dengan biodiesel yang dibuat dari bahan baku lainnya seperti jarak pagar maupun kedelai, karena sudah adanya perkebunan kelapa sawit yang cukup luas yang dapat memproduksi CPO (crude palm oil ) atau minyak sawit yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel. Produksi CPO dari perkebunan kelapa sawit yang ada selama ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng dan sabun, namun biodiesel tersebut dapat dibuat dari limbah CPO yang disebut sebagai CPO parit yang jumlahnya hanya 1% dari total produksi CPO. Hasil model MARKAL (Market Allocation) di bawah Kasus Dasar (BASE CASE) menunjukkan bahwa biodiesel belum mampu bersaing dengan ADO (Automobile Diesel Oil) atau minyak solar, sehingga kebutuhan minyak solar pada sektor transportasi dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2035 seluruhnya dipenuhi dari minyak hasil kilang. Sementara itu perkiraan model MARKAL pada kasus Biodiesel menunjukkan bahwa biodiesel mulai dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada sektor transportasi pada tahun 2010 yaitu sebesar 1% dari total kebutuhan ADO atau masing-masing 1,32 PJ di Jawa, dan Sumatra 0,38 PJ, Kalimantan dan di Pulau-pulau lain seperti Sulawesi dan Papua sebesar 0,59 PJ. Pada periode tahun 2015 serta tahun 2020 dan seterusnya, kebutuhan biodiesel tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 2% sampai 3% dari total kebutuhan ADO. Berdasarkan ketersediaan perkebunan kelapa sawit sebagai penghasil bahan baku, Sumatra dan

97

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Kalimantan diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan biodieselnya dari perkebunan kelapa sawit yang ada di wilayahnya, namun Jawa diperkirakan akan memperoleh biodiesel dari Sumatra dan Kalimantan, sedangkan pulau-pulau lain memperoleh biodiesel dari Kalimantan. Belum dapat bersaingnya biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan transportasi disebabkan masih mahalnya biaya pokok pengadaan biodiesel tersebut, yaitu mencapai 34,1 US $/GJ yang setara dengan Rp. 3.079,20/kg atau Rp. 2.678,90/liter. Dibandingkan dengan biaya pokok pengadaan minyak solar (ADO) yang hanya 4,55 US $/GJ atau setara Rp. 1.474,2/liter. Biarpun biodiesel sebagai sumber energi terbarukan belum dapat bersaing secara ekonomi dengan minyak solar yang berasal dari fosil, namun biodiesel mempunyai fungsi strategis dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang persediaannya semakin terbatas, serta mendukung pemanfaatan sumber energi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kelayakan ekonomi pemanfaatan biodiesel juga diperkirakan akan meningkat bila pabrik biodiesel dibangun dengan kapasitas yang lebih besar (meningkatkan skala ekonomi), dan dibangun di wilayah-wilayah yang relatif sulit dijangkau seperti Kalimantan dan Papua. Perlu adanya kebijaksanaan pemerintah yang mendukung pengembangan industri biodiesel dari bahan baku kelapa sawit untuk bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia. Masih adanya subsidi atas minyak diperkirakan merupakan salah satu kendala pengembangan biodiesel sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia. Bila hanya mengandalkan dari CPO parit yang diproduksi perkebunan kelapa sawit yang ada, penyediaan bahan baku CPO untuk biodiesel tidak akan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan biodiesel sesuai dengan perkiraan Skenario Pemanfaatan Biodiesel. Peningkatan produksi CPO untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel pada Kasus Biodiesel yang dimulai tahun 2010 dapat dilakukan melalui : a) Peningkatan perluasan pemasaran CPO, sehingga CPO bukan saja dipasarkan ke pasar nonenergi yang ada, tetapi juga dipasarkan ke pabrik biodiesel untuk energi. Bila hal ini dilakukan, wilayah produsen CPO yang paling potesial adalah Sumatra dan Kalimantan, karena CPO yang sudah diproduksi dari kedua wilayah tersebut cukup tinggi. b) Pengembangan lahan perkebunan melalui penambahan luas perkebunan kelapa sawit yang hasil produksi CPO-nya khusus untuk bahan baku pembuatan biodiesel untuk kendaraan bermotor. Wilayah yang paling potensial untuk pengembangan luas perkebunan kelapa sawit adalah Papua dan Kalimantan, karena kedua wilayah tersebut masih mempunyai potensi perluasan lahan yang cukup besar. DAFTAR PUSTAKA 1. BPPT-KFA. Energy Strategies, Energy R+D Strategies, Technology Assessment for Indonesia. Joint Indonesian-German Research Project. 1988. 2. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Statistik Perminyakan Indonesia 1992. Jakarta. 1992. 3. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 1998. Statistik Perminyakan Indonesia 1998, Jakarta. 4. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 1999. Statistik Perminyakan Indonesia 1999, Jakarta. 5. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2000. Statistik Perminyakan Indonesia 2000, Jakarta. 6. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2001. Statistik Perminyakan Indonesia 2001, Jakarta. 7. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2002. Statistik Perminyakan Indonesia 2002, Jakarta. 8. Direktorat Jenderal Perkebunan. Buku Statistik Perkebunan Indonesia. Kelapa Sawit 1997, Jakarta 1997. 9. Direktorat Jenderal Perkebunan. Buku Statistik Perkebunan Indonesia. Kelapa Sawit 1998., Jakarta. 1998. 10. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Buku Statistik Perkebunan Indonesia Kelapa Sawit 1999, Jakarta 1999. 11. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Buku Statistik Perkebunan Indonesia Kelapa Sawit 2000, Jakarta 2000. 12. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Buku Statistik Perkebunan Indonesia. Kelapa Sawit 2001, Jakarta 2001. 13. Goenadi, D.H. 2004. Harga Minyak Melonjak, Pakai BioDiesel Kenapa Tidak? Kompas, 2 Desember 2004. 14. Kompas. 23 Oktober 2004. Tren Harga Minyak Sulit Dibaca.

