Anda di halaman 1dari 3

OPLET BUNTUNG, THE HERO Untuk mencapai dusun itu kita musti naik oplet dari Balerejo ke Kaliangkrik.

Dan oplet itu, alangkah indahnya! Buntung, buruk, coreng-moreng, tanpa nomer, me nggeram sepanjang jalan-jalan rnendaki yang curam dan memanjang. Orang bertumpuk berjejal bahkan berkeleweren di ekornya. Ibu-ibu bakul, Bapak-bapak, anak-anak, orang-orang perkasa yang bekerja amat keras dan punya nyali besar untuk menghad api kesengsaraan hidup. Alangkah besar jasa oplet buntung ini. Itu rahmat yang bukan main besar dan mega h dibanding teknologi transportasi di zaman Majapahit atau Mataram. Dan itu amat membantu kemudahan hidup mereka. Kemudian baru kita naik ojek, untuk menaki jalanan berbatu-batu yang Iebih curam lagi dan berkelok-kelok. Pembangunan amat sukar untuk mampir di daerah-daarah seperti itu, kecuali bila d i dusun-dusun itu terdapat sumber tambang emas. Yang amat gampang dijumpai adala h pembangunan: Dua anak cukup, B3B, bebas tiga buta, tertulis di pintu-pintu rum ah. Tetapi ada satu dua hal yang insya Allah membuat Anda bersyukur. Manusia-manusia di sini masih amat manusia dibanding manusia manusia kota modern yang terkadang menjadi mesin, terkadang menjadi binatang dan terkadang menjadi setan. Air muka mereka, hubungan sosial mereka, cara mereka menyapa dan memperlakukan kita: sem uanya menunjukkan bahwa mereka amat dekat dengan kita sebagai marusia dan sunggu h-sungguh merupakan manusia yang memperlakukan kita sebagai manusia, Dengan siapa saja Anda ketemu, orang-orang tua, para pemuda maupun anak-anak kec il, selalu menyapa kita dengan dakwah yang mulia: "Pinarak! Pinarak! Saestu pina rak!" -- dan begitu Anda rnemasuki rumah, apa pun saja yang mampu mereka suguhka n pasti mereka suguhkan. Di desa seperti itu tidak mungkin ada gelandangan. Kalau Anda inendapat kesulita n, semua orang yang mengetahui akan terlibat mengusahakan pertolongan untuk Anda . Tapi kita sudah telanjur berpendapat bahwa mereka itu golongan manusia yang terb elakang. Under developed. Karena mereka tidak produktif seperti mesin, tidak hau s dan kejam seperti binatang, dan tidak licik seperti setan. (Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan) -----------------------CITA-CITA SUCI "SI DIA" Di Jakarta, pusat kemajuan Indonesia, terdapatlah seorang wanita bintang seks ya ng cukup terkenal. la seorang foto model dan bintang film yang dianugerahi Tuhan wajah cantik dan tubuh indah. Rupanya ia tidak 'egois': anugerah itu tak dipaka inya sendiri atau tak dipersembahkan hanya buat suaminya tercinta. la 'mendermak annya' kepada sebanyak mungkin orang, dengan cara membuka dan memaparkan keindah annya itu di depan kamera. Berkat 'kedermawatian'-nya itu, ia pun memperoleh uang dan kekayaan yang jauh me lebihi kebanyakan penduduk negerinya. Itu, tentu saja, bukan berita aneh. Bahkan 'bukan berita'. Sebab kita sudah terb iasa memadukan baik dengan buruk secara harmonis. Kita mampu mengiklankan "buday a timur" sambil melanggarnya. Kita sanggup mempidatokan Ketuhanan Yang Maha Esa justru untuk melanggar-Nya. Kita ahli bicara soal film yang kultural edukatif sa mbil memproduksi barang jualan yang kurang beradab dan tak mendidik. Dunia jahil iah sudah mendarah daging, sehingga makin tdak terasa. Yang menjadi berita adaiah bagaimana bintang seks kita itu mendidik putrinya. De ngan sadar ia menggiring anak kinasihnya untuk mengikuii jejaknya. Ia bahkan ban gga. Tahun ini sang putri berumur 16. Berbagai fotonya dengan pakaian yang justru men onjolkan bentuk tubuhnya yang amat merangsang telah mulai terpampang di beberapa media massa cetak. Sang putri ini sangat cerdas bagaimana mewarisi semangat ibu nya, dan sudah canggih bikin pernyataan kepada wartawan: "Saya sudah siap melaku kan adegan-adegan panas. Memang saya mengambil pengalaman dari yang Ibu lakukan, tapi saya ingin menjadi diri sendiri." Maksudnya, ternyata, "Saya ingin tampil lebih hangat. Tapi juga ditunjang oleh k

