Anda di halaman 1dari 14

DIKSI dan ARTI

Disusun Oleh Kelompok II : Alfia Estitika Lalu Didik Hamzani 1231120060 123112101

Novan Iman Ardhyantoro 1231120070 Nurul Hidayati 1231120054

Jurusan Teknik Elektro Program Studi Teknik Listrik Politeknik Negeri Malang 2012

1. Pengertian Diksi
1.1 Menurut Arti Asli Diksi, dalam arti aslinya : a. b. Pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Kedua, dan yang lebih umum, membicarakan pengucapan dan intonasi daripada

pemilihan kata dan gaya. Diksi bukan hanya berarti memilih-milih kata. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan peristiwa, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan, dan sebagainya.

1.2 Bersdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) Dalam KBBI (2002 : 264) diksi diartikan sebagai pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang diharapkan. Dari pernyataan itu tampak bahwa penguasaan kata seseorang akan mempengaruhi kegiatan berbahasanya, termasuk saat yang bersangkutan membuat karangan.

1.3 Menurut Gorys Keraf Menurut Keraf (2002: 14) diksi adalah : a. Mencakup pengertian kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan,

cara menggabungkan kata-kata yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam situasi tertentu; b. Diksi adalah kemampuan secara tepat membedakan nuansa-nuansa makna dari

gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar atau pembaca; dan c. Diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosakata yang

banyak.

2. Ketepatan dan Kesesuaian Penggunaan Diksi


Ketepatan dan kesesuaian penggunaan diksi meliputi :
a. b. Tepat memilih kata untuk mengungkapkan gagasan atau hal yang diamanatkan Untuk memilih tepat seorang pengarang harus mempunyai kemampuan untuk membedakan

secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa pembacanya. c. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya mungkin kalau ia menguasai sejumlah besar kosa

kata (perbendaharaan kata) yang dimiliki masyarakat bahasanya, serta mampu pula menggerakkan dan mendayagunakan kekayaannya itu menjadi jaring-jaring kalimat yang jelas dan efektif.

3. Rambu-Rambu Pemilihan Diksi


Sebelum menentukan pilihan kata yang diperlukan dalam mengarang, terlebih dahulu penulis harus memperhatikan empat hal pokok, yaitu masalah makna, relasi makna, ragam bahasa, dan gejala bahasa.

3.1 Makna Makna sebuah kata atau sebuah kalimat merupakan makna yang tidak selalu berdiri sendiri. Makna terbagi atas beberapa macam, yaitu ; a. Makna Leksikal dan makna Gramatikal Makna Leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contoh: Kata tikus, makna leksikalnya adalah binatang yang menyebabkan timbulnya penyakit (Tikus itu mati diterkam kucing). Makna Gramatikal adalah untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal, untuk menyatakan makna jamak bahasa Indonesia, menggunakan proses reduplikasi seperti kata: buku yang bermakna sebuah buku, menjadi buku-buku yang bermakna banyak buku.

b.

Makna Referensial dan Nonreferensial Makna referensial dan nonreferensial perbedaannya adalah berdasarkan ada tidaknya

referen dari kata-kata itu. Maka kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu, kata tersebut bermakna referensial, kalau tidak mempunyai referen, maka kata disebut kata bermakna nonreferensial. Contoh: Kata meja dan kursi (bermakna referen). Kata karena dan tetapi (bermakna nonreferensial).

c.

Makna Denotatif dan Konotatif Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya

Contoh: Kata kurus, bermakna denotatif keadaan tubuhnya yang lebih kecil dan ukuran badannya normal. Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Contoh: Kata kurus pada contoh di atas bermakna konotatif netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan, tetapi kata ramping bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotatif positif, nilai yang mengenakkan. Orang akan senang bila dikatakan ramping.

d.

Makna Konseptual dan Makna Asosiatif Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari

konteks atau asosiasi apapun. Contoh: Kata kuda memiliki makna konseptual sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu deagan suatu yang berada diluar bahasa . Contoh: Kata melati berasosiasi dengan suatu yang suci atau kesucian. Kata merah berasosiasi berani atau paham komunis.

e.

Makna Kata dan Makna Istilah Makna kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor

dalam kehidupan dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Contoh: Kata tahanan, bermakna orang yang ditahan,tapi bisa juga hasil perbuatan menahan. Kata air, bermakna air yang berada di sumur, di gelas, di bak mandi atau air hujan. Makna istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Contoh: Kata tahanan di atas masih bersifat umum, istilah di bidang hukum, kata tahanan itu sudah pasti orang yang ditahan sehubungan suatu perkara.

f.