98

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

15. PT. Perkebunan Nusantara VIII. Komunikasi Pribadi. Bandung 28 September 2004 16. Prakoso, T; et al. 2004. Production of Biodiesel by Utilizing Continuous Circulated Tank Reactor. Dep. Tehnik Kimia Institut Teknologi Bandung. National Energy Congress 2004. 23-24 November 2004. 17. Wirawan, S.S. 2004. Komunikasi Pribadi. Engineering Center BPPT. 18. US Embassy 2004. Petroleum Report 2004.

99

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

100

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK PERENCANAAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK


Agus Sugiyono

ABSTRACT
Electricity sector is an important sector to drive industrialization process. There are some importance factors that should be consider making electricity planning, i.e.: energy resource scarcity, energy cost, and environmental impact. MARKAL (market allocation) model is used to make planning strategy based on least cost optimization. Five cases as decision alternatives were created, i.e.: baseline (BASE), increasing renewable energy use (RENEW), household energy conservation (CONSERV), decreasing photovoltaic cost (PVCOST), and replacing captive power (CAPTIVE). Result shows that coal is an dominant fuel for electricity generation in the future almost in every scenarios. The final goal of electricity planning is provided information to help decision makers. Decision maker must choose among alternatives that represented in scenarios. Many aspects in the alternatives have a number of conflicting objectives (e.g., minimize cost and minimize emission). Therefore, it is appropriate using tools to make decision analysis among alternatives. DAM (Decision Analysis Module) is a multiple criteria decision analysis tool that easy to used and powerful to make decision among scenarios. After performing analysis, RENEW and CONSERV scenario are the potentially optimal alternatives. If the unit costs of NOx emission is set at a certain value then RENEW scenario become an optimal alternatives.

PENDAHULUAN

Sektor energi sangat penting bagi perekonomian Indonesia karena selain sebagai komoditas ekspor juga digunakan di dalam negeri sebagai bahan bakar dan bahan baku. Sektor ketenagalistrikan merupakan bagian dari sektor energi yang sangat berperan dalam proses industrialisasi. Kendala utama dalam pengembangan ketenagalistrikan adalah cadangan beberapa sumber energi fosil semakin terbatas dan semakin ketatnya peraturan untuk mempertahankan kualitas lingkungan hidup. Data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) tahun 2002 menunjukkan bahwa 9 besarnya cadangan minyak bumi Indonesia adalah 5 x 10 SBM. Cadangan gas bumi sebesar 90 9 TSCF (Tera Standard Cubic Feet), sedangkan batubara mempunyai cadangan sebesar 5 x 10 TCE (Ton Coal Equivalent). Bila ditinjau dari rasio cadangan (Reserve to Production Ratio - R/P), batubara mempunyai R/P tertinggi, yaitu sekitar 50 tahun, disusul gas bumi dan minyak bumi yang masingmasing mempunyai R/P sekitar 30 tahun dan 10 tahun. Besarnya R/P tersebut didasarkan pada cadangan dan produksi tahun 2002(6). Dengan mempertimbangkan kondisi ini pemerintah membuat kebijakan untuk secara bertahap mengganti penggunaan minyak bumi dengan bahan bakar lain khususnya untuk pembangkit tenaga listrik. Penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar di pembangkit tenaga listrik dapat menimbulkan polusi udara yang dihasilkan dari proses pembakaran atau konversi. Polusi ini dapat berupa SO2, NO2, CO2, VHC (Volatile Hydrocarbon) dan SPM (Suspended Particulate Matter). Polusi tersebut, akan tersebar dari sumbernya melalui proses dispersi dan deposisi yang dapat menurunkan kualitas udara, tanah, dan air di sekitarnya. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP13/MENLH/3/1995 telah mengeluarkan peraturan standar emisi untuk pembangkit tenaga listrik. Peraturan ini mengatur batas maksimum dari semua emisi yang dikeluarkan, yaitu batas maksimum 3 3 3 untuk partikel sebesar 150 mg/m , emisi SO2 sebesar 750 mg/m , emisi NO2 sebesar 850 mg/m , dan

