DASAR-DASAR EPIDEMILOGI
SKRINING
DISUSUN OLEH :
1. TRI PANCA TITIS A
NPM. 02.12.000.712
2. WALID ATTORIK
NPM 03.13.000.092
3. IQBAL MINAWIR
NPM. 04.13.000.115
4. PAHRUL P
NPM. 04.13.000.116
NPM.04.13.000.119
6. AGUNG PERMADI
NPM 04.13.000.117
2013
PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayatNya, penulis dapat menyelesaikan Makalah Skrining.
Tujuan penulisan makalah yaitu untuk memenuhi salah satu tugas semester I Tahun
Akademik 2013/2014 di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
memberikan bantuan selama penulisan makalah ini hingga selesai. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Pak Rahmat SKM sebagai Dosen Mata Kuliah Dasar- Dasar Epidemilogi Semester I.
2. Rekan-rekan mahasiswa jalur non reguler, reguler, D3 ASKES dan MPRS yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini dan pihak lain yang penulis tidak bisa
sebutkan satu persatu.
Akhir kata, saya berharap mendapatkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Masyarakat.
Wassalamualaikum wr.wb
Penulis
Pengertian skrining
Skrining adalah pemeriksaan orang-orang asimptomatik untuk mengklasifikasikan
mereka kedalam kategori yang diperkirakan mengidap atau diperkirakan tidak mengidap
penyakit (as likely or unlikely to have the disease) yang menjadi objek skrining
Contoh uji skrining antara lain yaitu pemeriksaan rontgen, pemeriksaan sitologi, dan
pemeriksaan tekanan darah. Uji skrining tidaklah bersifat diagnostik. Orang-orang dengan
temuan positif atau8 mencurigakan harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan
pengobatannya
Tujuan skrining
Tujuan skrining adalah untuk mengurangi mordibitas atau mortalitas dari penyakit
dengan pengobatan dini terhadap kasus-kasus yang ditemukan program diagnosis dan
pengobatan dini hampir selalu diarahkan kepada penyakit tidak menular, seperti kanker,
diabetes melittus, glaukoma dan lain-lain. Dalam skala tingkatan prevalensi penyakit, deteksi
dan pengobatan dini ini termasuk dalam tingkatan prevalensi sekunder
Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini ini dimaksudkan mengidentifikasi
orang-orang asimptomatik yang beresiko mengidap gangguan kesehatan serius. Dalam
konteks ini, penyakit adalah setiap karakteristik anatomi (misal kanker atau hiperlipidemia)
fisiologi (misalnya hipertensi atau hiperlipidemi) ataupun perilaku (misalnya kebiasaan
merokok) yang berkaitan dengan peningkatan gangguan kesehatan yang serius ataupun
kematian
AWITAN
DETEKSI BIASA
Tidak ada
penyakit
Penyakit
asimptomatik
PREVENSI
PRIMER
SEKUNDER
Hilangkan
deteksi dini dan
faktor resiko pengobatan
perjalanan
klinis
TERSIER
kurangi
komplikasi
Selain pengertian skrining yang dikaitkan dengan diagnosis dan pengobatan dini ini,
istilah skrining mungkin punya pengertian lain yaitu :
1. Rangkaian pengujian yang dilakukan terhadap pasien simptomatik yang diagnosisnya
belum dapat dipastikan
2. Agen kimiawi dapat diskrining dengan pengujian laboratorium atau surveilance
epidemiologi untuk mengidentifikasikan zat-zat yang diperkirakan bersifat toksis
3. Prosedur skrining dapat digunakan untuk mengestimasi prevalensi berbagai kondisi
tanpa bertujuan untuk pengendalian penyakit dalam waktu dekat
4. Skrining adalah pengidentifikasian orang yang beresiko tinggi terhadap suatu
penyakit
Setelah menentukan kondisi medis yang akan dicari, uji skrining dapat dilaksanakan
dalam bentuk :
