Anda di halaman 1dari 0

11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Konsep Diri (Self Concept)
Sebagai makhluk sosial manusia tidak pernah bisa hidup sendirian, selalu
membutuhkan bantuan dan pertolongan dari orang lain dalam menjalani
kehidupannya. Hal ini mendorong seseorang untuk berinteraksi dengan
sesamanya baik itu dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak kecil individu telah dipengaruhi dan
dibentuk oleh berbagai pengalaman yang dijumpai dalam hubungannya dengan
individu lain, baik dengan orang-orang terdekat, maupun yang didapatkan dalam
peristiwa-peristiwa kehidupan. Sejarah hidup individu dari masa lalu dapat
membuat individu yang bersangkutan memandang diri lebih baik atau lebih buruk
dari kenyataan yang sebenarnya (Rola, 2006:9). Cara pandang individu terhadap
dirinya akan membentuk suatu konsep tentang dirinya sendiri atau yang lebih
dikenal dengan istilah konsep diri (self concept).
Menurut Calhoun dan Acocella, konsep diri (self concept) diartikan
sebagai gambaran mental seseorang yang meliputi pengetahuan, harapan, dan
penilaian terhadap diri sendiri. Konsep diri (self concept) ini merupakan hal yang
penting bagi kehidupan individu karena konsep diri (self concept) menentukan
bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi kehidupan (Calhoun dan
Acocella, 1995:67).


12
Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh para ahli
Psikologi kontemporer mengenai konsep diri (self concept) (Burns, 1993:4), di
mana konsep diri (self concept) ini dianggap sebagai pemegang peranan kunci
dalam memotivasi tingkah laku, mencapai kesehatan mental, dan dalam
pengintegrasian kepribadian seseorang. Berikut ini adalah beberapa pengertian
konsep diri (self concept) menurut beberapa ahli:
Menurut Klausmeir (Rakhmat, 2005:98)
Konsep diri (self concept) merupakan kesadaran atau pemahaman
seseorang atas siapa dirinya dan bagaimana penampilan serta
kemampuannya.
Menurut Snygg dan Combs (Burns, 1993:46)
Konsep diri (self concept) merupakan sebuah organisasi yang stabil dan
berkarakter yang disusun dari persepsi-persepsi yang tampak bagi individu
yang bersangkutan sebagai hal yang mendasar baginya.
Menurut William D. Brooks (Rakhmat, 2005:99)
Those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that
we have derived from experiences and our interaction with others.
Konsep diri (self concept) adalah persepsi diri mengenai fisik, sosial, dan
psikologis yang diperoleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang
lain.
Menuru Brehm dan Kassin (Hudaniah, 2006:78)
Konsep diri (self concept) adalah keyakinan yang dimiliki individu
tentang atribut (ciri-ciri sifat) yang dimilikinya.


13
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep diri
(self concept) merupakan pemahaman/pikiran, perasaan, penilaian dan
pengharapan seseorang terhadap dirinya sendiri, termasuk perasaan seseorang
tentang bagaimana orang lain menilai dirinya

2.1.1 Komponen-Komponen Konsep Diri (Self Concept)
Menurut Calhoun dan Acocella (1995:61-71), konsep diri (self concept)
memiliki tiga komponen utama yang meliputi:
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan apa yang diketahui oleh individu tentang dirinya
sendiri. Pengetahuan ini megacu pada dua hal, yaitu pengetahuan yang mengacu
pada istilah-istilah kualitas seperti individu yang baik hati, tenang, bertempramen
tinggi, egois, dan lain sebagainya, serta pengatahuan yang mengacu pada istilah-
istilah kuantitas seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, kebangsaan, dan lain
sebagainya (Rola, 2006:19).
Pengetahuan individu mengenai dirinya ini bisa didapatkan dengan cara
membandingkan diri individu yang bersangkutan dengan kelompok
pembandingnya. Leon festinger (Hudaniah, 2006:79-80) menyebutkan bahwa
perbandingan yang dilakukan oleh individu terhadap kelompok pembandingnya
dapat terjadi secara otomatis dan spontan terlepas dari apakah individu tersebut
menginginkannya atau tidak. Informasi yang didapatkan dari hasil perbandingan
tersebut dapat digunakan untuk membantu individu yang bersangkutan dalam
mendefinisikan siapa dirinya.


14
Namun hal ini bukan berarti bahwa pengetahuan individu tentang dirinya
bersifat menetap, pengetahuan ini bisa berubah dengan cara mengubah tingkah
laku individu yang bersangkutan, atau dengan cara mengubah kelompok
pembandingnya.
2) Harapan
Setiap individu memiliki harapan yang berbeda-beda bagi dirinya sendiri.
Harapan yang dimiliki oleh seorang individu akan membangkitkan kekuatan
individu tersebut untuk mencapai harapan yang dimilikinya di masa depan.
Rogers menyebut harapan ini sebagai diri ideal (ideal self). Diri ideal (Ideal self)
ini berisi gambaran diri seperti yang diinginkan, dan bagaimana dirinya
seharusnya sebagai tujuan perkembangan dan prestasi (Alwisol, 2006:322).
Menurut Ana Keliat (http://usu library.ac.id/download/fk/psikologi), ada beberapa
faktor yang mempengaruhi diri ideal (ideal self) seseorang, antara lain:
a. Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya
b. Budaya
c. Ambisi dan keinginan
d. Kebutuhan yang realistis
e. Keinginan untuk menghindari kegagalan
f. Perasaan cemas dan rendah diri
3) Penilaian terhadap diri sendiri
Penilaian menyangkut unsur evaluasi, seberapa besar seorang individu
menyukai dirinya sendiri. Setiap hari seorang individu berkedudukan sebagai
penilai untuk mengukur apakah dirinya bertentangan dengan saya dapat menjadi


15
apa dan saya seharusnya menjadi apa. Hasil dari pengukuran tersebut disebut
sebagai rasa harga diri. Semakin besar ketidaksesuaian antara gambaran tentang
diri kita yang ideal (ideal self) dan diri yang aktual (real self) maka akan semakin
rendah harga diri kita. Sebaliknya orang yang punya harga diri yang tinggi akan
menyukai siapa dirinya, apa yang dikerjakanya dan sebagainya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa komponen penilaian merupakan komponen pembentukan
konsep diri yang cukup signifikan.

2.1.2 Fungsi Konsep Diri
Konsep diri (self concept) memegang peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Folker (Burns, 1993:293) menyebutkan ada tiga fungsi dari
konsep diri (self concept) yatu:
1) Konsep Diri (Self Concept) Sebagai Pemelihara Konsistensi Internal
Manusia memang cenderung untuk bersikap konsisten dengan
pandanganya sendiri. Hal ini bisa dimaklumi karena bila pandangan, ide, perasaan
dan persepsinya tidak membentuk suatu keharmonisan atau bertentangan maka
akan menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan.
2) Konsep Diri Sebagai Interpretasi dari Pengalaman
Pengalaman terhadap suatu peristiwa diberi arti tertentu oleh setiap orang.
Hal ini tergantung dari bagaimana individu tersebut memandang dirinya.