101

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

tingkat opasitas sebesar 20 %. Dengan adanya batas maksimum pengeluaran emisi tersebut, menyebabkan pemilihan teknologi pembangkit tenaga listrik perlu mempertimbangkan penggunaan (11) teknologi baru yang lebih efisien dan ramah lingkungan . Penggunaan minyak bumi dan gas bumi sebagai bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik menghasilkan polusi udara yang relatif kecil dibandingkan dengan penggunaan batubara. Penggunaan batubara sebagai bahan bakar di pembangkit tenaga listrik dalam jumlah yang besar akan menimbulkan polusi yang semakin besar, walaupun biaya pembangkitannya dapat bersaing dengan pembangkit listrik berbahan bakar minyak bumi dan gas. Untuk itu, trade-off antara biaya dan lingkungan sangat diperlukan dalam pemanfaatan sumber energi fosil sebagai bahan bakar di pembangkit tenaga listrik. Energi terbarukan seperti energi surya (matahari) meskipun ramah lingkungan tetapi biaya untuk investasi cukup besar. Energi air dan energi panas bumi meskipun mempunyai potensi yang cukup besar namun perlu pertimbangan yang matang untuk pengembangannya, karena sumber energi ini berada jauh dari pengguna. Oleh karena itu, penelitian perencanaan pembangkit tenaga listrik yang dianalisis dalam makalah ini, diarahkan pada pemilihan komposisi bahan bakar dan pengembangan pembangkit tenaga listrik secara terpadu dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Penelitian perencanaan pembangkit tenaga listrik dilakukan dengan menggunakan optimasi dari sisi penyediaan energi dengan mengambil kurun waktu selama 30 tahun, yaitu dari tahun 2000 sampai tahun 2030. Dari optimasi ini dibuat lima kasus dengan mempertimbangkan komposisi dari bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik. Masing masing kasus akan menghasilkan biaya serta emisi tertentu. Berdasarkan biaya dan emisi ini akan dipilih kasus yang optimum melalui analisis pengambilan keputusan dengan berbagai kriteria.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian prakiraan penyediaan energi dari 2000 sampai tahun 2030 menggunakan perangkat lunak model MARKAL (Market Allocation) dengan selang periode selama 5 tahun. Analisis dilakukan untuk lima buah kasus dengan mempertimbangkan komposisi dari bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik. Hasil optimasi untuk setiap kasus berupa penggunaan setiap teknologi serta total biayanya. Emisi penggunaan bahan bakar untuk setiap teknologi ditentukan berdasarkan konstanta emisi. Dalam penelitian ini hanya emisi SO2, emisi NOx, emisi SPM dan emisi CO2 yang dipertimbangkan. Biaya dan emisi dari analisis hasil sebelumnya merupakan parameter untuk melakukan analisis pengambilan keputusan dengan berbagai kriteria menggunakan perangkat lunak DAM (Decision Analysis Module). Diagram alir dari penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Skenario 1 2

Skenario n Data Sumber & Teknologi Energi

Permintaan Energi

Model Markal (optimasi)


- Biaya - Penyediaan - Emisi

- Biaya - Penyediaan - Emisi

Matriks Pengambilan Keputusan DAM (Analisis Keputusan) Keputusan

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

102

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

3.1 Model Markal Model MARKAL adalah suatu model untuk mengalokasikan penyediaan energi primer dan sekunder dengan berbagai pilihan sumber dan teknologi energi untuk memenuhi kebutuhan energi final maupun energi bermanfaat (useful energy). Model ini menggunakan teknik linear programming (LP) untuk mengalokasikan penyediaan energi. Persoalan dalam LP dapat dirumuskan secara matematis seperti yang ditunjukkan pada Persamaan 1.

Z = !Cj X j
j =1

(1)

dengan variabel Z adalah fungsi obyektif, yang dalam hal ini adalah meminimumkan total biaya penyediaan energi, dengan suatu fungsi kendala (Persamaan 2 dan 3).

!a
j =1

ij

X j bi

(2) (3)

