Anda di halaman 1dari 21

Secara garis besar perkembangan hematopoiesis dibagi dalam 3 periode: 1) Hematopoiesis yolk sac (megaloblastik atau primitif)

Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2 -3 minggu setelah fertilisasi. Mula-mula terbentuk dalam blood island yang merupakan pelopor dari sistem vaskuler dan hemopoiesis. Selanjutnya sel eritroid dan megakariosit dapat diidentifikasikan dalam yolk sac pada masa gestasi 16 hari. Sel induk primitif hematopoiesis berasal dari sel mesoderm mempunyai respon terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoietin, IL-3, IL-6 dan faktor stem. Sel induk hematopoiesis (blood borne pluripotent hematopoietic progenitors) mulai berkelompok dalam hati janin pada masa gestasi 5 -6 minggu dan pada masa gestasi 8 minggu blood island mengalami regresi.

2)

Hematopoiesis hati (definitif)

Hematopoiesis hati berasal dari sel stem pluripotent yang berpindah dari yolk sac. Perubahan tempat hematopoiesis dari yolk sac ke hati dan kemudian sumsum tulang mempunyai hubungan dengan regulasi perkembangan oleh lingkungan mikro, produksi sitokin dan komponen merangsang adhesi dari matriks ekstraseluler, dan ekspresi pada reseptor. Pada masa gestasi 9 minggu, hematopoiesis sudah terbentuk dalam hati. Hematopoiesis dalam hati yang terutama adalah eritropoiesis, walaupun masih ditemukan sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoiesis hati mencapai puncaknya pada masa gestasi 4 -5 bulan kemudian mengalami regresi perlahan-lahan. Pada massa pertengahan kehamilan, tampak pelopor hematopoietik terdapat di limpa, thimus, kelenjar limfe dan ginjal.

3)

Hematopoiesis medular

Merupakan priode terakhir pembentukan sistem hematopoiesis dan dimulai sejak masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan tulang panjang dengan proses reabsorpsi. Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang diisi jaringan hematopoietik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel darah. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil alih oleh sumsum tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah lagi. Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah menjadi kurang, tetapi tetap ada dlaam susmsum tulang, ahti, limpa, kelenjar getah bening dan dinding usus, dikenal sebagai sistem retikuloendotelial. Hematopoiesis bermula dari suatu sel induk pluripoten bersama, yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah. Diferensiasi sel terjadi dari sel induk menjadi jalur eritroid, granulositik, dan jalur lain melalui progenitor hemopoietik terikat (commitedhaemopoietic progenitor) yang terbatas dalam potensi perkembangannya. Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua sel darah normal dianggap berasal dari satu sel induk pluripotensial dengan kemampuan bermitosis. Sel induk dapat berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel induk mieloid yang menjadi sel-sel progenitor. Diferensiasi terjadi pada keadaan terdapat faktor perangsang koloni, seperti eritropoietin untuk pembentukan eritropoiesis ddan G-CSF untuk pembentukan leukosit. Sel progenitor mengadakan diferensiasi melalui satu jalan. Melalui serangkaian pembelahan dan pematangan, sel-sel ini menjadi sel dewasa tertentu yang beredar dalam darah.

Hemopoiesis merupakan pembentukan sel-sel darah dari immatur menjadi matur dimana terjadi proliferasi dan diferensiasi sel-sel progenitor yang membentuk komponen sel darah oleh stem sel (sel induk). Proses Hematopoiesis dalam sumsum tulang dinamakan Hematopoiesis Intramedullar, sedangkan hematopoiesis di luar sumsum tulang juga dapat terjadi dalam keadaan patologis dan dinamakan Hematopoiesis Ekstramedullaer. Sel stem primitif yang umum dalam sumsum memiliki kemampuan untuk bereplikasi, berproliferasi dab berdiferensiasi sendiri menjadi sel progenitor yang semakin terspesialisasi, setelah mengalami banyak pembelahan sel dalam sumsum, dan kemudian membentuk sel matur (Sel darah merah, granulosit, monosit, trombosit dan limfosit).

Hemopoiesis bermula dari suatu sel induk prulipoten bersama, yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah. Fenotip sel induk manusia yang tepat belum diketahui, tetapi pada uji imunologik, sel ini adalah CD34+, CD38- dan tampak seperti limfosit kecil atau sedang. Diferensiasi sel terjadi dari sel induk menjadi jalur eritroid, granulositik, dan jalur lain melalui progenitor hemopoietik terikat yang terbatas dalam potensi perkembangannya. Adanya berbagai sel progenitor yang berbeda dapat ditunjukkan melalui teknik biakan in vitro. Progenitor yang sangat dini diperiksa dengan melakukan biakan pada stroma sumsum tulang sebagai sel pemula biakan jangka panjang, sedangkan progenitor lanjut biasanya diperiksa pada media semi padat. Salah satu contohnya adalah prekursor mieloid campuran yang terdeteksi paling dini, yang menyebabkan timbulnya granulosit, eritrosit, monosit, dan megakriosit, dan dinamakan CFU (colony forming unit / unit pembentuk koloni pada media biakan agar) -GEMM. Sumsum tulang juga merupakan tempat asal utama limfosit dan terdapat bukti adanya sel prekursor sistem mieloid dan limfoid. FAKTOR MAJOR BIOLOGICAL ACTIVITIES IN VIVO Erythropoietin (Epo) Menstimulasi eritropoiesis GM CSF Menstimulasi granulopoiesis dan produksi makrofag G CSF Menstimulasi granulopoiesis dan proliferasi dari beberapa sel leukimia M CSF Menstimulasi produksi makrofag IL-3 (Multi CSF) Menstimulasi granulosit, monosit, eusinofil, sel eritroit, megakariosit dan produksi mast sel Thrombopoietin Menstimulai thrombopoiesis 1. ERYTHROPOIESIS

Prekursor sel darah merah yang dapat dikenali paling awal adalah pronormoblas. Maturasi stage : Stem cell Pronormoblast Basophilic Normoblast Polychromatophilic normoblast Ortochromatophilic normoblast retikulosit Sel darah merah matur. 2. GRANULOPOIESIS

Prekursor granulosit yang dikenali paling awal adalah Promielosit. Maturasi Stage : Myeloblast Promyelocyte Myelocyte Metamyelocyte Band form Matur PMN granulosit. 3. LYMPHOCYTOPOIESIS

Maturasi Stage : Pre T cell (Thymic Lymphoblast) Early thymocyte (Large Cortical Thymocyte) Intermediate Thymocyte (Small Cortical Thymocyte) Late Thymocyte (Medullary Thymocyte) Mature T Cell.

