Anda di halaman 1dari 9

Ditulis oleh Louise Arbour untuk KOMPAS.com KOMPAS.

com - Saat Barack Obama berkunjung ke Myanmar kemarin, Presiden Amerika ini tak hanya menyaksikan suatu negara yang sedang melakukan transisi politik yang cukup dramatis tapi juga negeri yang kini menghadapi konflik sosial yang memprihatinkan. Ledakan kekerasan massa antara kelompok mayoritas Buddha dengan minoritas Muslim dari suku Rohingya, di Negara Bagian Rakhine adalah suatu efek samping dari transformasi politik yang kini berlangsung di negara Asia Tenggara ini. Konflik horizontal ini juga merupakan tantangan terberat bagi pemerintah dan kelompok oposisi yang ada. Sejak Maret 2011, Myanmar tengah mengarungi suatu transisi politik yang menakjubkan. Para pemimpin negeri ini telah memperlihatkan niat dan visi politik untuk mendorong Myanmar benar-benar keluar dari bayang-bayang kelam masa lalunya. Presiden Thein Sein telah mendeklarasikan perubahan-perubahan dan berupaya membangun kemitraan yang langgeng dengan oposisi, terutama Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi. Proses ini memang masih belum sempurna, namun banyak hal telah dicapai termasuk pembebasan tapol/napol, penerapan undang-undang kebebasan berkumpul dan berserikat, penghapusan sensor terhadap media serta mulusnya pemilihan umum tahun lalu yang memberikan jalan kepada Suu Kyi dan partainya masuk parlemen. Pemerintah Thein Sein sendiri sudah berusaha menyelesaikan berbagai konflik etnik di Myanmar yang telah berlangsung lama. Upaya penyelesaian awal sebenarnya sudah cukup positif. Hal ini bisa dilihat dengan ditandatanganinya sepuluh perjanjian gencatan senjata. Yang masih menggantung tinggal kesepakatan dengan kelompok separatis bersenjata Kachin saja. Jelas, penghentian kekerasan yang telah tercapai adalah langkah awal yang penting. Namun sekonyong-konyong, pada Juni lalu terjadilah kerusuhan etnis di Negara Bagian Rakhine yang merusak jalan cerita yang membesarkan hati ini. Tuduhan adanya pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa lelaki Muslim terhadap seorang wanita beragama Buddha menjadi pemicu yang membuat ketegangan laten antara kelompok Buddha Rakhine dan minoritas Rohingya yang memeluk agama Islam meledak hebat. Puluhan orang telah terbunuh, ratusan rumah telah terbakar serta sedikitnya 75 ribu penduduk, sebagian besar dari etnis Rohingya, mengungsi akibat kekerasan antar-kelompok yang melanda negara bagian itu. Kekerasan yang meluas terjadi lagi pada 21 Oktober lalu di beberapa tempat lain di Rakhine. Konflik ini membuat jumlah korban tewas akibat konflik ini membengkak hingga 140 jiwa dan jumlah pengungsi meningkat melebihi 110 ribu orang. Babak baru dari rentetan kekerasan ini tak hanya menghantam orang Rohingya tetapi juga kelompok Muslim lainnya. Ada indikasi aksi-aksi ini diorganisir secara matang oleh elemen-elemen ekstrim. Sampai kini, pemerintah Myanmar belum mampu mengatasi konflik itu. Malahan dalam beberapa kasus pihak berwenang dan aparat keamanan di Rakhine menunjukan keberpihakan kepada kelompok mayoritas. Selain itu pemerintah maupun kelompok oposisi terkesan membiarkan munculnya berbagai retorika ekstrim anti-Muslim yang memantik kekerasan. Perlu dicatat bahwa kelompok Rohingya sudah begitu lama dianggap paria di wilayah Asia ini. Mereka menghadapi diskriminasi berat di Myanmar dan negara tetangga Bangladesh serta hanya punya sedikit dukungan dari tempat lain walau kekerasan belakangan ini telah mendorong solidaritas dan protes dari beberapa negara Asia yang berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia.