1. Pertanyaan anamnesis seperti, apakah anda merokok?
2. Bagian pemeriksaan fisik, misalnya pemeriksaan klinis payudara
3. Prosedur, misalnya sigmoidoskopi
4. Uji laboratorium, misalnya pemeriksaan Ht
Kriteria bagi uji skrining yang baik menyangkut antara lain :
1. Senstifitas dan spesifitas
2. Sederhana dan biaya murah
3. Aman
4. Dapat diterima oleh pasien dan klinikus
Efek skrining
Jika pengobatan dini tidak berpengaruh terhadap perjalanan penyakit, usia saat terjadi
stadium lanjut penyakit atau kematian tidak akan berubah, walaupun ada perolehan lead time,
yaitu periode dari saat deteksi penyakit (dengan skrining) sampai dengan saat diagnosis
seharusnya dibuat jika tidak ada skrining
Contoh pada diagram berikut diperlihatkan fase subklinis perjalanan penyakit sebuah
hipotesis karsinoma kolon. Kanker bermula pada usia 25 tahun. Kasus akan terdeteksi pada
usia 53,5 tahun jika skrining dilakukan, namun tanpa skrining diagnosis baru akaln dibuat
pada usia 55 tahun ketika pasien mencari pertolongan medis karena perdasarhan intestinal.
Periode selama 1,5 tahun antara usia 53,5 tahun dan 55 tahun ini dinamakan interval lead
time.
Kanker mulai
massa diam. 1 cm
Perdarahan intestinal
Awal metastasir awal
Titik penemuan jika
pasien mencari
pertolongan medis
Skrining dilakukan karena perdarahan intestinal
dan diagnosa dibuat
a. Skrining tidak dilakukan, diagnosis dibuat pada titik B, sakit parah terjadi
pada titik C, dan kematian karena penyakit pada titik D.
b. Skrining dilakukan, deteksi terjadi lebih awal pada titik B, tetapi efek
pengobatan dini tidak ada sehingga sakit parah tetap terjadi pada titik D.
c. Skrining dilakukan manfaat pengobatan dini mengakibatkan tertundanya
sakit parah dan kematian karena penyakit
d. Skrining dilakukan, pengobatan dini bermanfaat sehingga sakit parah dan
kematian karena penyakit tidak terjadi sama sekali
Uji diagnostik
Uji diagnostik adalah uji yang digunakan untuk membantu penentuan diagnosis
pasien dalam keadaan ketidakpastian. Penentuan diagnosis pasien sendiri seringkali baru
dapat dilakukan setelah melalui berbagai uji diagnostik. Walaupun ada yang mengartikan uji
diagnostik sebagai pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium, dalam laporan epidemiologi
klinik prinsip-prinsip uji diagnostik berlaku bagi seluruh informasi klinis yang diperoleh
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang lainnya
UJI
Positif
Negatif
PENYAKIT
ADA
TIDAK ADA
Positif Benar
Positif Palsu
Negatif Palsu
Negatif Benar
Hubungan antara hasil suatu uji diagnostik dengan keberadaan penyakti yang diperiksanya
diperlihatkan pada tabel diatas
Tidak ada uji diagnostik yang sempurna, dalam arti bahwa jika hasil ujinya positif,
subjek yang menjalani uji pasti menderita penyakit yang diperiksa, sebaliknya jika hasil
ujinya negatif, subjek yang bersangkutan pasti bebas dari penyakit yang diperiksa
Kualitas suatu uji diagnostik dinilai dengan dua parameter, yaitu sensitivitas dan
spesifitas (lihat tabel dibawah ini) kedua parameter ini memiliki nilai yang konstan, yaitu
(diharapkan) bernilai sama dimanapun uji dilakukan. Selain itu ada pula kuantitas yang
dinamakan nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Kedua kuantitas terakhir memiliki
nilai yang berbeda jika uji dilakukan di tempat-tempat dengan prevalensi penyakit yang tidak
sama
UJI
Positif
Negatif
ADA
A
C
Penyakit
TIDAK ADA
b
d
Sensitivitas (Se)
Spesifitas (Sp)
Nilai prediksi positif (PV+) : proporsi yang sakit diantara yang hasil ujinya positif
Nilai prediksi negatif (PV-) : proporsi yang tidak sakit diantara yang hasil ujinya negatif
Rasio likelihood positif (LR+) : Sensitivitas
I-spesifisitas
Contoh :
Misalkan dimiliki data diagnosis klinik faringitis streptokokus berserta hasil kultur
tenggoroknya pada 149 pasien. Pada tabel tersebut sekaligus diperlihatkan cara perhitungan
sensitivitas,spesifitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, rasio
likehood positif,dan rasio likehood negatif
Streptokokus hemolitikus
dalam kultur tenggorok
ADA
TIDAK
ADA
27
35
10
77
Total
Diagnosis klinik
YA
62
faringitis
TIDAK
87
streptokokus
Total
37
112
149
PV (+) = 27 X 100% = 44%
62
PV (-) = 77 X 100% = 88%
87
Se
= 27 X 100% = 73%
37
Sp
= 77 X 100% = 69%
112
P
= 37 X 100% = 24%
149
LR (+) = 27/37
= 2,3
35/112
LR (-) = 10/37
= 0,39
77/112
Pada contoh diatas diperlihatkan bahwa prevalensi penyakit antara kelompok pasien
yang diperiksa sangat berpengaruh terhadap nilai prediksinya, baik positif maupun negatif.