4.

THROMBOPOIESIS

Maturasi Stage : Pluripotential stem cell CFU Meg Megakariosit Megakariosit maturasi Platelet Shading.

1.

METABOLISME SEL DARAH

ERITROSIT Untuk mengangkut hemoglobin agar berkontak erat dengan jaringan dan agar pertukaran gas berhasil, eritrosit yang berdiameter 8 m harus dapat secara berulang melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 m, untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan tereduksi (ferro) dan untuk mempertahankan keseimbangan osmotik walaupun konsentrasi protein (hemoglobin) tinggi di dalam sel. Perjalanan secara keseluruhan selama masa hidupnya yang 120 hari diperkirakan sepanjang 480 km (300 mil). Untuk memenuhi fungsinya ini, eritrosit adalah cakram bikonkaf yang fleksibel dengan kemampuan menghasilkan energi sebagai adenosin trifosfat (ATP) melalui jalur glikolisis anaerob (Embden -Meyerhof) dan menghasilkan kekuatan pereduksi sebagai NADH melalui jalur ini serta sebagai nikotinamida adenin dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) melalui jalur pintas heksosa monofosfat (hexose monophosphate shunt). Metabolisme eritrosit dapat melalui dua jalur, yaitu : a. Jalur Embden-Meyerhof Dalam rangkaian reaksi biokimia ini, glukosa di metabolisme menjadi laktat. Untuk tiap molekul glukosa yang dipakai, dihasilkan dua molekul ATP dan dengan demikian dihasilkan dua ikatan fosfat energi tinggi. ATP menyediakan energi tinggi untuk mempertahankan volume, bentuk, dan kelenturan eritrosit. Eritrosit mempunyai tekanan osmotik lima kali lipat plasma dan adanya kelemahan intrinsik membran menyebabkan pergerakan Na+ dan K+ yang terjadi terus menerus. Diperlukan pompa natrium ATPase membran dan pompa ini menggunakan satu molekul ATP untuk mengeluarkan 3 ion natrium dari sel dan memasukkan dua ion kalium ke dalam sel. Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan oleh enzim methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin (hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri (dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin tiap hari) menjadi hemoglobin tereduksi yang atif berfungsi 2,3-DPG yang dihasilkan pada pintas Luebering-Rapoport (Luebering-Rapoport shunt), atau jalur samping pada jalur ini membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin yang penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap oksigen. b. Jalur heksosa monofosfat (pentosa fosfat) Sekitar 5% glikolisis terjadi melalui jalur oksidatif ini, dengan perubahan glukosa -6-fosfat menjadi 6fosfoglukonat dan kemudian menjadi ribulosa -5-fosfat. NADPH dihasilkan dan berkaitan dengan glutation yang mempertahankan gugus sulfhidril (SH) tetap utuh dalam sel, termasuk SH dalam hemoglobin dan membran eritrosit. NADPH juga digunakan oleh methemoglobin reduktase lain untuk mempertahankan besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang aktif secara fungsional. Pada salah satu kelainan eritriosit diturunkan yang sering ditemukan (yaitu defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase/G6PD), eritrosit sangat rentan terhadap stres oksidasi. HEMOGLOBIN Fungsi utama eritrosit adalah membawa O2 ke jaringan dan mengembalikan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru. Untuk mencapai pertukaran gas ini, eritrosit mengandung protein khusus yaitu hemoglobin. Tiap eritrosit mengandung sekitar 640 juta molekul hemoglobin. Tiap molekul hemoglobin (Hb) A pada orang dewasa normal (hemoglobin yang dominan dalam darah setelah usia 3 -6 bulan) terdiri atas empat rantai polipeptida 22, masing-masing dengan gugus hemenya sendiri. Berat molekul HbA adalah 68.000. Darah orang dewasa normal juga mengandung dua hemoglobin lain dalam jumlah kecil, yaitu HbF dan HbA2. Keduanya juga mengandung rantai , tetapi secara berurutan, dengan rantai dan , selain rantai . Perubahan utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin dewasa terjadi 3-6 bulan setelah lahir. Sintesis heme erutama terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu asam -aminolevulinat (ALA) sintase. Piridoksal fosfat (vitamin B6) adalah suatu koenzim untuk reaksi ini, yang dirangsang oleh eritropoietin. Akhirnya, protoporfirin bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe2+) untuk membentuk heme, masing-masing molekul heme bergabung dengan satu rantai globin yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer yang terdiri dari empat rantai globin masing -masing dengan gugus hemenya sendiri dalam suatu kantung kemudian dibentuk untuk menyusun suatu molekul hemoglobin.

2.

