Anda di halaman 1dari 6

MAHALNYA TERIMA KASIH Sari tak bisa menutupi kegelisahannya.

Wanita paruh baya itu sesekali menengok jam di tangan kirinya. Seakan merasa belum cukup, sambil mengelap keringat dingin di dahinya Sari juga sesekali menengok jam dinding di ruang makannya yang teramat besar. Akhir-akhir ini Sari teramat sensitif terhadap waktu. Meja makannya yang penuh dengan makananmakanan mewah yang disajikan oleh koki di rumahnya mungkin adalah alasannya. Sari ingin segera menikmati hidangan mewah itu, tapi tentu saja tidak sendirian. Wanita sepertinya tak mungkin kuat melahap habis semua hidangan dihadapannya. Selama ini, Sari selalu dikelilingi keluarga besarnya, Andri anak pertamanya serta Dea, putri satu-satunya sekaligus anak keduanya. Mereka berempat, bersama Deni suaminya dulu selalu menghabiskan waktu bersama saat makan malam di ruangan ini, di sekitar waktu yang sama seperti saat ini. Begitulah rutinitas keluarga Sari. Walaupun mereka dianggap sebagai keluarga terpandang dan kaya, namun di malam hari setidaknya mereka bisa bersama. Dan itulah yang selama ini terus menjadi penopang hidupnya. Bahwa sejauh apapun mereka sekeluarga, pada akhirnya mereka akan kembali berkumpul di meja ini, saling bertukar canda dan tawa. Namun beberapa tahun terakhir ini, Sari tak bisa lagi menikmati momen-momen kebersamaan tersebut. Andri anak pertamanya sudah terlebih dahulu meninggalkan rumah ini karena sudah menikah dan memutuskan untuk tinggal di kota tempat istrinya berada. Sedangkan Dea, putri satu-satunya itu kini sedang berkuliah di salah satu kota besar di Indonesia. Kini, tinggallah Sari dan suaminya sebagai penghuni resmi di rumah itu. Walau mereka memiliki banyak pembantu, tetapi tetap saja tak bisa menggantikan atmosfer asli rumah ini. Seramai apapun rumah ini, sebesar apapun rumah ini, tetap saja yang tersisa di hati Sari hanya kesepian. Dan malam ini, di waktu yang seharusnya suaminya sudah pulang dan menyantap makan malam di ruangan ini, masih belum ada tanda-tanda kepulangan Deni, suaminya. Merasa tak lagi bisa menahan kesabarannya, Sari meraih ponselnya, mencoba menghubungi suaminya. Namun, seperti yang ditakutkannya, suaminya tak menjawab. Kegelisahan kembali melanda wanita itu. Apa yang terjadi pada suaminya? Kenapa belum ada kabar apapun? Tak biasanya suaminya terlambat pulang tanpa memberi kabar seperti ini. Sesibuk apapun dirinya, suaminya selalu mengutamakan keluarga diatas segalanya. Dan mungkin itulah salah satu faktor penunjang karir suaminya sehingga kini bisa duduk di salah satu kursi kehormatan negara, sebagai wakil rakyat di pemerintahan. Satu jam.dua jam.makanan di hadapan Sari sudah menjadi dingin. Kalau Sari yang biasa, mungkin sudah menyuruh para pelayannya membereskan makanan-makanan tersebut yang dianggapnya sudah tak layak makan. Namun, Sari sudah tak bisa berpikir jernih, sehingga tampaknya sudah tak bisa lagi

berpikir untuk memberi perintah sepele seperti itu. Sampai seorang pelayan mengambil inisiatif dan meminta izin, dan Sari pun hanya bisa mengangguk pelan menyetujuinya. Pelayan itupun mulai membereskan makanan di ruang makan dengan canggung.Nyonya tak seperti biasanya, begitu yang dipikirkan pelayan itu. Mungkin benar, kini pikiran Sari sedang melayang kemana-mana memikirkan suaminya. Akhirnya, didorong rasa bosan menunggu, juga mungkin tanpa sengaja, Sari menekan tombol menyala pada remote televisinya. Ketika televisi yang menampilkan berita-berita hari ini disajikan di hadapan Sari, perlahan-lahan Sari mengerti. Sari akhirnya tahu apa alasan suaminya terlambat datang malam ini. Tidak, mungkin suaminya sudah tak bisa pulang lagi dengan bebas ke rumah ini. Matanya terpaku tak percaya ketika melihat headline berita di hadapannya. TERSANGKA KORUPSI 100 MILYAR PROYEK GARSA, DENI INDRAYANTO, MALAM INI DICEKAL DI KANTORNYA Sementara itu, di saat yang bersamaan di tempat lain.. Pak Deni.ada telepon untuk anda. Seorang petugas lapangan yang bertugas mengawal Deni ke penjara menyerahkan sebuah ponsel padanya. Siapa yang menelponnya disaat seperti ini? Dan sepenting apa panggilan ini? Bukankah orangorang ini tadi memblokade para wartawan yang mengerubunginya agar tak ada kontak dengan orang lain? Lalu, kenapa sekarang dia diperbolehkan menerima telepon? Pikiran Deni terus dipenuhi berbagai pertanyaan. Istrinya Sari kah yang menelpon? Tidak, pada awal pemeriksaan penetapan dirinya sebagai tersangka, Deni diberitahu kalau untuk beberapa saat keluarganya pun tak boleh menghubunginya. Lantas siapa? Kepalanya makin dipenuhi pertanyaan. Namun, ketika Deni menjawab Halo. Pada ponsel di tangannya, semua misteri di kepalanya lenyap dengan sendirinya. Yang menjawab panggilan Deni adalah suara yang sudah lama dikenalnya. Selamat malam, Deni.aku yang menang tampaknya ya.. ** 40 tahun yang lalu Kenapa Nu???

