Anda di halaman 1dari 16

Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10

Banjarmasin, 1 4 November 2010

KOMUNIKASI RITUAL DALAM TRADISI KEPALA MENYAN Studi Terhadap Pertautan Tradisi Lokal dan Nilai Keislaman Di Desa Air Keruh dan Desa Sukarami, Kec. Rambang, Kab. Muara Enim Yenrizal ABSTRACT Komunikasi ritual dapat dimaknai sebagai proses pemaknaan pesan sebuah sekelompok masyarakat terhadap aktifitas religi dan sistem kepercayaan yang dianutnya. Dalam prosesnya selalu terjadi pemaknaan simbol-simbol tertentu yang menandakan berlangsungnya proses komunikasi ritual tersebut. Kerap terjadi perrsinggungan dengan paham-paham keagamaan formal yang kemudian ikut mewarnai proses tersebut. Realitas ini banyak terdapat di wilayah nusantara. Salah satunya adalah di Sumatera Selatan tepatnya di Kecamatan Sukarami, Kabupaten Muara Enim. Hal ini menarik untuk dikaji karena memperlihatkan bagaimana eksistensi Kepala Menyan, baik sebagai individu pemimpin adat maupun sebagai institusi informal di masyarakat, dimana masih menunjukkan kekuatannya dan mampu menjalin kolaborasi dengan perkembangan yang terjadi. Besar kemungkinan ini berkaitan dengan kekuatan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah melembaga di masyarakat. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah proses adaptasi nilai-nilai budaya lokal dan nilai keislaman sebagai komunikasi ritual yang membentuk kelembagaan kepala menyan, pemaknaan simbol-simbol Islam oleh kepala menyan dan menjadi muatan dalam komunikasi ritual yang dilakukannya, serta pemaknaan simbol-simbol Islam dan simbol kepala menyan oleh masyarakat dalam kaitannya dengan nilai kearifan lokal masyarakat setempat. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Melalui ini peneliti melakukan pengamatan, wawancara mendalam, serta penelahaan bahan kepustakaan. Peneliti juga ikut hadir di desa tersebut dan berbaur dengan kehidupan masyarakat setempat. Analisisnya menggunakan analisis interaktif, khas kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan proses adaptasi nilai budaya lokal serta masuknya nilai keislaman terhadap Kepala Menyan berlangsung alami dan komunikasi ritual berlangsung atas interaksi dengan alam. Kepala Menyan adalah produk budaya lokal, nilai penghargaan terhadap alam semesta, keyakinan penguasa alam semesta diwujudkan melalui ritual yang dipimpin Kepala Menyan. Simbol agama Islam dimaknai oleh seorang Kepala Menyan sebagai bentuk aktifitas beragama semata. Komunikasi ritual yang dilaksanakan lebih banyak berhubungan dengan mekanisme animisme dan dinamisme yang diyakini ketimbang komunikasi ritual atas dasar keesaan Tuhan sebagaimana ajaran Islam. Masyarakat memandang Kepala Menyan sebagai salah satu lembaga tradisi lokal yang sudah ada sejak dulu. Ia bukanlah tokoh agama, ia hanya tokoh adat. Keterikatan masyarakat dengan Kepala Menyan mulai memudar karena perkembangan zaman dan tuntutan rasionalitas pemikiran masyarakat. Kata kunci : Komunikasi ritual, budaya lokal, simbol-simbol agama dan budaya

208 Annual Conference on Islamic Studies

Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

Latar Belakang Komunikasi ritual berkaitan dengan identitas sistem religi dan kepercayaan masyarakat. Didalamnya terkandung makna utama yaitu kemampuan masyarakat dalam memahami konteks lokal dan kemudian diwujudkan dengan dialog terhadap kondisi yang ada. Masyarakat cenderung memandang adanya sebuah kekuatan gaib yang menguasai alam semesta dan untuk itu harus dilakukan dialog. Komunikasi ritual berada pada titik ini. Dalam konteks tersebut, maka penciptaan dan pemaknaan simbol-simbol tertentu menjadi sangat penting dan bervariasi. Melalui sebuah proses tertentu masyarakat mampu menciptakan simbol-simbol yang kemudian disepakati bersama sebagai sebuah pranata tersendiri. Didalam simbol tersebut dimasukkanlah unsur-unsur keyakinan yang membuat semakin tingginya nilai sakralitas sebuah simbol. Memaknai simbol-simbol, terutama berkaitan dengan aspek keagamaan akan sangat bergantung dengan kemampuan memahami dari komunitas tersebut. Mursal Esten (1999;3) berkata bahwa masyarakat ataupun si pemaham yang berada dalam lingkungan budaya tidak persis sama, akan memberi makna berbeda yang mungkin tidak saja berbeda, malahan menyimpang dari kemungkinan arti yang diberikan oleh si pemaham dari lingkungan budaya sebelumnya. Akan terjadi proses koreksi dan pemberian makna terbaru terhadap teks tersebut. Simbolisasi keagamaan termasuk dalam proses memaknai simbol-simbol keagamaan dan berkaitan juga dengan kemampuan dalam memproduksi simbol. Aktifitas beragama pada dasarnya adalah aktifitas memaknai simbol beragama dan kemudian saling dipertukarkan (diberi makna oleh pihak lain) sehingga ia memiliki nilai-nilai tersendiri. Hasil penelitian Ahmad Solehudin (2007) di sebuah dusun Sambirejo, Desa Gunung Sari, Jawa Tengah, menunjukkan adanya pemaknaan yang berbeda dalam kehidupan beragama masyarakat terhadap simbol-simbol agama. Dusun yang awalnya hanya mengenal satu pemahaman keagamaan, akhirnya terpecah menjadi tiga buah masjid, dimana masingmasing masjid dianggap sebagai representasi dari keterwakilan sebuah aliran. Simbol masjid dimaknai berbeda sesuai aliran masing-masing. Oleh karena itu, wujud dari pemaknaan simbol agama adalah munculnya ekspresi keagamaan yang beragam pula. Ekspresi ini bisa terlihat dari pemikiran, ritual, dan persekutuan. Orang-orang yang mempunyai pemikiran keagamaan yang sama akan melakukan ritual keagamaan yang sama dan akan berkumpul dalam kelompok yang sama (Solehudin, 2007;4). Ekspresi tersebut akan terhubung sekali dengan tradisi dan kebiasaan yang sudah berlangsung sebelumnya. Masyarakat yang memiliki tradisi beragam biasanya juga memiliki pemaknaan simbol lebih bervariasi. Biasanya dalam melihat eksistensi tradisi dan nilai agama dalam kehidupan masyarakat, dimana akan terjadi proses pembauran, maka terdapat tiga tipologi hubungan agama dengan budaya lokal (tradisi) tersebut. Tipologi tersebut bisa dimaknai sebagai tipe sinkretis, akulturasi, dan sinkretis-akulturasi (Solehudin, 2007;4). Tipe sinkretis umumnya terlihat di wilayah pedesaan yang cenderung agak tertutup, tipe akulturasi biasanya muncul di wilayah perkotaan karena banyak muncul pemikiran-pemikiran yang adaptif terhadap berbagai masalah di masyarakat. Tipe sinkretis-akulturatif biasanya terdapat di masyarakat pesisir yang cenderung terbuka walaupun berada di pedesaan.

YENRIZAL

Komunikasi Ritual 209

Tiga tipe tersebut jelas berhubungan dengan tradisi yang berlangsung. Khusus pada masyarakat pedesaan, maka pola sinkretisme dan akulturasi sangat dimungkinkan terjadi. Ketika terjadi pertautan antara budaya lokal dengan ajaran agama, maka disitulah interaksi nilai akan berlangsung. Salah satu interaksi tersebut adalah munculnya kelembagaankelembagaan khusus di masyarakat yang kemudian diberi makna tertentu. Dalam hal ini, status kepala menyan di pedesaan Sumatera Selatan, juga mengarah pada pertautan tersebut. Istilah kepala menyan adalah sebutan yang ditemukan di kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim. Kepala menyan (penduduk setempat sering menyingkatnya dengan istilah Pala Menyan) menunjuk pada satu orang sosok yang dianggap memiliki nilai-nilai spiritual melebihi kalangan masyarakat lainnya. Ia diakui memiliki kekuatan supranatural yang mampu berhubungan dengan makhluk gaib. Kepala menyan sekaligus sebagai pemangku adat, orang yang dituakan dan dianggap memiliki kelebihan pengetahuan adat yang tinggi serta dukun. Munculnya istilah kepala menyan adalah karena tradisi warga setempat yang masih terpengaruh oleh tradisi dalam animisme, dimana sering melakukan ritual-ritual di desa dengan menggunakan sarana kemenyan, tumbuhan yang berbau kuat dan menyengat. Karena memimpin ritual menggunakan kemenyan, maka tokohnya disebut sebagai Kepala Menyan. Mengingat posisi kepala menyan yang begitu utama dan vital, maka padanya kemudian juga melekat sebutan sebagai tokoh agama. Akibatnya dalam pelaksanaan semua ritual warga desa, selalu menggunakan pendekatan agama dan tradisi setempat. Islam sebagai agama terbesar dan mayoritas penduduk menjadikan tradisi dan nilai Islam kemudian membaur menjadi satu. Setiap ritual biasanya selalu diikuti dengan pembacaan Surat Yassin bersama. Perlu pula ditegaskan bahwa pendekatan dalam memahami keislaman dan masyarakat bisa dimaknai sebagai bentuk akulturasi. Ini dimaknai sebagai proses pertemuan kelompok-kelompok yang memiliki kultur berbeda dan berhubungan secara langsung dan intensif sehingga menyebabkan perubahan pola kultural dari salah satu atau kedua kultur kersangkutan (Haviland, dalam Solehudin, 2007;15). Atau bisa pula dalam pemahaman sebagai wujud pribumisasi Islam. Hal ini menjurus pada pemaknaan bahwa agama dan budaya lokal memiliki independensi masing-masing, tapi berada dalam wilayah yang sama sehingga selalu berada dalam posisi tumpang tindih (Wahid, dalam Solehudin, 2007;15). Dalam kaitan dengan tradisi yang dipegang oleh seorang kepala menyan, ia akan bicara soal bagaimana budaya lokal itu memahami ajaran Islam, dan kemudian terjadi pertemuan keduanya. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk melihat lebih jauh bagaimana proses simbolisasi agama tersebut berlangsung di masyarakat terhadap pemaknaan yang diberikan oleh seorang kepala menyan, serta bagaimana pemaknaan simbol-simbol keagamaan dipahami oleh kepala menyan. Bisa saja ini akan menunjukkan sebuah bentuk kearifan masyarakat lokal yang memadukan tradisi dengan ajaran agama, atau justru sebaliknya, terdapat nilai-nilai yang kemungkinan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

210 Annual Conference on Islamic Studies

Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

Rumusan Masalah Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah, bagaimana proses adaptasi nilai-nilai budaya lokal dan nilai keislaman sebagai komunikasi ritual yang membentuk kelembagaan kepala menyan? Bagaimana pemaknaan simbol-simbol Islam oleh seorang kepala menyan dan kemudian menjadi muatan dalam komunikasi ritual yang dilakukannya? Terakhir bagaimana pemaknaan simbol-simbol Islam dan simbol kepala menyan oleh masyarakat dalam kaitannya dengan nilai kearifan lokal masyarakat setempat? Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan berarti bagi pengembangan keilmuan, terutama ilmu komunikasi yang berkaitan dengan sosiologi komunikasi dan komunikasi antar budaya. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan dampak positif pada pemahaman tentang nilai-nilai keagamaan di masyarakat. Penelitian ini diharapkan juga bisa memberikan manfaat dalam melihat nilai-nilai kearifan dan pertautan nilai lokal dan Islam dalam berbagai tradisi lokal yang ada. Kerangka Pikir Fokus utama dari penelitian ini adalah ingin proses komunikasi ritual dan kekuatan tradisi Kepala Menyan sebagai bentuk simbolisasi kehidupan beragama berlangsung di masyarakat pedesaan. Proses memaknai simbol-simbol dan bagaimana budaya lokal terbentuk serta ikut memberikan pengaruh dalam pemaknaan simbol-simbol, menjadi objek bahasan terpenting. Simbolisasi adalah proses berlangsungnya pemaknaan simbol-simbol terhadap sebuah objek, dimana kemudian terjadi interaksi sehingga hubungan antara pemaknaan dan yang dimaknai menjadi sangat interaktif. Sebagaimana ditegaskan oleh Mulyana dan Rahmat (1996;96) bahwa fungsi pembentukan simbol adalah satu di antara kegiatan dasar manusia, seperti makan, minum, melihat. Ini adalah proses fundamental dari pikiran manusia dan berlangsung setiap waktu. Herbert Blumer (1986) menegaskan bahwa proses sosial dalam kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001;70). Interaksionisme simbolik secara singkat dapat didasarkan pada tiga premis dasar. Pertama, Individu merespons suatu situasi simbolik. Individu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, tapi dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial (Mulyana,2001:72). Dalam proses interaksionisme simbolik, manusia akan selalu berinteraksi dengan lingkungan disekitarnya. Terhadap kondisi alam, lingkungan, baik fisik maupun sosial,

