Anda di halaman 1dari 13

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kelompok atau Populasi Dasar Ternak Bibit Struktur hierarki dari populasi hewan berkembang sedikit demi sedikit

untuk waktu yang lama. Pada dasarnya prosedur itu berkembang menjadi sistem dimana para pemulia ras ternak dengan tingkat kebaikan yang nyata mengorganisasikan kelompok yang dikenal sebagai perkumpulan peternak (breed societies) dengan tujuan utama: 1) menentukan sifatsifat dari jenis itu dan mengidentifikasikan ternak yang dapat termasuk dalam bangsa itu dan bersedia sebagai populasi dasar; 2) menjaga kemurnian bangsa atau tipe tersebut dengan mempertahankan catatancatatan silsilahnya; 3) memajukan penggunaan secara luas bangsabangsa tersebut, karena itu menambah kesempatan mereka sendiri dalam penjualan ternakternak bibit yang

menguntungkan (Warwick, ddk.1990). Kelompok atau populasi ternak bibit adalah kelompok yang dipelihara untuk dibiakkan dengan mengembangkan ternak-ternak dengan genetis unggul yang plasma nutfahnya dapat digunakan untuk memperbaiki produksi ternak niaga. Semua aktivitas yang berhubungan dengan perbaikan populasi atau kelompok ternak bibit dapat dikelompokan menjadi dua bagian yang luas, yaitu menetapkan sasaran dan mengembangkan program seleksi yang dimaksudkan untuk mengubah rata-rata populasi atau kelompok ke arah sasaran yang dikehendaki. Dasar untuk kelompok atau populasi ternak bibit yang baru dapat berupa bangsa atau strain yang ada (Warwick ddk, 1990). Jika kebutuhan bibit

9 sudah dapat diperkirakan maka sisanya merupakan supply atau jumlah ternak yang dapat dikeluarkan dari wilayah tersebut. (Hardjosubroto, 1994)

2.2

Domba Lokal Dahulu domba dipelihara di Afrika dan Asia bagian tropis terutama untuk

keperluan produksi daging. Taksonomi domba sebagai berikut (Ensminger, 2002): Kingdom Phylum Kelas Ordo Sub ordo Famili Genus Spesies : Animal : Chordata (hewan bertulang belakang) : Mamalia : Artiodactyla : Ruminansia (hewan memamah biak) : Bovidae : Ovis : Ovis aries

Domba lokal, dikenal juga sebagai domba negeri, domba kampung atau domba kacang merupakan domba yang berasal dari Indonesia serta berkembang di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ternak domba yang dipelihara oleh masyarakat Indonesia umumnya merupakan domba-domba lokal. Domba jantan bertanduk kecil, sedangkan domba betina tidak bertanduk. Berat badan domba jantan 30-40 Kg dan domba betina 15-20 Kg (Sumorprastowo, 1987). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang memiliki tingkat daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Karakteristik domba lokal yaitu bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat,

10 hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya (Devendra dan McLeroy, 1992).

2.3

Reproduksi Domba Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi,

tidak vital bagi kehidupan individual tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa. Pada umumnya reproduksi dapat berlangsung sesudah hewan mencapai masa pubertas dan diatur oleh kelenjarkelenjar endokrin dan hormonhormon yang dihasilkan (Toelihere, 1979). Mengetahui prinsipprinsip penyebab menurunnya efisiensi reproduksi dan cara pengendaliannya, reproduksi, serta caracara untuk

meningkatkannya merupakan hal yang penting untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam usaha peternakan (Tomaszewska, dkk. 1991). Di daerah tropis dimana tidak banyak perbedaan panjang hari, domba betina secara teoritis dapat birahi sepanjang tahun. Semua jenis domba lokal di daerah tropis kawin pada musim apa saja dalam setahun (Williamson dan Payne, 1993). Tingkat reproduksi dapat diistilahkan sebagai jumlah keturunan anak mencapai umur dewasa per ekor induk kambing atau domba yang dikawinkan dengan pejantan. Hal ini ditentukan oleh berbagai umur tingkah laku reproduksi dan kesuburan atau kemampuan pejantan dan induk untuk menghasilkan keturunan, kesuburan dan jumlah anak lahir per kelahiran, tingkat daya hidup anak sampai umur bisa berkembangbiak dan tenggang waktu antara kelahiran (Williamson dan Payne, 1993).

11 2.3.1 Tingkat Fertilitas Fertilitas merupakan kemampuan untuk berkembang biak. Daya fertilitas seekor ternak erat kaitannya dengan konsepsi, sehingga bila seekor ternak memiliki fertilitas yang sangat baik maka akan memberikan angka konsepsi yang tinggi (Toelihere, 1985). Faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas adalah progesteron yang diserap, deteksi birahi untuk birahi optimum, waktu inseminasi dan jumlah sperma. Domba lokal memiliki tingkat fertilitas mencapai 90% (Hafez dan Hafez, 2000).

2.4

Siklus Reproduksi Domba Siklus reproduksi merupakan serangkaian semua kejadian biologi kelamin

yang berlangsung secara sambung menyambung hingga terlahir generasi baru dari suatu mahluk hidup. Proses proses biologi yang dimaksud dalam siklus reproduksi meliputi proses reproduksi dalam tubuh jantan dan betina, sejak makhluk itu lahir sampai memiliki kemampuan untuk melahirkan generasi baru. (Partodihardjo, 1987).

2.4.1

Pubertas (Dewasa Kelamin) Pubertas dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu dimana organ

organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pada hewan jantan pubertas ditandai oleh kesanggupan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahanperubahan kelamin sekunder lainnya (Toelihere, 1979). Secara umum, saat terjadinya pubertas bergantung pada interaksi antara umur, bobot badan, dan mungkin juga kondisi tubuh dan musim (pada daerah tropis). Oleh karena itu, ternak yang tumbuh cepat akan

12 mencapai pubertas lebih awal (Tomaszewska, dkk. 1991). Pada hewan betina pubertas dicerminkan oleh terjadinya estrus dan ovulasi. Pubertas atau dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1979). Kebanyakan domba betina mulai masak seksual pada umur 6-9 bulan (Hafez dan Hafez, 2000). Pubertas domba jantan ditandai dengan peningkatan sekresi testosterone, spermatogenesis dan tingkah laku seksual (Hafez dan Hafez, 2000). Domba jantan dengan galur yang subur prolifik mencapai pubertas lebih awal daripada domba jantan yang berasal dari induk yang kurang prolifik yaitu pada umur 7-8 bulan (Tomaszewska, dkk. 1991).

2.4.2

Siklus Estrus pada Domba Bagian dari siklus estrus yang ditandai dengan keinginan betina

menerima pejantan untuk melakukan kopulasi dinamakan periode estrus (Toelihere, 1979). Periode siklus estrus pada domba sekitar 16-17 hari dan lamanya masa estrus sekitar 24-36 jam (Hafez dan Hafez, 2000). Siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yang dapat dibedakan jelas yang disebut proestrus, estrus ,metestrus, dan diestrus (Frandson,1996). Siklus estrus pada semua species hewan ternak terdiri dari fase luteal dan fase folikuler yang diberi batasan secara hormonal dengan baik dan lama masingmasing fase itu beragam sesuai dengan spesies (Hunter, 1981). Fase folikuler terdiri atas fase proestrus dan estrus, sedangkan fase luteal terdiri atas fase metestrus dan diestrus. Proestrus terjadi selama 2-3 hari, estrus berlangsung selama 20-36 jam, sedangkan fase metestrus dan diestrus terjadi selama 12-14 hari. Ovulasi terjadi secara spontan pada akhir estrus. Sel telur pada satu kali ovulasi dapat diovulasikan dalam jumlah banyak sehingga

13 dimungkinkan satu hewan bisa terjadi kelahiran kembar (Pineda dan Dooley 2003). Proestrus merupakan fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang semakin bertambah (Marawali, dkk. 2001). Estradiol meningkatkan suplai darah ke saluran kelamin dan meningkatkan perkembangan estrus, vagina, tuba fallopi, folikel ovarium (Toelihere,1985). Fase yang pertama kali dari siklus estrus ini dianggap sebagai fase penumpukkan atau pemantapan dimana folikel ovarium yang berisi ovum membesar terutama karena meningkatnya estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah merangsang peningkatan vaskularisasi dan pertumbuhan sel genital dalam persiapan untuk birahi dan kebuntingan yang terjadi (Frandson,1996). Pada fase ini akan terlihat perubahan pada alat kelamin luar dan terjadi perubahan-perubahan tingkah laku dimana hewan betina gelisah dan sering mengeluarkan suara-suara yang tidak biasa terdengar (Partodiharjo,1987). Estrus merupakan periode yang ditandai dengan keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Selama periode ini betina akan mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Pada umumnya memperlihatkan tanda-tanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali,menghampiri pejantan dan tidak lari jika pejantan menungganginya. Folikel de graaf membesar dan matang, ovum mengalami perubahanperubahan ke arah pematangan. Ekstradiol dari folikel de graaf yang matang menyebabkan perubahan perubahan pada saluran reproduksi tubuler yang maksimal pada fase ini. Proses ovulasi akan diulang kembali secara teratur setiap jangka waktu yang tetap yaitu siklus birahi (Toelihere, 1979).