Deni Indrayanto hanya bisa mengepalkan tinjunya karena kesal. Tak pernah seumur hidup pemuda itu merasa semarah ini. Sedangkan orang yang diteriakinya, Wisnu, hanya membuang pandangan seakan menghiraukannya. Ini sudah keputusanku, Deni..kau sekalipun tak bisa mengubahnya.. Kenapa, Nu? Orang sepertimu bisa saja mengubah negara ini ! Kau seharusnya memilih sekolah hukum atau profesi lain yang bisa mengubah aliran negeri ini! Bukankah kau ingin mengubah negara ini?? Deni makin berapi-api menjelaskan argumennya. Baginya, tindakan sahabatnya Wisnu kali ini sama sekali tak masuk akal. Wisnu yang selalu berada di peringkat teratas di sekolahnya, malah memutuskan untuk masuk ke sekolah persiapan guru ketimbang melanjutkan ke perguruan tinggi. Deni yang menganut prinsip Right Man behind the gun merasa bahwa bakat dan kemampuan Wisnu tak layak untuk berakhir menjadi sekedar guru. Sudah kubilang, Nu.ini sudah.. Jangan bercanda! Deni melabrak Wisnu dan meraih kerah seragamnya. Tubuh Wisnu yang diantara terkejut atau memang tak kuat menahan dorongan tiba-tiba dari Deni, terhempas ke dinding. Kau tahu sekeras apa aku dan teman-teman lain di sekolah ini untuk meraih pendidikan tertinggi?? Untuk menjadi orang penting dan mengubah negeri ini?? Tapi kau.. Ekspresi kemarahan jelas tergambar di mata Deni. Jelas saja, dia seakan merasa terkhianati oleh sahabatnya itu. Wisnu tak menjawab. Hanya menatap dingin sahabatnya itu. Wisnu paham, kata-kata seperti apapun tak akan bisa menembus pikiran keras kepala Deni saat ini. Walau begitu, Wisnu bukan orang yang kaku dalam situasi seperti ini. Setelah menghela napas, Wisnu-pun berkata, Aku sama sekali tak tertarik menjadi orang besar atau orang penting, apalagi mengubah negeri ini. Apa?? Deni tampak terkejut mendengar pengakuan sahabatnya tersebut. Apa yang menjadi motivasi Wisnu, siswa terpintar di sekolahnya, selain menjadi orang yang mengubah negeri ini? Hanya itu yang memenuhi kepala Deni saat itu. Kau boleh saja menjadikan itu sebagai tujuanmu, Deni.tapi maaf, tujuanku berbeda, dan untuk meraih tujuanku, menjadi guru adalah pilihan yang tepat.. Drap! Deni melepaskan genggamannya pada kerah Wisnu. Ketika Wisnu membetulkan posisi kerahnya, Deni kembali bertanya, Hehmemangnya apa tujuanmu Nu? Dengan mimik wajah tenang, dan senyum ringan Wisnu menjawab, Aku.ingin menjadi pahlawan..

