Anda di halaman 1dari 5

Suatu negara demokrasi haruslah selalu berusaha dan menetapkan berbagai aturan maupun kebijakan kebijakan yang dapat

t menunjang langgengnya proses demokrasi di negara tersebut. Penghapusan segala bentuk diskriminasi, ketidakadilan, intervensi dan pengekangan kebebasan termasuk hal hal yang dapat menunjang proses demokrasi di suatu negara. Kondisi seperti ini dapat kita lihat di negara negara yang sudah mapan dan stabil jalan dan proses demokrasi sistem pemerintahannya, seperti Amerika serikat dan negara negara Eropa Barat.

Kondisi seperti yang tergambar di atas pernah terjadi di Indonesia selama tiga puluh dua tahun pemerintahan rezim Orde Baru (1966 - 1998). Matinya demokrasi pada masa itu, dapat dilihat dari bagaimana represifitas pemerintah, khususnya dalam menekan berbagai tuntutan, baik yang datang dari individu maupun kelompok yang tidak puas dengan kinerja pemerintah. Ternyata represifitas suatu pemerintahan seperti apa yang pernah terjadi di Indonesia tidak memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam kehidupan bernegara. Maka tidak heran jika kemudian muncul tuntutan reformasi terhadap sistem politik yang ada. Intinya adalah tuntutan untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, mengembalikan hak hak sipil dan politik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat. B. Proses Demokrasi dan Kebebasan Politik Pasca jatuhnya Rezim Orde Baru di Indonesia Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa represifitas suatu pemerintahan akan mendorong lahirnya tuntutan reformasi terhadap sistem politik yang ada. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 1998, represifitas pemerintahan rezim Orde Baru yang dirasakan oleh masyarakat telah mencapai titik klimaksnya. Kondisi ini diperparah oleh ketidakmampuan Pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian negara yang sempat rubuh akibat badai krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, dan berbagai krisis multidimensional lainnya yang kalau dikaji lebih dalam masih merupakan rangkaian akibat dari represifitas pemerintahan rezim Orde Baru. Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah sehari sebelumnya terjadi gelombang demonstrasi besar besaran yang menuntutnya mundur. Ini tentunya menandai runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru dan dimulainya suatu masa yang disebut Reformasi. Hadirnya Reformasi kemudian diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik itu yang positif maupun yang negatif. Akan tetapi hal yang lebih penting adalah represifitas pemerintah sudah dapat dikurangi, hak dan kebebasan politik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat sudah dikembalikan, dan yang lebih penting lagi adalah proses demokrasi yang kembali tumbuh dan berjalan. Berbagai konsekuensi turunan juga kemudian timbul mengikuti konsekuensi konsekuensi tadi dalam arus reformasi di Indonesia. Adanya jaminan hak dan kebebasan masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat kemudian menjadi alat untuk melegitimasi lahirnya berbagai lembaga, buku-buku, aksi-aksi unjuk rasa, dan sebagainya . Partai politik pun tumbuh subur di Indonesia, bahkan dengan berbagai basis ideologi dan varian yang berbeda. Hal yang tentu bertolak belakang dengan asas tunggal yang diterapkan selama masa pemerintahan rezim Orde Baru yang otoriter.