16
3) Konsep Diri Sebagai Suatu Harapan
Setiap orang mempunyai suatu harapan tertentu terhadap dirinya dan hal
itu tergantung dari bagaimana individu itu melihat dan mempersepsikan dirinya
sebagaimana adanya.

2.1.3 Jenis-Jenis Konsep Diri (Self Concept)
Calhoun dan Acocella (1995:71-74) membagi konsep diri (self concept)
menjadi dua macam, yaitu konsep diri (self concept) positif dan konsep diri (self
concept) negatif.
1) Konsep Diri (Self Concept) Positif
Pada konsep diri (self concept) positif yang menjadi dasar bukanlah
kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih berupa penerimaan diri. Konsep
diri (self concept) positif adalah pengetahuan yang luas dan bermacam-macam
tentang diri, pengharapan yang realistis, dan harga diri yang tinggi.
Konsep diri (self concept) positif lebih mengarah pada penerimaan diri
yang positif, bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri
(self concept) positif merupakan individu yang tahu betul siapa dirinya sehingga
individu tersebut mampu menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada
pada dirinya. Burns (1993:72) menyebut konsep diri (self concept) positif ini
sebagai evaluasi diri yang positif, perasaan harga diri yang positif, dan
penerimaan diri yang positif.




17
2) Konsep Diri (Self Concept) Negatif
Konsep diri (self concept) negatif ialah pengetahuan yang tidak tepat
tentang diri sendiri, pengharapan yang tidak realistis, dan harga diri yang rendah.
Ada dua tipe konsep diri (self concept) negatif, yaitu:
a. Pandangan individu tentang dirinya benar-benar tidak teratur, tidak memiliki
perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak
tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya, serta apa yang dihargai dalam
kehidupannya.
b. Pandangan individu tentang dirinya benar-benar stabil dan teratur. Hal ini bisa
terjadi karena individu dididik dengan cara yang keras, sehingga menciptakan
citra diri yang tidak mengijinkan adanya penyimpangan dari seperangkat
hukum dalam pikirannya yang merupakan cara hidup yang tepat.

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Konsep Diri (Self
Concept)
Burns (http://bintangbangsaku.org) menyatakan bahwa konsep diri (self
concept) berkembang terus sepanjang hidup manusia, namun pada tahap tertentu,
perkembangan konsep diri mulai berjalan dalam tempo yang lebih lambat. Secara
bertahap individu akan mengalami sensasi dari badannya dan lingkungannya, dan
individu akan mulai dapat membedakan keduanya. Menurut Burns (1993:189-
207) ada tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri (self
concept), yaitu:



18
1) Citra Fisik
Pada saat masih anak-anak, seorang individu belajar menganai apa yang
merupakan diri dan mana yang bukan diri melalui pengamatan langsung dan tanpa
melalui mediasi sosial. Istilah-istilah yang digunakan pada tahapan ini adalah citra
tubuh dan skema tubuh. Istilah citra tubuh digunakan untuk menggambarkan
evaluasi individu mengenai fisiknya, sedangkan istilah skema tubuh digunakan
untuk menunjukan pengetahuan yang berasal dari sensasi tubuh dan posisi dari
bagian-bagiannya.
Tahapan ini akan diulangi kembali pada saat individu menginjak usia
remaja. Seorang individu mempersepsikan dan mengevaluasi tubuh dan bagian-
bagiannya dengan cara yang sama seperti dia mempersepsikan dan mengevaluasi
setiap objek yang ada disekitarnya. Adanya sifat-sifat dan kekurangan-kekurangan
pada fisik seorang individu baik itu yang bersifat riil maupun yang hanya
dibayangkan oleh individu yang bersangkutan, akan sangat mempengaruhi konsep
diri (self concept) individu tersebut secara keseluruhan.
Masyarakat sering mengasosiasikan fisik seseorang dengan suatu sifat atau
kesuksesan tertentu, misalnya orang kurus dinilai sebagai orang yang terlalu
mencemaskan segala hal dan orang yang gemuk dinilai sebagai seorang yang
pemalas. Individu yang menerima pernyataan-pernyataan yang diasosiakan
dengan tampilan fisiknya kemungkinan besar akan memasukkan persepsi-persepsi
tersebut ke dalam konsep diri (self concept) individu tersebut. Semakin mendekati
kecocokan antara citra fisik yang telah ada dengan citra fisik yang ideal maka
semakin besar kemungkinannya individu tersebut memiliki harga diri yang tinggi


19
dan merasa positif tentang penampilannya. Citra fisik yang ideal ini biasanya
didasarkan pada norma-norma budaya dan stereotipe-stereotipe yang dipelajari.
Citra fisik yang ideal ini akan berbeda antara budaya yang satu dengan budaya
lainnya.
2) Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk melakukan konseptualisasi dan
verbalisasi. Perkembangan bahasa pada seorang individu akan membantu
perkembangan konsep diri (self concept) individu tersebut, karena kemampuan
yang dimiliki individu untuk menggunakan kata ganti seperti saya, dia dan mereka
akan sangat berguna untuk membedakan antara diri dengan orang-orang lainnya.
Simbol-simbol bahasa membentuk dasar dari konsepsi-konsepsi dan
evaluasi-evaluasi tentang diri, seperti sedang sedih, merasa bahagia dan
sebagainya. Pada saat masih anak-anak seorang individu akan memasukkan dan
mengasosiasikan semua vokalisasi-vokalisasi yang diberikan oleh orang dewasa
yang paling dihormatinya ke dalam sistem tanda-tanda atau isyarat yang sedang
berkembang yang digunakan oleh anak tersebut untuk merangsang dirinya sendiri.
3) Umpan Balik dari Lingkungan
Sumber utama lainnya yang berpengaruh pada pembentukan konsep diri
(self concept) seorang individu adalah umpan balik dari orang lain yang
dihormati. Orang-orang yang dihormati berperan dalam menguatkan definisi diri.
Menurut Cooley (Hudaniah, 2006:78) konsep ini dinamakan sebagai looking
glass self, di mana seorang individu membayangkan apa yang orang lain


20
pikirkan tentang dirinya dan apa yang individu tersebut pikirkan akan sangat
mempengaruhi individu yang bersangkutan dalam melakukan evaluasi dirinya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Willey. Menurut
Willey (Burns, 1993: 207) dalam perkembangan konsep diri (self concept) yang
digunakan sebagai sumber pokok informasi adalah interaksi individu dengan
orang lain. Menurut Calhoun dan Acocella (1995:77-79) yang dimaksud degan
orang lain adalah:
a. Orang Tua
Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami oleh seorang
individu dan yang paling kuat. Informasi yang diberikan orang tua kepada
anaknya lebih menancap daripada informasi yang diberikan oleh orang lain dan
berlangsung hingga dewasa. Para peneliti mengemukakan bahwa dalam
kehidupan orang dewasa, orang masih cenderung menilai diri sendiri seperti
ketika mereka masih dimiliki oleh orang tua mereka (Calhoun dan Acocella,
1995:77).
b. Kawan Sebaya
Kawan sebaya menempati posisi kedua setelah orang tua dalam
mempengaruhi konsep diri (self concept) seseorang. Peran yang diukur dalam
kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai
dirinya sendiri, dan penilaian ini akan cenderung berlangsung terus dalam
hubungan sosial ketika ia dewasa.




