Anda di halaman 1dari 19

Daftar Isi

Kata Pengantar Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya bagi penulis dalam mengerjakan Proposal ini, sehingga proposal ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul Kehidupan Pemulung di Kota Palu merupakan prasyarat untuk menyelesaikan mata kuliah Sejarah Sosial. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pemulung dan masyarakat di Kota Palu, serta seluruh pihak yang telah membantu kelancaran dalam pembuatan proposal ini.

Palu, Desember 2013

Penulis

Bab I Pendahuluan

1.1.Latar Belakang Di zaman yang modern seperti sekarang ini, kita sebagai manusia pasti membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kenyataannya, uang telah menjadi salah satu kebutuhan primer yang harus kita penuhi. Karena tanpa uang, tentunya kita akan sulit berkembang, beraktifitas dan bertahan hidup. Oleh karena itu, kita diwajibkan bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, sebagian dari kita menganggap uang adalah segalanya. Namun, ada pula yang tidak mempunyai uang yang cukup dapat mempertahankan hidupnya di tengah zaman yang penuh persaingan seperti saat ini. Dan tentunya, mereka harus bekerja lebih keras untuk mendapat sesuap nasi. Banyak dari mereka yang masih di bawah umur sudah bekerja membanting tulang demi kesejahteraan keluarganya. Ada yang menjadi pengemis, pemulung dan pengamen di jalanan. Padahal, semestinya mereka harus menuntut ilmu di bangku sekolah. Selain anak-anak, profesi tersebut juga banyak dilakoni oleh orang dewasa. Mayoritas dari mereka yang melakoninya adalah para pengangguran. Oleh karena itu, kami mengangkat judul Kehidupan Pemulung Di Kota Palu untuk mengetahui kehidupan para pemulung khususnya di Kota Palu yang merupakan salah satu propinsi yang terbelakang di Indonesia.

1.2.Rumusan Masalah Penulis merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut : 1.Bagaimana kehidupan sehari-hari para pemulung di Kota Palu? 2.Berapa pendapatan dari hasil kerja yang mereka lakukan per hari? 3.Apa suka dan duka yang mereka rasakan dalam melakoni profesi tersebut? 4.Apa sisi positif dan negatif bagi masyarakat dengan adanya pemulung? 5.Apa usaha pemerintah setempat dalam menangani permasalahan tersebut?

1.3.Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan terhadap para pemulung khususnya yang ada di Kota Palu adalah sebagai berikut: 1.Mengetahui kehidupan sehari-hari para pemulung di Kota Palu. 2.Mengetahui pendapatan dari hasil kerja yang mereka lakukan per hari. 3.Mengetahui suka dan duka yang mereka rasakan dalam melakoni profesi tersebut. 4.Mengetahui sisi positif dan negatif bagi masyarakat dengan adanya pemulung. 5.Mengetahui usaha pemerintah setempat dalam menangani permasalahan tersebut.

Bab II Kajian Pustaka

2.1.Definisi Pemulung Pemulung adalah seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat pembuangan sampah sebagai barang bekas (Pramuwito, 1992 dalam Ameriani, 2006). Pemulung adalah mereka yang bekerja mendayagunakan barang-barang yang diperoleh dari sampah kota, tidak termasuk rumah tangga dan pembantu yang memilah-milah koran kemudian dijual bilamana waktunya tepat dan pengusaha besar yang membeli dan menjual barang-barang bekas (Birkbeck, 1976). Peranan pemulung adalah mengumpulkan barang-barang buangan dari berbagai lokasi pembuangan sampah di kota untuk mengawali proses penyalurannya ke tempat-tempat produksi. Dalam menjalankan fungsi ini, para pemulung perlu mengenali jenis-jenis sampah yang mempunyai nilai ekonomis serta mengetahui nilai masing-masing barang karena harganya berfluktuasi (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Usia pemulung sampah beraneka ragam, mulai dari anak-anak yang secara subtansial menganggur dipaksa untuk membantu ekonomi rumah tangga hingga usia diatas 40 tahunan. Lebih dari separuh pemulung tidak mengecap pendidikan SLTP, mereka memang sempat sekolah namun hanya sekedar dapat baca tulis.

2.2.Alasan Menjadi Pemulung Gambaran tepat tentang pemulung tidak diperoleh secara pasti. Hal ini karena lemahnya perhitungan statistik karena para peneliti mengalami kesulitan untuk menghitung mereka. Jumlah pemulung tidak pernah konstan, tetapi mengalami pasang surut. Pekerjaan pemulung itu mudah dan tidak memerlukan modal atau keterampilan tinggi sehingga banyak orang yang terjun menjadi pemulung dalam tempo yang singkat (Lumingkewas, 1997).

Banyak faktor dan sebab yang membuat sebagian besar dari masyarakat melakukan kegiatan memulung atau yang lebih sering disebut sebagai pemulung. Salah satu faktor yang mengakibatkan meningkatnya pemulung adalah akibat memburuknya kondisi ekonomi nasional. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah harga-harga barang bekas meningkat dalam beberapa tahun ini (Guinnes, 1985). Alasan menjadi pemulung sangat beragam, namun alasan yang paling banyak dikemukakan adalah profesi ini tidak memerlukan persyaratan tertentu, seperti pendidikan, keterampilan dan modal, tidak ada alternatif pekerjaan lain, pekerjaan ini mudah dilakukan dan ada relasi yang sudah bekerja lebih dulu di (Ameriani, 2006). Bekerja sebagai pemulung tidak akan mengalami kerugian material secara langsung. Dapat dilihat bahwa terdapat kemungkinan besar bahwa pemulung tidak berani mengambil resiko yang besar untuk mendapatkan sesuatu hasil yang besar pula (Ameriani, 2006). Hal ini disebabkan bekerja sebagai pemulung tidak memerlukan modal sama sekali, mereka hanya perlu tenaga yang kuat, tidak ada rasa malu dan berani bekerja di tempat yang kotor. Menjadi pemulung adalah salah satu pilihan terburuk diantara yang buruk karena tidak ada pilihan lain (Santoso, 2000). Dalam hal ini tidaklah berarti bahwa mereka tidak mempunyai keinginan untuk hidup dalam suatu keadaan sosial ekonomi yang lebih baik, tetapi mereka percaya bahwa hal itu adalah mustahil (Suparlan, 1981). Walaupun tidak selalu, namun alasan utama orang-orang itu meninggalkan rumah kediaman mereka di desa ialah krisis keuangan dan sosial bukan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Walaupun mereka tidak mempunyai sarana sukses di kota, mereka tidak ingin kembali ke desa (Suparlan, 1981). Beberapa di antara alasan untuk meninggalkan desa mereka ialah mengelakkan kawin paksa atau dijualnya tanah keluarga, perlakuan buruk orangtua, kecopetan dan sebagainya. Pemulung sebagai pekerja di sektor informal juga merupakan katup pengaman yang efektif dalam mengatasi kesulitan dan keterbatasan lapangan pekerjaan di kota Jakarta (Simanjuntak, 2002). Pekerjaan sebagai pemulung dapat

bersifat sementara saja sambil menunggu kesempatan untuk beralih ke profesi yang lebih baik. Mereka biasanya bekerja menjadi pemulung untuk beberapa tahun saja, walaupun ada juga pemulung yang telah bekerja selama 20-25 tahun. Tak seorang pun diantara mereka yang langsung menjadi pemulung melainkan berkelana dulu di berbagai kota kecil, tidur di kaki lima, dan mempertahankan hidup dengan mencuri, menarik becak, menjajakan barang, memulung dan menggali pasir. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa kondisi hidup mereka memberi kebebasan lepas dari berbagai pembatasan kehidupan desa (Suparlan, 1981). Bagi mereka, aktivitas pemulung dapat dilakukan dengan suasana santai dan tidak perlu bekerja keras. Karena jika bekerja terlalu keras dan akhirnya sakit malah tidak bisa bekerja sama sekali dan tidak mempunyai uang karena tak seorang pun akan memperdulikan dan memberi uang untuk makan. Mereka juga dapat menentukan sendiri kapan saja mereka mulai bekerja karena akan selalu tersedia selama 24 jam. Mereka tidak akan ketakutan kehabisan sampah apabila terlambat bekerja (Simajuntak, 2002)