14 Matersus atau postestrus adalah periode segera setelah estrus dimana korpus luteum bertumbuh cepat dari selsel granulosa folikel yang telah pecah dibawah hormon LH dari adenohypophisa. Selama metestrus, rongga yang ditinggalkan oleh pemecahan folikel mulai terisi dengan darah. Darah membentuk struktur yang disebut corpus hemoragikum. Setelah sekitar 5 hari, corpus hemoragikum mulai berubah menjadi luteal, menghasilkan corpus luteum atau Cl. Fase ini sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum (Frandson,1996). Matestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh pituitary anterior sehingga menghambat pertumbuhan folikel ovarium dan mencegah terjadinya estrus (Toelihere, 1979). Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus berahi, corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata (Marawali, dkk. 2001). Dimana ditandai dengan tidak adanya aktivitas kelamin, terdapat corpus luteum dan progesteron mencapai kondisi maksimum untuk persiapan kebuntingan. Corpus luteum menjadi matang, endometrium menjadi lebih tebal, cervix menutup, selaput mucosa vagina pucat dan otototot uterus mengendor. Mulai terjadi perkembangan folikelfolikel primer dan sekunder akhirnya kembali ke proestrus (Toelihere, 1979).

2.5

Upaya Peningkatan Efisiensi Reproduksi Manajemen perkawinan yang baik sangat penting untuk meningkatkan

efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunannya. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen ternak adalah dengan inseminasi buatan (IB)

15 (Toelihere, 1979). Meskipun penampungan dan penyimpanan semen pejantan pilihan yang memungkinkan untuk melakukan berbagai pengaturan sebelum saat pembiakan, metode yang benarbenar dapat menentukan birahi, agar

penggunaan inseminasi buatan lebih efisien dan tepat waktu, masih sangat diinginkan. Pendekatan yang sejauh ini lebih logis dan lebih memuaskan adalah dengan mengatur siklus birahi hewan yang akan di biakkan melalui perlakuan farmakologi atau fisiologis semu, sehingga saat timbulnya birahi dapat diperkirakan pada sebagian besar hewan yang mendapat perlakuan itu. Selanjutnya bila waktu yang tepat dari ovulasi itu sendiri dapat ditentukan sebelumnya, maka dimungkinkan untuk menginseminasi hewan pada waktu yang pasti tanpa mengacu pada tahap perilaku birahi, dengan demikian dapat mencegah kerugian yang berkaitan dengan inseminasi yang tidak tepat waktu dan menjadi tuannya gamet. Oleh karena itu, pada dasarnya suatu sistem pengaturan siklus birahi akan berusaha menetapkan jadwal perkawinan sesuai dengan keinginan dan tidak memperkenankan hewan betina memberlakukan ritme reproduksinya pada sistem peternakan (Hunter, 1995).

2.5.1

Sinkronisasi Estrus Sinkronisasi estrus merupakan proses manipulasi reproduksi hewan agar

terjadi estrus dan proses ovulasinya pada waktu yang relatif serentak sehingga akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak. Disamping itu, sinkronisasi estrus dapat mengoptimalkan pelaksanaan

inseminasi buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok (Wenkoff, 1986). Dalam sekelompok betina waktu estrus tidak dapat diprediksi secara tepat untuk setiap individu. Sinkronisasi estrus dan ovulasi dalam sekelompok betina merupakan