Pengekangan terhadap demokrasi dan kebebasan politik masyarakat Indonesia oleh penguasa selama masa Orde Baru benar benar membuat masyarakat depresi. Seiring dengan lahirnya Reformasi, rasa depresi itupun dilampiaskan dengan mendirikan berbagai macam partai politik dan lembaga lainnya untuk membawa dan menyampaikan aspirasi dan kepentingan mereka. Perkembangan partai politik ini menunjukkan bahwa kebebasan berpolitik telah kembali mendapatkan jaminan untuk hidup di Indonesia. Ini pulalah yang diharapkan akan mengawal proses demokrasi di Indonesia. Kembalinya sistem multipartai dalam Pemilu di Indonesia mengingatkan kita pada Pemilu 1955, di mana juga terdapat banyak partai dan melahirkan empat partai besar dengan basis ideologi yang berbeda sebagai pemenang. Akibatnya adalah benturan kepentingan di mana setiap kelompok saling berdebat di DPR hanya untuk bagaimana agar pandangan dan pendapat merekalah yang didengar dan diterapkan. Akibatnya adalah mereka melupakan bahwa mereka ada dan dipilih oleh rakyat untuk duduk di DPR sebagai perwakilan dari rakyat untuk bersama pemerintah mencari solusi terhadap terhadap berbagai masalah bangsa. Sejarah ternyata kembali berulang. Setelah dua kali Pemilu pasca Orde Baru, yaitu pada tahun 1999 dan 2004, kondisi yang hampir sama dengan kondisi DPR pada tahun 1955 kembali terjadi. Para anggota DPR yang mewakili fraksinya masingmasing disibukkan berdebat dengan membawa kepentingan partai dan golongannya sendiri sendiri pada setiap sidang tahunan. Nyaris tidak pernah terdengar suatu langkah penyelesaian yang disepakati oleh para wakil rakyat mengenai masalah masalah bangsa yang paling krusial, seperti kemiskinan, pengangguran, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Perdebatan itupun kemudian tidak melahirkan hasil apapun selain dana miliaran rupiah yang dihabiskan untuk perdebatan tersebut. Maka tidak heran jika mantan Presiden Abdurrahman Wahid sempat menyebut ruang DPR lebih mirip sebagai Taman Kanak Kanak daripada sebuah lembaga perwakilan rakyat. Fenomena lain yang terjadi adalah kesibukan partai partai tersebut untuk mencari kawan dan membentuk koalisi dalam menghadapi Pemilihan Presiden. Ujung - ujungnya, yang terjadi tentulah bagi bagi kekuasaan dalam kursi kabinet di antara koalisi tersebut jika pihak mereka menang. Yang pasti adalah perdebatan setiap kelompok atau partai adalah bagaimana mempermudah akses partai dan kelompoknya menuju kekuasaan dan menghambat lawan menuju ke kekuasaaan tersebut. Kita bisa melihat ini pada perdebatan soal masalah persyaratan calon Presiden RI dalam Pemilihan Presiden (Pilpres).. Kondisi ini tentunya diperparah oleh tidak befungsinya secara maksimal peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengimbangi peran Pemerintah. Berbagai Rancangan Undang Undang (RUU) dan aturan yang diusulkan oleh Presiden begitu mudahnya diloloskan di DPR. Hal ini tentu tidak lepas dari kuatnya basis dukungan terhadap Pemerintah di DPR. Setidaknya ada lima fraksi besar di DPR yang menjadi penyokong utama Pemerintah. Kondisi ini hampir mirip dengan kondisi di zaman Orde Baru, di mana Pemerintah mencengkeram habis DPR. Pemerintahan Presiden Yudoyono memang tidak serepresif Pemerintah Orde Baru, akan tetapi kuatnya basis dukungan terhadap pemerintahannya di DPR membuatnya sedikit otoriter dalam memerintah.

Kondisi kondisi seperti ini yang tentulah harus dicarikan solusi jika kita tidak ingin jalan dan proses demokrasi mengalami hambatan di Indonesia. Setidaknya aturan yang dipermasalahkan oleh banyak pihak tersebut haruslah direvisi dan dibuatkan suatu aturan baru yang lebih menjanjikan kelangsungan dari jalan dan proses demokrasi di Indonesia. .. Penataan penataan terhadap sistem politik yang ambruk dan kacau balau pasca runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru juga seakan terabaikan. Berbagai aturan dan kebijakan baru yang dinilai represif dan mengekang kebebasan masyarakat malah dibuat, seiring dengan belum dicabutnya berbagai aturan dan Undang Undang yang memasung demokrasi di masa lalu. Hal ini tentulah akan berdampak pada tehambatnya proses demokrasi di masa yang akan datang. Kuatnya budaya pemerintahan yang dibangun salama tiga puluh dua tahun pemerintahan rezim Orde Baru akan sangat sulit untuk dihancurkan mengingat kuatnya basis pendukung tokoh tokoh didikan Orde Baru di dalam masyarakat Indonesia. Budaya pemerintahan yang represif dan otoriter yang diwarisi dari masa Orde Baru masih akan tetap ada bersamaan dengan masih eksisnya Golkar yang pernah menjadi mesin penopang rezim Orde Baru di masa lalu. Begitupula dalam hal masih eksisnya tokoh tokoh dan simpatisan Orde baru di masa lalu dalam percaturan politik Indonesia di masa yang akan datang akan memperkuat budaya politik warisan Orde Baru tersebut.