21
c. Masyarakat
Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak,
seperti siapa orang tuanya, ras, suku, dan sebagainya sehingga hal ini sangat
berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak tersebut.

2.2 Konsep Dasar Kejenuhan Kerja (Burn-out)
Kejenuhan kerja (burn-out) merupakan suatu istilah psikologis yang
digunakan untuk menggambarkan sebuah kondisi kelelahan fisik, emosi dan
psikis yang dialami oleh seseorang. Istilah ini pertama kali dikenalkan pada tahun
1973 oleh seorang psikoanalisis yang bernama Herbert J. Freudenberger melalui
sebuah jurnal psikologi profesional yang berjudul sindrom burn-out
(Bruno,1930:330-331). Dalam jurnal ini diilustrasikan bahwa seseorang yang
mengalami sindrom burn-out tak ubah layaknya seperi sebuah gedung yang habis
terbakar, dari luar tampak seperti baik-baik saja namun sebenarnya didalamnya
kosong dan penuh masalah.
Sebagai suatu fenomena baru, burn-out merupakan masalah yang cukup
menarik untuk diteliti oleh para ahli terutama dalam kaitannya dengan stres kerja.
Dalam bukunya yang berjudul Staf Burn-out :Job Stres in The Human Service,
Cherniss (1980:12) mengemukakan beberapa indikator yang menunjukkan
ketertarikan para ahli dalam meneliti fenomena burn-out, diantaranya:
1) Tahun 1976, Profesor Seymour Sarason dari Yale University diundang
menjadi salah satu pembicara dalam National Association of Community


22
Mental Health Centers yang mengangkat topik mengenai rendahnya moral
dan kepuasan kerja karyawan.
2) Tahun 1976, diselenggarakan simposium tentang burn-out pada pertemuan
tahunan American Psychological Association (APA) yang dihadiri oleh 500
lebih peserta.
3) Adanya topik tentang burn-out yang dipublikasikan dalam jurnal Michigan
Department of Social Service.
4) Workshop tentang cara mengatasi burn-out yang dilaksanakan di California.
5) Diterbitkannya artikel tentang burn-out berskala nasional oleh Human
Behaviour and Psychology Today.
Pada awalnya penelitian mengenai burn-out hanya difokuskan pada orang-
orang yang bekerja pada seting pekerjaan sosial (human service setting) saja,
seperti guru, dokter, perawat, konselor dan sebagainya. Keterbatasan cakupan
penelitian tersebut menurut Garden disebabkan karena kerangka penelitian burn-
out selama ini hanya terbatas pada human service setting saja (Farhati dan
Rosyid,1996:2).
Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan waktu dan kemajuan ilmu
pengetahuan maka penelitian mengenai burn-out diperluas cakupannya ke dalam
seting pekerjaan lain dan bahkan pada pekerjaan yang sangat sedikit sekali
melibatkan interaksi dengan orang lain (non human service setting). Hasilnya
menunjukkan bahwa setiap orang bisa mengalami burn-out, baik itu manajer,
profesional, pelayan toko, bahkan buruh pabrik sekalipun (Davis dan
Werther,1985 :34).


23
2.2.1 Pengertian Kejenuhan Kerja (Burn-out)
Secara etimologis kejenuhan kerja (burn-out) diartikan sebagai suasana
psikis yang tampak dalam tingkah laku individu yang ditandai oleh apatis,
kemarahan dan kegagalan sebagai akibat adanya keterbatasan eksternal maupun
internal pada diri individu tersebut untuk menolong dan membantu kliennya
secara optimal. Maslach (Cherniss, 1980:16) mendefinisikan kejenuhan kerja
(burn-out) sebagai loss of concern for the people with whom on is working
characterized by emotional exhaustion in which the staff person no longer has
positive feelings, respect, or emphaty for client.
Berdasarkan pengertian tersebut istilah kejenuhan kerja (burn-out)
digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi dimana hilangnya kepedulian
seorang individu pada orang-orang yang ada di sekitarnya, kondisi ini ditandai
dengan tidak adanya perasaan positif, menghargai dan empati terhadap kliennya.
Pada kesempatan lain, Maslach (1982:3) mengartikan kejenuhan kerja (burn-out)
sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion) fisik, mental dan emosional, yang
ditandai oleh physical depletion seperti perasaan tidak berdaya, putus asa, sikap
negatif terhadap kerja, konsep diri (self concept) negatif, dan lain sebagainya.
Menurut Sutjipto (2005:2-4) ada beberapa pengertian kejenuhan kerja
(burn-out) yang dikemukakan oleh para ahli:
Menurut Herbert Freudenberger
Kejenuhan kerja (burn-out) merupakan suatu bentuk kelelahan yang
disebabkan karena seseorang bekerja terlalu intens, berdedikasi dan
berkomitmen, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama, serta memandang
kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal yang kedua.




24
Menurut Ayala Pines dan Elliot Aronson
Kejenuhan kerja (burn-out) merupakan kelelahan secara fisik, mental dan
emosional yang dialami oleh seseorang yang bekerja di sektor pelayanan
sosial yang cukup lama yang disebabkan karena orang tersebut
memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang
minimal.

Menurut Cary Cherniss
Kejenuhan kerja (burn-out) merupakan perubahan sikap dan perilaku
dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti
menjaga jarak dengan klien, maupun bersikap sinis dengan mereka,
membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja yang kuat.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua hal
penting yang terdapat pada pengertian kejenuhan kerja (burn-out) tersebut, yaitu:
1) Penekanan kejenuhan kerja (burn-out) terletak pada karakteristik individu,
artinya bahwa karakteristik individu turut memberikan sumbangan munculnya
kejenuhan kerja (burn-out) pada individu yang bersangkutan.
2) Dampak dari kejenuhan kerja (burn-out) tersebut tampak pada interaksi
individu tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, maupun terhadap
lingkungan kerjanya.
2.2.2 Dimensi Kejenuhan Kerja (Burn-out)
Menurut Maslach (1982:3-6), kejenuhan kerja (burn-out) memiliki tiga
dimensi utama yang meliputi:
1) Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)
Kelelahan emosional (Emotional Exhaustion), merupakan suatu keadaan
yang disebabkan karena adanya tuntutan psikologis dan emosional yang terus-
menerus dalam human service program. Kelelahan emosional ditandai oleh
adanya perasaan frusrtrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis


25
terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaannya,
sehingga merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis.
2) Depersonalisasi
Dimensi depersonalisasi ini merupakan perkembangan dari dimensi
kelelahan emosional yang terkait dengan usaha individu untuk mengatasi
ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan individu yang
bersangkutan. Depersonalisasi ini merupakan suatu upaya untuk melindungi diri
dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan klien/siswa
sebagai objek.
Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, menjaga jarak
dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial,
cenderung tidak peduli dengan lingkungan dan orang-orang disekitarnya,
kehilangan idealisme, mengurangi kontak dengan klien/siswa, berhubungan
seperlunya saja, berpendapat negatif dan bersikap sinis terhadap klien/siswa,
cenderung meremehkan, memperolok, dan bersikap kasar (Sutjipto,2005:3).
3) Rendahnya Penghargaan terhadap Diri Sendiri (Low Personal
Accomplishment)
Dimensi ini mengacu pada penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri
dan pencapaian keberhasilan dalam pekerjaan. Kondisi ini disebabkan oleh
adanya perasaan bersalah karena telah memperlakukan klien/siswa secara negatif.
Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi seorang yang berkualitas
buruk terhadap klien/siswa, seperti tidak memperhatikan kebutuhan mereka, dan
lainnya.


