Anda di halaman 1dari 4

1

Oleh. Zulfan Taufik Sejak Bangsa Indonesia resmi melakukan reformasi dari keoriterian Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, santer terdengar di mana-mana berita tentang kekerasan atas nama agama, dan seakan hal tersebut sudah lazim menjadi langganan di media cetak maupun elektronik mulai dari pertikaian di Ambon, Poso, Lombok dan yang paling gress saat ini adalah kasus Ahmadiyah. Pemukulan, pembakaran tempat ibadah, teror, pengucilan, semua itu harus diterima oleh kelompok Ahmadiyah karena mereka dianggap telah meyimpang dari ajaran Islam. Dan sangat disayangkan bahwa semua kekerasan itu semakin menjadi-jadi setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) mengeluarkan stempel sesat dan pelarangan terhadap semua aktivitas Ahmadiyah. Pengeluaran stempel sesat dan pelarangan yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia dan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan masyarakat (Bakorpakem) tersebut menuai pro dan kontra dalam masyarakat. Sebagian orang menilai sudah sepantasnya Ahmadiyah itu dilarang karena sesat menyesatkan dari ajaran Islam yang hakiki dan meresahkan dalam masyarakat, namun sebagian yang lain mengecam keras keputusan tersebut karena menganggap setiap individu masyarakat berhak untuk meyakini suatu ajaran dan Negara sudah sepatutnya menjamin kebebasan warga negaranya untuk beribadah dan memeluk agama dan kepercayaanya masing-masing. Indonesia yang dulu selalu digambarkan sebagai negara dengan pemeluk agama yang toleran kini sirna sudah, pertikaian atas nama agama dan penindasan terhadap kelompok minoritas sudah sangat sering terjadi di Negara tercinta ini. Sampai kapan semua ini akan berakhir? Bagaikan mimpi buruk yang tak bertepi melihat masyarakat kita saling hantam karena berbeda pendapat dan keyakinan.

Diikut sertakan dalam Lomba Penulisan Essay Se-FDI 2008, yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah (BEM FDI). Mahasiswa FDI semester 6.

Kontroversi Ahmadiyah Menurut sudut pandang umum umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap telah melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yaitu Isa al-Masih dan Imam Mahdi setelah Nabi Muhammad, hal tersebut tentu saja bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir walaupun masih menunggu kedatangan Isa al Masih dan Imam Mahdi. Ahmadiyah mengatakan/menafsirkan hadits Nabi tentang makna khatamun nabiyyin adalah Nabi termulia, bukan penutup atau akhir para nabi. Jadi menurut mereka masih ada nabi yang diutus oleh Allah setelah wafatnya Nabi Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Di samping keyakinan yang mengatakan ada nabi setelah Nabi Muhammad, yang membuat kebanyakan ulama menyatakan kesesatan Ahmadiyah adalah mereka mempunyai kitab suci sendiri yaitu kitab suci Tadzkirah, yang merupakan Alquran yang ditambahi beberapa surat. Selain itu, Ahmadiyah juga mempunyai tempat suci tersendiri untuk melakukan ibadah haji. Para pendakwah Ahmadiyah sering mengelak dan berkilah dari konsep kenabian Mirza. Sebab, jika di awal mereka terang-terangan mengakui kenabian Mirza, maka akan mudah lawan-lawan Ahmadiyah menyerangnya dan mengatakannya sesat, di luar Islam, maka aliran ini akan sulit mendapatkan simpati dan pengikut. Ahmadiyah memproklamirkan dirinya sebagai bagian dari beragamnya aliran dalam pemikiran keagamaan Islam, mereka mengaku bahwa mereka adalah aliran Islam yang bertujuan untuk meremajakan moral Islam dan nilai-nilai spiritual sama hal kedudukannya seperti aliran-aliran lain yang ada dalam Islam. Akan tetapi yang menjadi duri tajam bagi ummat Islam pada umumnya adalah bahwa Ahmadiyah telah berbeda dari ajaran Islam di taraf ushuliyahnya bukan furuiyah seperti aliran-aliran keislaman yang lain. Perlindungan Hukum Konstitusi Pelarangan seluruh aktivitas yang berbau ahmadiyah dan tuntutan pembubaran yang marak belakangan ini oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan masyarakat (BakorPakem) dan ormas-ormas

