Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Bensin (gasoline), minyak tanah (kerosene) maupun minyak solar (diesel oil) merupakan bahan bakar fosil yang banyak digunakan pada alat transportasi, industri dan rumah tangga di Indonesia. Pemakaian bahan bakar tersebut kian hari kian meningkat tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaannya sehingga mendorong upaya untuk mencari bahan bakar alternatif sebagai pengganti bahan bakar berbasis minyak bumi. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan melalui Instruksi Presiden No. I/2006, Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006. Dalam Inpres dan Pepres tersebut mengamanatkan pengembangan dan penggunaan bahan bakar alternatif lain yang dapat diperbaharui dan mengacu pada Rencana Umum Kebijakan Energi, untuk program jangka panjang sampai tahun 2020 dimana para pelaku energi berkewajiban untuk memanfaatkan energi terbarukan (nonfosil fuel obligation) serta penerapan kewajiban penghematan energi dan menggunakan teknologi efisien dan ramah lingkungan. (Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2003). Berbagai sumber energi baru yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan dapat diandalkan adalah berasal dari berbagai jenis minyak nabati (minyak sawit, minyak jarak

pagar, minyak kedelai, dll). Pemilihan minyak sawit sebagai sumber energi alternatif sangat tepat dilakukan di Indonesia karena saat ini Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar nomor dua di dunia setelah Malaysia. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas di Indonesia yang pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9,4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun. Pada awal tahun 2001 hingga 2004, luas areal kelapa sawit dan produksi masing-masing tumbuh dengan laju 3,97% dan 7,25% per tahun, sedangkan ekspor meningkat 13,05% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2005). Dengan ketersedian kelapa sawit yang cukup banyak, maka minyak sawit merupakan salah satu bahan baku alternatif yang sangat potensial untuk membuat bahan bakar pengganti gasoline, kerosene dan solar, selain itu pembuatan bahan bakar yang dihasilkan dari minyak sawit telah diteliti lebih ramah lingkungan. Minyak sawit memiliki rantai hidrokarbon panjang yang mirip dengan minyak bumi. Hidrokarbon inilah yang memungkinkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati (biofuel).

Untuk proses konversi fraksi hidrokarbon rantai panjang (minyak kelapa sawit atau CPO ), poliaromatik maupun polimer menjadi bigasolin atau biodiesel, dibutuhkan katalis perengkah yang merupakan katalis heterogen (padatan). Salah satu jenis katalis untuk proses tersebut adalah metal supported catalyst yang terdiri dari logam yang diembankan pada pengemban padat seperti silka-alumina, alumina dan zeolit. Salah satu sifat katalis perengkah yaitu mempunyai sifat keasaman yang tinggi. Pada kegiatan praktik ini, pembuatan katalis dilakukan melalui modifikasi berbasis lempung (bentonit) yang dipilarisasi, karena sifat keasaman katalisnya bisa diperoleh dari lempung dengan menggunakan metode pilarisasi. Penggunakan lempung karena sumber lempung di Indonesia banyak tersedia, sehingga kita bisa memanfaatkan kekayaan alam yang ada di Indonesia dan dapat mengurangi ketergantungan impor katalis. 1.2. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah mendapatkan katalis lempung berpilar yang dipreparasi dengan menggunakan metode pilarisasi dalam rangka untuk proses perengkahan katalitik minyak kelapa sawit (CPO) menjadi biofuel. 1.3. Permasalahan Minyak Kelapa Sawit (CPO) dapat dikonversi menjadi biofuel yang merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan, namun untuk menkorversinya perlu dilakukan reaksi perengkahan menggunakan katalis. Reaksi perengkahan secara katalitk ini dapat

berlangsung jika menggunakan katalis yang berbasis asam. Umumnya katalis perengkah yang dipakai adalah zeolit (HZSm-5), karena zeolit (HZSm-5) mempunyai sifat asam tapi keasamaannya tidak begitu tinggi dan katalis jenis ini tidak tahan terhadap air. Oleh karena itu dalam kegiatan praktik ini dilakukan preparasi katalis perengkah yang lain selain zeolit, yaitu menggunakan lempung. Hal ini karena di Indonesia banyak tersedia bahan bakunya, dan juga sifat-sifat fisika dan kimia dari lempung dapat dimodifikasi dengan menggunakan metode pilarisasi, terutama sifat keasamannya. Melalui pilarisasi akan diperoleh katalis perengkah yang mempunyai sifat keasaman yang cukup tinggi untuk reaksi perengkahan minyak kelapa sawit (CPO) menjadi biofuel.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Kelapa Sawit / Crude Palm Oil (CPO) Minyak kelapa sawit (CPO) dipilih sebagai bahan baku dengan mempertimbangkan ketersediaan minyak sawit ini yang sangat besar. Berkaitan dengan produksi minyak kelapa sawit ini, selalu diperoleh produk minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil) dengan kandungan asam lemak bebas (ALB) yang lebih dari persyaratan perdagangan CPO pada umumnya, yaitu kadar asam lemak bebas maksimum berkisar 5%. Minyak sawit jenis ini tidak diminati oleh konsumen maupun industri lanjut pada umumnya, sehingga teknologi alternatif yang ditawarkan ini juga diharapkan dapat menyerap produk CPO dengan kandungan asam lemak bebas yang tinggi, yang pada umumnya bernilai ekonomis lebih rendah dibanding CPO dengan ALB jauh di bawah 5%. Untuk mengubah minyak sawit menjadi sejenis gasoline (biogasoline) diperlukan tahapan proses dan konversi dari minyak sawit yang memiliki rantai panjang, mengadung ikatan karbon yang tidak jenuh serta mengandung gugus karboksilat menjadi senyawa dengan rantai yang lebih pendek (C8-C10) dan bercabang-cabang. Proses konversi tersebut dapat dilakukan secara katalitik dan memerlukan katalis yang memiliki kemampuan untuk mengubah rantai molekul yang panjang menjadi rantai hidrokarbon jenuh yang lebih pendek dan bercabang-cabang.

2.2. Minyak Nabati Sebagai Bahan Baku Biofuel Biofuel/biogasolin atau disebut juga bahan bakar hayati merupakan bahan bakar yang bersumber pada biomassa. Dimana biomassa merupakan bahan biologis hidup atau baru mati yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Biomassa yang dapat digunakan sebagai bahan bakar diantaranya kelapa sawit, biji mahoni, jarak pagar, dan kanola. Persamaan dari semua bahan baku biofuel tersebut adalah terkandungnya minyak yang merupakan suatu trigliserida dengan asam lemak tertentu. Adapun sebagai contoh, minyak kelapa sawit sebagai salah satu bahan baku minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku biofuel. Minyak kelapa sawit dapat dihasilkan dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak inti kelapa sawit (palm kernel oil) dengan hasil sampingnya bungkil inti kelapa sawit (palm kernel meal atau pellet) yang merupakan inti kelapa sawit, dengan komposisi asam lemak yang tertera pada tabel 2.1. Tabel 2.2 Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit Asam lemak Asam kaprilat Asam kaproat Asam laurat Asam miristat Asam palmitat Asam stearat Minyak kelapa sawit (%) 1,1 2,5 40 46 3,6 4,7 Minyak inti sawit (%) 34 37 46 52 14 17 6,5 9 1 1,25

Asam oleat Asam linoleat

39 45 7 11

13 19 0,5 2

Asam lemak adalah asam alkanoat atau asam karboksilat berderajat tinggi (rantai C lebih dari 6). Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan rangkap di antara atom-atom karbon penyusunnya (Wijanarko, Anondho. 2006). Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air terdisosiasi sebagian. Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27 Celsius). Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut. Beberapa aturan penamaan dan simbol telah dibuat untuk

menunjukkan karakteristik suatu asam lemak. Nama sistematik dibuat untuk menunjukkan banyaknya atom C yang menyusunnya (lihat asam alkanoat). Angka di depan nama menunjukkan posisi ikatan ganda setelah atom pada posisi tersebut. Contoh : asam 9-dekanoat, adalah asam dengan 10 atom C dan satu ikatan ganda setelah atom C ke-9 dari pangkal (gugus karboksil). Nama lebih lengkap diberikan dengan memberi tanda delta () di depan bilangan posisi ikatan ganda. Contoh : asam 9-dekanoat. Simbol C diikuti angka menunjukkan banyaknya atom C yang menyusunnya ; angka di belakang titik dua menunjukkan banyaknya ikatan ganda di antara rantai C-

nya). Contoh : C18:1, berarti asam lemak berantai C sebanyak 18 dengan satu ikatan ganda. Lambang omega () menunjukkan posisi ikatan ganda dihitung dari ujung (atom C gugus metil). Dengan struktur yang dapat dianalogikan dengan hidrokarbon pada umumnya, asam lemak yang tergabung dan membentuk trigliserida pada minyak nabati dapat dijadikan sebagai bahan dasar biofuel melalui reaksi hydrocracking. Yaitu suatu mekanisme gabungan atau kombinasi antara perengkahan dengan katalis dan hidrogenasi untuk menghasilkan senyawa yang jenuh. Reaksi tersebut dilakukan pada tekanan tinggi. Adapun persamaan reaksi hidrogenasi trigliserida dengan

menggunakan katalis adalah sebagai berikut :

O R C O R C

R' O CH2 HC O CH2 O O C R H2 katalis R' R'

C H2

CH3+ H2O

CH3+ CO+ H2O CH3+ H2O

3H2

H2 katalis

H3C

H2 C CH3 (propana)

(Linnaila, 2005 ; Hubber, 2007) Gambar 2.1. Jalur Reaksi Konversi Trigliserida Menjadi Alkana Propil yang menghubungkan tiga asam lemak akan di-cracking menjadi propana, sedangkan rantai karbon yang membentuk gliserida akan di-cracking menjadi alkana yang sesuai dengan jumlah karbon yang terkandung di dalamnya (Hardian, Rifan. 2008).

Keuntungan

dari

proses

hydrocracking

trigliserida

dengan

menggunakan katalis ini, dapat menghasilkan berbagai jenis alkana cair yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar, maupun untuk aplikasi yang lain. Alkana cair yang dihasilkan akan bergantung dari jenis trigliserida yang digunakan sebagai bahan baku. Keuntungan lain menggunakan metode hydrocracking ini adalah terdapatnya kesesuaian antara infrastruktur yang digunakan dengan infrastruktur yang ada pada industri kilang minyak pada umumnya, sehingga berpeluang untuk dapat memanfaatkan industri kilang minyak yang telah ada sebelumnya tanpa harus harus berinvestasi besar pada infrastrukturnya (Huber, 2007). 2.3. Katalis Katalis merupakan suatu zat yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi terhadap suatu kesetimbangan tanpa adanya zat katalis yang dikonsumsi, setelah proses selesai katalis dapat diperoleh kembali (Satterfield, 1991). Meskipun suatu katalis tidak mengalami perubahan di akhir reaksi, bukan berarti katalis tidak memiliki andil dalam reaksi tersebut. Pada kenyataannya, suatu katalis berpartisipasi aktif dalam reaksi, hanya saja pada akhir reaksi katalis tersebut dibentuk kembali (Smith, 1981). Konsep energi akivasi menyatakan bahwa keberadaan suatu katalis dalam mekanisme katalisa akan menurunkan energi aktivasi. Katalis efektif meningkatkan laju reaksi karena memungkinkan terjadinya mekanisme

alternatif yang pada satu tahapannya memiliki energi aktivasi yang lebih rendah dibandingkan proses tanpa katalis (Smith, 1981). 2.4. Kalsinasi Kalsinasi dilakukan pada temperatur tinggi dengan tujuan untuk mendekomposisi komponen prekursor, kalsinasi umumnya dilakukan pada lingkungan oksigen. Transformasi yang terjadi pada proses kalsinasi adalah: a. Dekomposisi komponen prekursor dan pembentukan spesi oksida. b. Reaksi antar oksida yang terbentuk dengan penyangga. c. Sintering komponen prekursor. (Anderson, 1984). 2.5. Zeolit Nama zeolit berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani, yaitu zeo (mendidih) dan lithos (batu). Nama ini menggambarkan perilaku mineral zeolit yang dengan cepat melepaskan air bila dipanaskan sehingga kelihatan seolah-olah mendidih, seperti pengamatan Cronsted, ahli mineral Swedia, terhadap mineral stilbite yang ditemukannya pada tahun 1756 (Baodong, 2007).

Gambar 2.5. Kerangka Zeolit Tiga Dimensi

2.6. Bentonit Terpilar Sebagai Katalis Kemampuan katalis bentonit, selektif terhadap bentuk dan ukuran zat yang terlibat pada reaksinya. Bentonit yang terinterkalasi adalah jenis bahan yang di dalamnya terdapat distribusi mikropori yang lebih homogen dengan lubang-lubang pori yang bervariasi menurut jenis-jenis pilar yang ada. Fenomena dasar yang digunakan dalam pembuatan bentonit termodifikasi adalah pertukaran ion dari kation-kation yang terdapat pada bentonit yang dilakukan oleh spesies-spesies kationik yang berfungsi sebagai penyangga agar struktur interlayernya tetap stabil. Ukuran pori dalam struktur yang ideal ditentukan oleh ukuran pilar-pilar dan ruang-ruang di antara pilar yang ada di dalam lapisan (gambar 2.6) (Augutine, 1996).

Gambar 2.6. (a). struktur lapisan bentonit sebelum pilarisasi (b). struktur lapisan bentonit setelah pilarisasi Reaksi yang terjadi pada bentonit termodofikasi adalah pertukaran kation. Kemudian dapat diprediksi bahwa faktor-faktor kimia dan fisika akan mempengaruhi derajat pertukaran kation-kation yang ada di dalam partikel bentonit. Faktor-faktor tersebut adalah konsentrasi dan pH larutan, keberadaan kation lain, dan batasan difuskational. Proses pertukaran kation tersebut digambarkan sebagai sebuah kompetisi yang terjadi diantara kation-

kation tersebut dan kation-kation yang ada di dalam bentonit. Selektifikas pertukaran kation tergantung pada muatan dan ukuran kation (Figueras, 1988). Pada suhu 1050C air yang terserap oleh bentonit akan hilang, dan pada suhu 6500C gugus hidroksilnya hilang. Akibat hilangnya gugus hidroksil, maka struktur bentonit akan menjadi tidak beraturan. Sehingga perlu dilakukan suatu mekanisme tertentu yang dapat mempertahankan kestabilan struktur dari bentonit ini. Metode pilarisasi dapat digunakan untuk untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggantikan air dan kation dengan suatu kation lain yang memiliki tingkat kestabilan yang lebih baik sehingga secara keseluruhan bentonit ini akan memiliki kestabilan suhu yang lebih baik. Metode pilarisasi ini melibatkan perubahan kation-kation dalam stukturnya (Sutha Negara, I. M. 2008). Pilarisasi dihasilkan dengan mengontakkan antara bentonit dengan larutan ion keggin. Larutan ion keggin merupakan suatu polioksokation yang berfungsi untuk membentuk reaksi awal yang diperkirakan akan menggantikan kationnya dengan suatu agen pemilar, semisal Al3+, Ni2+, Mo6+. Dan sebagainya (Katdare, 1999).

BAB III ISI

3.1. Preparasi Lempung/Bentonit Homoionik Preparasi ini bertujuan untuk membersihkan lapisan-lapisan aluminasilikat dari kation-kation pengotornya dan membuat lapisan-lapisan aluminasilikat dari lempung alam FB (dari LIPI) ini menjadi homoionik. Pada kegiatan

ini, preparasi katalis lempung homoionik dilakukan dengan mencampurkan larutan NaCl ke dalam larutan lempung yang bertujuan untuk

menghilangkan ion-ion yang ada di dalam lempung seperti Mg, Fe, dan Ca sehingga lempung hanya mengandung satu ion (homoionik) yaitu ion Na2+. Kemudian campuran larutan di panaskan pada suhu 600C sambil diaduk dengan magnetic stirer selama 4 jam, pemanasan dilakukan pada suhu 600C karena efek pertukaran ion yang maksimal terjadi pada suhu 600C dan dilakukan selama 4 jam karena supaya waktu kontak lebih lama sehingga efek pertukaran ion dapat berlangsung secara maksimal. Selanjutnya larutan didinginkan yang bertujuan agar larutan terbentuk 2 lapisan (atas berupa larutan coklat bening dan bawah berupa endapan coklat) sehingga lapisan atas dapat dipisahkan dengan endapannya. Endapan kemudian dicuci dengan akuades hangat (600C) selama 15 menit tujuannya untuk menghilangkan sisa ion Cl- yang masih melekat pada lempung. Setelah dicuci kemudian disentrifugasi untuk memisahkan antara cairan dan padatannya. Cairan yang dihasilkan berwarna bening dan padatannya

berwarna coklat, cairan dari hasil sentrifugasi diuji dengan larutan AgNO3 untuk mengetahui masih ada atau tidak ion Cl- pada lempung (endapan), jika saat diuji terbentuk endapan putih berarti lempung masih mengandung ion Cl- tapi jika saat diuji tidak terbentuk endapan putih berarti lempung sudah tidak mengandung ion Cl-. Kalau cairan yang diuji dengan AgNO3 sudah bebas ion Cl- maka endapan yang diperoleh dipisahkan dari cairannya. Endapan tersebut terdiri dari 2 lapisan (fraksi atas berwarna coklat muda dan fraksi bawah berwarna coklat tua), masing-masing fraksi dipisahkan lalu dikeringkan di oven pada suhu 1000C selama semalaman yang bertujuan untuk menghilangkan akuades yang masih melekat, setelah itu dihaluskan dan diperoleh lempung homoionik (fraksi atas). 3.2. Preparasi Katalis Lempung Berpilar Ion Cr Preparasi katalis lempung berpilar ion Cr dilakukan dengan metode pilarisasi, yaitu suatu metode yang digunakan untuk proses memasukkan logam atau pertukaran ion diantara lembaran-lembaran alumina-silika agar tingkat keasaman dari lempung meningkat, menggunakan logam Cr dikarenakan dari table periodik tingkat oksidasi dari logam pilar Cr lebih besar dibandingkan logam pilar lainnya (Al, Zr, Fe) sehingga memudahkan logam pilar Cr untuk melakukan pertukaran ion dan mengakibatkan terjadinya kenaikan tingkat keasaman. Hal yang dilakukan pada preparasi ini adalah larutan NaOH 0,2 Molar ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam larutan CrCl3.6H2O 0,2 Molar, kemudian campuran larutan dihidrolisa selama 16 jam dengan

menggunakan Rpm tinggi, setelah itu tambahkan lempung homoionik (fraksi atas hasil preparasi) ke dalamnya. Penambahan lempung homoionik ini dinamakan metode pilarisasi. Kemudian larutan diaduk dan didiamkan selama 16 jam agar proses pilarisasi dapat berlangsung maksimal, dan larutan terbentuk 2 lapisan (lapisan atas berwarna hijau pekat dan bawah berupa endapan hijau pekat). Lapisan atas di buang dan endapannya dicuci dengan akuades hangat (600C) kemudian disentrifugasi untuk memisahkan cairan dengan endapan/padatannya. Cairan yang dihasilkan berwarna bening dan padatannya berwarna coklat kehijauan, cairan dari hasil sentrifugasi diuji dengan larutan AgNO3 untuk mengetahui masih ada atau tidak ion Clpada lempung berpilar (endapan), jika saat diuji terbentuk endapan putih berarti lempung berpilar masih mengandung ion Cl- tapi jika saat diuji tidak terbentuk endapan putih berarti lempung berpilar sudah tidak mengandung ion Cl-. Kalau cairan yang diuji dengan AgNO3 sudah bebas ion Cl- maka endapan yang diperoleh dipisahkan dari cairannya. Lalu endapan dikeringkan di oven pada suhu 1100C selama semalaman yang bertujuan untuk menghilangkan akuades yang masih melekat, setelah itu dihaluskan. Sesudah dihaluskan kemudian dikalsinasi pada suhu 4000C selama 5 jam tujuannya untuk menambahkan energi agar logam (Cr) dan pengemban (lempung) terjadi interaksi sehingga keduanya akan membentuk ikatan yang kuat, karena pada proses pertukaran ion ikatan antara logam dengan lapisanlapisan alumina-silikat pada lempung masih lemah yang dikhawatirkan apabila direaksikan menggunakan gas maka logam-logamnya akan pergi,

tujuan kedua adalah untuk memberikan kesempatan pada logam (Cr) untuk bergerak pada tempat-tempat yang masih kosong dari lempung. Dan dihasilkanlah katalis lempung berpilar ion Cr.