26

2.2.3 Faktor Penyebab Terjadinya Kejenuhan Kerja (Burn-out)
Menurut Maslach (1982:57-62)), ada tiga faktor yang menyebabkan
terjadinya kejenuhan kerja (burn-out), yaitu karakteristik individu, lingkungan
kerja, dan keterlibatan emosional dengan penerima layanan.
2.2.3.1 Karakteristik Individu
Menurut Stoner (1986:422), karakteristik individu diartikan sebagai
keinginan, sikap, dan kebutuhan seseorang yang dibawa ke dalam situasi kerja.
Secara lebih lanjut, Maslach (Sutjipto, 2005:4) membagi faktor karakteristik
individu ini ke dalam dua bagian besar, yaitu faktor demografik dan faktor
kepribadian.
1) Faktor Demografik
a. Peran Jenis Kelamin
Peran jenis kelamin ini sering disebut dengan istilah gender. Dalam
Womens Studies Encyclopedia(http://pemberdayaan perempuan.wordpress.com),
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan
menurut Hilary M.Lips (http://pemberdayaan perempuan.wordpress.com), gender
diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
Farber (Sutjipto,2005:4) melakukan penelitian yang mengacu pada
perbedaan peran jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, dari hasil
penelitian tersebut ditemukan bahwa laki-laki lebih rentan terhadap stres dan


27
burn-out dibandingkan dengan perempuan. Kondisi ini terjadi karena perempuan
memiliki sifat yang lebih lentur jika dibandingkan dengan laki-laki, di mana
perempuan dipersiapkan dengan lebih baik untuk menangani tekanan yang lebih
besar dalam hidupnya dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Maslach ditemukan bahwa
(Sutjipto,2005:4), laki-laki yang burn-out cenderung mengalami depersonalisasi,
sedangkan perempuan yang burn-out cenderung mengalami kelelahan emosional.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan cara dalam membesarkan anak laki-laki
dan perempuan. Laki-laki cenderung dibesarkan dengan nilai kemandirian agar
nantinya bisa bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional, sedangkan
perempuan cenderung dibesarkan dengan lebih berorientasi pada orang lain, agar
nantinya bisa tumbuh menjadi sosok yang penuh kasih sayang, empati, dan
lembut terhadap semua orang.
Oleh karena itu seorang laki-laki yang tidak dibiasakan untuk terlibat
mendalam secara emosional dengan orang lain akan rentan terhadap munculnya
depersonalisasi, sedangkan perempuan yang lebih banyak terlibat secara
emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap munculnya
kelelahan emosional.
b. Usia
Dilihat dari segi usia, menurut Farber (Sutjipto,2005:4) guru-guru yang
berusia di bawah 40 tahun paling beresiko terkena burn-out dibandingkan dengan
guru-guru yang berusia lebih tua. Menurut Hurlock (1994:279) usia di antara 20-
40 tahun ini merupakan usia yang termasuk ke dalam kategori masa berharap


28
kerja (job hopping), di mana individu yang ada dalam masa ini sering kali
memiliki harapan yang tidak realistis, apa yang mereka harapkan, pikirkan, dan
inginkan seringkali tidak tersedia di masyarakat, kantor, atau bidang kerja lainnya,
sehingga kecenderungan mereka untuk mengalami burn-out akan menjadi
semakin besar.
Pada umumnya seiring dengan bertambahnya usia seseorang maka
bertambah pula kemantapan dan kematangannya dalam menentukan pilihan, hal
ini tentu saja akan sangat membantu orang tersebut untuk menetapkan pandangan
yang lebih realistis akan sesuatu hal dalam hidupnya.
c. Status Pernikahan
Menurut Farber dan Maslach (Sutjipto, 2005:5), profesional yang berstatus
lajang lebih banyak mengalami burn-out daripada profesional yang telah menikah.
Selain itu Maslach juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki anak
cenderung memiliki tingkat burn-out yang lebih rendah dibandingkan dengan
individu yang tidak memiliki anak. Maslach (Sutjipto, 2005:5) mengemukakan
alasan-alasan sebagai berikut:
(1) Orang yang telah berkeluarga pada umumnya berusia lebih tua, stabil dan
matang secara psikologis.
(2) Kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang
dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan.
(3) Seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis.
(4) Keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental
seseorang dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional.


29
d. Etnis
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Maslach terhadap masyarakat
keturunan Afrika dengan masyarakat Caucasian diperoleh hasil yang
menunjukkan bahwa masyarakat keturunan Afrika memiliki tingkat burn-out yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Caucasian. Hal ini terjadi
karena masyarakat keturunan Afrika berasal dari lingkungan masyarakat yang
menekankan kekeluargaan dan persahabatan. Selain itu masyarakat keturunan
Afrika yang tinggal di Amerika sudah terbiasa mendapatkan perlakuan yang
kurang menyenangkan sehingga mereka lebih lentur dan lebih mampu
menghadapi masalah yang melibatkan emosi (Sutjipto, 2005:6).
e. Latar Belakang Pendidikan
Individu yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi lebih rentan
terkena burn-out daripada individu yang memiliki latar belakang pendidikan
rendah. Individu yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi akan memiliki
harapan dan aspirasi yang tinggi, serta pandangan yang sangat idealis, sehingga
ketika individu tersebut dihadapkan pada suatu kondisi yang tidak sesuai dengan
apa yang diharapkannya maka individu tersebut akan mengalami kekecewaan
yang berpotensi memunculkan burn-out (Sutjipto, 2005:7).
f. Masa Kerja
Seorang individu rentan terhadap burn-out pada awal-awal masa kerja,
terhitung 1-5 tahun pertama masa kerjanya, sedangkan pada awal-awal berikutnya
individu tersebut akan dapat mengendalikan burn-out karena sudah dapat
menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya (Sutjipto, 2005:9).