2.3.Kehidupan Ekonomi Pemulung Pemulung merupakan ujung tombak bagi para pedagang sampah daur ulang. Pemulung tidak independen menetukan harga, bahkan untuk memilih pembeli yang lebih baik pun tidak bisa. Pabrik yang menentukan harga untuk harga barang bekas, hal itu yang mendasari pembatasan aliran pendapatan ke pemulung sehingga para pemulung perlu menyatu dengan rekannya dan berserikat kerja serta menuntut harga yang lebih tinggi atau meningkatkan produktivitasnya (Santoso, 2000). Dalam hal ini bukan menambah jam kerja mencari pulungan tetapi lebih ke ketrampilan pemulung. Cara pemulung jalanan dalam melaksanakan aktivitasnya dipandang sangat kotor, karena mereka bergulat dengan sampah setiap harinya. Walaupun jumlah penghasilannya mungkin lebih tinggi dari pada pegawai negeri golongan paling rendah, mereka tetap dipandang inferior. Melihat

pemulung dengan segala kekurangan bukan berarti menanggap mereka sama sekali tidak memiliki potensi (Twikromo, 1999). Pemulung merupakan bagian dari kejelian dan kegigihan seseorang melihat peluang dan mau bekerja keras yang didukung ekonomi kota yang memberikan kemungkinan lebih besar bagi para anggota rumah tangga miskin untuk mengakses peluang kerja di sektor informal kota. Pendapatan pemulung tergantung dari banyaknya hasil pulungannya. Jadi setiap pemulung mempunyai pendapatan yang berbeda tergantung seberapa gigih pemulung berusaha (Twikromo, 1999). Dalam kehidupan sehari-hari, pemulung jalanan biasanya menghabiskan uang mereka untuk kebutuhan makan dan minum, atau jika mereka mempunyai uang lebih mereka juga menghabiskan untuk bersenang-senang, seperti judi kecilkecilan. Akan tetapi banyak juga yang jarang sekali mendapatkan uang lebih untuk bisa bersenang-senang. Kondisi kehidupan telah memaksa mereka untuk tidak menyimpan uang dan pakaian dalam jumlah yang relatif banyak atau menyimpan barang-barang bernilai jual tinggi. Mereka cenderung menghabiskan hampir semua uang yang mereka dapatkan hari itu (Mangiang et al. 1979). Beberapa pemulung tidak jarang harus melakukan beberapa aktivitas sekaligus sebagai strategi untuk bertahan hidup ataupun melibatkan anggota keluarga termasuk anak-anaknya untuk membantu menambah penghasilan dengan menjadi pemulung (Lumingkewas, 1997). Namun, ada juga anggota keluarga yang bekerja tidak menjadi pemulung tetapi menjadi tukang cuci baju atau mengasuh bayi. Pemulung menjadi miskin bukanlah karena mereka tidak bekerja atau kurang jumlah jam kerjanya. Tetapi mereka miskin karena faktor-faktor struktural yang menghalangi pemulung untuk memperoleh kelebihan keuntungan dari kegiatan pulungan yang mereka lakukan dan untuk pemulung mengakumulasikan uang. Selain itu, karena pemulung tidak dapat mendayagunakan kesempatan yang ada karena kesempatan tersebut dikuasai oleh satu pihak dalam hal ini lapak ataupun bandar-bandar (Mangiang et al. 1979).

2.4.Kehidupan Sosial Pemulung Pada dasarnya, banyak batasan dihadapi oleh para pemulung yang hidup di daerah perkotaan. Banyak peraturan dan common sense masyarakat kota yang mendukung pembangunan kota telah membuat pemulung hidup dibawah tekanantekanan sosial-budaya. Walaupun demikian, beberapa di antara mereka masih dapat menemukan kebahagiaan dalam kehidupannya (Twikromo, 1999). Sebagian besar pemulung masih menyadari keberadaannya dalam masyarakat kota. Pemulung menerima sikap-sikap diskriminatif masyarakat kota seperti tidak diperbolehkan masuk ke daerah tertentu. Perkampungan kumuh yang usang bertahan karena tidak ada penggantinya yang lebih murah biayanya dan lebih cocok penggunaannya (Santoso, 2000). Kehidupan di perkampungan kumuh (slum area) tidak selalu menandakan kemerosotan (Adams, 1993). Mungkin saja merupakan tahap pertama dalam peralihan dari kehidupan gelandangan menuju berumah tangga, ataupun sebagai tempat peralihan dari kemiskinan menuju pada harapan yang lebih baik Pemulung tidak pernah terlibat atau dilibatkan dalam proses perkembangan kota. Mereka juga jarang disentuh oleh dampak positif perkembangan kota. Kepentingankepentingan mereka tidak pernah terwakili atau cenderung diabaikan oleh pemerintah kota. Pengabaian ini dimaksudkan untuk menekan peningkatan jumlah orang jalanan di daerah perkotaan (Twikromo, 1999). Pemulung mungkin dapat membentuk masyarakat yang lebih stabil tanpa bantuan pemerintah dan mengaitkan diri sendiri ke lapangan pekerjaan yang stabil. Gambaran ini mengubah kesan yang sering melukiskan pemulung sebagai golongan yang tak layak bertempat tinggal dan merupakan benalu di kota. Padahal pemulung mempunyai kontribusi yang besar pada lingkungan kota (Suparlan, 1981).

2.5.Teknik Pengumpulan Data Untuk menyelesaikan penyusunan Proposal ini, penulis menggunakan beberapa metode yang dianggap sesuai sebagai acuan untuk memperoleh data. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Metode observasi Pada kesempaatn ini, penulis mengadakan pengamatan secara langsung ke lokasi di mana para pemulung melakukan aktifitasnya untuk memperoleh gambaran yang jelas dan nyata tentang kehidupan pemulung botol di Kota Palu. 2. Metode wawancara Untuk memperoleh data yang akurat langsung dari sumber utamanya, penulis mengadakan tanya jawab secara lansung ke beberapa pemulung botol dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut aktifitas kesehariannya.

2.6.Teknik Analisis Data Dalam penyusunan Proposal yang berjudul Kehidupan Pemulung Di Kota Palu ini, penulis menggunakan teknik analisis data dengan metode kualitatif. Metode ini mengutamakan cara kerjanya dengan mendiskripsikan hasil penelitian berdasarkan penilaian-penilaian terhadap data yang diperoleh. Metode ini sangat diperlukan dalam proses penyusunan proposal ini, karena data yang diperoleh penulis dari hasil penelitian tidak dapat diukur dengan angka.

Bab III Hasil Penelitian Dan Pembahasan

3.1.Kehidupan Sehari-hari Pemulung Di tengah terlelapnya orang-orang yang masih tidur saat fajar menyongsong, para pemulung mulai melakukan aktifitas kesehariannya, tidak lain yaitu memulung barang bekas. Mayoritas pemulung di Kota Palu adalah orang dewasa yang berusia 40 tahun ke atas. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kecil dari para pemulung yang ada di Kota Palu berusia antara 10-40 tahun. Selain pada pagi hari, mereka juga memulung pada siang hari hingga sore hari menjelang petang. Namun, ada juga para pemulung yang masih bekerja hingga pukul 22.00 bahkan sampai larut malam. Hal ini dikarenakan mereka harus mencari barang bekas untuk ditukarkan ke para pengumpul dengan uang yang sangat mereka butuhkan untuk menyambung hidup di tengah zaman yang penuh dengan persaingan ini. Pada pagi hari, para pemulung melakukan tugasnya dengan berjalan kaki dari tempat tinggal mereka yang terbuat dari papan ke rumah-rumah makan atau super market yang ada di Kota Palu. Aktifitas tersebut mereka lakukan mulai sekitar pukul 05.00-12.00. Hal ini dikarenakan sebagian besar super market dan rumah makan yang ada di Kota Palu mengakhiri segala aktifitasnya hingga larut malam, sehingga para pemulung tentu akan memungut barang-barang yang sudah dibuang (tidak diperguna-kan lagi). Bahkan, tidak jarang mereka harus mengorek tempat sampah yang baunya sangat menyengat demi mendapatkan sebuah barang bekas. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 12.00, biasanya mereka akan beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Ada yang pulang ke rumah dan ada juga juga yang beristirahat di tepi jalan. Jika pemulung pulang ke rumah pada siang hari, biasanya mereka tidak akan melanjutkan lagi kegiatan memulung, melainkan mereka akan melepas lelah mereka seharian di tempat tinggal mereka. Jika pemulung tersebut hanya beristirahat di tepi jalan, biasanya mereka akan

melanjutkan lagi memungut di sepanjang jalan yang mereka lewati hingga sore hari atau bahkan malam hari. Ada pemulung yang beraktifitas hingga pukul 16.00, 22.00, atau bahkan hingga pukul 01.00 dini hari. Namun, mayoritas pemulung tersebut beraktifitas hingga pukul 16.00. Biasanya para pemulung tersebut akan menyimpan barangbarang bekas yang mereka dapatkan di rumah mereka selama satu bulan. Jika sudah saatnya, mereka akan menjualnya ke para pengumpul dan akan diangkut dengan kapal laut ke Kota Surabaya untuk diolah kembali (didaur ulang). Akan tetapi, ada juga pemulung yang langsung menjual yang didapatkannya dalam satu hari ke para pengumpul. Na-mun, pemulung yang semacam ini hanya sedikit. Mayoritas para pemulung adalah menjadi pemulung sampah plastik, besi be-kas, kardus dan aluminium.

3.2.Pendapatan Pemulung Per Hari Pendapatan yang diperoleh dari hasil kerja pemulung dalam sehari biasanya hanya akan cukup untuk makan pada hari itu saja. Untuk makan keesokan harinya, mereka harus bekerja lagi mengumpulkan barang-barang bekas yang sudah tidak dipergunakan lagi seharian penuh. Hal ini dikarenakan harga penjualan yang mereka pungut semakin lama semakin menurun. Turunnya harga barang bekas ini dimulai dari pertengahan tahun 2008 hingga sampai saat ini. Pada waktu sebelum terjadinya penurunan harga barang bekas, biasanya pendapatan mereka berkisar antara Rp.700.000,00 sampai Rp.1.000.000,00 dalam satu bulan. Namun, setelah terjadi penurunan harga barang bekas yang amat drastis seperti saat ini, biasanya mereka hanya mendapat pemasukan uang yang hanya cukup untuk makan dalam sehari saja. Dan pendapatan mereka itu hanya berkisar antara Rp.3.000,00 hingga Rp.5.000,00 per hari. Berarti, jika mereka menjualnya hanya sekali dalam sebulan, mereka akan mendapat pemasukan uang yang berkisar antara Rp. 90.000,00-Rp.150.000,00 dalam satu bulan. Pendapatan mereka itu pun didapat dari hasil memulung barang-barang yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi namun dapat bernilai uang jika dijual ke para pengumpul. Contohnya kardus-kardus bekas, besi bekas, aluminium dan sampah plastik.

Harga yang dipatok oleh para pengumpul dari hasil kerja para pemulung dalam memulung tidak sebanding dengan rasa lelah yang harus mereka tanggung dari kerja keras mereka dalam satu hari. Jika dibandingkan dengan uang jajan anak pelajar SMA sekarang, tentu saja peng-hasilan para pemulung tersebut sama dengan uang jajan anak SMA dalam sehari. Padahal, uang hasil kerja mereka dalam satu hari harus cukup untuk memenuhi segala kebutuhan dirinya dan keluarganya dalam satu hari.

3.3.Suka Duka Menjadi Pemulung Dalam setiap pekerjaan, tentu saja ada suka dan duka dari apa yang kita lakukan. Begitu juga dalam melakoni profesi sebagai pemulung. Para pemulung juga mempunyai suka dan duka dari apa yang telah mereka kerjakan. Dalam memulung, rasa suka yang didapatkan oleh para pemulung adalah dapat mengisi waktu luang di usia tua karena dengan itu, mereka tidak akan merasa bosan selalu berdiam diri di rumah. Selain itu, mereka juga dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dari hasil kerja memulung. Selain rasa suka, tentu juga ada rasa duka yang didapatkan dalam melakoni profesi sebagai pemulung. Rasa duka tersebut adalah panas matahari yang begitu menyengat kulit ketika mereka sedang beraktifitas. Jika terjadi hujan dan mereka dilanda suatu penyakit, mereka tidak dapat memungut barang bekas. Hal itu disebabkan mayoritas dari mereka adalah orang yang lanjut usia, sehingga daya tahan tubuh mereka pun lebih lemah dari orang yang usianya masih muda. Selain itu, ada satu hal yang paling mereka tidak sukai dalam melakoni profesi ini. Yaitu harga barang yang tidak stabil dan cenderung menurun terus-menerus dari dahulu hingga sekarang. Inilah yang membuat para pemulung tidak semangat bekerja memungut barang bekas. Mereka sangat berharap kepada para pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib para pemulung yang sangat berjasa dalam usaha pemeliharaan kebersihan yang ada di Kota Palu.