uj X j lj 0

dengan : i = 1,2, ... , m adalah indeks untuk menyatakan baris j = 1,2, ... , n adalah indeks untuk menyatakan kolom Xj adalah variabel yang juga disebut vektor di kolom j yang menyatakan penggunaan teknologi energi setiap tahun. aij, bi, dan Cj masing-masing adalah koefisien yang dapat berupa efisiensi thermal, biaya investasi, biaya operasi dan perawatan, serta umur ekonomis dan lama waktu beroperasi setiap tahun untuk setiap teknologi energi. uj dan l j adalah batas atas dan batas bawah bagi variabel Xj. 3.2 Perangkat Lunak DAM Tujuan akhir dalam perencanaan pembangkit tenaga listrik adalah untuk memperoleh informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan. Pengambil keputusan harus dapat memilih diantara beberapa allternatif pilihan yang direpresentasikan sebagai kasus. Beberapa aspek dari alternatif pilihan (yang disebut kriteria) sering saling bertolak belakang, seperti mempunyai biaya pembangkitan yang murah tetapi tinggi tingkat pencemarannya. Oleh karena itu perlu suatu perangkat pembantu untuk dapat menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan yang obyektif. Perangkat lunak DAM merupakan alat yang dapat membantu untuk menganalisis pengambilan keputusan dengan berbagai kriteria (multiple criteria decision analysis). DAM dapat digunakan sebagai alat untuk: mengidentifikasi alternatif pilihan dengan menggunakan beberapa konsep optimalisasi yang berbeda. memahami mengapa suatu alternatif pilihan disebut optimal. menganalisis sensitivitas setiap alternatif pilihan. merepresentasikan hasil analisis, baik dengan menggunakan format grafik maupun numerik (IAEA 1998). Metodologi yang digunakan dalam DAM menerapkan teknik terbaru dalam analisis pengambilan keputusan, termasuk didalamnya melakukan trade-off. Trade-off biasanya dilakukan berdasarkan pembobotan kriteria. Jika bobot tidak diketahui dengan pasti (informasi tidak lengkap) dan ini sering terjadi, ada kemungkinan tidak mendapatkan pilihan yang optimal. Dalam kondisi yang demikian ini, maka lebih baik untuk mengidentifikasi kandidat pilihan. Kandidat pilihan meskipun tidak optimal masih lebih baik dalam beberapa kriteria dari pada alternatif lainnya. Hierarki kandidat pilihan mulai dari yang kurang optimal ke yang optimal adalah: pareto optimal (efisien), tidak outperformed, dan optimal potensial. Relasi antar ketiga ranking ini dinyatakan dalam Gambar 2.

103

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

A 0 = seluruh alternatif A1 = pareto optimal A2 = tidak outperformed A 3 = pilihan optimal potensial


Sumber: IAEA 1998

A0

A1

A2

A3

Gambar 2. Hierarki kandidat pilihan Alternatif pilihan A1 dikatakan lebih baik secara pareto optimal dari pada A0 bila dan hanya bila A1 tidak lebih jelek dalam semua kriteria dari pada A0 dan A1 minimal ada satu kriteria yang lebih baik dari pada A0. Alternatif pilihan A2 dikatakan tidak outperformed dari pada A1 bila A2 mempunyai skor total yang lebih tinggi dari pada A1 untuk semua kombinasi bobot yang mungkin. Alternatif pilihan A3 dikatakan optimal potensial bila A3 mempunyai skor total yang maksimum untuk semua kombinasi bobot yang mungkin. 3.3 Kasus Alternatif pilihan dibuat berdasarkan lima buah kasus sebagai strategi dalam pengembangan pembangkit tenaga listrik. Kelima kasus tersebut adalah: Kasus dasar (BASECASE) Kombinasi bahan bakar pembangkit tenaga listrik dioptimasi berdasarkan biaya yang termurah. Kasus ini mengasumsikan bahwa harga minyak bumi sebesar 28 $/barel dan biaya investasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tetap sebesar 1650 $/kW mulai pada tahun 2010.

Kasus meningkatkan penggunaan energi terbarukan (RENEW) Karena masih banyak mempunyai sumber energi terbarukan seperti: tenaga air, panas bumi, tenaga surya dan biomasa, maka penggunaan energi tersebut perlu dioptimalkan. Meskipun pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit tenaga saat ini sangat kecil, pada kasus ini ditingkatkan penggunaannya menjadi 10% setelah tahun 2020. Kasus konservasi energi untuk rumak tangga (CONSERV) Kasus ini mempertimbangkan penggunaan peralatan rumah tangga yang lebih efisien. Sehingga dapat tercapai target peningkatan konservasi energi sebesar 1% per tahun. Kasus penurunan biaya investasi PLTS (PVCOST) Kasus ini mengasumsikan bahwa biaya investasi PLTS akan terus menurun. Biaya investasi akan menurun secara bertahap dari sebesar 1650 $/kW pada tahun 2010 menjadi 968 $/kW pada tahun 2030. Sedangkan biaya operasi dan perawatan sebesar 1% dari biaya investasi. Kasus penggantian captive power (CAPTIVE) Kasus ini mempertimbangkan target pemerintah untuk mengganti captive power pada tahun 2010.

Hasil dari optimasi yang penting untuk diketahui dan akan digunakan sebagai data dalam menganalisis pengambilan keputusan adalah: Kombinasi bahan bakar untuk pembangkit listrik yang optimal. Total biaya sistem yang tidak didiskonto (undiscounted cost) dan atau yang didiskonto (discounted cost) termasuk didalamnya biaya investasi, biaya operasi dan perawatan, serta biaya pengangkutan dan pengadaan. Total emisi setiap tahun yang tidak didiskonto (emisi SO2, emisi NOx, emisi SPM dan emisi CO2). 3 ANALISIS SEKTOR KETENAGALISTRIKAN

Pembangkit tenaga listrik di Indonesia dikelompokkan menjadi dua, yaitu pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum dan pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. Pembangkit

