Anda di halaman 1dari 24

Tanggapan Analisis Dialog Nasional

Pembaharuan Pengelolaan Sumberdaya


www: sarwono.net

BETAPA SULITNYA MENCAPAI


KOMITMEN PEMBAHARUAN
0B

PENGELOLAAN SUMBERDAYA
1
Benny Chalik F

Ketika membaca tulisan Sarwono Kusumaatmadja


tentang Dialog Nasional Pembaharuan Pengelolaan
Sumberdaya Alam di dalam www: sarwono.net, saya melihat
semangat juang penulis masih tetap terpulihkan dari sisi umur
dan keikutsertaan beliau mengikuti perjalanan pembangunan
sumberdaya alam. Terpancar jelas rasa keprihatinan dan
kekuatan pemikiran seorang Sarwono yang beranjak dari
bagaimana merubah struktur kelembagaan budaya dalam
situasi pembangunan saat ini kepada situasi pembangunan
yang diharapkan. Hanya saja ketika tulisan tersebut dibaca
berulang kali mulai nampak berbagai keniscayaan, ketika kita
harus menterjemahkannya ke dalam pemikiran pembangunan
yang terintegrasi.

A.
1B Sejarah Hitam Pengelolaan Sumberdaya
Alam

Situasi yang kita hadapi pada saat ini adalah kenyataan


bahwa telah terjadi kelangkaan sumberdaya alam. Artinya
struktur kelembagaan yang membentuk situasi pengelolaan

1
Benny Chalik, Staff Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Email: bennychalik@gmail.com
sumberdaya saat ini telah mengakibatkan peningkatan laju
pemanfaatan lebih besar dari laju upaya pemulihan
sumberdaya alam. Dengan demikian terbukti bahwa struktur
kelembagaan yang berisi aturan main, stakeholder, arah
pembangunan, rencana strategis, kegiatan pembangunan,
serta indikatornya tidak berfungsi mengarahkan upaya
pembangunan kepada situasi pengelolaan sumberdaya yang
berkelanjutan.

Sejalan dengan mulai diterapkannya kebijakan


pencapaian peningkatan laju pertumbuhan ekonomi pada
tahun 1967, pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh
peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam secara langsung
diikuti oleh peningkatan permintaan masyarakat untuk mengisi
pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah berhasil
mengalihkan perhatian masyarakat yang semula hanya hidup
sebagai objek perpolitikan nasional kepada berbagai kegiatan
pembangunan ekonomi yang berasaskan pada pemenuhan
kebutuhan sembilan bahan pokok. Kebijakan ini menghasilkan
dampak yang luar biasa.

Pada era tahun tujuh puluhan dimana terjadi oil and


hardwood booming, kebijakan pemerintah menjadikan setiap
manusia Indonesia haus akan pemenuhan kebutuhan sembilan
bahan pokok. Hanya saja upaya pemerintah untuk
meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar sembilan bahan
pokok masih dilatarbelakangi oleh tujuan untuk mencapai
kestabilan poleksosbudhankam dan belum disertai upaya
pembentukan aturan main dalam pemanfaatan sumberdaya
alam. Euphoria terbebasnya bangsa dari kemiskinan ekonomi
melenakan setiap anggota eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
sehingga tidak mampu membaca situasi budaya masyarakat
yang telah begitu lama mengalami kesulitan untuk
mendapatkan perikehidupan yang berkecukupan.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 2


Situasi yang terbentuk pada saat itu adalah munculnya
kutub-kutub baru pembangunan ekonomi di setiap sektor
pembangunan. Niat luhur para pengusaha untuk memajukan
perekonomian nasional diterjemahkan oleh penyelenggara
negara ke dalam bentuk industri yang bersifat infant industries
yang harus didukung oleh pemerintah. Akibatnya industri-
industri tersebut berperilaku seperti bayi dan kekanak-kanakan
serta tidak pernah menjadi dewasa dalam menghadapi
persaingan di dalam pasar domestik dan internasional.
Dengan kata lain, yang difahami oleh pengusaha nasional
pada saat itu adalah mereka harus tetap menguasai
sumberdaya yang memberi keuntungan absolut atau
komparatif dan tidak berorientasi kepada pengembangan
keunggulan kompetitif. Akhirnya perilaku pengusaha nasional
yang kekanak-kanakan hanya bersaing untuk berada di
lingkungan para pengambil keputusan untuk mempertahankan
konsesi pengelolaan sumberdaya alam.

Tanpa bermaksud menghakimi Suharto dan Sarwono


sendiri yang telah membawa dan membentuk Indonesia
sebagai negara yang dihormati di lingkungan FAO dan
pengembangan pembangunan berkelanjutan, akan tetapi
kebijakan pemerintah pada saat itu lebih mengacu kepada niat
luhur para pengusaha dan bukan hasil analisis kelayakan dan
kepantasan usaha itu sendiri. Wajar saja jika situasi
pengelolaan sumberdaya alam menjadi carut marut, ketika niat
luhur para pengusaha berubah menjadi niat untuk menimbun
manfaat ekonomi ke dalam rekening-rekening pribadi. Hal ini
juga membuktikan bahwa konsep trickle down effect dalam
pendistribusian manfaat ekonomi tidak memiliki indikator yang
jelas dan mantap, sehingga penyelenggara negara tidak
mampu melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi
dengan akuntabilitas yang tinggi.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 3


