Anda di halaman 1dari 3

Ranah 3 Warna Judul Buku : Ranah 3 Warna Pengarang : A Fuadi Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : (cetakan

keempat) Juli 2011 Tebal buku : 473 halaman ISBN : 978-979-22-6325-1

Alif Fikri seorang lulusan pondok pesantren berkeinginan untuk masuk Teknik Penerbangan ITB guna menggapai cita-citanya merantau ke Amerika. Tetapi sebagai lulusan pondok pesantren, ia tidak mempunyai ijazah SMA sehingga harus melalui ujian kesetaraan. Dalam waktu 2 bulan, ia harus mampu menguasai materi dari kelas 1 sampai kelas 3 SMA. Dengan semangat man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses), akhirnya Alif berhasil lulus ujian kesetaraan. Selanjutnya demi mewujudkan impiannya masuk ke dalam ITB, ia harus melalui UMPTN. Namun hasil UMPTN menyatakan bahwa Alif diterima di pilihan keduanya yaitu jurusan Hubungan Internasional ddi UNPAD. Meski gagal masuk ke Teknik Penerbangan ITB, namun ia tetap bersyukur. Sebelum merantau ke Bandung, Alif dibekali oleh ayahnya dengan sepatu hitam yang kemudian dinamainya sebagai si Hitam. Di Bandung, Ia terpaksa tinggal bersama kawan sekaligus rivalnya, yaitu Randai karena tidak punya biaya yang besar untuk mencari kos. Seiring berjalannya waktu, Ia menjadi kenal dengan tetangga kosnya yang sekaligus kakak kelasnya di UNPAD yaitu Raisa. Raisa selalu bisa membuat hati Alif berdesir alias jatuh cinta. Tetapi, tiba-tiba ibunya mengirim telegram yang menyatakan ayah Alif sedang sakit keras. Tanpa basa-basi akhirnnya Alif pamit pulang ke rumah. Seiring tibanya Alif dirumah, sakit yang di derita ayahnya semakin berkurang dan diijinkan pulang. Sehari sebelum Ia balik ke Bandung, ayahnya meninggal. Tetapi ia tetap harus melanjutkan studinya di Bandung. Akhirnya seminggu setelah ayahna meninggal, ia balik ke Bandung. Kemelaratan adalah hidup Alif setelah itu, karena hanya ibunya lah yang mencari uang padahal ibunya masih menanggung dua adiknya di rumah. Semenjak itu, Alif bertekad untuk

menanggung sendiri kebutuhan hidupnya di Bandung, bahkan mengirimi emaknya uang. Dengan semangat man jadda wajada, ia bekerja serabutan. Menjadi penjaja kain songket dan Menjaja peralatan kecantikan dari rumah ke rumah itu semua ia lakukan demi mewujudkan impiannya tersebut. Tetapi tampaknya ia sedang kena cobaan, selain badan yang pegal-pegal karena menenteng barang yang berat, juga suatu hari ia kena rampok, tak berhenti sampai itu, saat pulang setelah di rampok, ia pingsan karena terserang penyakit tifus. Walhasil selama 1 bulan penuh ia harus istirahat total di rumah sakit. Di tengah kebangkrutannya tersebut, ia merenung. Ia sadar bahwa hidup tak bisa hanya dilandasi oleh semangat man jadda wajada tetapi juga harus dilandasi dengan semangat man shabara zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung). Setelah sembuh dan diperbolehkan keluar rumah sakit, ia kemudian memutuskan untuk konsentrasi pada bidang yang dalam kemampuannya dan disenanginya, yaitu menulis artikel. Dengan bimbingan Bang Togar (guru menulis artikel Alif) dan setelah mengalami beberapa penolakan, akhirnya artikel pertamanya dimuat di koran lokal. Setelah itu, ia semakin bersemangat untuk menulis artikel dan perlahan tapi pasti pemasukannya bertambah. Akhirnya ia mampu mengirimi emaknya uang, meski sedikit. Di suatu hari petemuannya dengan salah seorang kakak kelas yang baru saja pulang dari program pertukaran pelajar di Kanada, menjadikan titik tolak kehidupannya. Alif memutuskan untuk mengikuti jejak kakak kelasnya tersebut. Dia mengikuti tesnya dan memilih Kanada sebagai destinasinya karena Kanada merupakan bagian benua Amerika, yang dari dulu ia dambakan akan pergi kesana. Akhirnya Ia dinyatakan lulus tes. Dan tak disangka-sangka ia se tim dengan Raisa, wanita yang selalu membuat hatinya berdesir. Timnya pun berangkat ke Kanada. Tetapi sebelum ke Kanada, mereka singgah dulu di Amman, Yordania. Sampai di sana, mereka terpukau dengan indahnya peninggalan zaman kuno, sehingga sempat terjadi insiden kecil yang menimpa teman Alif yaitu Rusdi, sehingga mereka harus tinggal 3 hari lebih lama karena kaki Rusdi patah. Setelah Rusdi sembuh mereka melanjutkan perjalanan ke Montreal, Kanada.

Sampai di Kanada mereka akhirnya dibawa ke Saint Raymond dimana mereka akan tinggal. Alif kebagian Franc sebagai homologuenya dan Ferdinand dan Mona sebagai orangtua angkatnya. Sejak itu pula, rasa kekeluargaan langsung timbul diantara mereka. Franc dan Alif juga kebagian tugas di Stasiun TV local Saint Raymond. Sehingga untuk memuluskan rencananya mendapatkan medali, mereka memutuskan untuk mewawancarai secara ekslusif tokoh referendum Kanada. Namun rencananya tak berlangsung secara mulus. Selama 1 bulan penuh mereka mengalami penolakan dari tim suksenya. Akhirnya dengan semangat man shabara zhafira mereka berhasil mewawancarai tokoh referendum tersebut dan menyedot perhatian masyarakat dari Saint Raymond. Di hari pahlawan, para siswa pertukaran yang di komandoi oleh Rusdi mengadakan upacara di puncak tertinggi Saint Raymond. Mereka juga mengandakan festival budaya Indonesia. Festival berlangsung sangat meriah dan sukses, membuat headline Koran di Kanada semua membicarakan kemeriahannya. Di dalam acara itu pula disematkan medali kepada Alif dan Franc yang berhasil mewawancarai seorang tokoh referendum Kanada yang sangat terkenal. Akhirnya waktu pulang pun tiba. Meski berat tapi harus dilakukan. Akhirnya Alif balik ke Bandung membawa segala kenangannya di Kanada dan sekaligus membawa kebanggaan karena telah membanggakan Indonesia di mata dunia.

Anda mungkin juga menyukai