Gambar 3.2. Katalis lempung berpilar ion Cr (hasil kalsinasi) 3.2.1. Analisis Keasaman Katalis Lempung Berpilar Ion Cr Penentuan keasaman katalis bertujuan untuk mengetahui jumlah mmol situs basa yang teradsorpsi pada permukaan katalis tiap gramnya. Tingkat keasaman katalis yang dipreparasi ditentukan dengan metode gravimetri pada suhu yang terprogram, prinsip dari metode ini adalah menghitung daya adsorpsi katalis terhadap basa, dalam kegiatan praktik ini basa yang digunakan adalah pyridine. Dengan metode ini dapat diukur jumlah gas yang teradsorpsi pada permukaan katalis. Nilai keasaman yang diperoleh dengan cara ini biasanya bukanlah nilai mutlak, karena sifat adsorbsi permukaan padatan katalis terhadap basa gas tersebut sangat tergantung pada kondisi percobaan (Pandiangan, et al., 2008). Secara umum, katalis yang dapat digunakan pada proses reaksi perengkahan minyak kelapa sawit/CPO menjadi biofuel adalah katalis yang bersifat asam (solid acid). Namun tidak diketahui seberapa besar

tingkat kekuatan asam yang dibutuhkan pada reaksi ini, mengingat apabila kekuatan asam yang dimiliki oleh suatu katalis perengkah sangat kecil, dikhawatirkan tidak terbentuk produk biofuel seperti yang diinginkan, melainkan produk-produk hidrokarbon lainnya seperti propene, butene dll. Hal ini disebabkan terlalu sedikitnya donor proton (ion H+) yang terdapat pada katalis tersebut mengakibatkan reaksi perengkahan cenderung berlangsung sedikit, maupun sebaliknya. 3.3. Reaksi Antara Minyak Kelapa Sawit / CPO (Crude Palm Oil) dengan Katalis Lempung Berpilar Ion Cr Reaksi ini bertujuan untuk mengetahui apakah katalis lempung berpilar ion Cr dapat mengkatalisis reaksi perengkahan minyak Kelapa Sawit / CPO menjadi biofuel. Pada reaksi perengkahan ini menggunakan reaktor Batch yang dialiri dengan gas Nitrogen (N2). Perbandingan banyaknya CPO dengan katalis yang digunakan adalah sebesar 100 : 1 (CPO/Cat : 100/1). Reaksi ini dilakukan pada suhu 4000 C dan tekanan 5 bar, selama 2 jam. Setelah 2 jam dihasilkan minyak yang berwarna hitam, lalu minyak tersebut disaring menggunakan kertas saring yang bertujuan untuk memisahkan antara minyak dengan katalisnya. Katalis dapat dipisahkan karena yang dipakai adalah jenis katalis heterogen. Minyak yang dihasilkan pada proses penyaringan kemudian diencerkan 10 kali dengan

menggunakan larutan n-Heksana, menggunakan n-Heksana karena pelarut

yang baik untuk minyak adalah n-Heksana karena sifat kepolarannya sama yaitu keduanya sama-sama bersifat non polar. Tujuan dari pengenceran adalah untuk memudahkan karakterisasi produk menggunakan Gas Chromatography (GC), karena GC tidak bisa digunakan pada sampel yang sangat pekat. Hasil dari minyak yang dihasilkan dari reaksi ini dilihatkan pada gambar 3.3.