PATOMEKANISNE GEJALA GEJALA

a. Hubungan serangga dengan gejala Serangga merupakan mahluk hidup yang mempunyai racun dalam tubuhnya. Racun tersebut dapat masuk kedalam tubuh manusia lewat jalur topical (permukaan tubuh), racun tersebut dapat menyebabkan luka, sakit, dan kematian organisme, biasanya dengan reaksi kimia atau aktivitas lainnya dalam skala molekul di dalam tubuh. b. Patomekanisme mata kuning (ikterus)

Pengertian Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh yang menyebabkan warna kuning pada jaringan yang disebabkan oleh kelebihan kadar bilirubin di dalam plasma dan cairan ekstra seluler. Dapat dideteksi pada membran mukosa dan sklera (bagian mata yang putih), kulit atau kemih yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2 sampai 3 mg/100 ml. Metabolisme Bilirubin Normal Sekitar 80 % - 85 % bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam sistem monosit - makrofag. Massa hidup rata rata eritrosit 120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 50 ml darah dan menghasilkan 250 350 mg bilirubin. Sekitar 15 20 % pigmen empedu total tidak bergantung pada mekanisme ini, tapi berasal dari destruksi sel eritrosit matur dari sumsum tulang ( hematopoiesis tak efektif ) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati. Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi pada limpa), globin mula -mula dipisahkan dari heme, setelah itu heme diubah menjadi beliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian dibentuk dari biliverdin. Biliverdin adalah pigmen kehijauan yang dibentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat diekskresi dalam empedu atau urine. Bilirubin tak terkonjugasi berikatan dengan albumindalam suatu kompleks larut-air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung dalam tiga langkah : ambilan, konjugasi, dan ekskresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati, yaitu yang diberi simbol sebagai protein Y dan Z. Konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat dikatalisis oleh enzim glukoronil transferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak, tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urine. Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transpor bilirubin terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak diekskresikan ke dalam empedu, kecuali setelah proses foto-oksidasi atau fotoisomerisasi. Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilnogen. Zat zat ini yang menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10 hingga 20% urobinilogen mengalami siklus interohipatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam urine. Pembentukan Bilirubin Berlebihan Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikteus yang timbul sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini dapat meningkatkan bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Meskipun demikian, pada penderita hemolitik berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/dl dan ikterus yang timbul bersifat ringan serta berwarna kuning pucat. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat diekskrsikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan eksresi dalam feses dan urin. Urin dan feses berwarna lebbih gelap. Beberapa penyebab lazim ikterus hemoltik adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal (sferositosis herediter), antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh atau tranfusi atau akibat penyakit auto imun), pemberian beberapa obat dan peningkatan hemolisis. Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat disebabkan oleh suatu proses yang disebut sebagai eritropoisis yang tidak efektif. Proses ini meningkatkan destruksi eritrosit atau prekursornya dalam sum sum tulang (talasemia, anemia pernisiosa dan porfiria).

Patomekanisme hyperbilirubinemia sehingga terjadi ikterus : pembentukkan bilirubin yang berlebihan peningkatan kecepatan desktruksi sel darah merah merupakan penyebab utama dari pembentukan blirubin yang berlebihan. Ikterus yang sering timbul disebut ikterus hemolitik. Konyugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonyugasi melampaui kemampuan hati. Gangguan Pengambilan Bilirubin pengambilan bilirubin yang tak terkonyugasi yang terikat albumin oleh sel -sel hati dilakukan dengan cara memisahkannya albumin dan mengikatkannya pada protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel -sel hati: asam flavaspidat(di pakai untuk mengobati cacing pita),novobiosin, dan beberapa zat pewarna kolesisfografik. Hiperbilirubinemia tak terkonyugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab dihentikan. Gangguan Konyugasi Bilirubin hiperbilirubinemia yang tak terkonyugasi yang berlebihan ( < 12,9 mg/ 100 mL) yang mulai terjadi pada hari kedua sampe kelima lahir disebut ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu kedua, dan setelah itu ikterus biasa. 1. HUBUNGAN LEMAH TERHADAP SKENARIO

Lemah terjadi akibat menurunnya eritosit dan hemoglobin dalam darah. Hemoglobin bertugas untuk menyuplai oksigen ke tubuh. Akibat dari berkurnagnya hemboglobin maka oksigen juga ikut berkurang. Berkurangnya oksigen menyebabkan metabolism sel menurun dan terjadinya kompensasi tubuh berupa metabolism anaerob. Hal ini mengurangi pembentukan ATP yang terjadi di dalam tubuh sehingga energy yang terbentuk sedikit. Energy yang sedikit inilah yang menyebabkan kelemahan dapat terjadi. 1. MENGAPA TIDAK DISERTAI DEMAM

Demam merupakan tanda adanya imnflamasi yang terjadi dan tanda adanya perlawanan terhadap antibody terhadap toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia. Etiologi demam untuk scenario ini dapat diketahui dengan melihat etiologi gejala-gejala lain dalam scenario dan hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya demam. Misalnya saja pada gejala mata kuning. Gejala ini terjadi karena adanya kelebihan bilirubin yang terjadi dalam darah. Dimana hal ini terjadi karena adanya destruksi eritrosit yang terjadi sehingga hemoglobin lepas dari ieritrosit. Hemoglobin mengalami hemolisis karena destruksi ini. Destruksi ini terjadi karena cairan toksin yang dilepaskan serangga ke dalam tubuh manusia. Toksin yang pada umumnya ada pada serangga yaitu pteromone yang tersusun dari protein dan zat-zat kimia lain. Apabila hemolisis yang terjadi masih bisa dikompensasi oleh sum-sum tulang maka tidak terjadi anemia. Namun bila terjadi peningkatan destruksi eritrosis akan menyebakan hemolisis yang berlebihan sehingga sum-sum tulang tidak mampu untuk mengkompensasi kebutuhan eritrosit dalam darah. Terjadinya destruksi juga bias terjadi karena antibody menyerang eritrosit sendiri. Antibody di dalam tubuh manusia bekerja karena adanya benda -benda asing di dalam tubuh manusia. Benda- benda asing ini bisa juga merupakan toksin yang masuk melalui sengatan serangga. Namun, gejala demam yang terjadi tidak serta merta saat masuknya toksin tersebut. Namun ada masa inkubasi dari virus yang masuk ked alma tubuh manusia. Contohnya plasmodium vivax pada malaria tersiana yang masa inkubasinya 8 -14 hari. Intinya demam yang terjadi bisa saja terjadi ada kasus ini. Hanya tinggal menunggu masa ketahanan antibodinya (prof.I Made Bakta & Manual of Clinical Hematology). 2. LANGKAH PENEGAKAN DIAGNOSIS Pendekatan diagnostik untuk penderita anemia Untuk menegakkan diagnosis anemia harus ditempuh 3 langkah, yaitu: 1. 2. 3. Membuktikan adanya anemia Menetapkan jenis anemia yang dijumpai Menentukan penyebab anemia tersebut

Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut, dilakukan: 1. Pendekatan klinik

2. 3.

