Anda di halaman 1dari 9

PERJUANGAN IBU FATMAWATI

Oleh: Nana Sutrisna 15111086 3KA42

Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer & Teknologi Informasi Universitas Gunadarma 2013

PERJUANGAN IBU FATMAWATI

Oleh: Nana Sutrisna 15111086 3KA42

Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer & Teknologi Informasi Universitas Gunadarma 2013

PERJUANGAN IBU FATMAWATI

A. Lahirnya Seorang Pejuang Wanita Sejati Orang boleh beranggapan, bahwa bengkulu masih tergolong wilayah periferal (wilayah pinggiran) yang dianggap jauh dari arus aktifitas kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Akan tetapi sejarah telah membutktikan, bahwa di Bengkulu inilah telah banyak melahirkan tokoh-tokoh patriotik yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah Nasional. Dan di Bengkulu inilah telah dilahirkan seorang anak perempuan yang ternyata dikelak kemudian hari menjadi seorang ibu negara (first lady) Republik Indonesia, dan terlibat langsung dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Di tengah-tengah merebaknya semangat patriotik serta bergolaknya pergerakan nasional, telah lahir seorang anak perempuan yang manis, tepatnya pada hari Senin, jam 12.00 (WIB) pada tanggal 5 Februari 1923, di sebuah rumah bergandeng di kampung Pasar Malabero, Bengkulu. Oleh orang tuanya, diberilah nama Fatmawati, yang mengandung arti, Bunga Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Sebetulnya ayahnya telah menyiapkan dua nama untuk anaknya yang akan lahir, yaitu Fatmawati dan Siti Djubaidah. Namun kemudian nama Fatmawati itulah yang diambilnya. Ayahnya, Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga bekerja di Borsumij (Borneo - Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada salah satu alternatif pilihan, beliau memilih keluar dari Borsumij, dan lebih memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.

B. Masa Remaja Pada umumnya, kehidupan keluarga sangat berpengaruh terhadap masa kecil seseorang. Demikian juga Fatmawati. Sosialisai dan Jati-diri yang Matang Di tengah merebaknya gelombang pergerakan rakyat Indonesia yang telah dibuat sadar karena ulah kaum kolonialis. Bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam masa remaja seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah mampu membentuk karakter Fatmawati, menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya. Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan ngaji belajar agama (membaca dan menulis Al-quran) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930. Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan seharihari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bahkan di usia yang masih remaja, atau kalau boleh dibilang masih anak-anak, Fatmawati telah mengalami pencerahan yang cukup matang sehingga mampu melampaui batasbatas nilai kapasitas umumnya anak remaja. Bersekolah sambil berjualan untuk membantu meringankan beban orang tuanya, menunggu warung, serta berobat sendiri ke rumah sakit, merupakan bukti diri akan semangat kemandirian serta rasa percaya diri yang matang, dan untuk ukuran usia yang baru menginjak tujuh tahun itu sangat mengagumkan. Bahkan salah seorang dari keluarga ibunya sempat geleng-geleng kepala karena dibikin kagum, sambil berkata: Tema (panggilan akrabnya) tu anak yang pemberani nian, seorang ajo nyo pai ke rumah sakit, idaknyo takut-takut jo dokter).

C. Prinsip Anti Poligami. Antara masa sekolah dan masa perjuangan seringkali begitu akrab bergumul dalam entitas waktu. Oleh karenanya, tidaklah menyurutkan semangat bagi seorang Fatmawati ketika harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan Muhammadiyah di Bengkulu. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman tersebut justru semakin menempa mentalitas kejuangannya. Terlebih setelah mengenal Bung Karno sebagai gurunya (yang kemudian menjadi kekasihnya), Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati. Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosiokulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja. Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga rasa emphaty terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.

D. Berjuang di tengah Api Revolusi. Setelah menikah secara wali pada bulan Juni 1943, Ibu Fatmawati segera berangkat ke Jakarta tidak sekedar untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri Bung Karno, pemimpin pejuang rakyat Indonesia, tetapi juga ikut berperan aktif, bergabung bersama para tokoh pejuang nasional lainnya untuk membela Nusa dan Bangsanya. Bahkan Bung Karno selaku pemimpin pejuang tidak ragu-ragu untuk sering meminta pendapat maupun pertimbangan mengenai langkah-langkah perjuangannya. Ketika Ibu Fatmawati ikut hadir pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia), dan usai menyaksikan pidatonya Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dikemudian hari dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila itu, secara reflektif beliau memprediksikan angannya: Inilah nantinya yang akan diterima oleh majelis, dan serasa seakan Indonesia Merdeka pada hari itu sudah terwujud. Di tengah gejolaknya api revolusi, menjelang kemerdekaan (15 Agustus 1945), sekelompok pemuda pejuang bangsa yang tergabung dalam barisan PETA, telah memaksa Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera meninggalkan kota Jakarta menuju ke Rengasdengklok. Dan dalam situasi yang kritis itu, Ibu Fatmawati dengan semangat reflektif, sambil menggendong anak pertamanya Moh.Guntur yang masih bayi, segera mengayunkan langkah juangnya mengikuti kedua tokoh pejuang bangsa bersama beberapa anggota PETA menuju Rengasdengklok.