16 salah satu cara untuk memprediksi waktu estrus secara akurat. Hal ini mengurangi waktu untuk mendeteksi estrus untuk menetapkan waktu yang tepat untuk inseminasi buatan (Hafez dan Hafez, 2000). Ada dua dasar metoda sinkronisasi estrus. Metode ini berdasarkan menghambat sekresi LH atau memperpendek masa hidup CL (Corpus Luteum) dan timbulnya estrus serta ovulasi. Prinsip dari sinkronisasi estrus adalah dengan memperpanjang atau memperpendek daya hidup CL (Corpus Luteum) pada fase luteal (Hafez & Hafez 2000). Sinkronisasi estrus pada domba dapat dilakukan dengan menggunakan preparat hormon. Hormon-hormon reproduksi memegang peranan penting dalam inisiasi dan regulasi siklus estrus, ovulasi, fertilisasi, mempersiapkan uterus untuk menerima ovum yang telah dibuahi, melindungi, mengamankan dan

mempertahankan kebuntingan, menginisiasi kelahiran, perkembangan kelenjar susu dan laktasi (Hunter 1995). Memperpanjang daya hidup CL (Corpus Luteum) dapat dilakukan dengan pemberian progesteron eksogen yang akan

menyebabkan penekanan pembebasan hormon gonadotropin dari hipofise anterior. Penghentian pemberian progesteron eksogen ini akan diikuti dengan pembebasan hormon gonadotropin secara tiba-tiba yang berakibat terjadinya estrus (Wenkoff, 1986). Gejala estrus akan disertai dengan ovulasi secara serentak, yaitu sekitar 12 jam setelah akhir estrus (Goel dan Agrawal, 2003). Progesteron dihasilkan dari CL, plasenta, dan kelenjar adrenal (Hafez dan Hafez 2000). Hormon progesteron berfungsi untuk menghalangi sekresi hormon gonadotropin dari hipofise (Pineda dan Dooley, 2003). Pencegahan pelepasan hormon FSH dan LH dapat mencegah timbulnya estrus sehingga hormon ini berfungsi mengatur siklus estus (Hafez dan Hafez, 2000). Fungsi lain dari

17 hormon progesteron, yaitu sebagai penstimulir pertumbuhan sistem granuler pada endometrium dan untuk mempertahankan kebuntingan dengan

menghasilkan lingkungan endometrial yang sesuai untuk proses perkembangan embrio (Toelihere, 1979). Usaha penyerentakan birahi pada domba dapat menggunakan preparat progesterone berupa spons yang mengandung progesteron dan dimasukan kedalam vagina atau berupa implantasi karet silikon selama 12-14 hari akan menghambat estrus dan ovulasi. Apabila pemberian preparat tersebut dihentikan, estrus dan ovulasi akan terjadi dalam waktu 1-5 hari (Dziuk, 1966). Pemberian preparat progesterone atau implant yang diberikan selama 1214 hari sebaiknya diinseminasi buatan 30 48 jam setelah preparat itu dihentikan (Hafez dan Hafez, 2000). Prosedur penyerentakan birahi menyuguhkan suatu cara praktis untuk mengelompokan anakanak domba yang lahir bersamaan. Faktorfaktor penting dalam sinkronisasi estrus dan ovulasi pada domba betina meliputi pemilihan hormon, dosis, cara pemberian, dan waktu pada hari terakhir pemberian hormon (Lamond, 1964).

2.5.2

Inseminasi Buatan pada Domba Inseminasi buatan merupakan salah satu metode untuk meningkatan

mutu genetik. Inseminasi buatan memungkinkan untuk menghasilkan lebih banyak keturunan dari masingmasing pejantan dibandingkan perkawinan secara alam (Warwick, dkk. 1990). Inseminasi harus dilakukan pada bagian kedua periode estrus yaitu antara 1218 jam sesudah pertama kali terlihat birahi. Spermatozoa tahan hidup selama 30 jam dalam saluran kelamin domba betina.

18 Lama birahi pada dombadomba lokal di Indonesia, berkisar antara 24 48 jam dengan ratarata 35,5 jam (Toelihere, 1979). Inseminasi buatan akan berhasil jika dilakukan paruh terakhir masa periode birahi (Hafez dan Hafez, 2000). Angka konsepsi yang dapat dicapai pada inseminasi pertama dengan semen cair berkisar antara 5080 %. Dengan semen beku angka tersebut menurun menjadi 0-30% (Toelihere, 1985).