Pendekatan laboratorik Pendekatan epidemiologik

Berikut ada rangkaian langkah untuk menegakkan diagnosis pada kasus -kasus anemia: 1. Anamnesis

Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus ditujukan untuk mengeksplorasi a. b. c. d. e. 2. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. 3. Riwayat penyakit sekarang Riwayat penyakit terdahulu Riwayat gizi Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan fisik serta riwayat pemakaian obat Riwayat keluarga Pemeriksaan fisik Warna kulit : pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti jerami Purpura : Petechie atau echymosis Kuku : koilonychia Mata : ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus Mulut : ulserasi, hypertrophy gusi, pendarahan gusi, atrofi papil, glossitis dan stomatitis angularis Limfadenopati Hepatomegali Splenomegali Nyeri tulang atau nyeri sternum Hemartrosis atau ankilosis sendi Pembengkakan testis Pembengkakan parotis Kelainan sistem saraf Pemeriksaan laboratorium hematologic

a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal setipa kasus anemia. Dengan pemeriksaan ini dapat dipastikan adanya anemia dan morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi kadar hemoglobin, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), RDW, dan apusan darah tepi. b. Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia untuk mengetahui kelainan leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain; LED, hitung differensial, dan hitung retikulosit. c. Pemeriksaan sumsum tulang; pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive walaupun tidak semua memerlukannya. d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika kita telah mempunyai dugaan diagnosis awal dengan tujuan untuk mengkonfirmasi. Pemeriksaan tersebut antara lain: Anemia defisiensi besi : iron serum, TIBC, saturasi transferrin, dan ferritin serum. Anemia megaloblastik: asam folat darah, vitamin B12. Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes Coombs , elekroforesis Hb.

4.

Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia Pemeriksaan laboratorium non hematologik

Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain: faal ginjal, faal endokrin, asam urat, faal hati, biakan kuman dan lain lain. Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan lain-lain. 5. Pemeriksaan penunjang lain

Pada pemeriksaan kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti; a. b. c. d. 3. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi Radiologi Pemeriksaan sitogenik Pemeriksaan biologi molekuler (PCR, FISH dan lain-lain). KLASIFIKASI ANEMIA

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran (makro dan mikro) dan kandungan hemoglobin (kromik).

No Morfologi sel Keterangan Penyebab Jenis anemia 1 Anemia normokromik normositik Penghancuran atau penurunan jumlah eritrosit tanpa di sertai kelainan bentuk dan konsentrasi hemoglobin Kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sum sum tulang, & penyakit-penyakit infiltratif metastasis pd sum sum tulang. a. b. c. d. e. Anemia aplastik Anemia posthemoragik Anemia hemolitik Anemia Sickle Cell Anemia pada penyakit kronis

2.Anemia normokromik makrositik Bentuk eritrosit yang besar dengan konsentrasi hemoglobin yang normal Terganggunya / terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA), serta dapat terjadi pada kemoterapi kanker karena agen-agen mengganggu sintesis DNA a. b. Anemia pernisiosa Anemia defisiensi folat

3.Anemia hipokromik mikrositik Bentuk eritrosit yang kecil dengan konsentrasi hemoglobin yang menurun

Umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme / kekurangan zat besi a. b. c. Anemia defisiensi besi Anemia sideroblastik Thalassemia

Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya, yaitu : 1. Peningkatan hilangnya SDM dan penurunan/kelainan pembentukan sel. Meningkatnya kehilangan SDM dapat di sebabkan oleh: a. Perdarahan di akibatkan dari trauma / ulkus atau akibat perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid / menstruasi. b. Penghancuran SDM (hemolisis) terjadi jika gangguan pada SDM itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsic) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran SDM (kelainan ekstrinsik). Keadaan SDM yang mengalami kelainan bersifat Herediter: 1) 2) 3) 4) 2. hemoglobin abnormal (hemoglobinopati) anemia sel sabit gangguan sintesis globin thalasemia kelainan membrane SDM sferositosis herediter dan eliptositosis defisiensi enzim defisiensi glukosa -6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi piruvat kinase. Berkurangnya / terganggunya produksi SDM (diseritropoiesis)

a. Keganasan jaringan (metastatic, leukemia, limfoma, & myeloma multiple), Pajanan terhadap obat -obat & zat kimia toksik, serta Iradiasi yang dapat mengurangi produksi efektif SDM. b. 4. Penyakit-penyakit kronis (ginjal & hati), serta infeksi dan defisiensi endokrin. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Anemia Hemolitik Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses hemolisis, yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (normal umur eritrosit 100-120 hari). Anemia hemolitik adalah anemia karena hemolisis, kerusakan abnormal sel -sel darah merah (sel darah merah), baik di dalam pembuluh darah (hemolisis intravaskular) atau di tempat lain dalam tubuh (extravascular). Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan karena terjadinya penghancuran darah sehingga umur dari eritrosit pendek ( umur eritrosit normalnya 100 sampai 120 hari). Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah merah (HB) berada di bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi) pada eritrosit yang lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis (pecahnya sel darah merah) ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa mengompensasinya, anemia tidak akan terjadi, keadaan ini disebut anemia terkompensasi. Namun jika terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang tidak mampu menganti keadaan inilah yang disebut anemia hemolitik. Anemia hemolitik sangat berkaitan erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi normal eritrosit akan tetap hidup dan berfungsi baik selama 120 hari, sedang pada penderita anemia hemolitik umur eritrosit hanya beberapa hari saja.