DPR dalam beberapa tahun ke depan mungkin masih akan sama dengan yang ada di masa sekarang. Setiap kelompok masih akan disibukkan dengan perdebatan perdebatan alot di antara mereka yang membawa kepentingan partai semata. Perdebatan yang tentunya tetap tidak melahirkan solusi apapun bagi permasalahan yang sedang melanda bangsa ini. Kondisi sistem politik yang seperti itu tentu menciptakan kekhawatiran bagi rakyat Indonesia mengenai kemampuan sistem tersebut menghasilkan suatu solusi bagi penyelesaian berbagai masalah di Indonesia. Hanya saja, kemajuan yang terjadi dalam kebebasan berpolitik di Indonesia tentu diharapkan dapat membantu bagi terwujudnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dan demokratis di masa yang akan datang. Warna baru dalam proses demokrasi di Indonesia masa yang akan datang mungkin akan datang dari meningkatnya peran dari kelompok kepentingan. Perkembangan berbagai kelompok kepentingan, entah itu serikat serikat pekerja, organisasi non-asosiasi, maupun Non-Governent Organisation (NGO) akan semakin pesat mengingat jaminan yang akan lebih terbuka bagi kebebasan berpolitk di Indonesia pada masa yang akan datang. Kelompok kepentingan inilah yang akan mengawal jalannya proses demokrasi di Indonesia dengan membawa dan mengaspirasikan kebutuhan kebutuhan rakyat Indonesia akan kondisi demokrasi dan penghapusan ketidakadilan di Indonesia. Suara suara lantang yang mereka dengungkan, baik dalam bentuk dukungan maupun tuntutan terhadap sistem politik yang ada, tentulah akan berpengaruh cukup besar dalam pembuatan dan perubahan kebijakan di Indonesia. Di bidang politik, khususnya dalam peran DPR yang masih belum mampu mengimbangi kekuatan eksekutif dalam sistem politik. DPR belum mampu untuk menjadi media penyampaian aspirasi dan keinginan rakyat Indonesia. Sebagai buah dari adanya jaminan kebebasan berpolitik, yang

mengembalikan sistem multipartai di Indonesia, maka Indonesia seharusnya mampu membangun demokrasi dengan lebih rapi. Akan tetapi kenyataannya adalah partai partai yang ada malah lebih sibuk untuk menyuarakan kepentingan mereka sendiri dan melupakan aspirasi dan keinginan rakyat. Kondisi ini diprediksi masih akan berlangsung sampai beberapa tahun yang akan datang. Implikasi dari kondisi seperti ini adalah rakyat merasa diabaikan dan tidak dipedulikan oleh Pemerintah. Akibatnya adalah rakyat kehilangan kepercayaan dan merasa dihianati oleh Pemerintah. . Setiap menjelang pemilihan umum (Pemilu), setelah reformasi pada 1998 lalu, Indonesia seolah selalu dalam keadaan darurat: belum jelas sistem Politik seperti apakah yang akan digunakan. Pada Pemilu 2009 lalu, misalnya, Indonesia baru mempunyai UU Pemilu pada 3 Maret 2008. Untuk Pemilu 2014 nanti, Indonesia kemungkinan besar sudah mempunyai Undang-undangnya pada Rabu, 11 April nanti. Rancangan Undang-undang Pemilu sudah lewat dari pembahasan panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu di Komisi II DPR dan tinggal menunggu pengesahan pada sidang paripurna Rabu nanti itu. Tak Punya Sistem Politik yang Permanen. Kegemaran membuat UU Pemilu setiap menjelang Pemilu ini membuat Indonesia seolah selalu dalam keadaan darurat. Celakanya, yang bisa bermain (dan bermain-main) dengan sistem politik (termasuk sistem Pemilu didalamnya) adalah mereka yang memenangkan Pemilu sebelumnya. Atau paling tidak, bagian dari pemenang. enguntungkan sepihak dan jelas sekali sangat diskriminatif dan melanggar asas kepatutan," kata Denny.

3. Tahun 1965-1998; Demokrasi Pancasila; dengan ciri-ciri: Demokrasi berketuhanan Demokrasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab Demokrasi bagi persatuan Indonesia Demokrasi yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Demokrasi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Kita tidak menafikan betapa indah susunan kata berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, tetapi pada tataran praksis sebagaimana yang kita lihat dan rasakan: Mengabaikan eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana tidak merasa dikontrol oleh Tuhan. Para pemimpin, terutama presiden tabu untuk dikritik, apalagi dipersalahkan. Ini bermakna menempatkan dirinya dalam posisi Tuhan yang selalu harus dimuliakan dan dilaksanakan segala titahnya serta memegang kekuasaan yang absolut

Tidak manusiawi, tidak adil dan tidak beradab, dengan fakta eksistensi nyawa, darah, harkat dan martabat manusia lebih rendah dari nilai-nilai kebendaan. Tidak ada keadilan hukum, ekonomi, politik dan penegakan HAM. Pemilu rutin lima tahuna, tetapi sekedar ritual demokrasi. Dimana dalam prakteknya diberlakukan sistem Kepartaian Hegemonik, yakni pemilu diikuti oleh beberapa partai politik, tetapi yang harus dimenagkan, dengan menempuh berbagai cara,intimidasi, teror, ancaman danuanga, hanya satu partai politik. Kala itu dikenal politik massa mengambang, yakni eksistensi dan kiprah partai politik hanya sampai di tingkat kabupaten/kota. Tetapi dipihak lain dengan pongah, arogan dan brutal partai hegemonik dihidupkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Periode ini berakhir dengan tumbangnya rezim orde baru di bawah komando jenderal besar Soeharto. 4. Tahun 1998- sekarang, orde reformasi dengan ciri-ciri enam agenda: Amandemen UUD 1945 Penghapusan peran ganda (multifungsi) TNI Penegakan supremasi hukum dengan indikator mengadili mantan Presiden Soeharto atas kejahatan politik, ekonomi dan kejahatan atas kemanusiaan. Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya Penegakan budaya demokrasi yang anti feodalisme dan kekerasan Penolakan sisa-sisa Orde Lama dan Orde Baru dalam pemerintaha Jika Soeharto tidak jatuh dari kursi kepresidenan tanggal 21 Mei 1998 pemilu Indonesia yang secara periodic merupakan kelanjutan dari pemilu sebelumnya.[4] Dengan kelanjutan ini Indonesia mengalami krisis ekonomi. Setelah sepaham, pemilu dipilih sebagai pintu untuk menuju ruang demokrasi. Tetapi jal;anyya pemilu masi belum bias terlepas dari bayingbanyang kekuasaan 32 tahun ORBA yang cenderung pada kepentingan kelompok mereka. Hal ini terbukti dalam enam kali pemilu yang terselenggara selama Orba berkuasa tidak pernah berjalan secara transparan dan jurdil yang sistematis membuat masyarakat dijauhkan dari dunia poluitik yang mengakibatkan masyarakat kita pada masa sekarang ini mengidap penyakit gapol (gagp politik) yang bias membahayakan kehidupan bangsa.[5] Untuk menghindari gegar politik yang bias mematikankehidupan nilai-nilai demokratis, semua persoalan politik perlu di ingat dan di sosialisasikan secara kontinyu agar masyarakat bias menentukan langkah-langkah politik yang konkrit untuk melanjutkan jalannya roda liberalisasi. Terlepas dari kekurangannya, pemilu 99 dinilai cukup demokratis setidaknya jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, bahwa gerakan ini masih berada pasda tahapan yang paling krusial sehingga masih sukit untuk mengidentifikasikan bahwa jita akan menuju demokratis atau tidak. Hal ini ditandai oleh adanbya perang politik dari bebagai kekuatan yang ingin muncul sebagai kekuatan dominan. Dengan demikian brakirnya rejim otoriter bukan berarti akam muncull system demoktrasi dsengan sendirinya. Oleh karena itu, reformasi politik di Indonesia haruslah memperhatikan kepentingan semua kelompok yang ada dalam masyarakat demi tercapainya masyarakat madani yang mandiri dan mampu mengisi ruang public yang tersedia antara rakyat dengan Negara, sehingga dengan demikian masyarakat akan menjadi bumper kekuasaan Negara, dan Negara tidak menentukan sendiri segala sesuatu yang menyangkut penyelenggaraan Negara.

Anda mungkin juga menyukai