30
2) Faktor kepribadian
Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burn-out adalah
individu yang idealis dan antusias. Mereka adalah individu-individu yang
memiliki sesuatu yang berharga. Pines mencatat bahwa burn-out lebih banyak
terjadi pada nilai dan usaha sebagian besar orang untuk memenuhi cita-cita
pekerjaan mereka (Sutjipto, 2005:10)

2.2.3.2 Lingkungan Kerja
1) Beban Kerja
Beban kerja diartikan sebagai beban yang dipikul oleh pekerja, yang
biasanya berhubungan dengan lamanya waktu kerja seseorang dalam pekerjannya
(http://kesehatan dan keselamatan kerja.com). Everly dan Girdano (Munandar,
2004:384-389) membagi beban kerja menjadi dua macam, yaitu beban kerja
kuantitatif dan beban kerja kualitatif.
Beban kerja kuantitatif timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu
banyak atau terlalu sedikit yang diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan
dalam waktu tertentu, sedangkan beban kerja kualitatif merupakan beban kerja
yang timbul sebagai akibat munculnya perasaan tidak mampu dalam diri
karyawan dalam melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya ataupun
karena karyawan tidak bisa menggunakan keterampilan yang dimilikinya untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan.
Menurut Maslach, beban kerja yang berlebihan merupakan salah satu
faktor yang dapat menimbulkan burn-out. Beban kerja yang berlebihan bisa


31
meliputi jam kerja, jumlah individu yang harus dilayani, tanggung jawab yang
harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang bukan rutin, dan pekerjaan administrasi
lainnya yang melampaui kemampuan dan kapasitas individu. Dengan adanya
beban kerja yang berlebihan tersebut pemberi layanan akan merasakan ketegangan
emosional saat melayani klien, sehingga dapat mengarahkan perilaku pemberi
layanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari diri untuk terlibat
dengan klien (Sutjipto, 2005:7).
Penelitian yang dilakukan oleh Maslach (1980:38) menunjukan bahwa
burn-out terjadi karena adanya ketidakseimbangan permintaan atau tuntutan dari
pihak organisasi dengan kemampuan pemberi layanan.
2) Dukungan Sosial dan Rekan Kerja
Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan
burn-out. Dukungan sosial merupakan sumber emosional bagi individu saat ada
masalah dengan klien. Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial
akan merasa nyaman, diperhatikan, dihargai, atau dibantu oleh orang lain.
3) Konflik Peran
Kahn (Sutjipto, 2005:8) mengemukakan bahwa konflik peran merupakan
faktor yang potensial terhadap timbulnya burn-out. Konflik peran muncul sebagai
akibat adanya tuntutan yang bertentangan atau tidak sejalan dengan diri individu.
Terdapat dua tipe umum konflik peran, yaitu konflik peran intersender dan konflik
peran intrasender.
Konflik peran intersender terjadi ketika pegawai berhadapan dengan
harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai, sedangkan


32
konflik peran intrasender biasanya terjadi pada karyawan atau manajer yang
menduduki jabatan di dua struktur di mana masing-masing struktur
memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama sehingga akan berdampak pada
manajer atau karyawan yang berada pada posisi di bawahnya, terutama jika
mereka harus memilih salah satu alternatif (Munandar, 2001:381-401).
4) Kebijakan Organisasi yang Terlalu Mengikat dan Kaku
Burn-out akan menjadi semakin rentan ketika seorang individu tidak
memiliki kendali terhadap apa, kapan dan bagaimana orang tersebut melakukan
pekerjaannya. Hal ini disebabkan oleh kebijakan organisasi yang terlalu mengikat
dan kaku yang mengharuskan seorang individu menerapkan kebijakan tersebut.

2.2.3.3 Keterlibatan Emosional dengan Penerima Layanan
Menurut Maslach (Sutjipto, 2005:8), pemberi dan penerima layanan turut
membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional
dan secara tidak disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan
antara mereka dapat memberikan penguatan positif dan kepuasan bagi kedua
belah pihak, atau sebaliknya memberikan penguatan negatif dan ketidakpuasan
bagi kedua belah pihak.
Freudenberger mengemukakan bahwa orang yang bekerja dalam bidang
pelayanan membutuhkan kesabaran yang lebih banyak untuk memahami situasi
krisis seperi frustrasi dan ketakutan yang dirasakan oleh orang yang dilayaninya.
Fokus yang terus menerus terhadap permasalahan tersebut merupakan potensi


33
berkembangnya pandangan negatif dan sinis terhadap penerima layanan yang
pada akhirnya dapat menimbulkan burn-out pada pemberi layanan itu sendiri.
Dalam kesempatan lain Maslach juga mengungkapkan bahwa orang yang
bekerja pada bidang sosial jarang sekali mendapat apresiasi yang positif dari
masyarakat (Sutjipto, 2005:8), mereka sering dituntut untuk memberikan
pelayanan yang memuaskan bagi kliennya. Adanya tuntutan tersebut membuat
para pemberi layanan merasa frustrasi karena tidak dapat mencapai standar yang
telah ditetapkan sebelumnya oleh masyarakat untuk profesi mereka, dan kalaupun
mereka bisa mencapai standar tersebut masyarakat tetap tidak memberikan
apresiasi yang positif atas prestasi mereka karena masyarakat beranggapan bahwa
memang sudah seharusnya mereka seperti itu.

2.2.4 Proses Terjadinya Kejenuhan Kerja (Burn-out)
Maslach dan Leiter (1997:24-26) mengemukakan bahwa burn-out terjadi
secara berangsur-angsur sebagai akibat dari adanya ketidaksesuaian antara
kebutuhan individu dengan tuntutan pekerjaan. Gejala yang muncul pada setiap
individu yang mengalami burn-out berbeda satu sama lain, namun secara umum
proses terjadinya burn-out pada setiap individu tersebut sama. Proses-proses
tersebut antara lain:
1) Pengikisan ketertarikan dengan Pekerjaan (an Erosion of Engagement
with the job)
Pada proses ini terjadi pengikisan ketertarikan individu terhadap
pekerjaannya. Individu yang semula merasa penting dan dibutuhkan dalam


34
pekerjaannya, energik, berkomitmen, serta mengagumi pekerjaannya tersebut
berubah menjadi individu yang sinis, kehilangan energi untuk bekerja dan
menjadi tidak efektif.
2) Pengikisan Emosi (an erosion of Emotion)
Dalam proses ini perasaan-perasaan positif seperti keantusiasan, keamanan
dan kenyamanan dalam bekerja menjadi hilang dan digantikan dengan perasaan
frustrasi, marah, kawatir dan depresi.
3) Kegagalan dalam menyesuaikan dengan pekerjaan (a failure to fit in)
Para ahli berpendapat bahwa individu yang mengalami burn-out
merupakan individu yang lemah, karena terjadi kesenjangan pada diri individu
tersebut baik secara fisik maupun psikologis. Dalam dunia kerja seorang individu
dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan yang ada
dalam pekerjaannya tersebut, sehingga diperlukan kondisi fisik dan psikologis
yang benar-benar baik dan mendukung untuk pekerjaan tersebut. Individu yang
mengalami burn-out berarti telah gagal menyesuaikan diri dengan pekerjaannya
tersebut.
Selain menurut Maslach dan Leiter, pendapat mengenai proses terjadinya
burn-out juga dikemukakan oleh Cherniss. Cherniss (1980:18) mengemukakan
bahwa burn-out merupakan proses transaksional yang meliputi tiga tahapan, yaitu:
1) Adanya ketidakseimbangan antara sumber daya dengan tuntutan atau stress,
2) Respon emosional terhadap keseimbangan yang berbentuk perasaan cemas,
tegang dan lelah


35
3) Perubahan sikap dan perilaku, seperti mengabaikan dan bersikap sinis
terhadap klien
Ketiga tahapan tersebut secara lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar di
bawah ini:





Gambar 2.1 Proses Transaksional Burn-out Menurut Cherniss (1980:16)

2.2.5 Gejala dan Dampak Kejenuhan Kerja (Burn-out)
Menurut Golembiewsky (Farhati dan Rosyid,1996:3) dampak dari burn-
out dapat muncul dalam bentuk berkurangnya kepuasan kerja, meningkatnya stres
kerja, menurunnya partisipasi, performance kerja yang bertambah buruk,
produktivitas kerja rendah, serta meningkatnya gangguan fisik dan mental pada
individu yang bersangkutan.
Freudenberger dan Richelson (Farhati dan Rosyid, 1996:2)
mengidentifikasi sebelas gejala individu yang mengalami burn-out, antara lain:
1) Kelelahan
Kelelahan merupakan proses kehilangan energi yang disertai keletihan.
Individu yang mengalami kelelahan akan sulit menerima bahwa dirinya
JOB STRES

Demand


Resource
DEFENSIVE
COPING

Emotional
Detachment
Withdrawal
Cynicism
Rigidity
STRAIN

Tension

Fatigue

Irritability


36
mengalami kelelahan karena selama ini individu tersebut tidak pernah merasa
lelah walaupun aktifitas yang dijalaninya sangat padat.
2) Lari dari kenyataan
Kondisi ini merupakan alat yang dipakai individu untuk menangkal
penderitaan yang dialami. Pada saat individu merasa kecewa melihat kenyataan
yang tidak sesuai dengan harapannya, maka individu tersebut menjadi tidak peduli
terhadap permasalahan yang ada agar individu tersebut dapat menghindari
kekecewaan yang lebih parah.
3) Kebosanan dan sinisme
Ketika individu yang mengalami burn-out mengalami kekecewaan, sulit
bagi mereka untuk tertarik lagi pada kegiatan yang selama ini mereka tekuni.
Mereka mulai mempertanyakan makna kegiatan yang mereka lakukan dan mulai
merasa bosan, serta bersikap sinis terhadap kegiatan tersebut.
4) Tidak sabaran dan mudah tersinggung
Kondisi ini terjadi karena selama ini individu dapat melakukan segala hal
dengan cepat. Ketika mereka mengalami kelelahan, kemampuan individu tersebut
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan menjadi semakin berkurang, sehingga
mereka menjadi tidak sabaran dan mudah sekali tersinggung.
5) Merasa hanya dirinya yang dapat menyelesaikan semua permasalahan
Di sini orang yang mengalami burn-out memiliki suatu keyakinan bahwa
hanya dirinya saja yang dapat melakukan segala sesuatu dengan baik.




37
6) Merasa tidak dihargai
Usaha yang keras namun tidak disertai dengan energi yang cukup serta
hasil yang diperoleh tidak memuaskan membuat individu yang mengalami burn-
out merasa tidak berharga dan tidak dihargai oleh orang lain.
7) Mengalami disorientasi
Individu yang mengalami burn-out merasa terpisah dari lingkungannya.
Individu tersebut tidak mengerti bagaimana situasinya dapat menjadi kacau dan
tidak sesuai degan harapan. Ketika berbincang-bincang dengan orang lain,
individu yang mengalami burn-out sering kehilangan kata-kata yang akan
diucapkan.
8) Keluhan psikosomatis
Individu yang mengalami burn-out sering mengeluh sakit kepala, mual-
mual, diare, ketegangan otot punggung dan gangguan fisik lainnya.
9) Curiga tanpa alasan
Ketika sesuatu berjalan tidak semestinya, kecurigaan muncul pada
penderita burn-out dan menganggap semua kekacauan tersebut disebabkan oleh
orang lain.
10) Depresi
Dalam hal ini kita harus bisa membedakan depresi secara umum dengan
deprsi dalam konteks burn-out. Pada depresi umum, kondisinya dialami dalam
jangka waktu yang lama dan mempengaruhi seluruh kegiatan individu yang
bersangkutan serta dapat mengarah pada usaha bunuh diri, sedangkan depresi


38
dalam konteks burn-out sifanya sementara, khusus dan terbatas. Individu bisa saja
merasa tertekan di tempat kerja namun masih bisa tertawa dan bergurau di rumah.
11) Penyangkalan
Individu yang mengalami burn-out selalu menyangkal kenyataan yang
dihadapinya. Penyangkalan ini terdiri dari dua macam, yaitu penyangkalan
terhadap kegagalan yang dialami, dan penyangkalan terhadap rasa takut yang
dirasakannya.
Selain sebelas gejala di atas, Chernis (1980:17) juga mengungkapkan 28
tanda atau gejala individu yang mengalami burn-out pada pekerjaan yang
berorientasi memberikan pelayanan, antara lain:
1) Keengganan yang tinggi untuk bekerja
2) Terdapat perasaan gagal pada dirinya
3) Cepat marah dan sering kesal
4) Rasa bersalah dan menyalahkan
5) Putus asa dan mengabaikan
6) Bersikap negatif
7) Isolasi dan menarik diri
8) Merasa letih dan lelah setiap hari
9) Sering memperhatikan jam saat kerja
10) Sangat lelah setelah bekerja
11) Kehilangan perasaan positif terhadap klien
12) Menunda kontak dengan kien, membatasi telepon dari klien dan kunjungan
kantor


39
13) Menyamaratakan klien
14) Tidak mampu berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan klien
15) Perasaan buntu
16) Sinis terhadap klien dan bersikap menyalahkan
17) Merasa sangat diatur
18) Gangguan pada saat tidur
19) Menghindari diskusi tentang pekerjaan dengan teman kerja
20) Merasa tidak layak/asyik dengan diri sendiri
21) Menggunakan obat penenang
22) Sering demam dan flu
23) Sering sakit kepala
24) Kaku dalam berpikir dan menolak perubahan
25) Rasa curiga berlebihan dan paranoid
26) Menggunakan obat-obatan secara berlebihan
27) Konflik keluarga dan pernikahan
28) Sering absen

2.2.6 Intervensi Kejenuhan Kerja (Burn-out)
Menurut Maslach (1997:82) intervensi merupakan suatu tindakan campur
tangan seseorang atau sekelompok orang dalam situasi krisis untuk mengatasi,
menanggulangi dan menghindari burn-out. Intervensi burn-out dikatakan sebagai
suatu proses pemecahan masalah karena membutuhkan waktu yang berkelanjutan,
bukan suatu yang cepat, dan dangkal.