104

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagian besar dipasok oleh PLN dan sebagian lagi dipasok oleh perusahaan tenaga listrik swasta (Independent Power Producer - IPP) dan koperasi. Sedangkan pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (captive power) diusahakan oleh swasta untuk kepentingan operasi perusahaan sendiri dan biasanya tidak terjangkau oleh jaringan PLN. 3.1 Pembangkit Tenaga listrik Pada tahun 2000 kapasitas terpasang dari PLN mencapai 20,7 GW dengan total produksi tenaga listrik sebesar 92,6 TWh. Dari total produksi tersebut hanya 9,7% dibeli dari perusahaan tenaga listrik swasta maupun koperasi. Pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar batubara mempunyai pangsa yang paling besar yaitu sebesar 34,5% dari total pembangkitan. Pangsa yang kedua adalah pembangkit tenaga listrik yang menggunakan gas bumi yaitu sebesar 30,4%. Sisanya adalah pembangkit tenaga listrik diesel (21,0%), pembangkit tenaga listrik air (10,9%) dan pembangkit tenaga listrik panas bumi (3,2%). Pada tahun 2000 kapasitas terpasang captive power diperkirakan mencapai 16,8 GW. Sedangkan data produksi tenaga listrik dari captive power sangat sulit diperoleh karena banyak captive power yang instalasinya hanya sebagai unit cadangan. Berdasarkan survei yang dilakukan Pape (1998) produksi tenaga listrik dari captive power tahun 1997 mencapai 39,1TWh. Captive power sebagian besar menggunakan bahan bakar diesel (42,0%) diikuti oleh batubara (29,2%), gas bumi (17,6%), dan tenaga air (11,2%). Dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN dan captive power ternyata batubara merupakan bahan bakar yang paling banyak digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. 3.2 Prakiraan Kebutuhan Tenaga listrik Krisis ekonomi yang dialami pada pertengahan tahun 1997 menyebabkan investasi terutama di bidang infrastruktur menurun, sehingga rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik banyak yang tertunda, khususnya untuk pembangkit tenaga thermal dengan kapasitas besar. Meskipun terjadi penurunan penggunaan tenaga listrik di sektor industri pada tahun 1998, namun pada tahun-tahun berikutnya penggunaan tenaga listrik tetap mengalami pertumbuhan. Penggunaan tenaga listrik PLN tahun 1995 mencapai 49,7 TWh dan meningkat menjadi 79,2 TWh pada tahun 2000, atau selama kurun waktu 5 tahun penggunaan tenaga listrik PLN rata-rata tumbuh sekitar 9,8% per tahun. Dalam kurun waktu tersebut penggunaan tenaga listrik di sektor industri hanya meningkat sebesar 6,7% per tahun dari sebesar 24,7 TWh menjadi 34,0 TWh. Pertumbuhan penggunaan tenaga listrik PLN terbesar adalah sektor komersial yang mencapai sebesar 16% per tahun dari 6,9 TWh menjadi 14,5 TWh, kemudian disusul sektor rumah tangga yang tumbuh sebesar 11,1% per tahun dari 18,1 TWh menjadi 30,6 TWh. Prakiraan kebutuhan tenaga listrik dihitung berdasarkan besarnya aktivitas dan intensitas penggunaan tenaga listrik. Aktivitas penggunaan tenaga listrik berkaitan dengan tingkat perekonomian dan jumlah penduduk. Semakin tinggi tingkat perekonomian akan menyebabkan aktivitas penggunaan tenaga listriknya semakin tinggi, begitu juga untuk jumlah penduduk. Pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) merupakan pemicu pertumbuhan aktivitas penggunaan tenaga listrik di semua sektor, kecuali sektor rumah tangga. Penggunaan tenaga listrik di sektor rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah penduduk per kapita. Prakiraan kebutuhan tenaga listrik sebagai masukan model untuk optimasi ditampilkan pada Tabel 1. Kebutuhan tenaga listrik dalam kurun waktu 2000 - 2030 diperkirakan rata-rata akan tumbuh sebesar 7% per tahun. Table 1. Prakiraan Kebutuhan Tenaga Listrik dan Kapasitas Terpasang
2000 Kebutuhan Listrik Kapasitas Terpasang PJ GW 379,9 38,4 2005 550,7 52,3 2010 791,6 70,5 2015 1193,1 94,3 2020 1761,9 125,1 2025 2579,3 162,5 2030 3666,0 2094

Catatan: tahun 2000 adalah tahun dasar yang merupakan data historis.

105

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

ANALISIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN

4.1 Prakiraan Pembangkit Tenaga Listrik Lebih dari 80 macam teknologi pembangkit tenaga listrik digunakan dalam model ini, baik yang sudah komersil saat ini maupun teknologi baru. Untuk lebih mempermudah analisis, teknologi pembangkit tenaga listrik diagregasi menjadi 4 macam sesuai dengan bahan bakarnya, yaitu: Batubara Bahan bakar minyak (BBM) yaitu minyak bakar dan minyak diesel Gas termasuk turbin gas dan turbin kombinasi gas-uap Energi terbarukan dan energi nuklir termasuk pembangkit listrik tenaga air, tenaga panas bumi, biomasa dan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Secara garis besar hasil optimasi menunjukkan bahwa penyediaan tenaga listrik akan didominasi oleh pembangkit listrik batubara untuk semua kasus. Dalam makalah ini hanya skenario BASE yang ditampilkan hasilnya seperti ditunjukkan pada Grafik 1. Pada kasus BASE pembangkit tenaga listrik batubara mengalami pertumbuhan sebesar 9,7% per tahun. Pada akhir periode analisis, batubara merupakan bahan bakar terbanyak dengan pangsa sebesar 58%. Energi terbarukan mempunyai pangsa 20% dan pangsa penggunaan gas hanya sebesar 19%.