B. Karakteristik Pengelolaan Sumberdaya Alam

Dari sejarah hitam pengelolaan sumberdaya alam dapat


diproyeksikan bahwa karakteristik yang melekat dalam situasi
pengelolaan sumberdaya alam saat ini adalah (a) sifat-sifat hak
yang melekat pada sumberdaya alam, (b) kondisi
ipoleksosbudhankam, (c) tata nilai pengelolaan sumberdaya
alam, dan (d) campur tangan pemerintah. Pengkajian
terhadap karakteristik yang melekat dalam situasi pengelolaan
sumberdaya yang akan digunakan untuk memperbaiki struktur
kelembagaan demi tercapainya situasi harapan yang
berkelanjutan.

a. Sifat Hak yang Melekat pada Sumberdaya Alam

Seperti yang diketahui secara luas bahwa sumberdaya


alam memiliki sifat hak yang melekat antara lain bersifat
transferable, exludable, dan unity, maka kecenderungan yang
terjadi dalam pengelolaan sumberdaya alam hanya berpatokan
kepada property rights yang hanya didasarkan kepada hak
pengelolaan yang bersifat transferable dan exludable. Setiap
pemegang konsesi memiliki hak untuk mengeluarkan kegiatan
lainnya dari wilayah kepemilikannya sebagai wujud sifat hak
yang exludable dan atau memindahtangankan hak yang
diperolehnya kepada pihak lain sebagai hak yang bersifat
transferable. Kedua sifat hak pengelolaan sumberdaya alam
inilah yang selalu dijadikan aturan main dalam melakukan
kegiatan ekonomi secara individual maupun kelompok.
Dengan terjaganya hak kepemilikan tersebut dianggap telah
terbentuk transaksi ekonomi yang efisien dalam pengelolaan
sumberdaya alam.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 4


Disisi lain, sifat kepemilikan sumberdaya yang
didasarkan kepada unitas hak telah dipinggirkan sebagai hak
kepemilikan negara yang pemanfaatannya ditujukan bagi
setinggi-tingginya kemakmuran rakyat. Jika saya tidak salah
mengartikan, maka sumberdaya alam sepenuhnya merupakan
milik rakyat yang diakui kedaulatannya. Sampai di titik ini, hal
yang paling menentukan adalah siapa yang memiliki hak
pengelolaan sumberdaya alam milik negara.

Dalam penjabaran klausul pasal UU yang terkait dengan


pengelolaan sumberdaya alam disebutkan bahwa pengelolaan
sumberdaya milik negara diserahkan kepada penyelenggara
negara. Ini sudah tepat. Akan tetapi masalah yang kemudian
muncul adalah bagaimana menentukan sejauhmana campur
tangan pemerintah terhadap perekonomian sehingga tidak
menimbulkan kegagalan pasar dan inefisiensi ekonomi.

Salah satu hal yang mungkin belum terfikirkan oleh


penyelenggara negara adalah kenyataan bahwa hak
kepemilikan rakyat terhadap sumberdaya alam telah terpisah
jauh dari rasa kepemilikan rakyat itu sendiri. Terpisahnya hak
dan rasa kepemilikan cenderung diakibatkan oleh penjabaran
undang-undang dasar yang menyebutkan bahwa kedaulatan
rakyat dilaksanakan menurut undang-undang. Dalam hal ini,
penjabaran UUD ke dalam undang-undang merupakan celah
yang dapat digunakan secara psikologis oleh free rider untuk
mengusir aktivitas pengawasan masyarakat terhadap kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam. Artinya, penjabaran UUD ke
dalam undang-undang merupakan titik lemah yang menjadi
medan beradunya pengutamaan kepentingan rakyat atau
kepentingan pribadi atau kelompok.

Wujud dari penyalahgunaan praktek penjabaran UUD ke


dalam undang-undang ditunjukkan oleh perilaku

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 5


penyelenggara negara yang yang menggunakan undang-
undang sebagai senjata untuk memisahkan pengelola
sumberdaya dengan civil society itu sendiri. Beranjak dari
situasi yang terbentuk dari penjabaran UUD ke dalam UU,
pertanyaan yang timbul adalah apakah dengan sahnya
kepemilikan hak pengelolaan sumberdaya kepada individu dan
kelompok secara otomatis meletakkan individu dan kelompok
tersebut sebagai bagian rakyat yang bersifat eksklusif atau
ekstrimnya tidak lagi bisa disebut sebagai rakyat. Bahkan
dengan bangga para pemilik hak tadi menyatakan bahwa
sumberdaya alam yang dimilikinya menjadikan dirinya sebagai
rakyat dunia yang dilindungi oleh hukum internasional dan
hukum tuhan yang bersifat universal. Kebanggaan ini juga
yang menjadikan pemerintah selalu ragu-ragu untuk mencabut
hak bagi free rider dan penjahat lingkungan.

b. Situasi Ipoleksosbudhankam

(1) Ideologi

Peralihan orde baru kepada reformasi dianggap oleh


sebagian angkatan 66 sebagai perubahan UUD 45 tanpa
mengubah Pancasila dan Pembukaan Undang-Undangnya.
Selain perubahan yang tertulis tidak terjadi perubahan sikap
mental penafsiran ideologi dari strain orde baru kepada strain
reformasi. Hasilnya sama saja. Pengelolaan sumberdaya
alam dalam Orde Baru yang dianggap tidak demokratis
disajikan kembali dalam reformasi sebagai pengelolaan
dengan kemasan demokratis. Kenyataan di lapangan
menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan antara
orde baru dengan reformasi.

Dengan asumsi tidak adanya perbedaan penafsiran


ideologi bangsa dan negara pada masa orde baru dan

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 6


reformasi dalam perubahan UUD 45, maka karakteristik
inheren yang melekat dalam situasi pengelolaan sumberdaya
alam juga tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Reformasi baru ditafsirkan sebagai perubahan akar dan arah
politik bangsa yang masih diutamakan oleh para anggota
legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagai pilar kehidupan
bangsa yang utama. Pertanyaan yang mendasar apakah para
wakil rakyat dan penyelenggara negara mampu melihat bahwa
ideologi Pancasila bersumber dan beranjak dari sosial budaya
bangsa dan bukan dari ekonomi, hankam, dan politik itu sendiri
? Apakah para penyelenggara negara sadar bahwa politik
hanya merupakan alat bagi masyarakat secara kolektif untuk
melakukan perubahan-perubahan ke dalam pembangunan
bangsa yang berkemakmuran berkeadilan dan bukan hanya
bagi perikehidupan politik itu sendiri ?

(2) Politik
Pemikiran Sarwono dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa supremasi politik dalam perikehidupan berbangsa
merupakan pilar nomor satu. Dengan kekuatan politik yang
mengalir kuat secara kolektif akan memberikan paradigma
pembaharuan pengelolaan sumberdaya. Tidak dapat
disangkal kebenaran imbauan Sarwono untuk menapak di
jalan pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam sebagai
suatu cara yang signifikan akan merubah tatacara
penyelenggaraan negara dan stakeholder lainnya dalam
mensikapi pengelolaan sumberdaya yang berwawasan
kerakyatan dan kebangsaan.

Apabila ditinjau dari karakteristik pengelolaan


sumberdaya yang melekat di dalam situasi politik, maka sulit
diharapkan perubahan dari kebijakan politik yang berpihak
kepada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi kepada politik

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 7


yang berpihak kepada pengelolaan sumberdaya alam. Apalagi
jika kita membayangkan pikiran para penyelenggara negara
yang menganggap wajar untuk mengorbankan pengelolaan
sumberdaya alam sebagai dampak pilihan peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi. Bahkan besar kemungkinan saya akan
dianggap melecehkan para wakil rakyat dan penyelenggara
negara yang memiliki kekuasaan mayoritas dari rakyat
mayoritas, yaitu jika beranggapan bahwa wakil rakyat tidak
memiliki pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya alam
secara an sich dan bukan hanya untuk dikorbankan bagi
kepentingan ekonomi semata.
Tanpa mengecilkan arti Sarwono sebagai pejuang
lingkungan yang berangan-angan menggalang kekuatan politik
agar rakyat melakukan pembaharuan pengelolaan
sumberdaya, tapi hendaknya kita sadarkan dulu sesama
anggota DPD, kemudian DPR, dan penyelenggara negara
lainnya yang merasa sebagai wakil tuhan karena didukung
suara rakyat yang dianggap suara tuhan dalam pemilu.
Secara politis, rakyat dan wakilnya memiliki perbedaan yang
signifikan dalam tuhan yang diyakini dan dipercayai. Dalam
hal ini, tuhan yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam di
dalam penyelenggaraan negara menjadi berbeda dengan
tuhan yang diyakini dan dipercayai rakyat dalam konteks yang
sama. Bagaimana mungkin bisa terjadi dualisme ketuhanan
dengan agama yang sama ? Quo vadis domine ?

Selain itu ada hal yang tidak kalah pentingnya perlu


direnungkan oleh para wakil rakyat yang duduk di DPR-MPR
RI. Sebelum para wakil rakyat menduduki kursi wakil rakyat,
setiap calon wakil mengakui bahwa dirinya akan mewakili
suara mayoritas rakyat. Akan tetapi setelah mereka berhasil
memperoleh suara rakyat, yang terjadi adalah para wakil
rakyat memposisikan suara rakyat sebagai suara minoritas,

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 8


dan sebaliknya memposisikan suara wakil rakyat sebagai
suara mayoritas. Tragisnya wakil rakyat tidak pernah lagi
mempertimbangkan suara rakyat. Kalaupun berfikir, mungkin
yang difikirkan adalah cara berfikir rakyat di negara maju dan
bukan cara berfikir rakyat Indonesia yang sarat dengan
kemiskinan. Ini terlihat dari perilaku anggota DPR yang selalu
berfikir untuk memperoleh gaji dan prioritas lainnya, layaknya
wakil rakyat di negara maju.

Dari kecurigaan masyarakat tersebut, hampir dipastikan


secara politis bahwa pengarusutamaan gerakan pembaharuan
pengelolaan sumberdaya alam akan kandas di tangan wakil
rakyat yang masih berkepentingan terhadap penguasaan
konsesi politiknya terhadap sumberdaya alam. Apalagi jika
mereka berfikir bahwa untuk menduduki posisi wakil rakyat
mereka telah mengeluarkan biaya yang sedemikian besarnya.
Akan tetapi apakah mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa
rakyat telah menanggung biaya sosial sedemikian besar
sebagai akibat perilaku wakil rakyat yang tidak berorientasi
kerakyatan.

Harapan positif yang mungkin lahir dari persepektif politik


adalah jika memang diperoleh jaminan politik terhadap proses
kolektivitas aspriasi rakyat sebagai wujud kebutuhan. Aspirasi
rakyat ini betul-betul disalurkan oleh wakil rakyat dan tidak
harus dimulai dengan peperangan di medan politik yang sarat
dengan prioritas kepentingan sebagai wujud keinginan.
Dengan memahami bahwa kebutuhan rakyat akan bersifat
absolut serta keinginan rakyat bersifat substitusi, maka para
politisi hendaknya mampu memilah-milah mana yang menjadi
kebutuhan dan keinginan rakyat. Selanjutnya, beranjak dari
pemilahan terhadap kebutuhan dan keinginan rakyat tersebut
barulah para politisi menyalurkan aspirasi rakyat ke dalam
aturan main yang secara otomatis akan bersifat kompatibel

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 9


dengan budaya. Sedangkan persyaratan untuk
menjalankannya, wakil rakyat dituntut untuk mampu
menajamkan hati nurani dalam menentukan kebutuhan rakyat
serta memiliki pemikiran yang cerdas untuk menentukan
keinginan rakyat.

(3) Sosial budaya


Saya jadi teringat ucapan Dr. Alirahman mantan
Mensesneg di era Gus Dur. Beliau mengatakan dengan
bergurau bahwa kita harus mempelajari teknik iblis untuk
melawan iblis-iblis di negara kita yang tercinta ini. Saya betul-
betul tersentak dengan pernyataan yang keluar dari manusia
yang berkeyakian dan berkepercayaan tinggi terhadap tuhan
agamanya sampai harus bergurau dengan rakyat awam seperti
saya ini. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan pernyataan
tersebut membuat fikiran menjadi bodoh dan tidak bisa
berfungsi. Untung tidak permanen. Sampai ketika
pemahaman sosok kearifan budaya bangsa ini menyelinap
untuk memberikan sedikit pencerahan tentang bagaimana
seorang manusia Indonesia harus menghadapi iblis yang
selalu memberikan kompensasi secara tunai dalam kehidupan
manusia, tidak pelak lagi pengelolaan sumberdaya alam
memang dan sudah seharusnya dikembalikan dan didasarkan
kepada kearifan sosial budaya kita yang luhur.

Pengelolaan sumberdaya alam bukan masalah


kepercayaan manusia Indonesia yang beragama.
Kepercayaan terhadap agama sepenuhnya merupakan urusan
pribadi masing-masing manusianya, akan tetapi masalah
pengelolaan sumberdaya alam merupakan masalah keyakinan
antara satu manusia dengan manusia lainnya yang
dihubungkan oleh budaya untuk mengkomunikasikan di antara
kedua manusia atau masyarakat pada umumnya. Dan jangan

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 10


dianggap bahwa ajaran agama yang telah mengkristal di dalam
budaya merupakan alat agama dalam budaya untuk
mengalahkan iblis-iblis yang tidak henti-hentinya melakukan
kerusakan di muka bumi. Agama tidak lebih hanya merupakan
benteng setiap individu rakyat Indonesia. Sedangkan alat
untuk mengalahkan iblis didapatkan dari hasil analisis terhadap
kinerja iblis itu sendiri.

Kearifan budaya yang terbentuk karena aturan normatif


yang telah melembaga dan mengkristal dalam budaya bangsa
merupakan fondasi yang sangat mudah diterima oleh
masyarakat lokal, regional, dan nasional. Budaya yang
membentuk pambudi dan kemudian pambudi tersebut akan
mengembangkan budaya akan menghasilkan kesesuaian dan
adaptibilitas yang tinggi setiap manusia Indonesia untuk
mengembangkan paradigma baru dalam pengarusutamaan
pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam.
Kelangkaan sumberdaya alam sebagai dampak dari cara
berfikir masyarakat yang tidak integral dan holistik, tidak
mengacu kepada tata nilai, tidak menghargai pengetahuan,
tidak berorientasi kewilayahan, dan membentuk kebijakan
tanpa kelengkapan informasi yang akurat, nyata-nyata
merupakan hasil kerja iblis untuk melakukan kerusakan di
muka bumi Indonesia ini. Dengan demikian sifat iblis
merupakan public enemy dalam gerakan pembaharuan
pengelolaan sumberdaya.

Pambudi manusia Indonesia yang hidup dalam


lingkungan budaya dan alam sekitar mereka akan
menghasilkan cipta, rasa, karsa, dan karya yang mampu
menjadi pilar dalam pembaharuan pengelolaan sumberdaya.
Ditambah dengan pemahaman ilmu-ilmu ekonomi dan politik
modern yang berkembang saat ini akan menjadikan dan

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 11


memposisikan kearifan sosial budaya sebagai satu-satunya
fondasi pembangunan ekonomi, politik, dan pertahanan
keamanan. Bagaimana mungkin membentuk ekonomi
Pancasila dengan mengabaikan kearifan budaya sendiri ? Dan
bagaimana mungkin membangun sebuah gerakan
pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam yang kokoh
tanpa mengakar pada karakteristik sosial budaya sendiri.
(4) Ekonomi

Seperti telah sedikit disinggung dalam uraian


sebelumnya, kebijakan ekonomi akan secara langsung akan
mengorbankan sedikit banyaknya sumberdaya alam.
Kebijakan ini akan masuk akal jika manfaat yang diperoleh
akan mencapai optimal sesuai dengan kemungkinan
terjadinya pemulihan sumberdaya alam dalam suatu periode
waktu tertentu. Artinya manfaat yang diperoleh saat ini tidak
lebih besar atau sama dengan kemudaharatan yang harus
ditanggung dikemudian hari. Dan tidak diragukan lagi banyak
sekali ahli ekonomi yang mampu menghitung besarnya nilai
ekonomis sumberdaya pada saat ini dan pada saat yang akan
datang. Masalahnya adalah apakah bangsa ini memiliki ahli
ekonomi yang mampu menghitung biaya sosial, politik, dan
hankam yang harus ditanggung oleh masyarakat secara
kontinyu ketika dilakukan penerapaan kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam.
Secara sederhana dapat disimpulkan jika manfaat
ekonomi yang diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya lebih
kecil dari biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat,
maka kebijakan pengelolaan tersebut tidak didasarkan dan
berorientasi kepada rakyat. Apalagi jika biaya politik dan
hankam yang selama tidak pernah diperhitungkan oleh ahli
ekonomi sebagai biaya yang harus ditanggung masyarakat,

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 12


maka cepat atau lambat pengelolaan sumberdaya akan
mengalami kehancuran yang sebenar-benarnya. Sampai di
titik ini ahli ekonomi akan mengatakan tidak mungkin untuk
menyiapkan sistem kelembagaannya karena tidak ada alat
analisisnya. Akhirnya semua kebijakan kembali ke kebijakan
awal yang hanya diubah penyampaiannya.
Untuk mengurangi beban kerusakan yang diakibatkan
pengelolaan suberdaya alam yang tidak berpihak kepada
rakyat, maka tidak dapat dihindari lagi kebijakan pembangunan
setidak-tidaknya harus beralih kepada paradigma kesatuan
daratan dan lautan, peningkatan kompetitif advantage,
intergenerational right, dan pembangunan persepsi terhadap
economic society yang berorientasi kebangsaan.

a. Paradigma kesatuan daratan dan kelautan.

Paradigma kesatuan daratan dan kelautan berintikan pada


manjemen sumberdaya yang terpetakan ke dalam jalur-
jalur pergerakan sumberdaya ke dalam pusat-pusat
pertumbuhan. Diantara pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
terdapat jalur hubungan transporatasi yang menjamin
terbentuknya distribusi alokasi sumberdaya yang
didasarkan kepada pencapaian efisiensi dan efektivitas
alokasi sumberdaya. Jalur transportasi ini memegang
peranan penting dalam mempersatukan daratan dan lautan
sebagai wujud negara kepulauan.

b. Peningkatan keunggulan kompetitif.

Dalam istilah teori ekonomi internasional, pengembangan


competitive advantage menjadi dasar dalam
memperhitungkan kesuksesan Indonesia untuk bersaing
dalam perekonomian yang sudah mengglobal.
Ketersediaan sumberdaya yang bersifat absolut hanya

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 13


akan memberikan manfaat ekonomi yang kecil, sedangkan
keuntungan komparatif yang mungkin diperoleh juga hanya
akan memberikan keuntungan yang tidak signifikan dengan
pertumbuhan persiangan yang tinggi dalam pasar
komoditas.

Lambat laun keuntungan komparatif ekonomi nasional


akan tersisihkan oleh negara-negara maju yang memiliki
teknologi yang jauh lebih maju. Nilai sumberdaya teknologi
maju selalu ditempatkan oleh negara maju ke dalam nilai
jual yang sangat tinggi. Sebaliknya, nilai ekonomi
sumberdaya alam selalu diletakkan pada tingkat harga
yang rendah. Posisi tawar negara yang memiliki
sumberdaya tinggi selalu dikalahkan oleh negara
berteknologi tinggi melalui pengusaha-pengusaha yang
selalu bersikap sebagai free rider dan dan tidak memiliki
wawasan kebangsaan yang memadai.
Kunci bagi peningkatan keuntungan kompetitif terletak
pada penguasaan dan pengembangan teknologi,
pengelolaan sumberdaya yang bedasarkan kehati-hatian,
dan peningkatan wawasan kebangsaan bagi seluruh
economic agents yang terlibat di dalamnya.
c. Intergenerational right.

Umumnya penjabaran human right hanya terfokus pada


individual right dan bukan social right. Artinya penegakan
hak manusia lebih dipusatkan kepada hak pribadi dan
bukan kepada hak sosial. Dalam hal ini, hak sosial perlu
dibaca sabagai hak manusia yang bermasyarakat dan
bermartabat yang selalu dipertimbangkan sebagai
kelompok masyarakat dari individu-individu yang memiliki
hak universal sebagai hasil akhir dari proses kolektif
penyaluran hak individu.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 14


Selain hak masyarakat yang ada pada saat ini, hak
pengelolaan sumberdaya perlu dipertimbangkan kedalam
hak masyarakat pada generasi yang akan datang.
Dengan demikian tidak dapat dihindarkan kembali oleh
bangsa dan negara untuk kembali mempelajari budaya
bangsa yang selalu memiliki perspektif intergenerational
dibandingkan dengan hukum-hukum ekonomi dan politik
yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan
dalam jangka pendek.

d. Pembangunan persepsi terhadap economic society yang


berorientasi kebangsaan.
Perjalanan bangsa telah melihat dan mebuktikan berbagai
praktek sosialisme dan liberaisme merupakan dua sistem
yang terbukti tidak sesuai dengan budaya bangsa
Indonesia. Kebudayaan Indonesia telah mampu meramu
sedemikian rupa kedua aliran ekstrim kanan dan kiri
tersebut jauh sebelum kedua aliran tadi dilahirkan sebagai
faham dalam menjalankan mekanisme kenegaraan.
Bukti yang terkumpul adalah bahwa aliran sosialis
mengajarkan warganegara untuk memiliki harapan
berkesejahteraan dan berkeadilan dengan cara menepis
adanya berbagai karakter manusia yang berevolusi dalam
persaingan. Sebaliknya aliran liberal memberikan peluang
kepada setiap penganutnya untuk memasuki medan
persaingan secara bebas sehingga terbentuk suatu
kebenaran cara yang didasarkan kepada hasil persaingan.
Tanpa menafikkan diperlukannya suatu harapan dalam
perikehidupan bernegara, masalah yang dihadapi bangsa
adalah bagaimana melahirkan suatu cara ekonomi yang
berbudaya dan didasarkan kepada kebenaran hakikat
kebutuhan manusia dan bukan dari hasil persaingan untuk
memperoleh manfaat secara individual dan kelompok.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 15


Persaingan cara akan bermuara kepada terbentuknya
biaya sosial yang tinggi sebagai dampak dari penerapan
suatu cara. Kalaupun cara seperti ini memang dianggap
efektif dan efisien, maka pertanyaan selanjutnya adalah
siapa yang akan menanggung biaya sosial ketika
pemerintah tidak mampu lagi mensubsidi dan
masyarakatpun terhimpit oleh ketersediaan pangan yang
terus menipis.

Untuk mengatasi dampak buruk dari pengaruh kedua aliran


tersebut tidak dapat dihindari lagi bahwa bangsa Indonesia
harus segera membangun persepsi masayarakat ekonomi
yang berorientasi kebangsaan. Dengan terbentuknya
kesadaran ini maka akan terbentuk suatu benteng budaya
perilaku ekonomi yang mampu bersaing secara optimal
tanpa harus melakukan pengorbanan yang tidak mungkin
dibayar oleh bangsa ini, baik sekarang atau di masa akan
datang.

(5) Hankam

Jika berpatokan pada pilar situasi hankam negara maju


yang ideal, maka situasi hankam hanya dapat didefinisikan
sebagai situasi dimana upaya pertahanan dan keamanan
sepenuhnya bersumber pengawasan rakyat terhadap dinamika
pembangunan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
indikator utama yang dapat diturunkan dari performa dinamika
pembangunan berbangsa dan bernegara antara lain adalah (a)
pencapaian upaya mempertahankan dan mengamankan
sumberdaya strategis bagi perikehidupan rakyat, (b)
peningkatan ketahanan seluruh sektor pembangunan secara
berimbang melalui pengitegrasian seluruh interaksi sektor
dalam kerangka sistem yang selalu dimutakhirkan, serta (c)
peningkatan fungsi pengamanan yang didasarkan pada proses

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 16


kesetimbangan dan harmonisasi pertahanan bangsa dan
negara.

c. Tata Nilai Pengelolaan Sumberdaya Alam

Dari gambaran sepintas tentang pengelolaan


sumberdaya alam dalam situasi pembangunan
ipoleksosbudhankam terlihat belum terbentuknya suatu sistem
pengelolaan yang didasarkan pada tata nilai
ipoleksosbudhankam itu sendiri. Secara gamblang dapat
dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya merupakan upaya
mewujudkan ideologi bangsa yang bertujuan untuk
meningkatkan setinggi-tingginya kesejahteraan, keadilan, dan
keamanan rakyat.

Masalah yang kemudian muncul adalah ketika para


penyelenggara negara memilih untuk melakukan pendekatan
ekonomi dan politik dalam pencapaian ideologi bangsa. Dalam
hal ini pengelolaan sumberdaya selalu diasumsikan telah
bersumber pada kondisi sosial budaya bangsa dan berasumsi
bahwa pendekatan ekonomi dan politik yang diadopsi dari
budaya negara maju memiliki adaptibilitas dan kesesuaian
yang tinggi terhadap budaya bangsa.

Penggunaan asumsi ini akan menimbulkan berbagai bias


perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, yaitu
ketika harus menentukan tingkat kebutuhan program yang
mampu menekan timbulnya biaya sosial yang tinggi. Dengan
asumsi bahwa tingkat kebutuhan program adalah pertemuan
kurva permintaan penawaran pada harga terendah pada setiap
unit hasil program pembangunan yang dilaksanakan, maka
untuk mengkompensasi biaya sosial yang ditimbulkan,
penyelenggara negara harus meningkatkan skala produksi

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 17


program dengan harga yang harus dibayar oleh rakyat lebih
tinggi dari harga kebutuhannya.

Bagus jika para wakil rakyat di badan legislatif, eksekutif,


dan yudikatif mengetahui asal usul terjadinya inefisiensi
penerapan pendekatan ekonomi dan politik yang tidak
didasarkan kepada kepentingan rakyat. Artinya masih ada
harapan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas program
pembangunan di kemudian hari, yaitu dengan menggunakan
pendekatan ekonomi dan politik yang memang didasarkan
kepada budaya bangsa. Dalam hal ini pendekatan ekonomi
dan politik yang didasarkan kepada budaya bangsa akan lebih
mampu menentukan dengan tepat tingkat kebutuhan program
sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Setelah pendekatan ekonomi dan politik didasarkan pada


budaya bangsa, maka situasi pertahanan dan keamanan
secara otomatis akan mengikuti dan dapat dijadikan barometer
pembangunan I-SOSBUD-EK-POL.