** Suara ini.Wisnu??? Deni sama sekali tak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar teman semasa sekolahnya dulu kembali. Sudah lama Deni tak mendengar kabar dari sahabatnya itu. Yaini aku, Wisnu.. jawaban barusan meredakan keraguan Deni, Tampaknya kau sekarang sedang dalam masalah besar ya, Deni? Deni tertegun. Tangannya bergetar, dan keringat dinginnya mengucur dari dahinya. Sebenarnya sebagai sahabat lama, Deni ingin berbincang santai dengan Wisnu, menceritakan hal-hal remeh sehari-hari atau tentang keluarga mereka. Namun, kini Deni sama sekali tak bisa melakukannya. Pria itu sadar, dirinya saat ini tak bisa menghadap sahabatnya tersebut. Rasa malu menghinggapinya. Kasus korupsi yang menimpanya telah mengubah drastis kehidupan Deni. Bukan posisi yang bagus untuk orang yang dulu memarahi Wisnu karena dinilainya tak memaksimalkan potensi. Dirinya merasa tertipu..oleh dirinya sendiri. Kau masih ingat apa yang kukatakan dulu waktu kau memarahiku saat aku bilang ingin jadi pahlawan.? Pertanyaan Wisnu menggema di telinga Deni. Tentu saja pria itu masih ingat percakapannya dengan Wisnu 40 tahun yang lalu itu. Apa maksudmu ingin jadi pahlawan? Aku.ingin jadi guru. Untuk apa? Dengan kemampuanmu..kau bisa jadi apa saja.kau bisa mendapatkan apa saja..kau bisa mengubah negeri ini Itu yang tak kuinginkan.. Eh? Aku tak menginginkan apa-apa.aku tak ingin mengubah negeri ini atau menjadi orang hebat seperti yang kau katakan, Deniyang kuinginkan hanya satu Aku hanya inginmendapatkan ucapan terima kasih.. Wisnu memotong lamunan sesaat Deni saat mencoba mengingat kembali peristiwa 40 tahun yang lalu. Dan seperti yang sudah dia duga, temannya yang pintar itu masih mengingat jelas peristiwa itu.

Dia.memang hebatbegitu pikir Deni. Sekarang, akan kujelaskan kenapa aku memilih untuk menjadi gurumungkin ini salahku juga kenapa kau bisa jadi seperti sekarang, aku minta maaf, Deni. Tidak, bukan.ini bukan salahmu.. Deni mencoba menyangkal pernyataan maaf Wisnu. Negeri inijustru karena negeri ini seperti katamu waktu itu, segalanya ada, semuanya bisa didapatkan, itulah yang aku takutkan Takut.? Ya..aku takut..ketika seseorang sepertiku sudah mencapai derajat tinggi di negeri ini, apakah yang ada nantinya setelah itu? Negeri ini seakan menggoda orang-orangnya untuk terus merangkak ke atas, tapi setelah sampai di atas, apa yang akan kita dapatkan? Apa lagi? Kau sendiri, Deni.apa yang kau lihat setelah menjadi wakil rakyat? Sesaat seperti tersengat listrik, Deni menyadari sesuatu. Apa yang membuatnya hingga terjebak ke lubang seperti ini? Ke sebuah kesalahan yang tak bisa dihapusnya lagi ini? Kini, pria itu sudah tahu jawabannya. Tak ada..setelah aku mencapai semua, setelah aku menjadi orang penting di negeri ini, yang ada di depan mataku hanya kehampaan.. Ya, kehampaan, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dirasakan Deni. Pria yang sudah mencapai puncak karirnya. Memiliki keluarga besar, kekayaan mewah, segalanya yang dibutuhkan sudah ada. Lantas apa? Apa lagi yang mesti dia dapat? Mungkin Deni terjerat kasus kali ini karena hasrat barunya itu. Sudah kubilang bukan? Aku menjadi guru karena ingin mendapat ucapan terima kasih.. Terima kasih? Ya.diberi ucapan tulus seperti itu dari murid-muridmu, bukankah dapat menenangkan jiwa? Yang ingin kukatakan adalah, orang-orang di tingkat atas negeri ini masih belum bisa mengungkapkan terima kasih seperti anak-anak sekolah itu,mereka seakan lupa akan orang-orang dibawah mereka, orangorang seperti itu, bukanlah pahlawan.. Wisnu.. Aku berpikir untuk mencari jawabannya dengan terus hidup sebagai guru, dengan menjadi guru aku berharap diselamatkan dengan terus terikat dengan orang-orang di kalangan bawah, tapi aku malah ketagihan dan bertahan sampai sekarang, akhirnya aku dapat bermacam-macam murid, penjaga yang mengawalmu sekarang juga termasuk murid didikku lo. Deni menoleh pada penjaga disebelahnya yang hanya memberi sinyal dengan jempol tangannya. Sekarang dia mengerti alasan kenapa penjaga itu memperbolehkan dirinya menerima telepon.

Maafkan aku, Deni.kalau saja waktu itu aku memberitahumu alasanku.. Tidak, ini bukan salahmu, Wisnu. Deni. Sekarang aku sudah tahu kesalahanku, tinggal menebus kesalahanku dan memulai segalanya lagi dari awal.

Anda mungkin juga menyukai