Epidemiologi Sferositosis herediter merupakan anemia hemolitik yang sangat berpengaruh di Eropa Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000 individu. Sferositosis mengenai demua jenis etnis namun pada ras non kaukasian tidak diketahui. Sferositosis herediter paling sering diturunkan secara dominan autosomal. Pada beberapa kasus, sferositosis herediter mungkin disebabkan karena mutasi atau anomali sitogenik.6

Di Amerika, prevalensi eliptospirosis kira -kira 3-5 per 10.000. eliptospirosis paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Eliptospirosis sering terjadi pada daerah dengan endemik malaria. Di Afrika ppada area ekuator, eliptospirosis terjadi sekitar 20,6%. Bentuk lain dari penyakit ini ditemukan pada Asia Tenggara yang ditemukan sekitar 30% darai populasi. Penyakit ini diturunkan secara dominan autosomal.6 Defisiensi G6PD dilaporkan di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi terjadi pada daerah tropis dan subtropis. Telah dilaporkan lebih dari 350 varian. Ada banyak variasi pada expresi klinis pada varian enzim.6 Talasemia merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering terjadi di dunia, sanagt umum terjadi di sepanjang sabuk talasemia yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Gen talasemia sangat luas tersebar dan kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Di beberapa Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi memiliki satu atau lebih gen talasemia. Daerah geografi dimana talasemia merupakan prevalen yang sangat paralel dengan Plasmodium falciparum dulunya merupakan endemik.7 Insiden anemia hemolitik autoimun kira -kira 1 dari 80.000 populasi. Pada perempuan predominan terjadi tipe idiopatik. Tipe sekunder terjadi peningkatan pada umur 45 tahun dimana variasi idiopatik terjadi sepanjang hidup. 6,8 Kelainan hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah eritroblastosis fetalis pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh trnsfer transplasenta antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun. Eritroblastosis fetalis disebut Hemolitik Disease of the Newborn (HDN).9 Etiologi Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu: 1. Golongan dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit sendiri. Umumnya peneyebab hemiolisis ini adalah kelainan bawaan (kongenital). 2. Golongan dengan penyebab hemolisis ekstraseluler. Biasanya penyebabnya merupakan faktor yang di dapat (acquired).3 Gangguan intrakorpuskular (kongenital)

Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan metabolisme dalam eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu: 1) Gangguan pada struktur dinding eritrosit Gangguan pada struktur didnding eritrosit terbagi menjadi: a. Sferositosis

Kelainan kongenital ini sering terjadi pada orang Eropa Barat. Pada penyakit ini umur eritrosit lebih pendek, kecil, bundar dan resistensinya terhadap NaCl hipotonis menjadi rendah. Limpa membesar dan sering terjadi ikterus.jumlah retikulosit menjadi meningkat. Hemolisis diduga disebabkan karena kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala anemia lebih menyolok dibanding ikterus. Kelainan radiologis ditemukan pada anak yang telah lama menderita penyakit ini. 40-80% penderita sferositosis ditemukan kolelitiasis. b. Ovalositosis (eliptositosis)

Pada penyakit ini 50-90% eritrositnya berbentuk oval. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum Mendel. Hemolisis tidak seberat sferositosis. Splenektomi biasanya dapat mengurangi hemolisis.

c.

A-beta lipoproteinemia

Pada penyakit ini terjadi kelainan bentuk eritrosit. Diduga kelainan bentuk ini disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel. d. Gangguan pembentukan nukleotida

Kelainan ini menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada panmielopatia tipe fanconi.

2)

Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit.

Setiap gangguan metabolisme dalam eritrosit akan menyebabkan umur erotrosit menjadi pendek dan timbul anemia hemolitik. a. Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)

Defisiensi G-6PD ditemukan pada berbagai bangsa di dunia. Kekurangan enzim ini menyebabkan glutation tidak tereduksi. Glutation dalam keadaan tereduksi diduga penting untuk melindungi eritrosit dari setiap oksidasi, terutama obat-obatan. Penyakit ini diturunkan secara dominan melalui kromosom X. Proses hemolitik dapat timbul akibat atau pada: Obat-obatan. (asetosal, piramidon, sulfa, obat anti malaria, dll) Memakan kacang babi Bayi baru lahir. b. Defisiensi glutation reduktase

Kadang disertai trombopenia dan leukopenia. c. Defisiensi glutation

Penyakit ini diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan. d. Defisiensi piruvat kinase

Pada bentuk homozigot terjadi lebih berat. Khasnya terjadi peninggian kadar 2,3 difosfogliserat. e. Defisiensi Triose Phosphate Isomerase

Gejala mirip dengan sferositosis, tetapi tidak terdapat fragilitas osmotik dan hasil darah tepi tidak ditemukan sferositosis. Pada keadaan homozigot terjadi lebih berat dan bayi akan meninggal di tahun pertama kehidupannya. f. g. h. Defisiensi Difosfogliserat Mutase Defisiensi heksokinase Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

3) Hemoglobinopatia Hemoglobin orang dewasa normal terdiri dari HbA yang merupakan 98% dari seluruh hemoglobinnya. HbA2 yang tidak lebih dari 2% dan HbF yang tidak lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudianntrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur 1 tahun telah mencapai keadaan normal. Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin yaitu: a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal) misalnya HbS, HbE dan lain-lain.

Kelainan hemoglobin ini ditentukan oleh adanya kelainan genetik yang dapat mengenai HbA, HbA2 atau HbF. Pada penyakit ini terjadi pergantian asam amino dalam rantai polipeptida pada tempat -tempat tertentu atau tidak adanya asam amino atau beberapa asam amino pada tempat-tempat tersebut. Kelainan yang paling sering terjadi pada rantai dan . b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa rantai globin misalnya talasemia.

Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang herediter yang diturunkan secara resesif . Di Indonesia, talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrekorpuskuler. Secara klinis talasemia dibagi menjadi 2 golongan yaitu talasemia mayor (homozigot) yang memberikan gejala klinis yang khas dan talasemia minor yang biasanya tidak memberi gejala.