Seringkali konflik semacam ini dianggap lumrah terjadi di negara yang tengah beranjak keluar dari kekuasaan otoriter. Gesekan sosial sering muncul seiring dengan kebebasan yang membuka ruang untuk terkuaknya masalah-masalah yang tadinya terpendam. Contohnya, protes masyarakat terhadap perampasan tanah dan penyalahgunaan kekuasan oleh pemerintah daerah atau keprihatinan lingkungan dan sosial terhadap proyek-proyek infrastruktur dan tambang yang dibiayai pihak asing. Meskipun begitu, tetap saja masalah di Rakhine yang terus memanas ini amat memprihatinkan. Situasinya amat berbahaya bagi suatu negara dengan beragam etnis dan agama seperti Myanmar. Semakin retaknya hubungan sosial antar kelompok ini tentu akan mengancam stabilitas nasional negeri ini. Pengalaman membuktikan ketegangan komunal dapat dieksploitasi dan dikipas-kipas oleh tujuan-tujuan politik. Secara khusus, ada suatu ancaman nyata kekerasan di Rakhine ini akan benar-benar menjadi pertentangan antara orang Buddha dengan orang Islam yang lebih eksplisit dengan kemungkinan melahirkan bentrokan-bentrokan serupa di wilayah Myanmar lainnya dimana kelompok minoritas Muslim bermukim. Munculnya lobi solidaritas Buddha karena isu Rakhine ini dengan adanya demonstrasi para bhiksu dan kelompok elit suku Birma mendukung sesama pemeluk agama ini bukanlah hal yang baik. Presiden Thein Sein telah membentuk komisi investigasi dengan mandat yang luas untuk mendalami sebab-sebab kekerasan ini dan tanggapan yang telah dilakukan serta memberi arahan bagaimana situasi ini dapat diselesaikan demi rekonsiliasi dan pembangunan sosial-ekonomi di daerah ini. Kerja komisi akan sangat penting untuk memberikan jalan bagi masa depan Negara Bagian Rakhine dan memicu refleksi nasional terhadap masalah identitas dan keberagaman di negeri banyak agama ini. Tetapi, apabila laporan akhir dari komisi ini yang diharapkan keluar dalam beberapa bulan lagi hanya dokumen mengambang yang menghindari masalah-masalah kontroversial atau jika hasilnya hanya mengekor pandangan kaum mayoritas yang partisan dan tidak kondusif bagi rekonsiliasi, semua upaya ini tidak akan memberi sumbangan banyak bagi perdamaian. Kekerasan di Negara Bagian Rakhine menjadi ujian besar bagi pemerintah Myanmar yang kini berniat mengedepankan hukum dan ketertiban tanpa kembali ke cara-cara otoriter masa lalu. Hal ini juga menjadi tantangan bagi Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi yang perlu memperlihatkan komitmen yang lebih besar, baik secara umum dan di belakang layar, pada hak-hak dasar semua orang yang tinggal di Myanmar. Lebih dari itu, baik pemerintah maupun oposisi perlu menunjukkan kepemimpinan moral untuk menekan ketegangan dan bekerja demi tercapainya penyelesaian yang langgeng terhadap suatu masalah yang dapat mengancam proses reformasi dan stabilitas Myanmar. Louise Arbour adalah Presiden dari International Crisis Group, sebuah lembaga

ISU pembantaian warga Rohingya di Negara Bagian Arakan, Myanmar, muncul kembali dan menjadi topik panas dalam tataran politik internasional. Bersamaan dengan itu, seorang aktivis dari LSM pengawas HAM, Imparsial, ikut berkomentar. Project Director Imparsial Bhatara Ibnu Reza mengatakan, isu Rohingya bukanlah isu baru. Isu itu sudah muncul pada 2007 silam, di mana warga minoritas Myanmar itu mulai melakukan eksodus ke negara lain. Di samping itu, Bhatara pun menilai, prinsip non-intervensi yang ada di