Pada tabel diatas diperlihatkan hasil pemeriksaan kreatin kinase sebagai uji diagnostik untuk
penyakit miokard infark terhadap: (a) pasien di unit perawatan jantung serta (b) seluruh
pasien rumah sakit tersebut
Hasil tes
CK
Positif
Negatif
Jumlah
Miokard infark
ada
Tidak ada
215 16
15
114
230 130
Jumlah
231
129
360
Hasil tes
CK
Positif
Negatif
Jumlah
Miokard infark
ada
Tidak
ada
215
16
15
114
230
130
Jumlah
231
129
360
Sedangkan spesifitas adalah proporsi negatif benar di antara yang tidak sakit :
Sp
= 114 = 1822 = 88%
130 2070
Prevalensi pada unit perawatan jantung adalah :
Pa
= 230 = 64%
360
Sedangkan prevalensi diantara seluruh pasien rumah sakit adalah :
Pb
= 230 = 10%
2300
Selanjutnya diperlihatkan hasil perhitungan nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, rasio
likelihood positif, dan rasio likelihood negatif pada tabel dibawah ini
PV+
PV-
(Pa= 64%)
215 = 93%
231
114 = 88%
129
(Pb = 10%)
215 = 46%
463
1822 = 99%
1837
LR+
(215/230) = 7,60
(16/130)
(15/230) = 0,07
(114/130)
LR-
(215/230) = 7,80
(248/2070)
(15/230) = 0,07
(1822/2070)
Pada tabel diatas tampak bahwa perbedaan prevalensi ini menyebabkan penurunan
nilai prediksi positif untuk seluruh rumah sakit menjadi 46%, berarti diantara tiap 100 orang
yang hasil pemeriksaan kreatin kinase-nya positif, hanya 46 orang yang benar-benar
menderita miokard infark. Sebaliknya, nilai-nilai rasio likelihood yang hanya ditentukan oleh
sensitivitas dan spesifisitas uji diagnostik praktis tidak dipengaruhi oleh perubahan
prevalensi.
UJI GANDA
Dalam keadaan tertentu, misalnya dibutuhkan uji dengan sensitivitas (atau
spesifisitas) tinggi, namun yang tersedia adalah lebih dari pada satu uji dengan sensitivitas
(atau spesifisitas) rendah, dapat dilakukan uji ganda (mutiple test). Pengujian ganda dengan
dua atau lebih uji diagnostik dapat dilakukan secara serial ataupun pararel
Pada uji pararel, subjek menjalani dua atau lebih uji sekaligus. Hasil uji ganda
dianggap positif. Sebaliknya pada uji serial, tiap uji lanjutan hanya akan dikerjakan apabila
hasil uji terdahulu positif. Hasil uji ganda baru akan dikatakan positif jika seluruh uji yang
dijalani
memberi hasil positif. Uji serial akan meningkatkan spesifisitas, tetapi menurunkan
Uji serial
Uji A dan sebaliknya
Uji B dan uji
Uji pararel
C positif
sensitivitas,
meningkatkan sensitivitas, namun menurunkan spesifisitas.
SENSITIVITAS
SPESIFISITAS
UJI PARAREL
B
UJI AA atau +
UJI B atau
UJI +
C positif
C
+
A
B
C
SENSITIVITAS
SPESIFISITAS
+
+
+
Pada tabel diatas diperlihatkan data hipotesis dua uji diagonstik A dan B berserta uji
gandanya. Uji A memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 60%, sedangkan uji B memiliki
sensitivitas 90% dan spesifisitas 90%
Tabel pengujian pararel dan serial terhadap sensitivitas, spesivisitas dan nilai prediksi
uji ganda
UJI
Se(%)
Sp (%)
Pv +(%)
Pv (%)
A
80
60
33
92
B
90
90
69
97
A atau B (pararel)
98
54
35
99
A dan B(serial)
72
96
82
93