Gangguan ekstrakorpuskuler (acquired)

Gangguan ini biasanya didapat yang dapat disebabkan oleh: 1. Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin,air), toksin (hemolisin) Streptococcus, virus, malaria, luka bakar. 2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan penghancuran erotrosit. 3. Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya reaksi antigen -antibodi seperti: a) Antagonisme ABO atau inkompatibilitas golongan darah lain seperti Rhesus dan MN

b) Alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, tapi dalam tubuh melekat pada permukaan eritrosityang merangsang pembuatan anti yang kemudian menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis. c) Hemolisis akibat proses autoimun.3

Patogenesis Proses hematopoesis pada embrio janin terjadi diberbagai tempat, termasuk hati, limpa,timus,kelenjar getah bening, dan sumsum tulang. Sejak lahir sepanjang sisa hidupnya terutama di sumsum dan sebagian kecil di kelenjar getah bening. 10 Dalam keadaan normal, sel-sel darah merah yang sudah tua difagositosis oleh sel -sel retikuloendotelial, dan hemoglobin diuraikan menjadi komponen-komponen esensialnya. Besi yang didapat dikembalikan ke transferin untuk pembentukan sel darah merah baru dan asam-asam amino dari bagian globin molekul dikembalikan ke kompartemen asam amino umum. Cincin protoporfirin pada heme diuraikan di jembatan alfa metana dan karbon alfanya dikeluarkan sebagai karbon monoksida melalui ekspirasi. Tetrapirol yang tersisa meninggalkan sel retikuloendotelial sebagai bilirubin indirek dan menjadi hati, tempat zat ini terkonjugasi untuk ekskresi di empedu. Dui usus, biliruin glukoronida diubah menjadi urobilinogen untuk eksresi di tinja dan urin.2,3 Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dan ekstravaskuler. Pada hemolisis intravaskuler, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Sel-sel darah merah juga dapat mengalami hemolisis intravaskuler disertai pembebasan hemoglobin dalam sirkulasi. Tetramer hemoglobin bebas tidak stabil dan cepat terurai menjadi dimer alfa-beta, yang berikatan dengan haptoglobulin dan disingkarkan oleh hati. Hemoglobin juga dapat teroksidasi menjadi methemoglobin dan terurai menjadi gugus globin dan heme. Sampai pada tahap tertentu, heme bebas dapat terikat oleh hemopeksin dan atau albumin untuk selanjutnya dibersihkan oleh hepatosit. Kedua jalur ini membantu tubuh menghemat besi untuk menunjang hematopoiesis. Apabila haptoglobin telah habis dipakai, maka dimer hemoglobinyang tidak terikat akan di eksresikan oleh ginjal sebagai hemoglobin bebas, methemoglobin, atau hemosiderin.2,11 Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskuler. Pada hemolisis ekstravaskuler destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.2 Sejumlah bahan dan kelainan dengan kemampuan dapat merusak eritrosit yang dapat menyebabkan destruksi prematur eritrosit. Di antara yang paling jelas telah di pastikan adalah antibodi yang berikatan dengan anemia hemolitik. Ciri khas penyakit ini adalah dengan uji Coombs direk positif, yang menunjukkan imunoglobulin atau komponen komplemen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Kelainan hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah penyakit hemolitik bayi baru lahir( eritroblastosis fetalis) atau HDN yang disebabkan oleh transfer transplasenta antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun.2 Pada Hemolytic Disease of the Newborn (HDN) sering terjadi ketika ibu dengan Rh( -) mempunyai anak dari seorang pria yang memiliki Rh(+). Ketika Rh bayi (+) seperti ayahnya, masalah dapat terjadi jika sel darah merah si bayi dengan Rh(+) sebagai benda asing. Sistem imun ibu kemudian menyimpan antibodi tersebutketika benda asing itu muncul kembali, bahkan pada saat kehamilan berikutnya. Sekarang Rh ibu terpapar.9 Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal ditujukan kepada eritrosit, tetapi mekanisme patogenesisnya belum jelas. Autoantibodi mungkin dihasilkan oleh respon imun yang tidak serasi terhadap antigen eritrosit. Atau, agen infeksi dapat dengan sesuatu cara mengubah membran eritrosit sehingga menjadi asing atau antigenik terhadap hospes.2

Tanda dan Gejala Klinis Kadang kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di tandai dengan: 1. 2. 3. 4. 5. Demam Mengigil Nyeri punggung dan lambung Perasaan melayang Penurunan tekana darah yang berarti

v Secara mikro dapat menunjukan tanda -tanda yang khas yaitu: 1. Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan hasil pemecahan eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat pada hasil ekskresi yaitu urin dan feses. 2. Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya tidak ada karena hemoglobin terikat pada eritrosit. Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan kedalam plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak dapat diakomodasi seluruhnya oleh sistem keseimbangan darah akan menyebabkan hemoglobinemia. 3. Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih.

4. Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda seperti retikulosit banyak ditemukan. v Gejala umum pada anemia adalah nilai kadar HB <7g/dl, sedang gejala hemolisisnya berupa ikterus (kuning) akibat peningkatan kadar bilirubin indirect dalam darah, pembengkakan limfa (splenomegali), pembengkakan organ hati (hepatomegali) dan kandung batu empedu (kholelitiasis). Tanda dan gejala lebih lanjut sangat tergantung pada penyakit yang menyertai. Penatalaksanaan Orang dengan anemia hemolitik yang ringan mungkin tidak membutuhkan pengobatan khusus selama kondisinya tidak jelek. Seseorang dengan anemia hemolitik berat biasanya membutuhkan pengobatan berkelanjutan. Anemia hemolitik yang berat dapat menjadi fatal jika tidak diobati dengan tepat. Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi: Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah. Meningkatkan jumlah sel darah merah Mengobati penyebab yang mendasari penyakit. Pengobatan tergantung pada tipe, penyebab dan beratnya anemia hemolitik. Dokter mungkin mempertimbangkan umur, kondisi kesehatan dan riwayat kesehatan. 1) Transfusi darah

Transfusi darah digunakan untuk mengobati anemia hemolitik berat. 2) Obat-obatan

Obat-obatan dapat memperbaiki beberapa tipe anemia hemolitik, khususnya anemia hemolitik karena autoimun. Kortikosteroid seperti prednison dapat menekan sistem imun atau membatasi kemampuannya untuk membentuk antibodi terhadap sel darah merah. Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat lain yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin. Jika terjadi anemia sel sabit yang berat maka diberikan hydroxiurea. Obat ini mempercepat pembentukan fetal hemoglobin. Fetal hemoglobin membantu mencegah pembentukan sel sabit pada sel darah merah. 3) Plasmapheresis