Makna Idiomatikal dan Peribahasa Idiom adalah satuan-satuan bahasa (ada berupa kata, frase, maupun kalimat)

maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal, unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Contoh: Kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan memiliki makna hal yang disebut makna dasar, Kata rumah kayu bermakna, rumah yang terbuat dari kayu. Makna peribahasa bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan, maka lazim juga disebut dengan nama perumpamaan. Contoh: Bagai, bak, laksana dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa.

g.

Makna Kias dan Lugas Makna kias adalah kata, frase maupun kalimat yang tidak merujuk pada arti

sebenarnya. Contoh: Putri malam, bermakna bulan Raja siang, bermakna matahari.

3.2 Relasi Makna Relasi adalah hubungan makna ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim), kelainan makna (homonim), kelebihan makna (redundansi) dan sebagainya.

a.

Kesamaan Makna (Sinonim) Sinonim adalah sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang

maknanya kurang lebih sama dengan makaa ungkapan lain. Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat, bunga dan kembang

b.

Kebalikan Makna (Antonim) Antonim adalah ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap

kebalikan dari makna dari ungkapan lain. Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk kata besar berantonim dengan kata kecil.

c.

Kegandaan Makna (Polisemi dan Ambiguitas) Polisemi adalah sebagai satuan bahasa (terutana kata, atau frase) yang memiliki makna

lebih dari satu. Contoh: Kata kepala bermakna bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan, bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala meja,dan kepala kereta api, bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, kepala paku dan kepala jarum dan Iain-lain. Ambiguitas adalah sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Contoh: Buku sejarah itu baru terbit - Buku itu berisi sejarah zaman baru.

d.

Ketercakupan Makna (Hiponim) Hiponim adalah sebagai ungkapan (berupa kata,frase atau kalimat) yang maknanya

dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan. Contoh : kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan, sebab makna tongkol termasuk makna ikan.

e.

Kelebihan Makna (Redundansi) Redundansi dapat diartikan sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental

dalam suatu bentuk ujaran. Contoh : Bola ditendang si Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai suatu yang redundansi,yang berlebih- lebihan, dan sebenarnya tidak perlu.

3.3 Ragam Bahasa Ragam bahasa adalah sebuah warna bahasa yang dihasilkan penulis atau pengarang. Ragam bahasa ikut serta menentukan ketepatan makna baik secara leksikal maupun kontekstual bahkan masalah idiom. Ragam bahasa dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu ;

a. Ragam Bahasa Kurun Waktu Penggunaan Berdasarkan kurun waktu penggunaannya ragam bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ragam Bahasa Indonesia lama dan ragam Bahasa Indonesia baru. Ragam bahasa Indonesia lama digunakan seperti pada karya sastra lama atau zaman raja-raja tempo du!u seperti pada kisah Panji atau Cerita Panji. Sedangkan ragam bahasa Indonesia baru dipergunakan sekitar zaman pergerakan atau kebangkitan nasional hingga kini.

b. Ragam Bahasa Berdasarkan Daerah Pemakaian Ragam Bahasa berdasarkan daerah pemakaian ini biasa disebut dialek. Ragam bahasa berdasarkan daerah pemakaiannya ada ragam bahasa Medan, Jakarta, Surabaya, Jawa, Sunda, Ambon, Irian dan sebagainya.

c. Ragam Bahasa Berdasarkan Tingkat Keformalan Ragam bahasa berdasarkan tingkat keformalannya terdiri atas : 1) Ragam Baku Ragam ini merupakan bentuk pemakaian bahasa yang sudah tidak berubah lagi dari dulu hingga kini. Yang tergolong ragam ini ialah peribahasa, kiasan klise, naskah proklamasi, dan sebagainya. Contoh: Tak ada gading yang tak retak Rambutnya seperti mayang terurai