4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

PJ/tahun

Terbarukan&PLTN Gas BBM Batubara

Grafik 1. Prakiraan Pembangkit Tenaga Listrik (Skenario BASE) Pada kasus RENEW pangsa penggunaan energi terbarukan sedikit meningkat menjadi 21% pada akhir periode analisis diikuti penurunan pangsa penggunaan batubara menjadi 57%. Sedangkan pengunaan bahan bakar lainnya relatif sama dengan kasus BASE. Dengan kasus CONSERV, penggunaan gas meningkat sedangkan penggunaan batubara pertumbuhannya berkurang menjadi 9,4% per tahun. Pada kasus PVCOST pangsa penggunaan batubara pada akhir periode menurun menjadi 50% dan digantikan dengan makin bertambahnya penggunaan energi terbarukan. Sedangkan untuk kasus CAPTIVE terjadi peningkatan penggunaan BBM meskipun tidak terlalu besar.

4.2. Total Biaya Sistem Karena tidak tersedia keluaran untuk biaya pembangkit tenaga listrik maka dalam analisis ini menggunakan total biaya sistem dikalikan dengan 11% yang merupakan pangsa rata-rata pembangkit tenaga listrik terhadap total penyediaan energi. Biaya pembangkit tenaga listrik ditunjukkan pada Tabel 2. Secara umum skenario CONSERV paling rendah biaya pembangkitannya dibandingkan dengan skenario lainnya, sedangkan kasus CAPTIVE mempunyai biaya pembangkitan yang paling tinggi. Hal tersebut disebabkan pada kasus CONSERV kapasitas pembangkit listriknya berkurang, sehigga dapat mengurangi terhadap total biaya sistem. Pada kasus CAPTIVE, setelah tahun 2010, yaitu tahun 2015 sampai tahun 2030 pemanfaatan renewable dan nuklir pada pembangkit listrik bertambah, sehingga total biaya sistem pada captive lebih tinggi dibandingkan kasus lainnya.

106

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

Tabel 2. Biaya Pembangkit Tenaga Listrik (Discounted) dalam Juta Dolar


Skenario 2000 2005 2.761 2.761 2.754 2.761 2.766 2010 2.564 2.582 2.546 2.562 2.552 2015 2.131 2.152 2.092 2.123 2.136 2020 1.711 1.724 1.680 1.713 1.719 2025 1.401 1.400 1.358 1.391 1.441 2030 1.087 1.078 1.031 1.083 1.091 Total 70.524 70.731 69.510 70.414 70.763

BASE 2.450 RENEW 2.450 CONSERV 2.441 PVCOST 2.450 CAPTIVE 2.448 Sumber: Keluaran Model MARKAL

4.3. Emisi Emisi dihitung berdasarkan besarnya pembangkitan tenaga listrik untuk setiap bahan bakar dengan memperhitungkan koefisien emisi. Tabel 3 menampilkan koefisien emisi dari setiap pembangkit tenaga listrik untuk setiap jenis emisi. Hasil perhitungan emisi yang tidak didiskonto setiap tahun untuk masing-masing kasus ditampilkan pada Table 4. Seperti halnya dengan biaya, emisi yang tidak didiskonto perlu didiskonto ke tahun 2000 dengan faktor diskonto sebesar 10% per tahun sebagai masukan untuk analisis menggunakan DAM. Kasus CONSERV mempunyai emisi yang relatif lebih rendah dari pada kasus lainnya. Sedangkan kasus BASE mempunyai emisi yang paling besar. Hal ini dapat dipahami karena kasus selain BASE dimaksudkan untuk mengurangi dampak lingkungan. Tabel 3. Koefisien Emisi Pembangkit Tenaga Listrik
Bahan Bakar Batubara BBM Gas Terbarukan/PLTN SO2 1.209,66 683,33 0,00 0,00 Koefisien Emisi ton/PJ NOx 1.229,16 1.266,67 619,44 0,00 1000 ton/PJ* CO2 85,67 70,67 49,50 0,00

SPM 186,04 28,89 0,00 0,00

Catatan: - Diolah berdasarkan BPPT-GTZ 1995, BPPT-KFA 1993 dan Manne and Richels 1992. * Untuk Emisi CO2, PJ dihitung berdasarkan input bahan bakar

Tabel 4. Emisi SO2, NO2, SPM dan CO2.(undiscounted)