Piagam ASEAN membuat isu tersebut menjadi berlarut-larut dan tidak kunjung usai. Berikut wawancara Bhatara Ibnu Reza dengan Okezone, Selasa (14/8/2012). Bagaimana pendapat Anda mengenai isu Rohingya? Isu ini sudah lama, pada tahun 2008, warga Rohingya melarikan diri ke Srilanka, Bangladesh, Indonesia dan beberapa negara lain. Bahkan, mereka diusir juga dari tempat yang mereka datangi. Isu ini juga sudah masuk ke laporan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Myanmar dulu dipimpin oleh junta militer dan sekarang, dan masalah yang muncul sekarang, sejauh mana rezim baru yang kabarnya demokratis itu bisa menjaga situasi di Rohingya (Arakan). Beberapa aktivis kemanusiaan, termasuk saya juga kecewa dengan Aung San Suu Kyi, karena dia diam dalam masalah ini. Saya juga tidak mengerti kenapa dia diam. Intinya, Myanmar harus melakukan penghukuman terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan itu, tapi saya ragu Myanmar akan melakukan hal itu. Kalau Rohingya jadi isu utama saat ini, itu karena eskalasi kekerasannya meningkat. Mereka (Rohingya) juga tidak dianggap "manusia" di Myanmar karena mereka berbeda dengan etnis Myanmar lainnya yang wajahnya seperti etnis China. Tapi persoalannya, mereka hidup di Myanmar. Bagaimana bisa laporan kekerasan di Rohingya masuk ke ICC? Soal Rohingya sudah masuk ke laporan ICC ketika ada pelapor khusus yang mengatakan bahwa muncul insiden kekerasan di Myanmar yang dilakukan oleh junta militer dan hal itu harus diselidiki. Selain Rohingya, adapula konflik Kachin, Karen dan lain-lain di Myanmar. Apa kendala yang muncul dalam proses penyelidikan itu? Padahal ICC sudah mendapat laporan tentang kekerasan di Myanmar Kasus itu diungkapkan pada 2009, namun Myanmar sendiri bukan parties (anggota) di ICC. "Hebat banget, kalau Myanmar meratifikasi konvensi ICC." Pemerintah Myanmar mengklaim sudah memberikan bantuan ke Rohingya dan menyangkal adanya pembantaian, bagaimana dengan hal itu? Persoalannya begini, saya percaya dengan adagium yang menyatakan bahwa "if one country is not save the whole is not save" (bila satu negara di dunia ini tidak selamat, dunia sedang berada dalam bahaya). Mereka tidak bisa membantah akan adanya peristiwa kekerasan itu. Faktanya adalah ada pengungsi yang melarikan diri keluar dari Myanmar dari Arakan State (Negara Bagian Arakan). Pertanyaannya, kalau memang tidak ada konflik, kenapa ada pengungsi? Oleh karena itu, Pemerintah Myanmar tidak bisa "denial" dalam isu ini. Seorang warga tidak akan keluar dari daerahnya kalau mereka merasa aman.

Apakah ini saatnya bagi komunitas internasional untuk melakukan Humanitarian Intervention dalam kasus Rohingya? Masalahnya ada pada prinsip "non-interference di ASEAN. Prinsip itu sudah dilegalisasi dan ada di Piagam ASEAN. ASEAN harus bersikap tegas dengan Myanmar. ASEAN bisa mengatakan ke Myanmar, "jangan macam-macam dengan isu ini karena setiap pengungsi Myanmar pergi ke negara ASEAN dan impact (akibat) dari masuknya pengungsi itu dapat menyabab instabilitas dan gangguan keamanan di negara yang bersangkutan. Negara-negara seperti Vietnam dan Singapura juga pasti menolak intervensi terhadap Myanmar. Mereka akan menganggap hal-hal seperti itu adalah urusan dalam negeri Myanmar. Sebenarnya, isu ini tidak bisa disepelekan, karena ASEAN juga memiliki kewajiban untuk melindungi "masyarakat sipil ASEAN." Indonesia pun ikut dikritik ketika mereka membicarakan Rohingya, tapi mereka tidak pernah membahas Ahmadiyah. Bagaimana peranan yang seharusnya dilakukan PBB dalam isu Rohingya? Jelas, PBB harus bersikap untuk masalah ini dan tidak mengandalkan ASEAN. ASEAN akan menjadi grup tersendiri dan mereka akan satu suara dalam menanggapi masalah internasional. Tidak mungkin salah satu negara ASEAN dapat berbeda suara. Penting pula bagi Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan laporan-laporan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di Myanmar. Apa peristiwa di Myanmar ini sudah dinyatakan sebagai genosida? Kasus ini masih dalam tahap crime againts humanity (kejahatan kemanusiaan), kalau genosida itu bentuknya sudah policy (kebijakan). Intinya, Pemerintah yang bersangkutan membuat kebijakan untuk memusnahkan etnis tertentu, untuk saat ini belum ada genosida di Myanmar. Perlukah Myanmar memberikan kewarganegaraan untuk Rohingya? Mereka itu warga Myanmar, sekarang sama saja dengan mempertanyakan, apakah perlu memberikan kewarganegaraan ke warga Papua yang jelas-jelas WNI. Kewarganegaraan itu hak dan itu juga bisa ditukar. Adalah kewajiban Myanmar untuk melindungi, namun mereka justru menyangkal. Nama "Burma" mengacu pada nama satu suku besar di salah satu daerah Myanmar yang juga diisi oleh etnis Kachin, Karen dan lainnya. Mereka saling berseteru, namun suku dominan adalah Burma. Ketika junta militer memimpin, mereka menggantikan nama Burma menjadi Myanmar. Mereka percaya dengan adanya keberuntungan di balik sebuah nama, namun Suu Kyi tetap menyebut negaranya dengan nama Burma.