emampuan akting. Kalau soal buka-buka pakaian di depan 'camera sih soal gampang, tapi bagaimana menentukan pose dan akting yang pas, itu yang harus saya pelajar i." Kenapa hal ini rnenjadi berita? Karena, biasanya, pelacur yang paling pelacur pun tak menginginkan anaknya jadi pelacur. "Biarlah saya rusak, tapi anak saya harus jadi orang balk-balk" biasany a demikian pelacur bersikap. Bahkan ada pelacur yang dengan sadar melacurkan dir i demi membiayai proses kemajuan anaknya menuju masa depan yang balk. Pelacur bi asanya punya cita-cita luhur bagi anak-anaknya. Ia menjadi pelacur tidak karena keyakinan atau hobinya, tetapi karena keterpepetan untuk menjadi semacam martir. Jadi apa yang kita jumpai pada bintang seks kita di atas, adalah gejala yang ber beda. Saya menduga itu bukan hanya fenomena psikologis melainkan lebih dari itu: ia ad alah munculan dari gejala peradaban yang lebih luas dan makin merata. Merata. Masuk kampung kita. RK dan RT kita. Lantas rumah kita. Sementara itu kita sibuk mempertengkarkan apakah huruf alif sebaiknya ditulis lu rus atau sedikit bengkok. (Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok) --------------------------------Kelugasan Madura vs CV Politik Pribadi Orang Madura, juga serius dan lugu dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan sesu atu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya. Kalau ia megungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang begitu lah muatan yang ada dalam bathinnya. Dan itulah perbedaan utama dengan misalnya, orang Jawa dan politisi. Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik --mengatakan "Ya", jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia dengar kan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia masih menyimp an "tidak" di ruang dalam bathin mereka atau minimal dalam gumpalan mondolan bla ngkon kepala mereka ; tidak usah terkejut, apabila ia tetap menyimpan 'tidak' it u sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidakmenentuan "ya" dan "tidak" mereka bisa d isebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan atas Anda. Politisi bisanya kan juga begitu. "Ya" dan "tidak"-nya politisi bergantung kepad a titik proyeksi yang diarahkannya, atau kepada tingkat konsesi yang diam-diam d itergetkan. Politisi yang saya maksud bukanlah pejuang nilai atau pejuang demokr asi atau pejuang harkat kerakyatan di jalur politik, melainkan ia yang memperjua ngkan keperluan pribadinya di dalam struktur kekuasaan politik, di mana demokras i dan kedaulatan rakyat adalah alat produksi atau komoditas dari CV Politik Prib adi yang didirikannya. Sedangkan orang Madura, meskipun pasti tidak semua, relatif berbeda. Kalau ia mengucapkan sesuatu, biasanya karena memang demikianlah isi hati pikira nnya. Kalau ia mengungkapkan sikap tertentu kepada Anda, biasanya karena memang begitulah muatan batinnya. Memang mungkin juga sih, kita bisa menemukan orang Ma dura yang bisa kita kasih uang sekedar sepuluh ribu rupiah untuk ikut unjuk rasa yang kita rekayasa buat mempertahankan bupati dari jabatannya, meskipun kesalah an Pak Bupati sudah sangat ironis, memalukan dan menyangkut nyawa sejumlah rakya tnya sendiri. Namun juga tidak sukar Anda menemukan seorang Kyai lokal Madura umpamanya, berka ta di depan bupati : "Anno, Pak Bagus, tolong Pak Bupati jelaskan semua rencana pembangunan maupun pr oyek yang sedang berlangsung, rancangan dan konsepnya bagaimana, biayanya berapa , pengeluarannya untuk apa saja, ada kecelakaan atau tidak, dan lain sebagainya. Soalnya uang itu, kalau 'dak salah 'kan uang rakyat. Jadi Pak Bupati harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kalau tidak, kasi han arakyat, Pak. Moso' sudah PJPT kedua begini, rakyat dibiarkan buta huruf terhadap pembangunan. Jangankan terhadap makna pembangunan, lha wong terhadap angka-angka dan manajem ennya saja, buata huruf..." Pak Kyai itu, saya saksikan dengan kepala sendiri, mengucapkan itu dengan wajah