YENRIZAL

Komunikasi Ritual 211

tidak lepas dari proses saling memaknai dengan kondisi yang terjadi disekitarnya. Hal ini memperlihatkan kemampuan komunikasi manusia sebenarnya diawali dengan pemaknaan simbol-simbol, mengkonstruksinya dan kemudian menyebarkannya kepada orang lain. Terjadi proses transaksi simbolik. Komunikasi manusia memang menekankan pada aspek transaksi. Dalam komunikasi selalu terjadi pertukaran dan pemaknaan pesan yang cenderung sulit untuk diketahui akhir dari proses tersebut (Mulyana, 2001). Proses transaksi menunjukkan dinamisnya mekanisme komunikasi antar manusia dan sulitnya untuk menebak atau memberikan sebuah prediksi yang tepat. Komunikasi antar manusia menjadi sangat interpretif dan juga subjektif. Terkaitnya dengan Kepala Menyan, maka disinilah berlangsungnya proses komunikasi ritual yang sebenarnya cukup rumit. Komunikasi ritual sendiri adalah bagian dari pemaknaan simbol. Dasarnya bisa dilihat dari pandangan Majid Tehranian yang menegaskan bahwa manusia tidak ditempatkan secara individual namun kolektif. Hubungan manusia dengan alam disebut sebagai kesatuan dalam realitas yang tidak bisa dipisahkan. Selalu terjadi interaksi dan merupakan sebuah kesatuan. Dalam kaitannya dengan kajian keagamaan, maka realitas adanya Kepala Menyan, harus dianalisis melalui kacamata kemampuan masyarakat berinteraksi dengan kehidupannya. Selalu ada nilai filosofis yang dimaknai dari alam. Oleh karenanya, ketika membahas tentang kondisi masyarakat dengan aktifitas keagamaannya, ini bisa dilihat dari aspek sosial, budaya, alam dan keyakinan (Haviland, 1993 dan Wahid, 2001). Kekuatan simbolik, proses budaya yang membentuknya, dinamika hubungan yang terjadi adalah proses yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Pada taraf lain, ini juga yang menjadi dasar dalam kerangka teori yang menjadi landasan berpikir dalam penelitian ini, terutama sekali paradigma konstruktivis, interaksionisme simbolik, dan dinamika produksi simbol yang terjadi. Sudut pandang tersebut akan diuraikan dalam bagan berikut ini. Bagan 1 Kerangka Pikir Penelitian
Paradigma Konstruktivis Teori Interaksionisme Simbolik Komunikasi Ritual Ekspresi keagamaan Ekspresi tradisi

Sosial, Budaya, Alam, Keyakinan

Kepala Menyan Simbolisasi Agama

212 Annual Conference on Islamic Studies

Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti melakukan interpretasi terhadap persoalan yang diteliti, karena karakteristik utama dari kualitatif adalah subjektifinterpretatif (Litlejohn, 1996). Metode yang adalah fenomenologis (Creswell, 1998) yang menitikberatkan pada upaya memahami kondisi kehidupan manusia dan berusaha untuk merekonstruksinya kembali sesuai dengan bentuk yang mereka alami. Subjek dari penelitian ini adalah Kepala Menyan, tokoh masyarakat, serta anggota masyarakat lainnya di beberapa desa di wilayah Kecamatan Rambang. Penentuan subjek yang akan diteliti dilakukan secara purposive sampling dengan teknik snowball. Dalam penelitian ini, informan kunci adalah Kepala Menyan, Pemangku Adar dan kepala desa di sekitar tempat tinggal Kepala Menyan. Selanjutnya akan bergerak ke kelompok masyarakat lainnya sesuai dengan perkembangan wawancara di lapangan. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, terbagi atas teknik pengamatan berperan serta (participant observer), wawancara mendalam (indepth interview), dan analisis dokumen. Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim. Fokusnya adalah pada beberapa desa yang merupakan wilayah pengaruh dari seorang Kepala Menyan yaitu, Desa Air Keruh dan Desa Sukarami. Jumlah desa tidak menjadi patokan utama, namun lebih didasarkan pada keberadaan informan di masing-masing desa. Data yang diperoleh dari lapangan dilakukan analisis melalui tahap-tahap pengumpulan data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan. Masing-masing tahapan bisa saling melengkapi dan saling berinteraksi. Lazimnya ini dikenal dengan teknik analisis data interaktif. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Kelembagaan Kepala Menyan di Masyarakat Rambang Terbentuknya kelembagaan Kepala Menyan adalah sejarah panjang perjalanan sosial masyarakat di Sumatera Selatan, khususnya di wilayah Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim. Walaupun secara historis tidak ada yang bisa memastikan sejak kapan pastinya seorang Kepala Menyan itu mulai ada, namun melihat realitas di daerah Rambang bisa dikatakan sejak zaman dahulu, jauh sebelum Islam dianut masyarakat, Kepala Menyan sudah ada. Hal ini terlihat dari penggunaan istilah Kepala Menyan itu sendiri. Menurut H. Nanang Ali, 67, tokoh adat Rambang, istilah tersebut muncul karena memang dalam setiap prosesinya/tugasnya, selalu menggunakan kemenyan. Kebiasaan membakar kemenyan memang merupakan tradisi masyarakat sebelum Islam masuk. Kemenyan sebagai tumbuhan yang memiliki bau harum menyengat jika dibakar, sering diidentikkan sebagai bau yang mampu melakukan hubungan dengan rohroh halus. Di zaman dulu, dalam setiap ritual kepercayaan maupun agama yang berhubungan dengan dunia gaib, selalu menggunakan asap dan bau kemenyan. Penggunaan kemenyan ini identik pula dengan kepercayaan terhadap alam semesta dan benda-benda disekelilingnya. Ritual melakukan sembahan dan sajian terhadap alam di