Kalau dalam ilmu sosial, ada istilah "tingkatan diskriminatif." Bangsa Karen atau Kachin sering mengalami perseteruan dengan etnis mayoritas, namun mereka memiliki agama yang sama. Sementara itu Rohingya, secara fisik mereka berbeda, mereka berkulit hitam dan mereka beragama Islam. (AUL) Menuntut Tanggungjawab Negara dan Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar melakukan Penanganan yang Menyeluruh terhadap Kondisi Muslim Rohingya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama organisasi masyarakat sipil lainnya, sejauh ini telah melakukan komunikasi untuk pemantauan dan mengumpulkan informasi terkait dengan beragam dan rangkaian tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap 800.000 muslim Rohingya di Myanmar (negara bagian Rhakine). Disisi yang lain, kami juga mencatat sekitar 200. 000 muslim Rohingya telah menjadi pengungsi di Bangladesh, sisanya gagal mendapatkan suaka politik ataupun perlindungan baik ke Bangladesh maupun negara tujuan lainnya, karena mendapat penolakan. KontraS mencatat, situasi kekerasan yang memanas akhir-akhir ini ke Muslim Roohingya diawali dari peristiwa tindak kekerasan dan perkosaan terhadap seorang perempuan yang beragama Budha, pada akhir Mei 2012. Pada saat itu, pelaku diduga berasal dari muslim Rohingya. Selanjutnya, pada 2 Juni 2012, 10 orang penumpang bus yang diduga kuat dari muslim Rohingya di bunuh. Peristiwai ini diduga merupakan pembalasan atas peristiwa yang terjadi sebelumnya. Akibat peristiwa tersebut, meletus konflik dalam skala yang lebih besar antara muslim Rohingya dan masyarakat Budha, di negara bagian Rhakine . Sejak 2 Juni 2012, eskalasi konflik meningkat drastis. Kami menemukan indikasi bahwa konflik ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah Myanmar dalam berurusan dengan muslim Rohingya. Pemerintah Myanmar melakukan diskriminasi yang sangat sistematis terhadap Rohingya, khususnya dibawah Undang-Undang Tahun 1982 tentang kewarganegaraan yang menolak kewarganegaraan muslim Rohingya dan pembiaran tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum. Beragam laporan dan pemberitaan dari berbagai sumber yang selama ini member perhatian terhadap isu ini, secara garis besar menyatakan bahwa penjaga perbatasan pemerintah Myanmar diduga kuat terlibat dalam sejumlah tindak kekerasan, berupa; pelecehan, penyiksaan dan tindakan kekerasan yang terus berulang. Untuk merespon persoalan tersebut diatas, Presiden Myanmar, Thein Sein, belum lama ini menyatakan kepada media bahwa "Burma akan bertanggungjawab untuk persoalan Rohingya, namun Thein Shein menegaskan bahwa "sama sekali tidak mungkin untuk mengakui penyerahan persoalan Rohingya kepada UNHCR. Selanjutnya Thein Sein justru menunjukan kesediaannya jika didapati negara ketiga yang bersedia mengambil etnik Rohingya sebagai warga negara adalah solusi yang masuk akal." Kami kembali menegaskan bahwa pernyataan dari Presiden Thein Sein adalah salah dan ini