keislaman terhadap Ahmadiyah, pada dasarnya telah melanggar aturan konstitusi yang ada di Indonesia. Apalagi kalau sampai terjadi tindakan-tindakan kekerasan, pembakaran dan pelanggaran hak-hak orang lain, maka Negara harus bertindak karena telah masuk dalam ranah pidana. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 jelas berbunyi bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menjalankan agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing, dan juga dalam Undang-Undang seperti UU 39/1999 dan UU 12/2005 menyatakan bahwa setiap warga negara berkedudukan sama dan setara di depan hukum dan pemerintahan. Kelompok-kelompok yang kontra terhadap MUI dan BakorPakem terutama dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) berusaha mendesak Presiden untuk memerintahkan aparat di bawah jajarannya untuk menaati konstitusi dan UU tentang Perlindungan Kebebasan Beragama, termasuk kebebasan menafsir dan mengamalkan ajaran agama sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya. Mereka juga mendesak Presiden agar memerintahkan aparat di bawah jajarannya untuk melindungi Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan aset-aset yang dimilikinya dari segala bentuk tindak kekerasan dan gangguan keamanan lainnya.

Aliansi ini mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku kekerasan dan perusakan yang telah menyerang, mengancam, menganiaya anggota JAI, merusak aset-aset JAI di berbagai wilayah Indonesia. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, menilai persoalan agama lebih baik dikembalikan kepada internal agama dan pemerintah lebih baik jangan ikut campur. "Tetapi, kalau ada kekerasan, barulah pemerintah melindunginya," katanya. Sebuah Penutup Seperti kata pepatah (adigium) yang masyhur terdengar, Bak buah simalakama. Begitulah keadaan yang harus dihadapi oleh pemerintah, benar-benar dalam posisi serba sulit. Jika memilih opsi untuk membubarkan Ahmadiyah tentu bakal menuai protes dunia internasional sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Dan jika memilih membiarkan Ahmadiyah tetap hidup juga sulit karena gelombang protes menuntut pembubaran Ahmadiyah seperti tiada henti.

Kasus

Ahmadiyah adalah kasus yang menyangkut kepentingan masyarakat

luas, untuk itu kita harus cermat dan lebih mengedepankan akal sehat dibanding emosi dan body dalam penyelesaiannya. Dalam semua agama yang ada di dunia, sangat mendorong para pemeluknya untuk toleransi dan jalan kedamaian dalam penyelesaian segala urusan. Apalagi Islam yang jelas-jelas menyatakan dalam al-Quran: wa jaadilhum billati hiya ahsan, (dan bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik). Untuk sebuah jalan keluar dalam penyelesaian kasus pro kontra Ahmadiyah ini, sebaiknya pemerintah dengan kekuatannya mendekati Ahmadiyah untuk segera menarik keluar Ahmadiyah dari label Islam, agar tidak melukai perasaan keagamaan masyarakat muslim yang merupakan mayoritas di Negara ini. Karena yang menjadi pokok kunci permasalahannya adalah ikrar keislaman Ahmadiyah dengan perubahan pokok ajaran dan doktrin dalam Islam. Hal tersebut seperti yang berlaku di Pakistan, parlemen Pakistan telah mendeklarasikan pengikut Ahmadiyah sebagai non-muslim Dan Pada tahun 1974, pemerintah Pakistan merevisi konstitusinya tentang definisi Muslim, yaitu "orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Penganut Ahmadiyah, baik Qadian maupun Lahore, dibolehkah menjalankan kepercayaannya di Pakistan, namun harus mengaku sebagai agama tersendiri di luar Islam.

Wallahu Alam.

Anda mungkin juga menyukai