40
Terdapat dua macam pendekatan dalam memecahkan masalah burn-out,
yaitu pendekatan secara individu (individual approach) dan pendekatan organisasi
(organizational approach).
Individual Approacah Organizatinal Approach

It starts with a person it starts with management

It becomes a goup project it becomes an organizational project

It connect to the organizaional it connect to people

The outcome affect related mismatches

The outcome is a process
Gambar 2.2 Two Approach Problem Solving Process
Menurut Maslach (1997:80)

Pada pendekatan individual proses pemecahan masalah dimulai dari diri
individu itu sendiri, biasanya disebabkan oleh adanya situasi krisis bagi individu
dan rekan kerjanya sehingga individu mengambil inisiatif tindakan sendiri,
sedangkan pada pendekatan organizational proses pemecahan masalah dimulai
dari organisasi dimana biasanya pendekatan ini merupakan upaya yang dilakukan
oleh organisasi untuk mencegah timbulnya burn-out di masa yang akan datang.


41
Individu yang mengalami burn-out tidak boleh pasrah menerima keadaan
tersebut begitu saja. Maslach (1997:81) mengemukakan dua hal yang dibutuhkan
oleh seorang pekerja dalam menghadapi ketidaksesuaian antara kondisi pekerjan
dengan dirinya sendiri, yaitu kemampuan untuk bekerja sama dengan rekan kerja
dan komitmen untuk tetap terlibat dalam proses perubahan yang panjang.
Ada lima langkah kunci dalam proses menghentikan proses burn-out yang
dikemukakan oleh Maslach (1997:82-83), antara lain:
1) Langkah pertama, dimulai dari diri individu
Langkah ini dimulai oleh individu yang merasa tidak nyaman dengan
kondisi kerja yang ada karena tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada
langkah ini individu mulai mengumpulkan data dan fakta yang berhubungan
dengan burn-out yang dialami di tempat kerjanya kemudian mendiskusikannya
dengan beberapa rekan kerjanya.
2) Langkah kedua, menjadi tugas bersama/kelompok
Setelah ada respon yang positif dari beberapa rekan kerja maka
terbentuklah kelompok yang saling mendukung satu sama lain dan bekerja sama
menjaga komitmen untuk meningkatkan kondisi kerja. Kelompok ini membahas
permasalahan yang ada kemudian mencari solusi terbaik yang dapat diterapkan
dan diajukan kepada organisasi.
3) Langkah ketiga, proses yang berkaitan dengan organisasi
Solusi yang telah disepakati bersama diajukan kepada organisasi dan
menjadi bahan pertimbangan untuk mengatasi burn-out dan meningkatkan
produktivitas kerja.


42
4) Langkah keempat, hasilnya akan mempengaruhi ketidaksesuaian lainnya
Ketika solusi yang ditawarkan memberikan dampak positif untuk
mengatasi salah satu sumber burn-out maka sumber-sumber burn-out yang
lainnya juga akan terpengaruh.
5) Langkah kelima, hasilnya merupakan sebuah proses
Hasil dari tindakan intervensi ini ialah sebuah proses yang berkelanjutan,
yang tidak berhenti pada satu titik untuk mempertahankan kondisi yang
mendukung dan mencegah terjadinya burn-out.

2.3 Guru sebagai Suatu Profesi
Menurut Ilfiandra (2002:8-12), tidak semua pekerjaan dapat dikatakan
sebagai suatu profesi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga
pekerjaan tersebut bisa disebut sebagai profesi, syarat-syarat tersebut antara alain:
1) Melayani masyarakat dan merupakan karier yang akan dilaksanakan
sepanjang hidup (tidak berganti-ganti pekerjaan).
2) Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan
khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).
3) Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori baru
dikembangkan dari hasil praktek).
4) Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
5) Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk
(untuk menduduki jabatan tertentu diperlukan izin khusus).


43
6) Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu
(tidak diatur oleh orang luar).
7) Menerima tanggungjawab atas keputusan yang diambil.
8) Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien dengan penekanan terhadap
pelayanan yang akan diberikan.
9) Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya, relatif bebas dari
supervisi dalam jabatan.
10) Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
11) Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok elit untuk mengetahui dan
mengakui keberhasilan anggotanya.
12) Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau
menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
13) Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari publik dan kepercayaan diri
setiap anggotanya.
14) Mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi bila dibandingkan dengan
jabatan lainnya.
National Education Association (NEA) telah menetapkan beberapa kriteria
khusus jabatan guru (http://gurupahlawanku.com), kriteria-kiriteria tersebut antara
lain:
1) Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual
2) Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus
3) Jabatan yang memerlukan persiapan profesinal yang lama
4) Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan


44
5) Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen
6) Jabatan yang menentukan standarnya sendiri
7) Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi
8) Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat
Dari beberapa kriteria yang telah disebutkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pekerjaan guru merupakan sebuah profesi yang bertugas
melayani masyarakat, memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu,
menggunakan hasil penelitian dari teori ke praktek, memiliki organisasi profesi
sendiri dan sebagainya.

2.3.1 Profesionalisme Guru
Menurut Dr. Sulipan (http://profesiguru.com/index.php), sebagai
pemegang jabatan profesi sudah semestinya bagi seorang guru untuk dapat
melaksanakan tugasnya secara profesional dengan selalu berpegang teguh pada
etika kerja, bebas dari tekanan pihak luar, produktif (cepat), efektif (tepat) dan
inovatif yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau teori yang sistematis
sehingga dapat memberikan pelayanan yang prima pada siswa-siswanya.
Menjadi seorang guru yang profesional membutuhkan berbagai usaha
yang panjang dan tidak mudah. Demi meningkatkan profesionalisme kerjanya
seorang guru harus mau mengikuti berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan
kemampuannya, baik itu kemampuan dalam mengelola pembelajaran maupun
kemampuan lain dalam upaya untuk menjadikan siswa memiliki keterampilan
belajar, yang mencakup keterampilan dalam memperoleh pengetahuan,


45
keterampilan dalam pengembangan jati diri, keterampilan dalam pelaksanaan
tugas-tugas tertentu, dan keterampilan untuk dapat hidup berdampingan dengan
sesama secara harmonis (http://profesiguru.com/index.php).
Menurut Supriyadi (1998:23) profesionalisme guru merupakan hasil dari
profesionalisasi yang dijalani guru secara terus-menerus. Dalam proses ini
pendidikan pra jabatan, penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat
kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, peningkatan kode etik
profesi, sertifikasi dan peningkatan kualitas calon guru, besar-kecilnya gaji dan
lain-lain secara bersama-sama turut menentukan profesionalisme guru.

2.3.2 Peranan Guru SD
Menurut UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen disebutkan bahwa
sebagai seorang tenaga pendidik profesional guru memiliki tugas utama untuk
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pada pendidikan dasar (SD)
tugas seorang guru tidak hanya terbatas pada poin-poin di atas saja, tetapi juga
mencakup kepada pemberian bekal kemampuan dasar kepada siswa agar dapat
mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga
negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk dapat
mengikuti pendidikan menegah (http://re-searchengines.com/rustanti40708.html).
Di sekolah dasar, guru kelas harus menjalankan tugas dan fungsinya
secara menyeluruh mulai dari menyampaikan semua materi pelajaran sampai


46
dengan memberikan layanan konseling kepada semua siswa tanpa terkecuali.
Sedikitnya ada sembilan peran guru kelas di SD (Sardiman, 2001:142), antara
lain:
1) Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif,
laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik
maupun umum
2) Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal
pelajaran dan lain-lain
3) Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta
reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan
swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika
di dalam proses belajar-mengajar.
4) Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar
siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
5) Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
6) Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan
dan pengetahuan.
7) Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses
belajar-mengajar.
8) Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
9) Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi siswa dalam
bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan
bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.