menunjukan diagnosis persoalan yang keliru dari pemerintah Myanmar. Seharusnya, pemerintah Myanmar mengambil langkah-langkah strategis untuk membangun proses dialog damai, langkah-langkah ini harus diambil sebagai bukti bahwa Myanmar sudah menerima perubahan dan sekaligus menghormati instrument Hak Asasi Manusia. Disisi yang lain, kami khawatir bahwa kesalahan perlakuan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Myanmar akan memperluas konflik. Pemerintah Myanmar harus menghentikan konflik ini dan melakukan pendekatan damai untuk menghentikan diskriminasi. Kami juga memandang penting ASEAN dan khususnya pemerintah Indonesia dapat menjembatani proses penyelesaian damai terhadap kasus ini. Akibat dari serangkaian konflik dan tindak kekerasan terhadap muslim Rohingya, telah meningkatkan intensitas jumlah pengungsi dan Internally displaced people (IDPs). Mereka menghadapi situasi yang tidak menentu dan beragam ancaman baik dari dalam maupun luar negeri; mengingat upaya mereka untuk mendapatkan suaka ataupun perlindungan politik tidak mendapatkan respon yang baik dari negara tujuan. Semestinya, Myanmar, Bangladesh dan negara ketiga lainnya dalam kasus ini, harus menghormati dan menempatkan Konvensi Internasional untuk pengungsi tahun 1951, sebagai acuan utama untuk berurusan dengan muslim Rohingya. Secara tegas pasal 33 menyebutkan tentang larangan untuk memulangkan paksa pengungsi yang nyata-nyata menghadapi ancaman pembunuhan, kekerasan, penyiksaan dan tindakan kejam lainnya. Untuk itu, kami menyampaikan rekomendasi untuk segera dilakukan upaya konkrit dan strategis dalam kerangka pendekatan damai terhadap kasus ini, berupa ; Pelapor Khusus PBBB untuk Myanmar, Mr. TOMAS OJEA QUINTANA, harus memastikan perlindungan dan perlakuan yang baik terhadap para korban dan pengungsi serta pencari suaka akibat peristiwa ini Komisi HAM ASEAN (AICHR), dengan kewenangan dan fungsi yang ada harus segera membuat laporan kondisi di Rohingya Sekjen ASEAN dan segenap anggota ASEAN harus secepatnya mengambil peran dan intervensi kemanusiaan untuk menghentikan kasus ini dan terlibat aktif dalam upaya penempatan kembali serta pencarian solusi yang mengedepankan nilai-nilai Hak Asasi Manusia Pemerintah Indonesia, secara khusus Kementrian Luar Negeri RI harus mengambil langkahlangkah nyata; berupa lobby kepada pemerintah Myanmar untuk menghentikan tindak kekerasan, perlakuan diskriminatif dan penolakan terhadap status kewarganegaraan muslim Rohingya.
REPUBLIKA.CO.ID, YANGOON -- Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi mendapat kecaman keras atas aksi diamnya terhadap pembantaian Muslim Rohingya. Suu Kyi diduga khawatir akan kehilangan dukungan bagi partainya dalam pemilu 2015, jika memberi mendukung pada Rohingya. Beberapa analis mengatakan, kelambanan Suu Kyi terhadap kasus Rohingya bermotif politik. Sebab Liga Nasional Demokrasi berencana maju pada pemilihan umum di Myanmar 2015 mendatang. Analis