Emisi SO2 Skenario Unit 2000 2005 2010 753,7 701,8 728,5 748,8 739,0 890,6 835,9 864,6 888,0 883,2 107,7 100,2 104,2 107,0 105,5 154,3 145,0 149,9 153,9 153,2 2015 1.186,7 1.119,2 1.175,2 1.191,5 1.147,0 1.333,8 1.254,5 1.323,7 1.344,3 1.312,1 174,8 166,8 173,6 175,5 168,9 231,8 219,0 230,4 233,8 228,6 2020 1.626,6 1.574,4 1.560,6 1.624,2 1.566,2 1.822,8 1.725,8 1.739,6 1.815,7 1.776,8 247,1 239,4 237,2 246,6 237,7 320,5 302,6 305,7 319,0 312,8 2025 2.061,5 2.049,8 2.010,4 2.161,4 1.959,4 2.436,2 2.350,2 2.305,3 2.454,7 2.390,8 315,1 313,3 307,5 329,0 292,9 432,3 415,4 407,6 432,6 422,6 2030 2.905,8 2.790,2 2.543,2 2.533,5 2.840,9 3.479,3 3.364,7 3.105,0 3.062,6 3.445,1 432,1 417,4 387,1 374,2 415,5 612,4 594,0 552,3 538,4 603,9

BASE RENEW CONSERV PVCOST CAPTIVE NOx BASE RENEW CONSERV PVCOST CAPTIVE SPM BASE RENEW CONSERV PVCOST CAPTIVE CO2 BASE RENEW CONSERV PVCOST CAPTIVE Catatan: - kt/a = kilo ton - Mt/a = million

kt/a 324,1 385,9 kt/a 324,0 383,6 kt/a 322,0 378,2 kt/a 324,0 385,5 kt/a 324,5 401,4 kt/a 420,4 559,4 kt/a 420,4 557,7 kt/a 419,8 551,0 kt/a 420,4 558,6 kt/a 420,7 565,9 kt/a 31,4 40,9 kt/a 31,4 40,8 kt/a 31,0 40,0 kt/a 31,4 41,0 kt/a 31,4 43,4 Mt/a 66,4 92,5 Mt/a 66,4 92,4 Mt/a 66,3 91,2 Mt/a 66,4 92,5 Mt/a 66,4 93,5 / annum (kilo ton/tahun) ton / annum (juta ton/tahun)

107

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

4.4 Analisis Menggunakan DAM Berdasarkan hasil optimasi dan perhitungan emisi maka dapat diformulasikan matriks untuk pengambilan keputusan seperti pada Tabel 5. Matriks ini merupakan masukan untuk DAM. Kasus digunakan sebagai alternatif keputusan (data baris) dan biaya serta emisi sebagai kriteria (data kolom). Kriteria disamping mempunyai unit juga mempunyai arah optimasi (meminimumkan atau memaksimumkan), dalam hal ini baik kriteria biaya maupun kriteria emisi bertindak sebagai kriteria yang akan diminimumkan. Satuan dari kriteria diubah-ubah supaya rentang nilai data tidak jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Table 5. Biaya Pembangkit Tenaga Listrik dan Emisi (discounted)
Skenario BASE RENEW CONSERV PVCOST CAPTIVE Biaya 10 $ 70,52 70,73 69,51 70,41 70,76
9

SO2 kTon 8.764,15 8.496,41 8.488,83 8.695,91 8.626,99

NOx kTon 10.725,35 10.371,80 10.401,78 10.613,30 10.641,54

CO kTon 1.164,78 1.129,49 1.127,68 1.154,09 1.139,05

CO2 MTon 1.823,79 1.763,05 1.768,91 1.803,08 1.808,29

4.4.1 Analisis Efisiensi (Pareto Dominance) Hasil analisis menggunakan DAM berupa matriks dan setiap sel matriks dapat berisi salah satu warna: merah, biru atau kuning. Setiap warna mempunyai arti tertentu, yaitu: Merah, menunjukkan bahwa alternatif dalam baris tidak lebih jelek dari pada alternatif dalam kolom untuk setidaknya satu kriteria (dalam makalah ini warna merah dinyatakan dalam warna gelap). Biru, menunjukkan kebalikan dari warna merah, yaitu bahwa alternatif dalam baris tidak lebih baik dari pada alternatif dalam kolom setidaknya untuk satu kriteria (dalam makalah ini dinyatakan dalam warna titik-titik). Kuning, menunjukkan bahwa baik alternatif dalam kolom maupun dalam baris tidak lebih baik maupun tidak lebih jelek (dalam makalah ini dinyatakan dalam warna putih). Dari hasil analisis efisiensi dapat ditarik kesimpulan bahwa kasus RENEW lebih efisen dari pada CAPTIVE. Kasus CONSERV lebih efisien dari pada PVCOST, CAPTIVE dan BASE. Sedangkan kasus PVCOST lebih efisien dari pada BASE. Sedangkan hubungan lainnya tidak dapat ditentukan (lihat Gambar 3).