47
2.4 Konsep Diri (Self Concept) Guru
Konsep diri yang dimiliki seorang guru akan berpengaruh terhadap
perilaku, gaya mengajar, kemampuan dalam membangun hubungan yang baik
dengan siswa maupun rekan kerjanya, serta persepsi dan pengaharapan mereka
tentang diri mereka sendiri. Berbagai studi yang dilakukan oleh Hart, Bousfield
dan Witty menyatakan bahwa guru yang mampu membentuk hubungan
manusiawi yang memuaskan akan dapat menciptakan etos kelas yang hangat,
mendukung dan menerima, selain itu dalam studi itu juga disebutkan bahwa guru-
guru yang bersikap menjauhkan diri, kaku dan tidak mampu untuk berinteraksi
dengan siswa akan mendapatkan penilaian yang sangat negatif dari para siswanya
(Burns, 1993:392).
Hal yang serupa dikemukakan oleh Cogan dan Reed (Burns, 1993:393),
menurut mereka keefektifan dari guru dalam menciptakan suasana yang hangat
dan mendukung akan sangat berpengaruh terhadap tingkah laku yang
dimunculkan oleh siswa-siswanya karena pada dasarnya tingkah laku siwa
merupakan hasil utama dari tingkah laku guru dalam menciptakan situasi-situasi
belajar tersebut. Peranan yang harus dimainkan oleh guru-guru seharusnya dapat
meningkatkan kesadaran tentang diri mereka sendiri dan orang lain, karena pada
dasarnya mengajar merupakan suatu pekerjaan berbagi pengalaman diri dengan
orang lain yang akan mempengaruhi perilaku antar pribadi di dalam ruangan kelas
(Burns, 1993:394). Konsep diri yang positif pada guru-guru bukan hanya
memudahkan pada penampilan kelas mereka saja sebagai guru yang mempunyai
kepercayaan diri, tidak cemas dan sebagai pembimbing yang dihormati untuk


48
memberi pelajaran, tetapi juga memudahkan pada penampilan murid-muridnya
ketika mengadakan hubungan dengan orang lain.

2.5 Kejenuhan Kerja (Burn-out) Guru
Menurut Klausmeir (http://assessment.com) dari tiga dimensi burn-out
yang meliputi kelelahan emosional, depersonalisasi dan rendahnya penghargaan
terhadap diri sendiri, guru memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami
depersonalisasi dibandingkan dengan kelelahan emosional dan rendahnya
penghargaan terhadap diri sendiri (low personal accomplishment) dalam
pekerjaan mereka. Depersonalisasi ini terjadi karena hampir setiap hari waktu
yang dimiliki oleh para guru digunakan untuk melakukan interaksi dengan murid-
muridnya sehingga para guru terisolasi dari kelompok profesional mereka yang
bisa lebih memahami kebutuhan dan kondisi mereka pada saat itu.
Farber mengungkapkan bahwa depersonalisasi ini merupakan mekanisme
perlindungan bagi guru yang mengalami kelelahan emosional agar mereka bisa
tetap bertahan pada pekerjaan mereka meskipun dengan kinerja yang semakin
buruk.
2.6 Penelitian Sebelumnya
Sampai saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli
mengenai konsep diri (self concept) dan kejenuhan kerja (burn-out), salah satunya
ialah penelitian yang telah dilakukan oleh Bambang pada tahun 1998 mengenai
hubungan antara self concept dengan burn-out pada karyawan nonhuman service
yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara


49
konsep diri dengan burn-out pada karyawan perusahaan tersebut, dengan
koefesien korelasi sebesar 0.843. Selain penelitian tersebut, pada tahun 1989
seorang peneliti Inggris yang bernama Trendall melakukan penelitian terhadap
237 orang guru SD, SMP dan SLB untuk mengetahui siapa diantara guru-guru
tersebut yang lebih mengalami burn-out, di mana hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa guru SD lebih banyak mengalami burn-out dibandingkan
guru SMP dan SLB (Ilfiandra,2002:27).
Senada dengan penelitian tersebut Menthai dan Solmon mengemukakan
bahwa terjadi peningkatan intensitas burn-out pada guru selama rentang waktu
lima tahun (1981-1986) di Newzealand, terutama pada guru-guru yang mengajar
di sekolah umum.

2.7 Kerangka Berpikir
Guru memiliki peran yang penting dalam berlangsungnya kegiatan belajar-
mengajar dan dalam menentukan kualitas dari sekolah tempat di mana dia bekerja.
Guru perlu untuk merasa berhasil serta percaya akan diri dan kemampuan mereka
sebelum mereka dapat membuat siswa mereka merasakan hal yang sama. Bila
guru merasa gagal atau tidak mendapat kepuasan pribadi maka pada akhirnya
yang dirugikan adalah pihak siswa dan sekolah.
Perasaan mampu dan percaya diri yang dimiliki oleh guru berawal dari
konsep diri yang dimilikinya. Guru yang memiliki konsep diri positif akan merasa
mampu dan percaya diri dalam mengemban tugasnya sehingga hasil yang
diperolehpun akan optimal, sebaliknya guru dengan konsep diri negatif merasa


50
tidak mampu, minder dan tidak percaya diri dalam mengemban tugasnya sehingga
hasil yang diperolehpun tidak optimal dan semakin jauh dari apa yang diharapkan.
Selama perjalanan kehidupannya, guru banyak menemui permasalah yang
harus segera diselesaikan dan diatasi, namun tidak semua permasalahan tersebut
bersumber dari faktor eksternal karena bagaimanapun juga faktor internal yang
ada pada diri guru tersebut justru akan turut mempengaruhi bagaimana sang guru
memandang suatu keadaan dan mengatasi permasalahan yang muncul pada
dirinya. Salah satu permasalahan tersebut ialah burn-out. Burn-out atau kejenuhan
kerja merupakan sindrom psikologis yang meliputi kelelahan emosional,
depersonalisasi dan low personal accomplishment. Maslach menyebutkan bahwa
individu dengan konsep diri negatif lebih rentan terkena burn-out dibandingkan
dengan individu yang memiliki konsep diri positif.
Oleh karena itu, bertolak dari kerangka pemikiram di atas maka penulis
menarik hipotesis sebagai berikut:
Terdapat Hubungan yang Negatif dan Signifikan antara Konsep Diri
(Self Concept) dengan Kejenuhan Kerja (Burn-out) pada Guru SD di Kota
Bandung.
Artinya bahwa semakin negatif konsep diri seseorang maka akan semakin
tinggi tingkat burn-out yang dialaminya dan sebaliknya semakin positif konsep
diri seseorang maka semakin rendah tingkat burn-out yang dialaminya. Untuk
lebih jelasnya kerangka pemikiran di atas dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah
ini.



51
Gambar 2.3
Kerangka Berpikir




Konsep Diri
Positif Negatif
Burn-out Rendah Burn-out Tinggi
Individu

Anda mungkin juga menyukai