mengatakan, Suu Kyi takut bahwa apabila ia mendukung minoritas Muslim Rohingya akan membahayakan bagi kampanyenya. Peraih Nobel Perdamaian Suu Kyi selama ini menolak berbicara mengenai pelanggaran yang dilakukan militer Myanmar pada Rohingya. Padahal Muslim Rohingya digambarkan oleh PBB sebagai salah satu kelompok paling teraniaya di dunia. Ironisnya, kasus Rohingya meruak beberapa hari setelah Suu Kyi menerima hadiah perdamaian. Suu Kyi justru mengatakan pada wartawan, ia tak mengetahui apakah Rohingya termasuk orang Myanmar atau tidak. Suu Kyi awalnya terkenal sebagai sosok pembela Hak Asasi Manusia karena telah melalui tahun-tahun panjang di penjara dan isolasi. Kini ia dituduh mengabaikan masalah manusia yang paling mendesak di Myanmar. Direktur eksekutif Kampanye Burma di Inggris, Anna Roberts mengatakan, ia kecewa akan sikap Suu Kyi yang tidak transparan menghadapi kasus Muslim Rohingya di Myanmar. "Ini mengecewakan, dia berada dalam posisi sulit, tetapi orang telah kecewa dengan sikapnya," ujar dia. Sementara Direktur Human Rights Watch Asia, Brad Adams mengatakan, Suu Kyi melewatkan kesempatan baik ini. "Ini semua meledak ketika ia melakukan perjalanan di Eropa dan ia tak mau menghadapinya," ujar dia. Suu Kyi berada di bawah kecaman saat ia menolak mengkritik kebijakan Presiden Thein Sein. Seperti diberitakan sebelumnya, Thein Sein mendukung kebijakan pembersihan etnis terhadap minoritas Muslim di Myanmar. Pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai bagian dari Myanmar. Laporan mengatakan, 650 Muslim Rohingya tewas dalam kekerasan pada 28 Juni lalu di wilayah Rakhine. Sementara itu, 1200 lainnya hilang dan 80 ribu lainnya terlantar.

Muslim Rohingya merupakan etnis paling teraniaya di dunia selain rakyat Palestina tentunya yang masih ada dalam jajahan Zionis Israel. Pemberitaan mengenai pembantaian Muslim Rohingya mulai ramai di media-media sejak Juni 2012 lalu dan merupakan awal terkuaknya penderitaan yang sudah mendarah daging sejak puluhan tahun lamanya. Lalu mengapa umat Muslim Rohingya dibenci dan dibantai ? Pembantaian dan pengusiran etnis Muslim di Rohingya merupakan suatu keadaan konflik yang terakumulasi dalam zaman. Konflik-konflik kecil ini terjadi sejak perang dunia kedua (PD II), antara tahun 1939 hingga 1945. Beberapa faktor yang menyejarahkan kebencian terhadap etnis yang tidak diakui dimana-mana ini bisa dijabarkan dalam beberapa peristiwa yang terekam dalam media. Pertama, saat PD II tengah bergejolak, banyak masyarakat Rohingya yang hijrah ke Bangladesh. Etnis Rohingya hidup di perbatasan Myanmar-Bangladesh dan merupakan masyarakat Muslim minoritas, sehingga masyarakat non muslim bisa mengusir masyarakat muslim ke Bangladesh.