polos dan hampir tanpa ekspresi. Ia begitu bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dan saya sampai detik ini belum sanggup membayangkan bahwa hal seperti itu, mung kin terjadi di Jombang, Klaten atau atmosfir budaya kekuasaan Jawa lainnya. Jawa juga "menguasai" Madura, tetapi di Madura, kebanyakan bupati atau tokoh-tokoh b erwenang lainnya sangat sukar untuk berlaku sebagai "rakyat kecil" sebagaimana P ak Camat bisa dengan gampang berbuat demikian di Jawa. Pada kesempatan lain, saya pernah diundang untuk menghadiri dan sedikit urun bic ara dalam acara khaul seorang kyai besar masa silam yang diperingati hari kewafa tannya dengan pengajian dan tahlilan besar. Terus-terang, biasanya saya sambat dan jengkel oleh bertele-telenya ritus acaraacara yang diselenggarakan oleh komunitas Muslim Indonesia. Bahkan pun jika yang menyelenggarakan adalah "kaum modernis" seperti PMII, HMI d an lain sebagainya. Biasanya, pembawa acara ngomongnya menggunakan bahasa Indone sia sinetron, urutan acara dijejali oleh sangat banyak sambutan yang isinya 90% pura-pura, dan keseluruhannya ditaburi oleh formalisme dan ritualisme yang membo sankan. Lha, di Madura ini, tiba-tiba saja ada santri naik podium, kasih salam, kemudian langsung membacakan ayat-ayat suci Qur'an. Sesudahnya, pembawa acara, yang tida k naik podium, berkata: "Sekarang langsung saja kita persilahkan kepada Cak Nun. .." Sambil naik mimbar, saya mikir-mikir. Alangkah efektif dan efisiennya kawan-kawa n Madura ini. Tapi memang semua yang hadir sejak sebelum berangkat sudah tahu ini acara apa, d alam rangka apa, maknanya kira-kira apa, dan lain sebagainya, sehingga sama seka li tak diperlukan orang-orang harus manggung untuk menjelaskan itu semua. Maka sayapun langsung "nyanyi" dua jam penuh. Namun, di tengah-tengahnya, tampakmoleh saya sejumlah pejabat, berpakaian Safari dan lainnya baju batik panjang. Mereka turut mendengarkan dengan serius, tetapi juga saya mereasakan bahwa ada yang tidak sreg dalam batin mereka. Dan itu saya ketahui sesudah acara, yakni ketika kami ramai-ramai makan siang. Tampaknya ada semacam protes dari wilayah birokrasi, kenapa sambutan yang sudah dipersiapkan capek-capek, tidak diberi kesempatan. Maka saya dengarlah suara ker as dan lugu salah seorang kyai: Lho Pak. Kalau kami diundang ke kantor Kabupaten , kami disuguhi teh botol, dan snack, lantas kami disuruh mendengarkan pengaraha n. Lha sekarang Bapak-bapak ke sini kami sembelihkan kambing-kambing dan ayam. J adi silahkan menikmati keikhlasan kami dan silahkan mendengarkan!" Hendaknya Anda ketahui juga, bahwa hanya di Madura saya menjumpai adegan di mana ketika saya sedang berapi-api bagaikan Nabi Sulaiman yang sedang berpidato di d epan massa jin, mendadak seseorang berdiri dan mengacungkan tangan sambil berter iak: "Cak! Ucapan ayat Sampeyan itu, keliru!" (Emha Ainun Nadjib/"Demokrasi Tolol Saridin" (Folklore Madura)/Zaituna (Progress )/1998/PadhangmBulanNetDok) ---------------------------

Anda mungkin juga menyukai