2.6

Kebuntingan pada Domba Sperma bergerak menyusuri saluran kelamin domba betina dengan

kecepatan ratarata 4 cm per menit dan mencapai ujung tuba fallopi paling cepat 6-8 menit sesudah ejakulasi (Mattner dan Breden 1963). Sperma bertahan hidup selama 3 hari di dalam cervix daripada di dalam bagian saluran kelamin betina tersebut, dalam vagina hanya bertahan hidup 12 jam, sedangkan di dalam uterus dan tuba fallopi sampai 30 jam (Toelihere, 1985). Peristiwa terjadinya pembuahan sampai dengan masa kelahiran anak, jangka waktu selama perkembangan fetus di dalam uterus disebut kebuntingan. Masa kebuntingan ini berlangsung selama 5 bulan sesudah terjadi kebuntingan maka siklus birahi yang terjadi setiap kurang 17 hari itu menjadi berhenti (Sugeng, 1994). Lama kebuntingan dapat bervariasi dalam beberapa minggu, tergantung pada genetik (keturunan produktif cenderung memiliki kehamilan lebih pendek), umur domba (panjang kehamilan meningkat dengan bertambahnya usia), jenis kelamin janin (domba jantan cenderung lebih dari anak domba betina), dan musim. Faktor hereditas memegang peranan penting dalam lama kebuntingan (Terril dan Hazel, 1947). Lamanya kebuntingan yang diperkirakan kurang lebih 150 hari memungkinkan domba dapat menghasilkan keturunan dua kali dalam

19 satu tahun. Beberapa metode telah diketahui untuk mengurangi lambing interval dari sekali dalam satu tahun menjadi tiga kali dalam dua tahun (interval 8 bulan) (Hafez dan Hafez, 2000). Pada bulan pertama kebuntingan sangat sulit untuk diketahui secara visual cara mudah untuk mengetahiu bahwa domba bunting adalah tidak timbul gejala birahi pada siklus birahi berikutnya (Murtidjo, 1993).

2.6.1

Metoda Deteksi Kebuntingan Diagnosa kebuntingan dini sangat penting untuk upaya peningkatan

efisiensi reproduksi. Beberapa metode klinis untuk mendeteksi kebuntingan ternak diataranya eksplorasi rektal, ultrasonography, diagnosa imunologik dan hormonal (Hafez dan Hafez, 2000). Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar. Prosedurnya adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, fetus atau membran fetus. Teknik yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui. Sempitnya rongga pelvic pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan (Arthur, dkk. 1996). Ultrasonography merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari cornua uteri. Harga alat ini masih sangat mahal, diperlukan operator yang terlatih untuk dapat menginterpretasikan gambar yang muncul pada monitor. Gelombang ultrasound yang digunakan dengan frekuensi 110 MHz (Hafez dan Hafez, 2000).

20 Diagnosa imunologik untuk mendeteksi kebuntingan berdasarkan pada pengukuran level cairan yang berasal dari konseptus, uterus atau ovarium yang memasuki aliran darah induk, urin dan air susu. Test imonologik dapat mengukur dua macam cairan yaitu Pregnancy Specific yang hadir dalam peredaran darah maternal (equine chloronic gonadotropin eCG dan early pregnancy factor EPF ) dan Pregnancy Not Specific, perubahan-perubahan selama kebuntingan, konsentrasi dalam darah maternal, urin dan air susu (contoh: progesteron dan estrone sulfate) (Hafez dan Hafez 2000). Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metode-metode yang menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan dengan metode rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Metode ini memiliki akurasi yang tinggi namun memiliki kelemahan antara lain memerlukan penanganan dalam laboratorium yang cukup lama serta mahal dan beresiko tinggi karena menggunakan bahan radioaktif (Hunter, 1995). Deteksi kebuntingan memerlukan suatu metode yang cepat, ekonomis, aplikatif dan tidak berbahaya bagi kebuntingan yaitu dengan uji ikatan fenol pada ekstradiol yang terereksikan lewat urin. Deteksi kebuntingan dengan

menggunakan DEEA GestDect dilakukan 14-60 hari setelah inseminasi buatan. Bahan deteksi kebuntingan DEEA GestDect memiliki prinsip kerja

mengidentifikasi ion fenol dalam urin yang digunakan untuk mendeteksi kebuntingan. Metode deteksi kebuntingan dengan identifikasi ion fenol dalam urin merupakan salah satu alternatif metoda deteksi kebuntingan yang cepat, ekonomis aplikatif serta tidak berbahaya bagi kebuntingan (Samsudewa, dkk. 2003).

Anda mungkin juga menyukai