YENRIZAL

Komunikasi Ritual 213

sekitar, ini sangat identik dengan kondisi pada masa animisme (kepercayaan terhadap alam sekitar, sebelum dikenalnya agama). Jika dilihat dari eksistensi Kepala Menyan di daerah Rambang, tepatnya di Desa Air Keruh, kuat dugaan ini adalah sisa-sisa kebudayaan animisme yang belum terkikis habis. Jalur Sungai Rambang yang melintasi desa ini, kuat kemungkinan justru dipengaruhi oleh agama Budha dari Kerajaan Sriwijaya melalui jalur sungai. Akan tetapi terhadap fenomena Kepala Menyan, kemungkinan besar ini adalah peninggalan animisme yang kemudian tetap dipelihara. Mat Sirin sendiri, selaku Kepala Menyan di Desa Air Keruh mengatakan bahwa ia tidak tahu kapan mulai ada institusi ini. Diperkirakan sejak ia berumur 14 16 tahun ia sudah merasa mendapat isin (izin) sebagai Kepala Menyan. Pengakuannya berasal dari Keramat Gunung Ibul. Sebelum ia sudah ada beberapa generasi lagi yang jadi Kepala Menyan. Saat ini, Mat Sirin berumur 81 tahun. Keberadaan Kepala Menyan sudah berlangsung sejak zaman puyang (nenek moyang) dahulu, bahkan bisa berlangsung sejak awal Masehi. Mengingat pada masa ini belum ada ajaran agama yang masuk ke daerah ini. Sebelum agama lain masuk, masyarakat masih menggunakan kepercayaan tradisional animisme. Kebiasaan itu berjalan terus hingga agama Islam masuk ke Indonesia bahkan sampai sekarang masih banyak ditemui.1 Gejala seperti inilah yang kemudian mewarnai keberadaan masyarakat di daerah Rambang, termasuk munculnya kelembagaan Kepala Menyan. Di wilayah ini masih memberikan pemaknaan kuat terhadap puyang.2 Di desa Air Keruh sendiri terdapat makam Puyang Junjungan Mude, sebagai salah seorang tokoh yang membuka wilayah ini. Makam puyang yang cukup banyak terlihat di Desa Sugihan dan Sukarami. Di sini jugalah diyakini masyarakat terdapatnya makam puyang Raden Golin yang merupakan cikal bakal perkembangan agama dan kebudayaan masyarakat daerah ini. Menurut Mat Sirin, keramat terbesar di wilayah Rambang ini adalah Keramat Gunung Ibul dan Keramat Gunung Kemala. Oleh karenanya, yang menjadi panutan/acuan bagi Puyang-puyang lain di daerah ini adalah kedua keramat tersebut. Bahkan Mat Sirin mengakui bahwa ia bisa menjadi seorang Kepala Menyan setelah mendapat izin dari Keramat Gunung Ibul. Adanya keramat dan puyang, menjadi acuan bagi masyarakat dan sampai sekarang juga masih tetap dihormati, menjadi tempat pemujaan pada masa-masa tertentu. Seorang Kepala Menyan bahkan dibaiat dari tempat tersebut. Proses menjadi seorang kepala menyan adalah sesuatu yang unik dan tidak bisa langsung jadi atau bisa siapapun. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menjadi Kepala Menyan. Ada dua mekanisme untuk menjadi seorang Kepala Menyan, yaitu karena faktor keturunan atau karena mendapat izin. Faktor keturunan artinya, memang dari nen ek dan orang tuanya adalah Kepala Menyan dan itu kemudian turun kepada anak-anaknya. Dari sekian banyak anak-anaknya, hanya seorang yang bisa menjadi Kepala Menyan. Cara kedua adalah karena sudah mendapat izin. Izin yang dimaksud di sini adalah izin dari wong halus,3 penguasa hutan, air, gunung, dan udara yang ada di wilayah itu. Guna mendapatkan izin juga bukan hal mudah. Biasanya ini datang sendiri berupa firasat dan kemudian mengikuti perintah yang dianggap dari wong halus. Mat Sirin adalah salah seorang yang menjadi Kepala Menyan karena sudah mendapat izin, bukan karena faktor

214 Annual Conference on Islamic Studies

Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

keturunan. Ia mendapatkan izin dari wong halus pada usia 15 tahun di Keramat Gunung Ibul.4 Apabila seseorang sudah menyandang predikat Kepala Menyan, bukan berarti itu akan dipegang sampai selamanya. Memang semuanya tergantung kepada wong halus, sebagai pemutus akhir dalam semua hal. Beberapa hal yang tidak boleh terjadi pada seorang Kepala Menyan adalah5 (1) rumah tangganya berantakan (2) melakukan perbuatan asusila, (3) melakukan perbuatan tercela, (4) sakit dalam jangka waktu lama. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa seorang Kepala Menyan adalah seorang yang tidak memiliki cacat moral, hukum, maupun secara sosial. Ia harus orang yang bersih. Menjaga Kepala Menyan agar senantiasa patuh dengan aturan tersebut adalah tanggung jawab ia sendiri. Pengawasan terhadap hal ini juga tidak perlu dilakukan masyarakat, sifatnya adalah pengawasan melekat. Kepala Menyan diawasi langsung oleh wong halus. Masyarakat hanya bisa menyaksikan saja dan Kepala Menyan sendiri hanya pasrah jika sudah melanggar ketentuan. Terlihat bahwa Kepala Menyan adalah sebuah institusi adat. Ia bukan saja jabatan yang dipegang oleh seseorang, namun sebuah fungsi yang sudah diakui oleh masyarakat setempat. Fungsi yang pada dasarnya berasal dari kebutuhan masyarakat dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya, fungsi dalam mengatur tata hubungan manusia dengan alam, serta menunjukkan mekanisme kejujuran dan penghormatan pada nilai kebenaran bersama. Sifat-sifat ini sebenarnya identik dengan kearifan lokal masyarakat setempat dan merupakan modal sosial yang sudah melembaga. 2. Adaptasi nilai budaya lokal dan nilai keislaman terhadap Kepala Menyan Nilai budaya lokal biasanya terealisasi dalam kondisi kehidupan masyarakat seharihari. Sebuah penelitian dari Nur Syam (2005) menegaskan bahwa tradisi keagamaan lokal (terutama Islam) merupakan buah dari proses sinkretis dan akulturatif. Artinya, sebuah tradisi lokal akan senantiasa memberikan pengaruh terhadap ajaran keagamaan yang berkembang, sekaligus simbol-simbol keagamaan yang memberikan pengaruh di masyarakat tersebut. Keterkaitan kebudayaan dengan simbol-simbol yang melekat pada dirinya adalah sebuah keniscayaan. Simbol-simbol ini tidaklah berdiri sendiri, ia mewakili kepentingan dan sosok dibelakangnya. (Mulyana, 2001). Dalam hal inilah bisa dilihat bahwa Kepala Menyan hakekatnya adalah simbol yang mewakili kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat. Kepala Menyan pada dasarnya mengalami kesulitan untuk mengikuti perkembangan masyarakat yang begitu cepat, sementara nilai-nilai yang dianutnya lebih bersifat statis dan tetap pada penghayatan yang tinggi pada kekuatan alam semesta. Kesakralan seorang Kepala Menyan adalah sakralnya nilai-nilai penghargaan terhadap tanah, udara, dan air sebagai faktor utama yang menentukan kelangsungan kehidupan masyarakat. Tanah dan yang ada disekitarnya pada kenyataannya sebagai tempat tinggal, tempat penghidupan dan sebagai tempat penguburan bahkan sebagai tempat tinggal para roh leluhur masyarakat adat. Oleh karenanya, tradisi lokal masyarakat sangat berkaitan dengan keberadaan tanah, hutan, dan sungai. Tiga konsep utama itulah yang kemudian diadopsi oleh Kepala Menyan dan diwujudkan dalam berbagai bentuk ritual-ritual magis dan penuh nilai kesakralan. Terdapat

YENRIZAL

Komunikasi Ritual 215

sebuah nilai penghargaan terhadap alam semesta, penghargaan atas rezeki yang berasal dari tanah, hutan, dan sungai. Bagi Kepala Menyan, mekanisme hubungan dengan tanah, hutan dan sungai adalah sesuatu yang sudah menjadi sebuah sistem tersendiri. Oleh karena itu, tanah memiliki peranan penting dan harus dianggap sakral. Untuk itu, tanah dianggap memiliki penguasa tersendiri yang disebut dengan Persanak Hutan dan Persanak Gunung. Kedua penguasa hutan dan gunung inilah yang dianggap akan memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat yang senantiasa menggunakan lahan tanah. Sementara yang berhubungan dengan sungai adalah Persanak Laut. Tidak hanya itu, Kepala Menyan juga meyakini bahwa masyarakat tidak akan bisa dilepaskan dari keberadaan udara yang ada disekitarnya. Nama yang dilekatkan pada penguasa ini adalah Persanak Kayangan. Sementara itu, mewakili keseluruhan penguasa alam gaib atau roh halus tersebut, dikenal istilah pimpinan segala penguasa. Inilah yang disebut dengan Persanak Keramat. Keberadaan semua unsur tersebut, kemudian menjadi tradisi sendiri bagi masyarakat. Dengan kata lain, Kepala Menyan mengilhami dan menganggap perlu adanya ritual terhadap tiga unsur (tanah, hutan, air) karena tradisi masyarakat sangat terikat dengan ketiga hal tersebut. Tradisi memanfaatkan tanah terlihat dari sumber mata pencaharian utama masyarakat adalah dari bertanam karet. Bisa dikatakan seluruh warga Desa Air Keruh, menggantungkan hidup dari karet. Secara tradisional masyarakat Air Keruh dan wilayah Rambang secara keseluruhan juga melakukan usaha pertanian dengan menanam padi dan ketan di areal perkebunan. Penghargaan terhadap tanah, hutan, laut, serta udara, juga tampak dalam sedekah dusun yang dilaksanakan setiap tahun bertepatan dengan ulang tahun desa. Pada saat sedekah dilakukan, diberikanlah penghargaan, pujian, dan sesajian untuk semua penguasa tersebut. Inti dari acara ini adalah penghormatan terhadap leluhur dan orang halus, dengan harapan akan diperolehnya keselamatan, kesejahteraan, kedamaian, kesehatan, dan rezeki yang melimpah bagi warga dusun. Acara ini dipimpin oleh Kepala Menyan dan sampai sekarang masih terus dilaksanakan secara bersama-sama oleh warga desa. Banyak ragam tradisi yang berkembang di masyarakat dan semua tradisi itu biasanya melibatkan seorang Kepala Menyan. Secara umum tradisi di masyarakat bisa dibedakan atas dua cakupan utama yaitu, tradisi/ritual yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak sehingga diperlukan pula keterlibatan semua warga dalam melaksanakan tradisi tersebut. Contoh dari tradisi ini adalah sedekah dusun, kematian, dan perkawinan. Tradisi kedua adalah tradisi yang berhubungan dengan orang per orang, dimana keterlibatan orang banyak tidak terlalu diperlukan. Contohnya, sedekah kalangan, betenongan, pengobatan . Tradisi lokal masyarakat yang terkait dengan kearifan dalam melihat alam sekitarnya, bertemu dengan fungsi Kepala Menyan sebagai mediator dengan penguasa alam. Kepercayaan seperti ini sebenarnya hal yang lazim di nusantara, dimana dulunya dikenal dengan aliran animisme dan dinamisme, aliran yang berkembang sebelum Hindu dan Budha masuk. Setelah kedua agama ini masuk, tradisi animisme tidak hilang, karena agama ini mengadopsinya dan juga memiliki kemiripan dalam mempercayai Yang Maha Kuasa. Simuh (1989;111) menyatakan bahwa kondisi seperti ini memang realitas

216 Annual Conference on Islamic Studies

Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

masyarakat pra Islam, dimana pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan yang mendorong munculnya relasi hukum adat dengan unsurunsur keagamaan. Setelah Islam masuk, terjadi proses perubahan. Tradisi-tradisi yang berkembang di zaman agama Hindu dan animisme serta dinamisme dianggap bertentangan dengan ajaran mendasar dalam Islam, terutama sekali kepercayaan terhadap orang halus dan keharusan memberikan sesajen dalam proses persedekahan. Kepala Menyan sendiri tidak bisa melepaskan dari pengaruh ajaran Islam, karena masuknya agama ini bersentuhan dengan berbagai sisi kehidupan masyarakat. Warga Rambang sendiri adalah komunitas yang terbuka dan kerap berinteraksi dengan berbagai pihak luar. Masuknya ajaran Islam kemudian memberikan warna tersendiri bagi tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk ini warna yang diberikan pada kebiasaan oleh Kepala Menyan. Oleh karenanya, ketika Islam masuk terjadi adaptasi nilai-nilai ke dalam tradisi yang dikembangkan Kepala Menyan. Beberapa bentuk adaptasi tersebut adalah penggunaan simbol-simbol Islam dalam segala ritual yang dilakukan. Dalam beberapa ritual yang dilaksanakan Kepala Menyan, selalu memulainya dengan ucapan Bissmillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah yang Pengasih dan Penyayang). Hal ini terlihat dalam acara sedekah dusun, sedekah kalangan, maupun tradisi adat lainnya. Kepala Menyan senantiasa melakukan pembacaan surat Yassin bersama, terutama dalam ritual-ritual yang melibatkan orang banyak. Yang diadopsi oleh Kepala Menyan adalah istilah-istilah tertentu dalam agama Islam. Terutama sekali pengucapan Assamualaikum, Bismillah, dan membaca surat Yassin. Pada ritual tertentu seperti jika ada anggota masyarakat yang meninggal dunia, tetap diadakan tahlilan dan doa-doa secara Islam. Doa ini bukan dilakukan oleh Kepala Menyan, tapi oleh tokoh agama. Kepala Menyan berperan dalam pembakaran kemenyan sebelum tahlilan dimulai. Proses bakar menyan adalah bagian dari pembacaan doa untuk orang yang sudah meninggal. Sebenarnya ini bukan pada tataran nilai-nilai keislaman, namun sebatas pada istilah dan simbol dalam Islam. Demikian juga dengan sebutan adat dan Islam berjalan beriringan. Maksudnya adalah ajaran adat tetap diberlakukan, sementara ajaran Islam juga tetap dilaksanakan. Benang merah yang bisa diambil dari eksistensi Kepala Menyan dengan tradisi lokal dan nilai-nilai agama Islam adalah dominannya kekuatan tradisi dan nilai kelokalan ketimbang makna substansif ajaran Islam. Kepala Menyan mampu berkolaborasi dengan nilai-nilai tradisi lokal karena memang terdapat pertautan tradisi dan sejarah keberadaan masyarakat yang membentuk kelembagaan Kepala Menyan. Antara masyarakat dengan Kepala Menyan terdapat mekanisme saling membutuhkan sehingga ia bisa terus tumbuh. Nilai-nilai keislaman dipahami masyarakat sebagai ajaran agama yang harus dipatuhi. Agama ini mampu masuk ke dalam lingkungan masyarakat dan kemudian menjadi agama yang dianut 100% oleh penduduk di Desa Air Keruh. Akan tetapi, nilai-nilai Islam secara mendasar sulit bergabung dengan kegiatan Kepala Menyan. Ia hanya mengadopsi istilahistilah yang digunakan dalam Islam, tetapi tidak menerjemahkan secara substansi ajaran tersebut. Dalam ritual yang dilakukan lebih menonjol tradisi lokal berbau animisme ketimbang ajaran Islam yang diwarnai tradisi lokal.

YENRIZAL

Komunikasi Ritual 217

3. Komunikasi Ritual Kepala Menyan Bagi Kepala Menyan, komunikasi ritual yang dilakukan terkait dengan aktifitas ritual yang dijalankannya. Ritual-ritual tersebut ada yang dilakukan bersama-sama, individual, dan yang melibatkan Kepala Menyan secara langsung maupun tidak langsung. Di masyarakat Air Keruh berkembang banyak tradisi yang berlangsung sejak dulu. Berikut ini beberapa aktifitas adat dan ritual yang berlangsung di Desa Air Keruh. Tabel 1 Kegiatan Adat/Tradisi Desa Air Keruh
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Nama Adat/Tradisi Pernikahan Sedekah Bedusun Sedekah Awal Tahun Pencak Ngigal Sembah Pandak, Sembah Panjang Ketimbang Sedekah Awal Besunat/Besiang Bedabung Beranjak Sedekah Penunggu Ziarah ke Makam Sedekah Kalangan Pengobatan (Betenong, dsb) Sedekah buka kebun Pelaksana Individu, P3N Kepala Menyan, Seluruh warga Kepala Menyan, Seluruh warga Pemangku Adat, seluruh warga Pemangku Adat, Seluruh warga Kepala Menyan, seluruh warga Kepala Menyan, seluruh warga Kepala Menyan, warga Kepala individu Individu Kepala individu Kepala individu Kepala individu Menyan, Menyan, Menyan, Menyan, Waktu Insedental 1 x setahun (ultah desa, dulu ketika panen padi 1 x setahun (awal tahun) Insendental (acara keramaian) Insedental (menyambut tamu) Insedental (tergantung niat menimbang bayi) Waktu panen padi Insedental (bujang/gadis sudah dewasa) Insedental Sehabis lebaran Insedental Insedental Insedental Keterangan Dilaksanakan Dilaksanakan Tidak Dilaksanakan Dilaksanakan Tidak Tidak Dilaksanakan Tidak Tidak Dilaksanakan Dilaksanakan Sebagian Tidak

Sumber : Pemangku Adat Desa Air Keruh dan Kepala Menyan tahun 2009 Ritual yang masih dilakukan sampai sekarang yang melibatkan Kepala Menyan secara langsung adalah sedekah dusun dan sedekah kalangan. Tiga tradisi ini tetap

218 Annual Conference on Islamic Studies

Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

bertahan, walaupun sudah mulai kehilangan peminat. Tradisi tersebut juga memperlihatkan proses komunikasi ritual Kepala Menyan yang terwujud dalam interaksi sesama warga dan interaksinya dengan para roh orang halus. Sedekah Dusun Kegiatan ini rutin dilaksanakan karena dianggap ajang interaksi dengan para orang halus, untuk mengucapkan rasa terimakasih, penghormatan, dan permintaan keselamatan. Ritual ini juga menunjukkan bahwa warga dusun adalah orang-orang yang percaya dan menghargai penguasa di alam semesta ini. Ritual sedekah dusun di pimpin langsung oleh Kepala Menyan. Ritual sedekah dusun dilaksanakan di tengah-tengah dusun diselenggarakan setahun sekali setiap hari kelahiran desa ini. Mengingat acara ini melibatkan warga satu desa, maka segala biaya juga dibebankan kepada warga. Biasanya warga melakukan sokongan dan menyumbang semampunya. Pada tahun ini, dijatahkan bahwa setiap kepala keluarga (KK) menyumbang minimal lima ribu rupiah. Beberapa hari sebelum kegiatan sudah dilaksanakan persiapan-persiapan, seperti menyiapkan tempat, memasak makanan, perlengkapan sedekah dan sebagainya. Setiap KK harus menyiapkan kelepon.6 Jumlah kelepon yang disiapkan adalah sebanyak makhluk yang bernyawa yang ada di rumah tersebut. Bahkan rumah sendiri juga ikut dihitung dan diwakili oleh satu kelepon. Masing-masing kelepon kemudian dikumpulkan dalam sebuah wadah khusus yang sengaja dibuat dan dibawa ke tempat sedekah dilakukan. Sedekah dusun dilakukan di rumah adat yang memang sudah ada secara khusus di desa ini. Di rumah adat juga disediakan Kihang.7 Di dalam kihang ini diletakkan makananmakanan yang sudah disiapkan untuk sesajian yaitu, apam telok, bubur 7 cangkir, bubur srikaye, bubur suri manglie, berte mandilenge (beras pakai minyak kelapa). Kemudian disiapkan kelapa muda berwarna hijau 1 biji sebagai air minum. Sesajian ini kemudian disambat8 oleh Kepala Menyan. Pada saat ritual dilaksanakan, Kepala Menyan sudah menyiapkan bahan lain yaitu lemang dari bambu kecil (semacam bambu cina), apam, dan manglay (tumbuhan umbi seperti kunyit). Tiga benda ini disambat dan kemudian diikat dengan plastik dan masingmasingnya diberi nama anggota orang di rumah yang dituju, sesuai permintaan pemilik rumah. Tiga benda ini kemudian di bawa pulang dan ditaroh di atas pintu masuk rumah. Fungsinya adalah menjauhkan anggota rumah dari segala mara bahaya dan iblis yang akan mengganggu. Apa yang bisa dilihat dari kondisi di atas adalah penggunaan benda-benda tertentu sebagai alat/perantara untuk berhubungan denganorang halus. Inilah sebenarnya yang dikatakan dengan proses komunikasi ritual dan bersifat transendental.9 Kepala Menyan yang menggunakan simbol-simbol tertentu sebenarnya telah melakukan proses komunikasi ritual dan juga komunikasi transedental dengan makhluk gaib, sesuai dengan yang dipercayanya. Kepala Menyan yaki bahwa ia mampu berkomunikasi dengan semua persanak sebagai penguasa alam dan itu diwujudkan melalui simbol-simbol benda yang mewakilinya. Apam, lemang, kelepon, manglay, dogan, ayam adalah simbol yang dianggap memiliki nilai kekeramatan tersendiri dalam prosesi tersebut. Mengapa Kepala Menyan harus menggunakan benda-benda tersebut sebagai alat untuk berkomunikasi ataupun sebagai simbol proses komunikasi yang berlangsung?

