Anda di halaman 1dari 11

Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun

1997. Program eliminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO pada tahun 2000. Di Indonesia program eliminasi filariasis dimulai pada tahun 2002. Untuk mencapai eliminasi di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan yaitu : 1) memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis, dan 2) mencegah dan membatasi kecacatan filariasis. A. Kasus klinis Filariasis di Indonesia Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Perkembangan jumlah penderita kasus filariasis dari tahun 2000 2009 dapat dilihat dari Gambar 1 di bawah ini.

Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi denganjumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang), dapat dilihat pada gambar 2. Kejadian filaria di NAD sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di seluruh Indonesia.

B. Endemisitas Filariasis Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari ketiga jenis cacing filaria penyebab filariasis, Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas

di Indonesia. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Bali, NTB dan Papua. Distribusi spesies cacing filaria di Indonesia tampak pada gambar 1. Dalam perkembanganya, saat ini di Indonesia telah teridentifikasi ada 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Distribusi vektor filariasis menurut lokasi spesies mikrofilaria ditemukan di berbagai wilayah (gambar 2).

Penyelenggaraan eliminasi filariasis diprioritaskan pada daerah endemi filariasis. Endemis filariasis di kabupaten/kota ditentukan berdasarkan survei pada desa yang memiliki kasus kronis, dengan memeriksa darah jari 500 orang yang tinggal di sekitar tempat tinggal penderita kronis tersebut pada malam hari. Mikrofilia (Mf) rate 1% atau lebih merupakan indikator suatu kabupaten/kota menjadi daerah endemi filaria. Mf rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan yang positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali 100 %. Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar 0% - 40% dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten yang berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2008,

kabupaten/kota yang endemis filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemi filariasis (0,6%), dan 176 kabupaten/kota belum melakukan survei endemisitas filariasis. Pada tahun 2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan survei tahun 2008, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi 356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di indonesia atau sekitar 71,9%, sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak endemis filariasis (gambar 3)

Bila dilihat per kabupaten dari laporan tahun 2009, tiga kabupaten dengan Mf rate tertinggi adalah Bonobelango dengan Mf rate 40% diikuti oleh Manokwari (Mf rate 38,57%) dan kota cilegon (Mf rate 37,50%) yang dapat dilihat pada gambar 4.

Daerah yang Mf rate tinggi artinya di daerah tersebut banyak ditemukan penduduk yang mengandung mikrofilaria di dalam darahnya. Semakin tinggi Mf rate semakin tinggi pula risiko terjadi penularan filariasis.

C. Program Eliminasi Filariasis Program Eliminasi Filariasis merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 2009. 1. Dasar Pelaksanaan Program eliminasi Filariasis direncanakan sampai dengan 2014 atas dasar justifikasi sebagai berikut: Pertama, penyebaran filariasis di 337 kabupaten/kota sampai dengan Januari 2010 dengan indikasi angka mikrofilaria lebih besar dari 1% dapat dicegah penularannya pada penduduk yang tinggal di daerah endemis dengan melaksanakan POMP filariasis setahun sekali selama minimal lima tahun berturut-turut. POMP filariasis yang akan dilaksanakan harus dapat memutus rantai penularan filariasis, sehingga dapat menurunkan prevalensi mikrofilaria lebih kecil dari 1%. Kedua, minimal 85% dari penduduk berisiko tertular filariasis di daerah yang teridentifikasi endemis filariasis harus mendapat POMP filariasis. Untuk itu POMP filariasis harus diarahkan berdasarkan prioritas wilayah menuju eliminasi filariasis tahun 2020. Ketiga, penyebaran kasus dengan manifestasi kronis filariasis yang berjumlah 11.914 di 401 kabupaten/kota dapat dicegah dan dibatasi dampak kecacatannnya dengan penatalaksanaan kasus klinis baik melalui basis rumah sakit maupun komunitas yaitu community home based care.
2. Tujuan

Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Sedangkan tujuan khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Program akselerasi eliminasi filariasis akan terus diupayakan sampai dengan tahun 2020. Sebagai tahap awal dilakukan akselerasi lima tahun pertama yaitu mulai tahun 2010-2014. Tujuan program tersebut adalah semua kabupaten/kota endemis di wilayah Indonesia Timur telah melakukan POMP filariasis pada tahun 2014. Prioritas pelaksanaan POMP filariasis di wilayah Indonesia Timur tersebut diambil dengan pertimbangan tingginya prevalensi mikrofilaria. Untuk kabupaten/kota endemis di wilayah Indonesia Barat dan Tengah diharapkan tetap meningkatkan pelaksanaan POMP filariasis sampai tahun 2014. Pelaksanaan akselerasi program eliminasi filariasis 2010-2014 dilakukan secara bertahap dengan strategi yang disampaikan berikut.
3. Strategi

Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun ke depan terdiri dari : a. Meningkatkan peran kepala daerah dan para pemangku kepentingan lainnya. b. Memantapkan perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk sosialisasi pada masyarakat. c. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional.

d. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis yang didukung oleh sistem pengawasan dan pelaksanaan pengobatan dan pengaman kejadian ikutan pasca pengobatan. e. Meningkatkan monitoring dan evaluasi.
4. Rencana Kegiatan Ada dua program pokok kegiatan yaitu: 1) Program akselerasi eliminiasi filariasis, ketersediaan dan distribusi obat; 2) Progrram penguatan manejemen. Kegiatan pertama mencakup: mempertahankan dan meningkatkan cakupan pelaksanaan POMP filariasis untuk seluruh penduduk di daerah endemis secara bertahap dengan target utama tahun 2014 adalah semua pulau di wilayah Indonesia Timur telah melaksanakannya, meningkatkan pelaksanaan kasus klinis filariasis dan pasca pengobatan, mengintegrasikan dengan program terkait lain, serta menjamin ketersediaan dan distribusi obat filariasis. Kegiatan pokok kedua antara lain

mencakup: penguatan program dan sistem kesehatan dan sumber daya manusia, peningkatan pencatatan dan pelaporan yang tepat waktu, meningkatkan monitoring dan evaluasi, meningkatkan komitmen dan dukungan pendanaan dan program melalui advokasi, dan sosialisasi dan mobilisasi, meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan, meningkatkan surveilans.
5. Tahapan

Pelaksanaan POMP filariasis dilakukan melalui pentahapan mulai dari mempertahankan cakupan POMP filariasis yang sudah seluruh penduduk di wilayah kabupaten/kota, sampai dengan meningkatkan cakupan POMP filariasis dari hanya mencakup sebagian penduduk menjadi seluruh penduduk di kabupaten/kota tersebut. Dalam pentahapan sampai dengan tahun 2014 yang menjadi prioritas adalah pulau di wilayah Indonesia Timur, yaitu Pulau Maluku, NTT/NTB, Tanah Papua dan Sulawesi. Diharapkan pada tahun 2014 semua kabupaten/kota di wilayah Indonesia Timur tersebut telah melakukan POMP filariasis.

Rencana tahapan POMP filariasis yang mencakup total penduduk di wilayah Indonesia Timur terangkum pada tabel 3.

Di Tanah Papua, pada tahun 2014 diharapkan telah melakukan POMP filariasis total penduduk di 35 kabupaten/kota dan akan terdapat 10 kabupaten/kota yang telah melaksanakan POMP filariasis lima tahun berturut-turut. Dengan demikian maka di Tanah Papua tahun 2014 diperkirakan telah semua kabupaten/kota melakukan POMP filariasis.

Pada gambar 6-10, tampak wilayah Indonesia Timur dari daerah arsiran merah (belum melakukan POMP filariasis) telah menjadi arsiran warna biru (telah melakukan POMP filariasis). Warna biru pada peta menggambarkan wilayah kabuapten/kota yang telah melaksanakan POMP filariasis, tampak adanya peningkatan wilayah yang dicakup pelaksanaan POMP filariasis dari tahun 20102014. Arsiran warna kuning menunjukkan kabupaten /kota yang telah melakukan POMP filariasis 5 tahun. Hijau adalah daerah non endemis. Berikut adalah gambaran geografis tahapan POMP filariasis tahun 2010-2014.

Adapun rencana aksi program disusun mengacu pada Renstra lima tahunan Kementerian Kesehatan. Rencana aksi program eliminasi filariasis 2010-2014 tersusun menjadi dua kelompok kegiatan pokok yaitu: 1. Akselerasi Eliminasi Filariasis dan Obat a. b. c. Mempertahankan, meningkatkan dan memperluas wilayah POMP filariasis. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya. Penatalaksanaan kasus klinis filariasis dan kejadian pasca POMP filariasis.

d.

Mengintegrasikan kegiatan eliminasi filariasis dengan program lain.

2. Program Manajemen dan Advokasi, Sosialisasi, Monitoring dan Evaluasi a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. Memperkuat komitmen nasional dalam pelaksanaan eliminasi filariasis. Penguatan program eliminasi sesuai pengembangan sistem kesehatan. Memastikan kesinambungan pendanaan program eliminasi. Peningkatan manajemen SDM. Meningkatkan komunikasi dan desiminasi informasi. Peningkatan kesadaran masyarakat. Melaksanakan survei dasar di wilayah sebelum POMP filariasis. Peningkatan pencatatan, pelaporan yang lengkap dan tepat waktu. Meningkatkan surveilans kasus kejadian ikutan pasca pengobatan. Monitoring dan evaluasi program eliminasi. Evaluasi prevalensi microfilaria setelah pengobatan masal. Meningkatkan penemuan kasus klinis kronis baru di kab non endemis.

m. Pengembangan intervensi kerjasama lintas sector yang terintegrasi.


6. Rincian Kegiatan (terlampir) 7. Evaluasi Jumlah kasus yang mendapat penatalaksanaan sesuai dengan kondisi klinis kasus terus meningkat. Pada tahun 2005 jumlah kasus yang ditatalaksana sebanyak 1.461 orang dari 8.423 orang (17,62%). Pada tahun 2009 kasus yang ditatalaksana 4.766 orang dari 11.914 orang (40%). Perkembangan tatalaksana kasus klinis filariasis dari tahun 2005 2009 dapat dilihat dari Gambar 5.

Indikator kinerja kesuksesan progam pengendalian filariasis tahun 2004-2009 terdiri dari; 1) Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis; 2) Persentase kasus klinis (limfedema dan hidrokel) yang ditatalaksana pertahun >90%. Bila dilihat dari persentase kasus yang ditatalaksana dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, maka tatalaksana kasus filariasis belum ada yang mencapai target. Kasus filariasis yang ditatalaksana dari tahun 20052009 berkisar antara 17%-40%, sedangkan target kasus yang ditangani pertahun diatas 90% (lihat Gambar 5). Penatalaksanaan kasus klinis ini merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Rendahnya pencapaian indikator tatalaksana kasus klinis memerlukan perhatian khusus pemerintah daerah dalam peningkatannya. Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis adalah salah satu upaya program eliminasi filariasis global. Pengobatan massal dilakukan setiap tahun sekali, dalam waktu minimal 5 tahun berturut-turut. Gambaran pengobatan massal kabupaten/kota dari tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Gambar 6. Tampak perbandingan antara kabupaten/kota yang endemis dengan total kabupaten/kota yang melakukan pengobatan massal masih terdapat gap yang cukup lebar. Hal ini perlu menjadi perhatian untuk meningkatkan upaya mencari dukungan pengobatan massal filariasis baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Persentase cakupan pengobatan massal terus meningkat dari tahun 2006 sampai tahun 2009 seperti terlihat pada Gambar 7 dibawah, dimana pada tahun 2009 mencapai 59,48%. Namun persentase cakupan ini masih jauh dibawah target yang ditetapkan WHO. Berdasarkan buku " Preparing and Implementing a National Plan to Eliminate Lymphatic Filariasis" (WHO, 2000) target program filariasis disebutkan bahwa cakupan POMP filariasis minimal yang harus dicapai untuk memutus rantai penularan sebesar 85%. Berdasarkan laporan tahun 2005-2009, cakupan POMP filariasis berkisar antara 28%59.48%. Cakupan ini masih jauh dari cakupan yang diharapkan. Agar efektifitas pengobatan massal bisa tercapai, maka perlu dilakukan upaya peningkatan pencapaian cakupan. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi progam teknis maupun pemerintah kabupaten/kota sebagai unit implementasi. Evaluasi setelah pengobatan massal perlu dilakukan baik pada pertengahan periode (mid term evaluation) yaitu sesudah tahun kedua POMP filariasis atau pada akhir periode (5

tahun). Evaluasi akhir periode dilakukan dengan pemeriksaan tes antigen- antibodi terhadap 300 anak berusia 2-4 tahun. Bila pada evaluasi akhir periode pengobatan massal, ditemukan hasil positif pada 1 (satu) orang, maka pengobatan massal perlu ditambah (dilanjutkan) dengan periode berikutnya. Evaluasi hasil mid-term POMP filariasis menunjukkan adanya hubungan yang positif pemberian POMP. Semua desa yang disurvei Mf rate setelah tahun kedua POMP menunjukkan penurunan Mf rate Dan beberapa daerah menunjukkan penurunan Mf rate dari >1 % menjadi kurang dari 1% (Gambar 8)

Dari tabel 2 dapat dilihat data POMP filariasis dari tahun 2007 sampai tahun 2009. Berdasarkan laporan POMP filariasis, telah ada sebelas kabupaten/kota yang melakukan lima putaran dan satu kabupaten/kota melakukan enam putaran POMP, namun belum ada daerah yang dinyatakan bebas dari filariasis.Daerah tersebut hingga tahun 2009 belum melakukan evaluasi akhir karena keterbatasan anggaran, sehingga status akhirnya belum diketahui.

Kabupaten yang sudah POMP filariasis putaran ke enam pada tahun 2007 yaitu Alor. Tahun 2009 kabupaten/kota yang sudah melakukan putaran kelima yaitu seperti Kabupaten Tanjung Jabung Barat,Bangka Tengah,Bangka, Bangka Barat,Bangka Selatan,Pangkal

Pinang, Kepulauan Mentawai, Kota Dumai, Pasir, Bombana, Bonebolango dan yang sampai putaran enam yaitu Kabupaten Alor.

Anda mungkin juga menyukai