3.4.Sisi Positif dan Negatif Adanya Pemulung Botol Sama halnya dengan suka dan duka, di dalam setiap pekerjaan yang dilakoni sese-orang pun ada sisi positif dan negatifnya di lingkungan masyarakat. Adanya pemulung di lingkungan masyarakat pun menimbulkan sisi positif dan negatif. Sisi positif adanya pemulung di lingkungan masyarakat adalah semakin berkurangnya sampah yang berserakan di tepi jalan, sehingga pencemaran lingkungan di Kota Palu pun semakin lama akan semakin menurun. Hal sekecil ini merupakan salah satu usaha dalam mencegah terjadinya banjir yang disebabkan oleh sampah yang me-numpuk di sungai, khususnya di Kota Palu. Sisi negatif adanya pemulung di lingkungan masyarakat adalah adanya para pemulung nakal yang mengambil barang-barang yang semestinya masih layak digunakan oleh pemiliknya. Mereka malah mengambil barang-barang tersebut dan menjualnya ke para pengumpul. Hal inilah yang sangat meresahkan masyarakat dengan adanya para pemulung.

3.5.Usaha Pemerintah Menangani Permasalahan Pemulung Sejauh ini, usaha pemerintah dalam menangani berbagai masalah yang menimpa para pemulung belum nampak. Namun kenyataannya, adanya para pemulung di Kota Palu ini justru malah dianggap sebelah mata oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan harga barang bekas yang tidak pernah stabil. Semakin lama, harga barang bekas cenderung semakin menurun. Semestinya, pemerintah harus lebih cepat tanggap dengan permasalahan yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari tingkat perekonomiannya yang rendah hingga yang tinggi. Sehingga akan tercipta kesejahteraan rakyat yang merata. Jika saja di dunia ini tidak ada para pemulung, tentu saja sampah akan menumpuk terus-menerus dan tidak akan ada habisnya. Sehingga kemungkinan besar akan menimbulkan pembuangan sampah secara sembarangan akan semakin meningkat, meluapnya sungai dan terjadinya banjir yang kapan saja dapat terjadi. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya memperhatikan nasib para pemulung agar hidupnya lebih layak. Salah satunya dengan membuat harga jual barang

bekas stabil. Dengan begitu, para pemulung akan lebih semangat dalam bekerja memulung barang-barang bekas yang berserakan di Kota Palu. Selain itu, untuk lebih menyejahterakan kehidupan para pemulung yang ada di Kota Palu pemerintah sebaiknya memberikan pelatihan pendidikan ilmu kewirausahaan kepada para pemulung. Sehingga membuat para pemulung dapat membuka lapangan kerja sendiri bahkan bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain. Hal ini tentu saja dapat mengurangi jumlah pengangguran yang ada di Kota Palu sedikit demi sedikit.

Bab IV Penutup

4.1.Kesimpulan Mayoritas pemulung di Kota Palu adalah orang dewasa yang berusia 40 tahun ke atas. Biasanya mereka bekerja mulai dari pukul 05.00-16.00. Mereka memulung sampah plastik, besi bekas, kardus dan aluminium. Pendapatan mereka hanya berkisar antara Rp.3.000,00 sampai Rp.5.000,00 per hari. Rasa suka yang didapatkan para pemulung adalah dapat mengisi waktu luang di usia tua dan dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Sisi positif adanya pemulung di lingkungan masyarakat adalah semakin berkurangnya sampah dan sisi negatifnya adalah adanya pemulung nakal yang mengambil barang-barang yang masih layak digunakan pemiliknya. Sejauh ini, usaha pemerintah dalam menangani berbagai masalah yang menimpa para pemulung belum nampak. Pemerintah sebaiknya memberikan pelatihan pendidikan ilmu kewirausahaan kepada para pemulung dan membuat harga jual barang bekas stabil.

4.2.Saran-Saran Disarankan kepada para pembaca mencari referensi lain yang berkaitan dengan materi Karya Ilmiah Remaja (KIR) ini agar mendapat pengetahuan yang lebih daripada ini. Dan penulis berharap kepada para pembaca setelah membaca KIR ini dapat mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka Paramagita, Anggraeni 2008. Persepsi Pemulung Terhadap Nilai Kerja Dan Harapannya Di Masa Depan (Kasus Pemukiman Pemulung Di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wirakartakusumah, M. Djuhari. 1999. Bayang-bayang Ekonomi Klasik. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Maryati, Kun. dan Suryawati, Juju. 2001. Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas X. Jakarta: Esis. Solikha Nofiani, Nurul. 2008. Sentra Industri Genteng Press Di Wilayah Grogol Sukaharjo. Solo: Assalaam Press.

Lampiran

Daftar Informasi

Anda mungkin juga menyukai