YENRIZAL

Komunikasi Ritual 219

Berdasarkan analisis dan keterkaitan dengan kondisi masyarakat, sebenarnya benda-benda tersebut punya hubungan dengan kondisi warga. Apam dan Kelepon adalah makanan tradisional terbuat dari beras dan ketan. Beras dan ketan adalah makanan pokok, artinya kedua benda tersebut terikat dengan masyarakat baik secara lahir maupun batin. 4. Sedekah Kalangan Salah satu ritual yang masih dilaksanakan di Air Keruh dan Rambang sekitarnya adalah sedekah kalangan. Prosesi ini juga dipimpin oleh Kepala Menyan. Sedekah kalangan berasal dari kata halangan atau rintangan. Makna acara ini adalah setiap manusia selama dia hidup memiliki masa-masa rintangan/halangan. Bentuknya nanti bisa berupa sakit, kecelakaan, musibah kebakaran, kebun rusak atau kena hama, kematian, kehilangan barang berharga, dan sebagainya. Setiap manusia memiliki masa-masa rintangan tersebut.10 Etnis Rambang, terutama di wilayah penelitian ini, sebagian masih mempercayai ritual ini. Apabila ada seseorang yang terkena musibah secara tiba-tiba, bisa dipastikan bahwa ia terkena kalangan. Ada masa-masa tertentu seseorang akan terkena kalangan. Ada cara hitung-hitungan tersendiri yang hanya bisa diketahui oleh orang yang bersangkutan dan Kepala Menyan. Untuk mengetahui masa kalangan tersebut, biasanya yang bersangkutan sudah merasakan tanda-tandanya seperti rejeki mulai sulit, badan mulai sakitsakit. Perhitungan mulai kalangan sejak seseorang berumah tangga. Jika belum menikah, maka belum bisa dihitung kapan kalangan akan datang. Lazimnya ada beberapa kalangan yaitu kalangan 7, kalangan 13, kalangan 15, kalangan 20, kalangan 30, dan kalangan 40.11 Makna prosesi kalangan adalah penghargaan kepada alam semesta. Manusia harus tunduk pada alam semesta ini. Semua punya kelemahan, sisi buruk, bisa terkena musibah, sakit, dan sebagainya. Syarat terhindar dari musibah adalah berserah diri kepada kuasa alam dan menyadari kecilnya manusia. Konsep ini identik dengan konsep kepasrahan, dalam Islam disebut dengan Tawaqal. Mengingat prosesi ini dikenal sebelum Islam masuk, maka tawaqqal tersebut identik dengan alam semesta yang memiliki penjaga dan kuasa tersendiri. Setelah Islam masuk, prosesi ini masih dilaksanakan, dan tiap ritual diwarnai dengan kegiatan membaca Bismillah dan Yasin bersama. Terlihat dualisme penyerahan diri, dimana justru lebih menekankan kepada kuasa alam dan roh halus. 5. Pandangan Masyarakat terhadap Kepala Menyan dan Simbol Islam Realitas yang terlihat dari dinamika masyarakat Rambang, terutama di Desa Air Keruh dan Desa Sukarami, dua desa yang masih kuat dalam melihat eksistensi Kepala Menyan, walaupun tidak dipungkiri bahwa terdapat pula suara-suara yang meragukan eksistensi lembaga ini. Ada juga suara yang menganggap bahwa yang dilakukan Kepala Menyan adalah sisa-sisa prilaku animisme yang tidak perlu dituruti karena bertentangan dengan syariat Islam. Pandangan seperti ini banyak muncul di kalangan generasi muda. Sebaliknya yang masih menganggap Kepala Menyan tetap memberikan pengaruh kuat juga ada. Sebuah gambaran mengenai ini tampak jelas ketika peneliti datang ke desa ini dan menuju rumah Kepala Desa (Kades). Rumah permanen yang tampak baru dibangun ini terlihat kokoh dan asri. Kades sendiri masih muda, 32 tahun dan merupakan pejabat pertama di desa ini karena baru definitif tahun 2006. Hal menarik adalah benda di atas