E. Ibu Fatmawati dan Sang Saka Merah Putih. Perjuangan bangsa Indonesia pada akhirnya telah mencapai titik kulminasi, yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, 56 Jakarta, oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dan bendera Merah Putih pun segera berkibar sebagai wujud simbolis terhadap kebebasan bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya sendiri. Lalu, siapakah di antara sekian ratus bahkan sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia yang telah memikirkan tentang arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan bangsa ? Dan kenyataannya selama ini belum pernah ada klaim dari

salah seorang pejuang yang mengaku telah mempersiapkan sebuah bendera untuk Kemerdekaan Indonesia, kecuali Ibu Fatmawati. Atas dasar petikan tersebut di atas, cukuplah jelas, bahwa buah refleksi pemikiran perjuangan Ibu Fatmawati ternyata telah mampu melampaui batasbatas pemikiran para pejuang bangsa pada umumnya. Karena Ibu Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu setengah tahun yang lalu. Dan di sinilah sebuah fakta telah berbicara, bahwa Ibu Fatmawati tidak sekedar berperan sebagai penjahit sebuah bendera pusaka, sebagaimana yang hanya dipahami oleh para generasi masa sekarang. Akan tetapi jiwa dan semangat juang yang telah diperankan beliau terasa sangat jauh dan sangat mendalam. Maka sungguhlah amat sulit untuk mengukur secara konkrit betapa besarnya jiwa kepahlawanan yang telah beliau sumbangkan kepada Nusa dan Bangsa Indonesia.

F. Perjuangan Ibu Fatmawati dalam Perang Gerilya. Semenjak diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gejolak api revolusi semakin membara. Meskipun mendapat rintangan keras dari bala tentara Jepang maupun tentara Sekutu, para pejuang bangsa Indonesia tetap bertekad bulat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan bangsanya, dan tidak tidak miris sedikitpun menghadapi kaum imperialis dan kolonialis. Oleh karena situasi keamanan di ibukota Jakarta hingga akhir tahun 1946 dianggap sangat membahayakan, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden dan Wakil Republik Indonesia memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta demi keselamatan para pemimpin bangsa maupun pemerintahan Republik Indonesia (30 Tahun Indonesia Merdeka I, 1985:79). Dan sebagai ibu negara, tentu saja Ibu Fatmawati sekeluarga ikut hijrah ke Yogya, meskipun harus melewati pagar berduri. Selama di Yogya, Ibu Fatmawati tidak saja berperan sebagai pengatur rumah tangga kepresidenan yang setiap saat harus melayani dan menjamu para pejuang yang sering datang hilir mudik. Bahkan beliau tidak segan-segan pernah pergi sendiri tanpa pengawal berbelanja ke pasar (hlm.133). Di samping itu,

beliau juga sering mendampingi Presiden ke daerah-daerah baik Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat, untuk memberikan wejangan-wejangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan sekali-kali, beliau dimintai langsung oleh rakyat Ceribon untuk tampil di mimbar. Ketika terjadi clash II (19 Desember 1948), ibukota Yogyakarta diserang oleh tentara Belanda, Presiden dan Wakil Presiden ditawan dan selanjutnya di terbangkan ke Bangka (30 tahun Indonesia Merdeka, 1985:191-192). Sementara itu, Ibu Fatmawati sekeluarga, dan keluarga Hatta, serta beberapa menteri, ajudan, maupun sekretarisnya, diizinkan tetap tinggal di Gedung Kepresidenan Yogya sebagai tawanan. Namun tidak lama lagi, seluruh tawanan termasuk Ibu Fatmawati sekeluarga segera diusirnya. Selanjutnya Ibu Fatmawati sekeluarga pindah ke rumah kosong di Batanawarsa, dekat Kali Code. Meskipun pasukan Belanda sering mengawasi rumah yang ditempati oleh beliau, tetapi beliau masih tetap menjalin kontak dengan para pejuang yang bergerilya. Secara sembunyisembunyi beliau membantu mengirim perbekalan para pejuang yang bergerilya baik berupa makanan, maupun pakaian. Bahkan beliau pernah menyerahkan beberapa butir pelor yang ditemukan di halamannya untuk diserahkan kepada gerilyawan. Di samping itu, beliau juga membagikan makanan kepada para istri pejuang yang ditinggal bergerilya. Biarpun bunga teratai telah membangkai, kenangan harumnya takkan sirna, biarlah peristiwa itu telah terlupa, tapi fakta tetap bicara

Hikmah yang dapat di ambil dari kisah Perjuangan IBU FATMAWATI

Atas dasar petikan di atas, jelaslah bahwa buah refleksi pemikiran perjuangan Ibu Fatmawati ternyata telah mampu melampaui batas-batas pemikiran para pejuang bangsa pada umumnya. Karena Ibu Fatmawati telah menyiapkan bendera merah putih selama satu setengah tahun yang lalu. Ibu Fatmawati tidak sekedar berperan sebagai penjahit sebuah bendera pusaka, sebagaimana yang hanya dipahami oleh para generasi masa sekarang. Akan tetapi jiwa dan semangat juang yang telah diperankan beliau terasa sangat jauh dan sangat mendalam. Maka sungguhlah amat sulit untuk mengukur secara konkrit betapa besarnya jiwa kepahlawanan yang telah beliau sumbangkan kepada nusa dan bangsa Indonesia. Dan sikapnya terhadap prinsip antipoligami yang ada bahkan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai