Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH EKOLOGI HEWAN HEWAN DAN EKOSISTEM

OLEH ANDINA WIDYA SARI FARADILLA RATTRIANA

DOSEN PEMBIMBING : Drs. Armen,S.U.

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2013

HEWAN DAN EKOSISTEM

A. Pengertian Ekosistem Ekosistem secara singkat merupakan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. B. Komponen penyusun a.Komponen Biotik 1. Produsen 2 .Konsumen 3. Dekomposer C. b.Komponen Abiotik 1. oksigen 2.Kelembapan dan Suhu 3.Air dan Garam mineral 4.Cahaya matahari 5.Ph tanah Hewan Gurun Pasir Unta merupakan salah satu hewan gurun pasir.Salah satu ciri khas unta adalah struktur tubuh yang sangat kuat dan tahan terhadap kondisi lingkungan yang paling ganas sekalipun. Onta mampu bertahan hidup berhari-hari tanpa makan dan minum. Mamalia ini dapat melakukan perjalanan jauh dengan beban ratusan kilogram di punggungnya selama berhari-hari. Keunggulan hewan unta: Ekosistem

1. Tahan lapar dan haus Salah satu ciri khas unta adalah struktur tubuh yang sangat kuat dan tahan terhadap kondisi lingkungan yang paling ganas sekalipun. Unta mampu bertahan hidup berhari-hari tanpa makan dan minum. Mamalia ini dapat melakukan perjalanan jauh dengan beban ratusan kilogram di punggungnya selama berhari-hari.

2. Pengguna air yang efisien Dalam waktu sekitar 10 menit, unta mampu meminum air hingga 130 liter, jumlah yang kurang lebih setara dengan sepertiga berat tubuhnya. Di samping itu, unta memiliki struktur berlendir dalam hidungnya dengan ukuran 100 kali lebih besar dari yang ada pada manusia. Hal ini memungkinkan unta mendapatkan 66% uap air yang terkandung dalam udara.

3. Pemanfaatan hasil metabolisme dengan sangat baik Sebagian besar binatang akan mati keracunan ketika urea yang terakumulasi dalam ginjal mereka berdifusi ke dalam darah. Akan tetapi unta mampu memaksimalkan penggunaan air dan zat-zat makanan dengan cara mengalirkan urea berulang-ulang ke liver. Struktur darah dan sel unta sangatlah unik dan khas sehingga binatang ini mampu bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa air di padang pasir. Dinding sel pada unta memiliki struktur khusus yang mampu mencegah hilangnya air secara berlebihan. Tambahan lagi, adanya komposisi tertentu pada darah unta mencegah terjadinya pengurangan laju sirkulasi darah pada saat kadar air dalam tubuh onta menurun hingga batas minimum. Terdapat pula enzim albumin yang membantu daya tahan unta terhadap rasa haus. Enzim ini terdapat dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan pada makhluk hidup

yang lain.

Keberadaan punuk (punggung yang menonjol vertikal ke atas) merupakan keuntungan tersendiri bagi unta. Seperlima berat tubuh unta adalah lemak yang tersimpan pada punuk tersebut. Karena tubuh mampu mengubah lemak menjadi senyawa bermanfaat lainnya termasuk air, maka penyimpanan lemak hanya pada satu tempat ini mencegah pengeluaran air dari keseluruhan tubuh unta. Hal ini memungkinkan unta menggunakan sesedikit mungkin air. Kendatipun unta berpunuk mampu menghabiskan 30-50 kg makanan dalam satu hari, dalam situasi yang sulit binatang ini mampu hidup selama satu bulan dengan hanya mengkonsumsi makanan 2 kg rumput per hari. Unta memiliki bibir yang sangat kuat dan mirip karet yang menjadikannya mampu memakan duri yang cukup tajam untuk merobek kulit yang tebal sekalipun. Di samping itu, unta memiliki perut dengan empat bilik, serta sistem pencernaan yang sangat kuat yang mampu mencerna apa saja yang dimakan unta. Ciri-ciri ini sangat sesuai bagi binatang yang hidup di iklim sangat kering. 4. Perlindungan yang baik terhadap tornado dan badai Mata unta memiliki bulu mata yang tersusun menjadi dua lapisan. Lapisan bulu mata ini membentuk sebuah perangkap yang mampu melindungi mata unta dari badai pasir yang ganas. Di samping itu, unta dapat menutup hidungnya sehingga mencegah masuknya pasir ke dalam hidung.

5. Perlindungan terhadap panas dan dingin Rambut tebal yang menutupi tubuh unta mampu melindungi kulit onta dari terpaan sinar matahari yang panas membakar. Sebaliknya, pada cuaca yang amat dingin rambut ini mampu menjaga tubuh onta agar tetap hangat. Unta padang pasir tidak begitu terpengaruh oleh temperatur yang mencapai 50C. Sebaliknya, unta Bactrian yang berpunuk ganda mampu bertahan hidup pada suhu -50C. Unta jenis ini dapat hidup di ketinggian 4000 meter di atas permukaan laut. 6. Telapak kaki yang tahan panas Telapak kaki unta memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan ukuran dan panjang kakinya. Kaki ini dirancang secara khusus dan sengaja diciptakan dengan ukuran besar untuk membantu berjalan di atas padang pasir dengan mudah tanpa terperosok. Telapak kaki ini memiliki bentuk melebar dan menggembung. Selain itu, kulit yang tebal pada telapak tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap pasir gurun yang panas membakar. Gambar: Hewan gurun pasir lainnya.

Bioma Hutan Basah Bioma Hutan Basah terdapat di daerah tropika dan subtropik.

Ciri-cirinya adalah, curah hujan 200-225 cm per tahun. Species pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya. Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinngi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi). Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro (iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme). Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari. Variasi suhu dan kelembapan tinggi/besar; suhu sepanjang hari sekitar 25C. Dalam hutan basah tropika sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan), kaktus, dan anggrek sebagai epifit. Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.

Hewan-hewan lahan basah

Lahan basah adalah salah satu ekosistem terpenting,kaena memiliki nilai ekonomi dan keanekaragaman biota darat dan air yang sangat tinggi sebagai pengatur fungsi hidrologi dan iklim mikro suatu kawasan,dan menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang penting bagi manusia.Berbagai jenis hewan termasuk burung,ikan dan udang.

deforestasi adalah kegiatan penebangan hutan atau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan (nonforest use)[2], yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan. Istilah deforestasi sering disalahartikan untuk menggambarkan kegiatan penebangan yang semua pohonnya di suatu daerah ditebang habis. Namun, di daerah beriklim ugahari yang cukup lengas (temperate mesic climate), penebangan semua pohonsesuai dengan langkah-langkah pelaksanaan kehutanan yang berkelanjutan (sustainable forestry)tepatnya disebut sebagai 'panen permudaan' (harvest regeneration).[3] Di daerah tersebut, permudaan alami oleh tegakan hutan biasanya tidak akan terjadi tanpa gangguan, baik secara alami maupun akibat manusia.[4] Selain itu, akibat dari panen permudaan seringkali mirip dengan gangguan alami, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) setelah perusakan hutan hujan (rainforest) yang terjadi secara alami.[5][6] Pengawahutanan dapat terjadi karena pelbagai alasan: pohon atau arang yang diperoleh dari hutan dapat digunakan atau dijual untuk bahan bakar atau sebagai kayu saja, sedangkan lahannya dapat dialihgunakan sebagai padang rumput untuk ternak, perkebunan untuk barang dagangan (commodity), atau untuk permukiman (settlement). Penebangan pohon tanpa penghutanan kembali (reforestation) yang cukup dapat merusak lingkungan tinggal (habitat), hilangnya keanekaragaman hayati dan kegersangan (aridity). Penebangan juga berdampak buruk terhadap penyitaan hayati (biosequestration) karbon dioksida

dari udara. Daerah-daerah yang telah ditebang habis biasanya mengalami pengikisan tanah yang parah dan sering menjadi gurun. Pengabaian atau ketidaktahuan nilai hakiki (intrinsic value), kurangnya nilai yang terwariskan (ascribed value), kelengahan dalam pengelolaan hutan dan hukum lingkungan yang kurang memadai merupakan beberapa alasan yang memungkinkan terjadinya pengawahutanan secara besar-besaran. Banyak negara di dunia mengalami pengawahutanan terus-menerus, baik secara alami maupun akibat manusia. Pengawahutanan dapat menyebabkan kepunahan, perubahan iklim, penggurunan (desertification), dan ketersingkiran penduduk semula. Perubahan tersebut juga pernah terjadi pada masa lalu dan dapat dibuktikan melalui penelitian rekaman sisa purba (fossil record).[5] Akan tetapi, angka pengawahutanan bersih sudah tidak lagi meningkat di antara negara-negara dengan PDB per kapita yang sedikitnya AS$4.600.[7][8] Dampak yang ditimbulkan oleh deforestasi : 1. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 19851997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. 2. Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi. 3. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010. 4. Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumberdaya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari

sumberdaya hutan. 5. Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar.

Anda mungkin juga menyukai