Plasmapheresis merupakan prosedur untuk menghilangkan antibodi dari darah. Pengobatan ini mungkin membantu jika pengobatan lain untuk anemia imun tidak bekerja. 4) Operasi

Beberapa oarang dengan anemia hemolitik mungkin memerlukan operasi untuk mengangkat limpa.limpa pada orang normal yang sehat membantu melawan infeksi dan menyaring sel darah yang telah tua dan menghancurkannya. Pembesaaran atau penyakit pada limpa dapat menghilangkan lebih banyak sel darah merah dari jumlah yang normal sehingga menyebabkan anemia. Pengankatan limpa dapat menghentikan atau menurunkan jumlah sel darah merah yang mengalami destruksi. 5) Transpalantasi stem sel darah dan sumsum tulang belakang

Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk dapat dihancurkan sebelum waktunya. Transplantasi darah dan sumsum tulang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis anemia hemolitik ini.transplantasi ini mengganti stem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat dari donor. 6) Perubahan pola hidup

Jika seseorang menderita anemia hemolitik dengan antibodi reaktif terhadap dingin, coab untuk hindari temperatur dingin. Seseorang yang lahir dengan defisiensi G6PD harus menghindari hal yang dapat mencetuskan anemia misalnya fava beans, naftalena, dan obat-obatan tertentu. Prognosis Prospek anemia hemolitik tergantung pada penyebabnya dan tingkat keparahan. Kesehatan yang mendasari orang yang terkena juga mempengaruhi prognosis. Kasus yang disebabkan oleh obat -obatan atau infeksi biasanya hilang dengan cepat. Orang dengan anemia hemolitik autoimun biasanya merespon dengan baik terhadap pengobatan. Prospek bagi penderita anemia hemolitik diwariskan tergantung pada jenis penyakit warisan dan beratnya. Anemia Defisiensi Besi Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel -sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk selsel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi. Menurut Evatt, anemia Defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin.Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia, karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil. Dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh, maka defisiensi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu : a. Iron depleted state, yaitu cadanagn besi menururn, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. b. Iron deficient erythropoiesis, yaitu cadangan besi kosong penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. c. Iron deficiency anemia, yaitu cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi. Epidemiologi Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30 40%, pada anak sekolah 25 35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 5,55%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah.

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia. Martoatmojo et al memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27%. Etiologi Penyebab Anemia Defisiensi Besi adalah : 1. Asupan zat besi Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi bahan makananan yang kurang beragam dengan menu makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik jumlah maupun kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan.

2. Penyerapan zat besi Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap sangat tergantung dari jenis zat besi dan bahan makanan yang dapat menghambat dan meningkatkan penyerapan besi.

3. Kebutuhan meningkat Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi, anakanak, remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada kasus -kasus pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit.

4. Kehilangan zat besi Kehilangan zat besi melalui saluran pencernaan, kulit dan urin disebut kehilangan zat besi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besi basal juga kehilangan zat besi melalui menstruasi. Di samping itu kehilangan zat besi disebabkan pendarahan oleh infeksi cacing di dalam usus.

Patogenesis Patogenesis anemia defisiensi besi dimulai ketika cadangan besi dalam tubuh habis yang ditandai dengan menurunnya kadar feritin yang diikuti juga oleh saturasi transferin dan besi serum. Penurunan saturasi transferin disebabkan tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga apotransferin yang dibentuk hati menurun dan tidak terjadi pengikatan dengan besi sehingga transferin yang terbentuk juga sedikit. Sedangkan total iron binding protein (TIBC) atau kapasitas mengikat besi total yang dilakukan oleh transferin mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga transferin berusaha mengikat besi dari manapun dengan meningkatkan kapasitasnya. Dalam tubuh manusia, sintesis eritrosit atau eritropoesis terus berlangsung dengan memerlukan besi yang akan berikatan dengan protoporfirin untuk membentuk heme. Pada anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga heme yang terbentuk hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin yang dibentuk juga berkurang. Dengan berkurangnya Hb yang terbentuk, eritrosit pun mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration) < 32%. Sedangkan protoporfirin terus dibentuk eritrosit sehingga pada anemia defisiensi besi, protoporfirin eritrosit bebas (FEP) meningkat. Hal ini dapat menjadi indikator dini sensitif adanya defisiensi besi. Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus tambahan namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCV (mean corpuscular volume) < 80 fl.

Tanda dan Gejala Klinis a) Gejala klinis anemia defisiensi besi

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar. b) Gejala umum anemia

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7 -8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah menurun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat , terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah kuku. c) Gejala khas defisiensi besi

Gejala yang khas dijumpai pada anemia defisiensi besi tapi tiak pada anemia jenis lain adalah: Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjdi rapuh, bergaris -garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok. Atropi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan. Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia. Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem dan lain -lain. Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala terdiri dari anemi hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah dan disfagia. d) Gejala penyakit dasar

Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala -gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia difisiensi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit tambang dapat dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut. Penatalaksanaan Terapi untuk anemia defisiensi besi : a. Terapi kausal : yaitu terapi tehadap penyebab terjadinya anemia defisiensi besi, misalnya pengobatan terhadap perdarahan, maka dilakukan pengobatan pada penyakit yang menyebabkan terjadinya perdarahan kronis seperti penyakit cacing tambang, hemoroid, menorhagia, karena jika tidak maka anemia akan akan kambuh kembali. b. Pemberian perparat besi untukmengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacement therapy) Terapi besi oral

Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat, dengan dosis anjuran 3 X 200 mg, setiap 200 mg nya mengandung 66 mg besi elemental. Dengan dosis anjuran tersebut dapat mengabsorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis 23 kali normal. Preparat lainnya ialah, ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate. Efek samping utama : gangguan GIT pada 15-20% sehingga mengurangi kepatuhan pasien dalam meminum obat. Keluhan dapat brupa mual, muntah, serta konstipasi. Pengobatan diberikan 3 -6 bulan, ada yang menganjurkan sampai 12 bulan, sampai kadar HB normal untuk mengisis cadangan besi tubuh.