Gambar 3.3. Produk minyak yang dihasilkan dari reaksi anatar CPO dengan katalis lempung berpilar Cr

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan 4.1.1. Katalis Lempung berpilar telah berhasil dipreparasi menggunakan metode pilarisasi dengan agen pemilar berupa logam kromium (Cr). 4.1.2. Berdasarkan hasil analisa keasaman, lempung alam FB dan katalis lempung berpilar Cr masing-masing memiliki nilai asam 1,6 mmol/gram dan 4,04 mmol/gram. Dari hasil tersebut terjadi kenaikan tingkat keasaman, meskipun naiknya hanya sedikit. 4.1.3. Reaksi perengkahan CPO menjadi biofuel dengan katalis asam (katalis lempung berpilar Cr ) secara kualitatif tidak terbentuk fraksi biogasolin melainkan terbentuk fraksi kerosene, hal ini diduga karena keasaman dari katalis yang kurang tinggi dan juga dimungkinkan karena kondisi operasi reaksi yang kurang optimal. 4.1.4. Pada penelitian ini proses katalitik cracking dapat tercapai, karena katalis yang digunakan dapat memutuskan ikatan rantai hidrokarbon pada asam-asam lemak menjadi kerosene.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J,. & Boudart, M,. 1984. Catalysis Science and Technology. Volume 6. Springer-Verlag. Berlin Heidelberg. P.237-240, 247, 253-255. Anonim. 2003. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Anonim. 2005. TT: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Hardian, R. 2008. Studi Pendahuluan Konversi Trigliserida RBDPO Menjadi Alkana Cair Sebagai Bahan Bakar Alternatif Melalui Proses Hidrogenasi Katalitik. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Mulyadi, D, AM Posner and JP Quirk. 1992. The mechanism of phosphate adsorption by kaolinite, gibbsite and pseudoboehmite. Part II. The location Satterfield, C.N., Heterogeneous Catalysis in Industrial Practice. Second edition. Mc Graw-Hill Book Company. New York. P.385, 400-401 Schubert, Ulrirch. 2002. Synthesis of Inorganic Materials. New York: WilleyVCH, hal. 45-59. Smith, J.M., 1981. Chemical Engineering Kinetics. 3 ed. pp. 359-388. Mc GrawHill International Edition. Singapore. Triyono. 1994. Kimia Fisika. Dasar-dasar Kinetika dan Katalis. Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi. Wijanarko, Anondho. 2006. Produksi biogasoline dari Minyak Sawit Melalui Reaksi Perengkahan Katalitik dengan Katalis -alumina. MAKARA, TEKNOLOGI VOL. 10, NO. 2, NOVEMBER 2006: 51-6

STUDI AWAL PREPARASI KATALIS BERBASIS LEMPUNG BERPILAR UNTUK REAKSI PERENGKAHAN MINYAK KELAPA SAWIT / CRUDE PALM OIL (CPO) MENJADI BIOFUEL

Disusun Oleh : Reynaldi Prasetya ( J2C009007 )

Muchamad Fadlullah ( J2C009008 ) Arif Nurdiansyah (24030110141024)

JURUSAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMA/RANG 2012

PERTANYAAN DAN JAWABAN 1. Crude Palm Oil (CPO) dapat dikonversi menjadi biofuel, tapi memerlukan katalis asam yaitu lempung, dan lempung juga harus diaktifkan terlebih dahulu. Untuk bagaimana cara pengaktifan lempung tersebut? Jawab : Lempung perlu diaktifkan terlebih dahulu dengan cara memodifikasi sifatsifatnya yaitu menukarkan ion pada permukaan lempung dan menaikkan sifat keasamannya menggunakan metode pilarisasi dengan logam Cr sebagai agen pemilar. 2. Mengapa menggunakan bahan dasar katalis dari lempung? Jawab : Karena keasaman katalis yang dibutuhkan dapat diperoleh dari lempung dengan kondisi lain lempung banyak tersedia di Indonesia 3. Apa tujuan pilarisasi pada metode yang anda buat? Jawab : Melalui pilarisasi akan diperoleh katalis perengkah yang mempunyai sifat keasaman yang cukup tinggi untuk reaksi perengkahan minya kelapa sawit (CPO) menjadi biofuel.

Anda mungkin juga menyukai