d. Campur Tangan Pemerintah

Perbedaan pendekatan I-POL-EK-SOSBUD-HANKAM dengan


I- SOSBUD-EK-POL-HANKAM akan membedakan dasar dan
informasi bagi penyelenggara negara untuk melakukan campur
tangan terhadap perekonomian negara. Jika seluruh kegiatan
pembangunan sepenuhnya didasarkan pada sosial budaya
bangsa maka akan lebih mudah bagi pemerintah untuk
melakukan (a) proteksi dan subsidi terhadap berbagai
sumberdaya strategis yang dibutuhkan rakyat sehingga dapat
diciptakan situasi ekonomi, politik, hankam yang stabil, (b)
pengembangan paradigma kesatuan wilayah maritim , serta (c)
peningkatan keunggulan kompetitif terhadap produk akhir hasil
pengelolaan sumberdaya.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 18


(1) Proteksi dan subsidi terhadap berbagai sumberdaya
strategis
Beranjak dari pertanyaan apa gunanya negara jika rakyat
Indonesia harus berjuang dan bersaing secara ekonomi dalam
skala global yang tidak lagi memiliki batas negara ? Pertanyaan
tersebut akan sangat mendasar jika penyelenggara negara
menyadari dengan pasti bahwa daya juang dan daya saing warga
negara republik ini masih rendah. Dalam keadaan yang
demikian, penyelenggaran negara tidak memiliki pilihan lain
kecuali melakukan proteksi dan subsidi.

Sebaliknya jika sebagian besar rakyat yang bergerak dalam


sektor tertentu telah mempu bersaing secara global, maka
memang sudah selayaknya penyelenggara negara untuk
membuka proteksi dan menurunkan subsidi serendah-rendahnya.
Dengan demikian pengambilan keputusan untuk tidak melakukan
proteksi atau subsidi bukan karena kekalahan politis atau ikut-
ikutan negara maju, akan tetapi merupakan hasil peninjauan
terhadap sifat strategis sumberdaya bagi rakyat.

(2) Pengembangan Paradigma Kesatuan Wilayah Maritim


Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dirahmati Tuhan YME
adalah negara kepulauan yang mencakup seluruh pulau di
dalamnya. Artinya secara politik regional dunia, Indonesia
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia merupakan negara
yang paling menentukan tentang hukum kelautan dibandingkan
dengan negara-negara lainnya yang merupakan kontinen.

Terlepas dari pengakuan negara lainnya, konsep paradigma


kesatuan wilayah maritim akan semakin berkembang ketika
interaksi antar pulau di seluruh wilayah nusantara terus
berkembang dan meningkat. Bentuk interaksi ini adalah
merupakan resultan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya
kelautan yang selanjutnya berfungsi sebagai jembatan ekonomi,
politik, dan hankam antarpulau.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 19


Pada saat interaksi antar pulau telah terbentuk secara permanen,
maka pengawasan sosial terhadap keseluruhan wilayah negara
akan menjadi kokoh tanpa harus meningkatkan anggaran secara
signifikan bagi tindakan antisipasi terhadap kemungkinan bentuk
invasi sporadis dari negara lain.

(3) Peningkatan keunggulan kompetitif terhadap produk


akhir hasil pengelolaan sumberdaya
Tingginya keunggulan absolut republik ini yang digambarkan
dengan negara yang kaya raya sampai saat ini tidak secara
signifikan menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Demikian
juga dengan dukungan keunggulan absolut, penerapan
keunggulan komparatif menjadi tidak banyak berarti ketika
produksi Indonsia masuk ke pasar dunia.

Pertanyaannya adalah mengapa sudah hampir enam puluh tahun


lebih Indonesia tidak mampu menghasilkan output produksi
dengan standard yang tinggi. Jawaban yang paling logis adalah
sebagian rakyat Indonesia yang berperan sebagai makelar tidak
memiliki wawasan kebangsaan yang memadai, sehingga secara
sistematis berusaha menekan dan mengorbankan produsen
dalam negeri untuk menghasilkan produk sampai tingkat kualitas
tertentu. Artinya, dengan sedikit modal tambahan, produksi
Indonesia diubah dan dipoles dengan merek dagang negara
tujuan eksport untuk kemudian dimasukkan kembali ke negara
kita. Dengan demikian marjin manfaat ekonomi yang diperoleh
makelar seperti ini akan berlipat ganda dibanding apabila
produksi dalam negeri dipasarkan dalam kualitas yang tidak
mungkin dikembangkan kembali.

Untuk mengatasi makelar-makelar yang tidak memiliki


wawasan kebangsaan ini diperlukan campur tangan
pemerintah dengan menerapkan mekanisme produksi yang
didasarkan pada keunggulan kompetitif. Keunggulan
kompetitif yang didukung oleh adanya keunggulan absolut
dan komparatif yang tinggi akan semakin mudah
dilaksanakan jika pemerintah, yang dalam hal ini adalah

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 20


departemen teknis, secara terus menerus melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap penggunaan teknologi
produksi yang digunakan oleh produsen di dalam negeri.
Selain itu, bersama-sama dengan asosiasi pedagang mulai
membangun perwakilan-perwakilan dagang yang mampu
menterjemahkan keinginan pasar luar negeri bagi
kepentingan pengembangan produksi di dalam negeri.

Tanpa pengembangan teknologi produksi yang secara


terus menerus dimutakhirkan, maka kecil harapan produk
Indonesia mampu bersaing di pasar ekspor. Berdasarkan
pemikiran tersebut memang sudah saatnya diperlukan
campur tangan pemerintah untuk melakukan pemantauan
dan evaluasi terhadap penggunaan teknologi produksi.