Terapi besi parenteral

Sangat efektif, namun mempunyai resiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Indikasi pemberian : 1) 2) 3) 4) Intoleransi terhadap pemberian besi oral Kepatuhan terhadap obat yang rendah Gangguan pencernaan seperti kolilitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi Penyerapan besi terganggu, seperti pada gastrektomi

5) Kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi dengan pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic teleangiectasia 6) Kebutuhan besi yang besar dalam waktu yang pendek, seperti pada kehamilan trimester 3 atau sebelum operasi 7) Defisiensi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik. Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid complex, dan ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara IM atau IV pelan. Tujuan terapibesi parenteral ialahmengembalikan kadar Hb dan mengisis besi sebesar 500mg -1000mg. Efek samping : reaksi anafilaktik meskipun jaran (0,6 %), flebitis, sakit kepala, fushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop, pada pemberian IM memberikan rasa nyeri dan warna hitam pada kulit.

c.

Pengobatan lain

Diet : diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama dari protein hewani Vitamin C : diberikan 3 X 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi. Transfusi darah : anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfuse darah. Darah yang diberikan ialah PRC untuk mengurangi bahaya overload. Indikasi transfuse darah : Adanya penyakit jantung anemic dengan ancama payah jantung Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia ddengan gejala pusing yang sangat menyolok Pasien memerlukan peningkatan Hb yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi.

Prognosis Anemia defisiensi besi jika terkoreksi dengan baik maka akan memberikan prognosis yang baik, namun anemia defisiensi besi dapat memiliki prognosis yang buruk, jika kondisi yang mendasarinya memiliki prognosis yang buruk juga seperti neoplasia. Sama halnya dengan prognosis yang dapat berubah oleh comorbid condition seperti coronary artery disease. Prognosisbaikapabilapenyebabanemianyadiketahuihanyakarenakekuranganbesisajasertakemudiandilakukanpen angananyangadekuat.Gejalaanemiadanmenifestasiklinislannyaakanmembaikdenganpemberianpreparatbesi.(Sup andiman,2006) PadakasusADBkarenaperdarahan,apabilasumberperdarahandapatdiatasi,makaprognosisanemiadefisiensibesiada lahbaikterutamaapabiladiberikanterapiFeyangadekuat.Tentunyapenyakitdasarsebagaisumberperdarahankronisny apunmenentukanprognosisdaripasien(Supandiman,2006) Anemia Aplastik

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel -sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik. Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut : a) Klasifikasi menurut kausa2 : 1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira -kira 50% kasus. 2. Sekunder : bila kausanya diketahui. 3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi b) Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan : Anemia aplastik berat Anemia aplastik sangat berat Anemia aplastik bukan berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan - Dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 0,5109/l trombosit <20109 /l retikulosit < 20109 /l Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2109/l Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 1,5109/l trombosit < 100109/l hemoglobin <10 g/dl

Epidemiologi Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira -kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika. Etiologi

Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui.Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik: Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia) Anemia aplastik sekunder Radiasi Bahan-bahan kimia dan obat-obatan Efek regular - Bahan-bahan sitotoksik - Benzene

Reaksi Idiosinkratik - Kloramfenikol - NSAID - Anti epileptik - Emas - Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya Virus Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa) Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G) Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia) Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat) Penyakit-penyakit Imun Eosinofilik fasciitis Hipoimunoglobulinemia Timoma dan carcinoma timus Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi Paroksismal nokturnal hemoglobinuria Kehamilan 7. Idiopathic aplastic anemia Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia) Anemia Fanconi Diskeratosis kongenita Sindrom Shwachman-Diamond Disgenesis reticular Amegakariositik trombositopenia

Anemia aplastik familial Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.) Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

Pathogenesis Kegagalan sum-sum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik. Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat terlihat pada morfologi spesimen biopsy dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa kolam sel bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat. Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat kegagalan sum-sum dan tanpa anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa. Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi faktor pertumbuhan. Tanda dan Gejala Klinik Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih. Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan: (1) Ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit) (2) Epistaksis (perdarahan hidung) (3) Perdarahan saluran cerna (4) Perdarahan saluran kemih (5) Perdarahan susunan saraf pusat. Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi. Aplasia berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat mengakibatkan kematian dan infeksi dan atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun - tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian maka penting untuk mencegah perdarahan dan infeksi. Penatalaksanaan Anemia aplastik dapat disembuhkan dengan penggantian sel hematopoietik yang hilang (dan sistem imun) dengan transplantasi stem cell, atau dapat diringankan dengan penekanan sistem imun untuk mempercepat penyembuhan fungsi sum-sum tulang residual. Faktor pertumbuhan hematopoietik memiliki keterbatasan manfaat dan glukokortikoid tidaklah bermanfaat. Paparan obat atau zat kimia yang dicurigai sebaiknya dihentikan dan dihindari; namun, penyembuhan spontan dari penurunan sel darah yang berat jarang terjadi, dan periode menunggu sebelum memulai penanganan tidak dianjurkan kecuali hitung jenis darah hanya sedikit menurun. Tindakan lain, yaitu diberikan : Kortikosteroid dengan trombositopenia berat Splenoktomi dengan kasus resisten Immunosupresif dengan kausa immunologic

Pengobatan Suportif

Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.

Terapi Imunosupresif

Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada : - Anemia aplastik bukan berat - Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok - Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3 Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.15 Sebuah protocol pemberian ATG. Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi -studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG. c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies) Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor -faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik. Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte- Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu -satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif. d. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35 35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda. Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belummendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi. Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation(EBMT) adalah sebagai berikut : - Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan trombosit sekurang kurangnya 100.000/mm3. - Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3. - Refrakter : tidak ada perbaikan. Prognosis Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning untuk transplantasi. 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun. Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.

Anda mungkin juga menyukai