2) Ragam Formal. Ragam ini disebut juga ragam resmi, ragam baku atau ragam standar. Ragam ini disebut ragam resmi karena dipergunakan dalam situasi resmi, misalnya pidato, seminar, tajuk rencana surat kabar, bahasa pengantar di sekolah, siaran berita RRI/TVRI dan sebagainya. Adapun ciri-ciri bahasa Indonesia ragam formal tersebut adalah sebagai berikut: a. Menggunakan awalan {her-} dan {me-} secara eksplisit (dinyatakan dengan tulisan atau ucapan), dan konsisten (taat azas). Contoh: la jalan-jalan cari udara segar. - la berjalan-jalan mencari udara segar. b. Menggunakan kata tugas secara eksplisit dan konsisten Contoh: Saya minta maaf ibu, lahir batin. - Saya minta maaf kepada ibu, lahlr batin. c. Menggunakan fungsi-fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten Contoh: Adik berangkat ke sekolah. Diantar Ibu. - Adik berangkat ke sekolah. la diantar Ibu d. Menggunakan bentuk lengkap atau bentuk yang tidak disingkat, baik pada tataran kalimat maupun kata. Contoh: Kemana ? - Akan pergi kemanakah Ibu ? e. Tidak menggunakan unsur-unsur daerah/dialek Contoh: Gua sih nggak pernah nyuci sendiri. - Saya tidak pernah mencuci sendiri. f. Menggunakan kata ganti (saya, anda, ia, Bapak, Ibu, saudara) dan menghindari pemakaian kata ganti tak resmi (sini, situ, sana). Contoh: Sini dan situ udah setuju, tapi sana belum setuju. - Saya dan anda sudah setuju, tapi ia belum setuju. g. Menggunakan struktur sintesis (padu) Contoh: Harga bahan makanan tidak dikasih naik. - Harga bahan makanan tidak dinaikkan. h. Menggunakan pola urutan : Aspek + Pelaku + Kata Kerja pada bentuk kata kerja pasif berpelaku. Contoh: Pekerjaan ini saya akan selesaikan sendiri. - Pekerjaan ini akan saya selesaikan sendiri.

3) Ragam Konsultatif Ragam ini disebut juga ragam usaha. Pemakaiannya pada situasi setengah resmi, misalnya : urusan perusahaan, percakapan antara pegawai di luar urusan kantor, konsultasi dengan dokter, dan sebagainya. Ciri-ciri ragam ini sebagian mengikuti ragam formal, dan sebagian lagi mengikuti ciri-ciri ragam informal. 4) Ragam Informal Ragam ini disebut juga ragam santai atau kasual. Ciri-cirinya kebalikan dari ciri-ciri ragam formal yang telah diketengahkan di atas. Ragam ini biasa dipergunakan dalam situasi santai, misalnya: omong-omong di pinggir jalan, ngobrol di warung, percakapan ringan di dalam keluarga, pembicaraan antar teman dekat dan sebagainya. 5) Ragam Akrab Ragam ini disebut ragam intim yang biasa dipergunakan antar penutur yang hubungannya sudah sangat akrab, misalnya antara suami istri, antara ibu dan anak, dua orang yang sedang berkasih-kasihan dar sebagainya. Contoh: Siti : Tolong! : Cepetan dong! Andi : Ya, tunggu bentar. Siti Andi : Iyaya, aku datang. Orang yang tidak mengetahui situasi pembicaraannya tentu akan berpikir macammacam dan berteka-teki. Apa yang sedang dilakukan oleh dua penutur tersebut? Tekateki ini baru terpecahkan setelah mengetahui situasi pembicaraan yaitu orang yang takut dengan kecoa.

d. Ragam Bahasa Berdasarkan Medianya Berdasarkan media atau alat yang dipakai unruk mengungkapkannya, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulisan. Ragam lisan diungkapkan dengan media suara, sedangkan ragam tulisan diungkapkan dengan media tulisan. Biasanya ragam tulisan lebih lengkap daripada ragam lisan, sebab dalam hal ini penulis tidak dapat bertatap muka langsung dengan lawan komunikasinya sehingga harus memberikan gambaran situasi masalah yang dikomunikasikannya. Ragam lisan relatif pendek karena penutur dapat langsung berhadapan dengan lawan tuturnya.

e. Ragam Bahasa Berdasarkan Keperluan Berdasarkan isi atau amanat yang dikomunikasikan ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: ragam ilmiah, ragam sastra ragam upacara, ragam iklan, ragam pidato, ragam telegram, ragam berita, dan ragam kolokial.