Namun, semenjak Bangladesh mendapatkan kemerdekaan sendiri, rezim yang memimpin saat itu tidak mau menerima Muslim Rohingya dan tidak peduli tentangnya. Kedua, konflik kecil yang bergulir seiring waktu berjalan, pola pemerintahan di Myanmar pun berubah. Pada 2005, terjadi pertarungan minyak dan gas bumi di Myanmar yang pada saat itu dipimpin oleh rezim otoriter militer. Pihak asing yang melobi rezim pemerintah mulai melakukan kelicikan dan berlanjut dalam kehidupan sosial masyarakat Rohingya yang memang telah memiliki konflik kecil bertahun-tahun sebelumnya, hingga diskriminasi atas masyarakat Muslim pun semakin menjadi. Ketiga, spekulasi yang beredar di antara masyarakat Myanmar sendiri mengenai etnis minoritas Muslim Rohingya telah membuat konflik itu makin hari makin membesar. Masyarakat Myanmar tidak pernah mengakui Muslim Rohingya sebagai bagian dari penduduk mereka. Sebaliknya, mereka menyebut kaum minoritas itu sebagai pendatang haram dari Bangladesh. Dan spekulasi lainnya yang berupa penolakan terhadap keberadaan etnis Muslim Rohingya. Keempat, kasus-kasus kecil sehari-hari yang bersinggungan antara penganut Budha dan Muslim yang menjadi kasus antar agama, pada akhirnya berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat Rohingya. Salah satunya seperti yang terjadi pada Juni 2012 yang merupakan klimaks dari pertentangan antara Budha dan Islam, dimana 300 orang Budha yang menghadang bus yang ditumpangi pihak Muslim. Bukan hanya cekcok mulut yang terjadi, tapi juga pembantaian 10 orang Muslim di tempat. Kekerasan pun antara kedua belah pihak terjadi sampai hari ini, di mana minoritas Muslim yang tidak bersalah banyak menjadi korban pembataian, termasuk anak-anak. Kelima, faktor ini merupakan faktor paling dasar yang menjadi pertentangan di antara masyarakat Myanmar dan warga Muslim Rohingya yang bisa dilihat dari faktor-faktor sebelumnya seperti faktor perbedaan agama yang tidak bisa diterima oleh masyarakat Budha sendiri. Masyarakat Muslim Rohingya yang hanya merupakan 4% dari penduduk Myanmar kini mengalami penindasan dan pengusiran dari negaranya sendiri. Muslim Rohingya yang hendak berhijrah pun tidak diterima oleh Bangladesh maupun Birma. Hal ini tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Muslim sendiri, karena setiap harinya masyarakat Muslim disana mengalami diskriminasi dan penindasan dari masyarakat Budha setempat. Seperti kasus yang pernah terjadi, di mana seorang gadis muslim berumur 7 tahun yang sedang bermain bersama temannya ditabrak oleh penduduk setempat yang beragama Budha dengan kendaraan bermotor. Hingga rumah sakit setempat pun tidak menerima korban tabrak lari itu, hanya karena gadis tersebut seorang Muslim. Pembantaian dan pengusiran etnish Rakhine atau Muslim Rohingya masih terus berlanjut dan belum mendapatkan perhatian yang signifikan dari kaum Muslimin lainnya dibelahan bumi ini. Lalu, sampai kapan kita akan membiarkan Muslim Rohingya terus tertindas ? Mari berbuat walau sekedar berkirim doa untuk mereka. Jangan sampai Allah meminta pertanggungjawaban pada kita karena kita diam dan tak peduli terhadap sesama Muslim.(P03/R2).

*Redaktur Kantor Berita Mi'raj News Agency (MINA) REPUBLIKA.CO.ID,YANGON -- Pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi mengutuk keputusan dari pemerintah lokal di negara bagian Rakhine yang memaksakan kebijakan dua anak bagi warga muslim Rohingya. Kebijakan tersebut sudah ada sejak 1994, namun otoritas setempat baru-baru ini memaksakan itu di wilayah dimana ada tingkat kelahiran tinggi. Wilayah itu juga dikenal memiliki ketegangan antar umat yang tinggi. Ketegangan tersebut membuat bentrokan antara Budha dan Muslim di wilayah barat pekan lalu. Suu Kyi juga mendapat kritik karena tidak bersikap dalam menanggapi hak-hak Rohingya. Puluhan ribu warga Muslim Rohingya menjadi pengungsi karena kekerasan yang terus terjadi. Komisi yang menginvestigasi kasus kekerasan di Rakhine menilai keluarga berencana digunakan untuk menekan pertumbuhan populasi warga. Pada SAbtu lalu, kebijakan dua anak dikenalkan di dua kota, Maung Daw dan Bu Thi Daung. Tidak jelas bagaimana hal itu dipaksakan. Suu Kyi mengatakan tidak dapat mengonfirmasi apakah kebijakan tersebut diterapkan, tetapi jika benar, maka hal itu ilegal."Diskriminasi ini tidak baik. Dan, ini juga tidak sejalan dengan hak asasi manusia," ujarnya dilansir BBC. Human Right Watch menuduh otoritas Myanmar ambil bagian dalam pembersihan etnis selama Juni dan Oktober tahun lalu. Kekerasan itu telah menewaskan 200 orang dan 14 ribu orang mengungsi. Rohingya merupakan komunitas tanpa negara yang terdiri dari 800 ribu orang dan tidak dikenal sebagai warga Myanmar.

Anda mungkin juga menyukai