C. Komitmen Pembaharuan dalam Pengelolaan


Sumberdaya Alam

Sebelum memasuki pemikiran terhadap komitmen


pembaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal
ini pengertian komitmen merupakan bentuk keinginan kuat
yang didasari oleh kepercayaan dari seluruh stakeholder untuk
melembagakan suatu cara dan pendekatan pembangunan.
Dengan kata lain, komitmen merupakan struktur kelembagaan
pembangunan baru yang digunakan untuk mengubah struktur
kelembagaan pembangunan yang ada, sehingga mampu
menghasilkan kinerja dan prilaku pembangunan yang
diharapkan.

Ditinjau dari sisi kelembagaan, perubahan struktur


kelembagaan ini dapat merubah aturan main yang ada dan
memiliki kemungkinan besar dalam perubahan
pengorganisasiannya.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 21


a. Fleksibilitas Aturan Main yang Menyertai Program
Pembangunan
Pembangunan yang diartikan sebagai upaya perubahan
dari suatu situasi kepada situasi baru merupakan seperangkat
perubahan upaya pengelolaan yang menghasilkan situasi saat
ini kepada upaya pengelolaan yang menghasilkan situasi yang
diharapkan. Dalam hal ini, perubahan upaya dapat diartikan
sebagai perubahan bentukan upaya secara menyeluruh serta
perubahan upaya dalam katagori mengurangi atau
menambahkan aturan-aturan yang menyertainya dengan
tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja
program dan kegiatan pembangunan.

Beranjak dari pengertian pembangunan terkait dengan


upaya perubahan situasi, maka secara konsisten diperlukan
perubahan aturan main dari aturan main sebagai pembentuk
situasi saat ini kepada aturan main yang diharapkan dapat
membentuk situasi yang baru. Perubahan aturan main ini
harus bersifat fleksibel, yaitu mampu secara langsung atau
tidak langsung memenuhi berbagai kriteria yang diperlukan
dalam pembentukan suatu program dan kegiatan
pembangunan. Adapun dalam proses pembentukannya,
fleksibitas perubahan aturan main diartikan sebagai
kemampuan yang tinggi dari suatu aturan main untuk
dikembangkan secara lengkap terhadap kriteria sumber
pembentuknya dengan tujuan untuk lebih meningkatkan
efisiensi dan efektivitas program dan kegiatan pembangunan.

Secara umum kriteria sumber pembentukan fleksibilitas


aturan main mencakup pemenuhan persyaratan (a)
kesesuaian program dan kegiatan pembangunan, yaitu antara
lain meliputi adaptibilitas, kesesuaian, kemampuan,
kompatiblilitas, serta kesinambungan program dan kegiatan
pembangunan, (b) penjabaran peraturan perundang-undangan

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 22


sampai kepada petunjuk teknis dan pelaksanaan yang telah
mempertimbangkan seluruh dampak pimer dan sekunder yang
mungkin timbul dari program pembangunan, serta (c)
melaksanakan pemutakhiran terhadap hasil evaluasi kinerja ke
dalam aturan main sebagai upaya penyempurnaan program
dan kegiatan pembangunan.
b. Perubahan Sistem Koordinasi Pengelolaan
Sumberdaya Alam
Pengelolaan sumberdaya yang sering bersifat
intersektoral mengharuskan pemerintah melakukan perubahan
sistem koordinasi pengelolaan sumberdaya kedalam format
baru yang memperhatikan kriteria sumber pembentukan
fleksibilitas aturan main.
Dari ketiga sumber pembentukan fleksibilitas aturan main
tersebut tidak dapat didasarkan sepenuhnya kepada ketentuan
alokasi anggaran pembangungan, akan tetapi benar-benar
didasarkan kepada perhitungan kebutuhan anggaran bagi
setiap rencana program dan kegiatan sehingga tidak
menimbulkan hambatan yang tidak diharapkan dalam
pelaksanaannya. Sebagai contoh, dalam mencapai ketahanan
pangan yang tinggi diperlukan koordinasi rencana program
yang tersebar di dalam sektor perencanaan nasional,
pertanian, bulog, perdagangan dan perindustrian, kelautan dan
perikanan, kependudukan dan lingkungan hidup, pekerjaan
umum serta pemerintahan dalam negeri. Koordinasi ini
sepenuhnya merupakan wilayah kerja Menteri Koordinator dan
tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada departemen
pertanian karena akan mendapat kesulitan dalam
mengkoordinasikan rencana kegiatan dan hasil pembangunan
dengan departemen lainnya.
Dengan diserahkannya rencana program ketahanan
pangan kepada kementerian koordinator, maka dalam
pelaksanaannya Menko dapat menyerahkan secara parsial

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 23


setiap bagian program kepada masing-masing kementerian
terkait dan tetap memegang kendali dalam pelaksanaan
monitoring dan evaluasi program. Masalah yang kemudian
muncul adalah apakah Menko Ekuin sebagai instansi yang
bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya alam
sudah siap melaksanakan pembaharuan pengelolaan
sumberdaya. Atau mungkin diperlukan sebuah institusi baru
yang berfungsi sebagai kementerian koordinasi pengelolaan
sumberdaya, yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap
pengelolaan sumberdaya alam secara an sich.

D. Penutup

Dari uraian tersebut, tampak betapa sulitnya melakukan


pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana
yang diidam-idamkan oleh Sarwono. Pembaharuan
pengelolaan sumberdaya alam tidak dapat hanya dilakukan
dengan mengamputasi sebagian aturan main, akan tetapi
menuntut dilakukannya perubahan sistem kelembagaan secara
keseluruhan, sehingga terbentuk kinerja yang efektif dan
efisien.

Komitmen Pembaharuan Sumberdaya 24

Anda mungkin juga menyukai