3.4 Gejala Bahasa Perlu disampaikan bahwa berdasarkan pengalaman selama praktek mengajar, gejala bahasa yang paling banyak muncul adalah kontaminasi dan pleonasme. Untuk jenis gejala bahasa yang lain seperti protesis, epentesis dan sebagainya sangat jarang dijumpai. Oleh karena itu, dalam landasan teori hanya diungkapkan dua gejala bahasa saja, yaitu pleonasme dan kontaminasi.

a. Gejala Kontaminasi Yang dimaksud gejala bahasa kontaminasi adalah gejala bahasa yang terjadi kerancuan atau kekacauan (Badudu, 1981: 47). Kerancuan atau kekacauan yang dimaksud dalam hal ini adalah susunan, perangkaian, atau penggabungan yang seharusnya merupakan bentuk tersendiri, tetapi dipadukan. Seperti, bentuk kata menundukkan kepala dengan membungkukkan badan karena terjadi kekacauan maka terbentuklah menundukkan badan atau membungkukkan kepala. Peristiwa semacam ini sering terjadi, walaupun memang tidak mengganggu makna yang sebenarnya, namun hanya tidak sesuai dengan diksi yang diperlukan dalam konteks tersebut. Oleh karena itu jelas gejala semacam ini termasuk bidang diksi.

b. Pleonasme Gejala pleonasme adalah gejala penggunaan unsur bahasa yang berupa kata yang berlebih-lebihan (Badudu,1981: 55). Ada kecenderungan bahwa gejala pleonasme ini untuk menyatakan unsur emosi atau perasaan penutur. Contoh: maju ke depan.

Contoh-contoh Penggunaan Diksi


Penggunaan diksi yang tepat 1. Kalimat yg akan disampaikan ringkas, artinya tidak boros kata-kata Contoh : Bukan: Menteri keuangan menyatakan akibat dari langkah tersebut ialah akan meningkatnya kondisi keuangan sektor swasta dan memberikan peningkatan terhadap kepercayaan bisnis dan masyarakat secara umum. Tetapi: Menteri keuangan mengatakan, langkah-langkah itu akan membantu keuangan sektor swasta 2. Tidak menggunakan pengulangan kata. Contoh : Rencana yang akan datang, alasannya karena, ramai berbondong-bondong, maju ke depan, mundur ke belakang, peristiwa lalu yang telah dilewati dan sebagainya.

3. Tidak menggunakan anak kalimat Bahasa radio adalah bahasa tutur sehari-hari. Dalam berbicara, kita jarang menggunakan anak kalimat. Jika menemukan anak kalimat, pecahlah menjadi beberapa kalimat. Semakin sederhana struktur kalimat, akan semakin baik. Contoh: Bukan: Rumania yang gaungnya mulai tenggelam sejak ditinggalkan Gheorge Hagi, siap mengalahkan tim manapun di Euro 2008 ini. Tetapi: Sejak ditinggalkan Gheorge Hagi, gaung Rumania seperti tenggelam. Namun, Rumania tetap bertekad mengalahkan tim manapun di Euro 2008 ini. 4. Tidak mendahulukan kata kerja. Contoh : Bukan: Menuntut presiden SBY membubarkan Ahmadiyah, demonstran dlm gelombang besar berunjuk rasa di depan Istana Negara. Tetapi: Demonstran berunjuk rasa di depan Istana Negara, menuntut pembubaran Ahmadiyah.

5. Tidak menempatkan kata kerja penting di akhir kalimat, karena pembaca berita biasanya menurunkan suaraya di akhir kalimat. Jika hal ini terjadi, maka kata kunci akan menjadi hilang. Contoh: Bukan: Demonstran berunjuk rasa di depan Istana Negara, menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Tetapi: Demonstran berunjuk rasa di depan Istana Negara, menuntut pembubaran Ahmadiyah.

Kesimpulan
Dari uraian makalah yang telah penulis jabarkan, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Kesalahan dalam pemilihan kata-kata yang menimbulkan efek tertentu itu akan berakibat pada tercemarnya seluruh tulisan, sebagaimana setetes obat merah mencemari segalon air. Diksi yang kurang tepat bisa membuat maksud atau gagasan tulisan tidak tersampaikan dengan jelas. Oleh karena itu, membuat tulisan yang hebat harus memperhatikan pemilihan diksi Kata-kata hanya akan menjadi peluru jika dituliskan atau disampaikan dengan diksi yang tepat sehingga tepat sasaran. Bagaimanapun, dalam bisnis kepenulisan, kata-kata adalah senjata. Karena itu, jika ingin kata-kata yang Anda tuliskan dibaca, dipahami dan berkesan pada seseorang, maka mulailah dengan mengatakan yang benar dan berhati-hati dalam memilih diksi.

DAFTAR PUSTAKA

http://massofa.wordpress.com/2008/03/03/analisis-kesalahan-diksi-pada-karangan-s iswa-bab-2/

http://iwriter.bahtiarhs.net/2009/06/hati-hati-memilih-diksi/

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/10/diksi-2/

Anda mungkin juga menyukai