Gambar 3. Analisis Pareto Dominance 4.4.2 Analisis Outperformance Untuk menganalisis lebih lanjut, kriteria untuk trade-off harus ditentukan, karena tidak adanya data yang akurat ataupun studi tentang biaya per unit emisi di Indonesia, nilainya ditentukan dengan batas bawah 1 dan batas atas 10.000 untuk masing-masing emisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kasus CONSERV lebih baik dari pada PVCOST, CAPTIVE dan BASE seperti pada hasil sebelumnya. Namum masih ada tambahan informasi yang diperoleh yaitu kasus RENEW lebih baik dari pada PVCOST, CAPTIVE dan BASE. Ini berarti bahwa dengan penambahan biaya per unit emisi pada rentang nilai tertentu menyebabkan kasus BASE menjadi tidak optimal. Tetapi sampai dengan

108

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

analisis ini belum dapat ditentukan kasus yang optimal karena hubungan antara kasus CONSERV dan RENEW belum bisa ditentukan. 4.4.3 Analisis Optimal Potensial Analisis ini dapat menghasilkan pilihan yang optimum ataupun kandidat pilihan dengan adanya kombinasi trade-off yang memungkinkan terjadinya seleksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kasus RENEW dan CONSERV merupakan dua kandidat pilihan yang optimal potensial. 4.4.4 Analisis What-If Jika skenario RENEW dan CONSERV dievaluasi lebih jauh dengan menggunakan analisis what-if maka beberapa temuan baru dapat ditunjukkan. Dengan mengubah rentang biaya per unit emisi dari 1 sampai 10.000 untuk kriteria SO2, SPM dan CO2 maka tidak terjadi perubahan kandidat pilihan. Ini berarti bahwa biaya per unit emisi SO2, SPM dan CO2 tidak penting untuk analisis. Bila biaya per unit emisi NOx diubah rentangnya dari 1 sampai 10.000 maka kandidat pilihan akan berubah dan pada nilai biaya per unit emisi NOx di atas 3200 (bila dikembalikan ke unit semula menjadi 320 ribu $/ton) maka pilihan yang optimal adalah skenario RENEW (Gambar 4).

Gambar 4. Hasil Pengujian What-if 5 KESIMPULAN DAN SARAN

Faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam membuat strategi perencanaan pengembangan kelistrikan adalah terbatasnya cadangan sumber daya energi, biaya pembangkitan untuk setiap jenis bahan bakar, dan dampak lingkungan. Dengan menggunakan model MARKAL dan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, batubara diperkirakan akan menjadi bahan bakar yang utama untuk pembangkit tenaga listrik karena cadangannya masih sangat besar. Dari hasil pengujian serta analisis dengan menggunakan DAM terhadap lima kasus sebagai alternatif pilihan untuk pengembangan pembangkit tenaga listrik ternyata yang optimal potensial adalah kasus RENEW dan CONSERV. Jika biaya per unit emisi NOx ditentukan pada nilai di atas 320 ribu $/ton, skenario RENEW merupakan pilihan yang optimum. Beberapa kelemahan dalam perhitungan emisi dan pembuatan kasus pada penelitian ini adalah emisi seharusnya dapat dihitung secara lebih teliti dengan memperhitungkan setiap unit dari teknologi pembangkit tenaga listrik, bukan dari agregat pembangkit tenaga listrik. Selain itu, kasus seharusnya dibuat lebih moderat sehingga terlihat perbedaan hasil antara kasus yang satu dengan lainnya, baik untuk total biaya maupun emisinya. Dua hal tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil analisis untuk menentukan pilihan yang optimum. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penelitian lebih lanjut dengan alternatif yang lebih banyak sehingga dapat digunakan sebagai masukan bagi pembuat kebijakan energi.

109

Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan

DAFTAR PUSTAKA BPPT (2000). Decision Analysis and Planning for Electricity Generation in Indonesia, Final Report for IAEA Research Contract No. RC 9527/R2, Jakarta. 2. BPPT-GTZ (1995). Technology Assessment for Energy Related CO2 Reduction Strategies for Indonesia, Final Report prepared by IC Consult Industrie & Communal Consulting GmbH. 3. BPPT-KFA (1993). Environmental Impacts of Energy Strategies for Indonesia, Final Summary Report. 4. Department of Energy and Mineral Resources. Center for Energy Information (2002) Handbook of Indonesias Energy Economy Statistics 2002. Jakarta. 5. DESDM (2003). Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional 2003-2020, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. 6. DESDM (2004). Kebijakan Energi Nasional 2003-2020, Rancangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 7. IAEA (1998) DECADES. Tools User's Manual for Version 1.0, DECADES Project Document No. 2, International Atomic Energy Agency, Vienna. 8. Manne, A.S. and Richels, R.G. (1992). Buying Greenhouse Insurance : The Economic Costs of CO2 Emission Limit, The MIT Press. 9. Pape, H. (1998). Captive Power in Indonesia, Development in the Period 1980 - 1997, The World Bank. 10. Pusat Informasi Energi (2002). Prakiraan Energi Indonesia 2020, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral bekerja sama dengan EAPO, Jakarta. 11. Sugiyono, A. (2000). Prospek Penggunaan Teknologi Bersih untuk Pembangkit Listrik dengan Bahan Bakar Batubara di Indonesia, Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No.1, hal. 90-95, Jakarta. 1.

110

Anda mungkin juga menyukai