220 Annual Conference on Islamic Studies

Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

kusen pintu yang sepertinya sengaja digantungkan. Ternyata sepotong apam terbungkus plastik, sepotong manglay, dan dua buah lemang kecil terselip dari lubang ventilasi rumah. Semalam kami baru saja melaksanakan sedekah dusun. Benda itu didapat setelah sedekah dilaksanakan, katanya sudah di sambat oleh Kepala Menyan dan harus ditaroh di atas pintu masuk. Kabarnya itu bisa menghalau jin-jin jahat yang akan mengganggu penghuni rumah.12 Hal yang sama juga ditemukan di beberapa rumah warga di Desa Sukarami, desa induk dari Air Keruh. Kades sendiri ternyata adalah guru honor di SD desa ini. Ia juga sedang mengambil kuliah program D2 Universitas Terbuka. Istri Kades sendiri adalah mahasiswi di STAI Prabumulih. Kendatipun termasuk kelompok berpendidikan, mereka merasa perlu menuruti perintah Kepala Menyan. Otoritas Kepala Menyan pada ranah supranatural atau hal-hal gaib menyebabkannya sering berbenturan dengan pandangan kaum muda yang lebih mengedepankan sikap rasional. Pemangku adat memperkirakan sekitar 40% warga sudah tak lagi turut sepenuhnya dengan yang dikatakan Kepala Menyan. Realitas ini sulit dibendung karena berkaitan dengan masuknya paham baru. Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan menunjukkan setidaknya terdapat dua kecenderungan kepercayaan masyarakat terhadap Kepala Menyan yaitu, (1) keraguan apa yang dilakukan oleh Kepala Menyan bisa diterima akal sehat atau tidak. (2) keraguan karena pemahaman apa yang dilakukan Kepala Menyan bertentangan dengan syariat Islam Beragamnya pandangan masyarakat dan mulai munculnya kalangan yang tidak lagi terlalu percaya dengannya, bisa dipastikan suatu saat institusi Kepala Menyan dan ritualritual yang dipimpinnya juga akan hilang. Hilangnya Kepala Menyan bukan sekedar Mat Sirin tiada lagi, tetapi masa dimana institusi ini sudah dilupakan masyarakatnya. Penyebabnya karena perubahan sosial dan masuknya ide-ide baru. Jika itu terjadi masyarakat tidak akan hancur, namun banyak tradisi lama akan hilang dan tidak terlihat lagi. Interaksi dan penghargaan masyarakat terhadap alam dan lingkungan sekitar juga tidak lagi diperhitungkan. Sikap individualistislah yang ditonjolkan. Kesimpulan Proses adaptasi nilai-nilai budaya lokal serta masuknya nilai keislaman terhadap Kepala Menyan berlangsung alami. Kepala Menyan adalah produk budaya lokal, nilai penghargaan dan keyakinan terhadap alam semesta. Ia tidak memiliki hubungan langsung dengan masuknya agama Islam. Simbol-simbol Islam dimaknai oleh Kepala Menyan sebagai bentuk aktifitas beragama semata. Ia tidak memahami hakekat simbol-simbol tersebut. Pemakaian simbol tersebut lebih karena ingin mengukuhkan bahwa aktifitas tersebut terkait dengan Islam dan secara budaya telah masuk ajaran Islam. Masyarakat memandang Kepala Menyan sebagai salah satu lembaga tradisi lokal yang sudah ada sejak dulu. Masyarakat memandangnya sebagai institusi adat yang berkaitan dengan tradisi masyarakat setempat bukan agama. Keterikatan masyarakat dengan Kepala

YENRIZAL

Komunikasi Ritual 221

Menyan sudah memudar karena perkembangan zaman dan tuntutan rasionalitas pemikiran masyarakat.

Daftar Pustaka Civikly, Jean M., ed., Messages: A Readernin Human Communication, New York, Random House, 1974 Creswell, John W., Qualitative Inquiry and Research Design, Sage Publication, Californis, 1998. Esten, Mursal, Kajian Transformasi Budaya, Penerbit Angkasa, Bandung, 1999 Litlejohn, Stephen W, 1996, Theories of Human Communication, edisi ke-5, Belmont, California, Wadsworth. Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001 Miles, Mathews B & A. Michael Hubermans, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, Penerj. Tjetjep Rohendi, Rohidi, UI Press, Jakarta, 1992. Solehudin, Ahmad, Satu Dusun Tiga Masjid, Penerbit Pilar Media, Yogyakarta, 2007 Simuh, Sufisme dalam Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta, 1989

Endnotes : Penulis adalah dosen tetap Fakultas Dakwah IAIN Raden Fatah Palembang. Makalah diajukan untuk mengikuti Annual Conference on Islamic Studies 2010 di Banjarmasin 1Amin, Nur Fattah, Metode Dakwah Wali Songo, 1997, CV Bahagia, h. 75-76 2Nenek moyang-penulis 3Wong Halus (Orang Halus) yang dimaksud disini adalah roh-roh yang bersifat gaib dan merupakan penguasa kehidupan masyarakat, mulai dari penguasa hutan, penguasa gunung, penguasa sungai/laut, penguasa kayangan, dan penguasa keseluruhan. Kepada orang halus inilah segala keputusan diserahkan dan perintah orang halus, harus dituruti. Yang bisa berhubungan dengan orang halus adalah Kepala Menyan. 4Penjelasan ini diperoleh langsung dari Mat Sirin dan diakui juga oleh Pemangku Adat Desa Air Keruh, M Sudim. Keterangan ini sangat subjektif karena tidak ada bukti konkret tentang mekanisme pengangkatan ataupun penerimaan izin bagi seorang Kepala Menyan. Hanya saja, mayoritas masyarakat di Desa Air Keruh dan desa lain disekitarnya mengakui kebenaran hal itu. 5Disarikan dari wawancara dengan Mat Sirin dan M. Sudim tanggal 19 Agustus 2009

222 Annual Conference on Islamic Studies


6Sejenis

Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

makanan yang terbuat dari ketan, beras, dan gula merah. Bentuknya bulat seukuran buah duku dan terasa manis di bagian dalam karena tersedia gula merah. Setiap makhluk bernyawa di rumah itu, harus diwakili oleh kelepon, termasuk rumah tersebut. Misalnya, di sebuah rumah ada 5 orang penghuni, memiliki 1 ekor anjing, 5 ekor ayam, 2 ekor sapi, dan satu rumah. Maka kelepon yang harus disiapkan adalah jumlah keseluruhannya yaitu 14 buah kelepon. 7Wadah khusus yang terbuat dari bambu digantung di rumah adat, bentuknya lebar seperti piring yang masing-masing ujungnya dihubungkan dengan tali yang tergantung ke atas. 8Pembacaan mantra-mantra oleh Kepala Menyan yang intinya adalah melakukan persembahan kepada semua persanak, terutama persanak keramat dan persanak kayangan. 9Istilah komunikasi transendental juga dikenal sebagai pendekatan untuk menunjukkan proses komunikasi manusia dengan sesuatu yang gaib. Manusia melakukan ritual untuk melaksanakan sikap transedentalnya sehingga bisa berhubungan dengan makhluk/sesuatu yang gaib.. 10M, Sudim, wawancara tanggal 20 Agustus 2009 11Penghitungan ini dimulai sejak menikah. Kalangan 7 artinya tahun ke 7 sejak pertama kali menikah. Itulah masa kalangan pertama. Selanjutnya dihitung secara berurutan. 12Syurmansyah, Kepala Desa Air Keruh, wawancara tanggal 19 Agustus 2009.

Anda mungkin juga menyukai