Anda di halaman 1dari 10

KARAKTERISASI PERILAKU PERAMBATAN RETAK FATIK DAN KOROSI RETAK TEGANG DALAM LARUTAN CaCl2 40% DENGAN INHIBITOR

SODIUM SILIKAT dan ZEOLIT PADA SAMBUNGAN LAS GTAW BAJA TAHAN KARAT 304 Adhirohadhi, Rochman Rochiem, Hariyati Purwaningsih Jurusan Teknik Material & Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, ITS, Surabaya Kampus ITS, Keputih Sukolilo, Surabaya, 60111 Email : @mat-eng.its.ac.id, @ mat-eng.its.ac.id, adhirohadhi@yahoo.com Abstrak Gas Tungsten Arc welding merupakan jenis pengelasan yang banyak digunakan untuk penyambungan material logam pada kapal laut, bejana tekan, rel kereta, dan jembatan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku perambatan retak fatik hasil pengelasan GTAW Stainless Steel 304 yang dititik beratkan pada sifat khas perambatan retak fatik stainless steel dalam larutan CaCl2 dengan penambahan inhibitor. Metode yang digunakan untuk pengujian sambungan las terhadap perilaku perambatan retak fatik meliputi uji tarik sesuai standard ASTM E 8-4 dan uji perambatan retak fatik ASTM E 647, sedangkan untuk pengujian korosi retak tegang dilakukan uji bending sesuai standard ASTM E 290 dan uji imersi. Hasil dari pengujian fatik untuk stainless steel 304 diperoleh nilai intensitas tegangan 1,892 kg.mm-3/2 dengan laju perambatan retak 4,73 .10-7 mm/siklus dan Angka paris A senilai 3,77 .10-8 dan n senilai 3,7. Pengaruh larutan elektrolit pada proses korosi sambungan las tidak menyebabkan retak karena daerah sambungan las bersifat katodik, tetapi pengaruh inhibitor terhadap larutan kalsium klorida cukup baik dimana ion kalsium dapat dikristalkan oleh silikat menjadi kristal berwarna putih dan karat besi dari korosi material dapat diendapkan Zeolit Kata kunci : GTAW, ASTM A 8-4, ASTM A 276, ASTM E-647, dan ASTM E 290 Abstact Gas Tungsten Arc Welding is a type of welding which is widely used for joining metallic materials for marine vessel, pressure vessel, railroad, and bridge. This research aims to study the fatigue crack propagation behavior of GTAW welding on Stainless Steel 304 with the addition of CaCl2 solution inhibitor. The method used to test the welding connection on the fatigue crack propagation behavior includes the standard tensile test according to ASTM E 8-4, fatigue crack propagation test ASTM E 647, and tension crack corrosion test according to standard bending test ASTM E 290 with immersion tests. Fatigue test on AISI 304 resulted in stress intensity value of 1.892 kg.mm -3/2 with crack propagation rate of 4.73 .10-7 mm / cycle, Paris number of A 3.77 .10-8 and n of 3,7. The influence of electrolyte solution on the corrosion process of the welding connection does not cause cracks because the welding areas are cathodic connection, but the inhibitory effect to the calcium chloride solution is good enough, where calcium ions could be crystallized by the silicate into crystals white, and corrosion rust could be deposited by Zeolite. Keywords: GTAW, Fracture Propagation, Stress Corrosion Cracking, Inhibitor Precipation. I. PENDAHULUAN (stresss corrosion cracking). Struktur/ mesin diatas, seperti perkapalan, bejana tekan, jembatan dan lain-lain, selalu mendapat pengelasan dalam perakitannya. Pengelasan

Struktur/ mesin di lingkungan korosif akan mengalami lelah korosi (corrosion fatigue) dan korosi retak tegang

GTAW merupakan salah satu pilihan untuk proses manufaktur tersebut. Sambungan las, pada pemakaiannya akan selalu mendapat tegangan baik dari beratnya sendiri ataupun gaya-gaya luar yang bekerja. Suatu ciri retak korosi tegangan akibat gabungan tegangan tarik statik dan lingkungan biasanya terjadi secara mendadak tanpa adanya gejala awal serta tidak dapat diduga (Trethewey, 1991). Penyelidikan tentang fatik korosi sambungan las baja ASTM A 568 M-88 di lingkungan korosif telah di lakukan Wahab, 2001 dengan media udara dan air garam. Hasil yang didapat, K di udara lebih 2,7 MPa m1/2 dari air garam, sedang konstanta Paris C dan m masing-masing 1,35.10-11 dan 2,47 untuk udara, serta 2,25.10-12 dan 3,2 untuk air garam. Penyelidikan tentang fatik korosi sambungan las baja ASTM A572 grade 50 di lingkungan korosif telah di lakukan Nanang, 2008. Hasil penelitian menunjukkan perambatan retak fatik dengan konsentrasi 3,5% NaCl mengalami penurunan siklus fatik sebesar 10 %. Media korosi 3,5% NaCl memiliki sifat yang mempercepat fatik pada K kurang dari 23,269 MPa.m1/2, Laju perambatan retaknya (dA/dn) lebih besar dari udara. Berdasarkan hal tersebut diatas, pada penelitian ini akan dilanjutkan dengan menyelidiki ketahanan fatik sambungan las di lingkungan korosif pada bahan baja tahan karat 304 dengan proses GTAW. Stainless steel seri 304 merupakan baja tahan karat tipe Austenitik dimana baja jenis ini adalah pilihan utama dunia industri karena logam ini tahan terhadap korosi dan mampu mengalami proses manufaktur terutama pengelasan serta pengerjaan dingin. II. 2.1 dengan DASAR TEORI Perambatan Retak Bahan Rambat retak fatik dapat didekati persamaan Paris (Broek,1987)

mengunakan metode secant (ASTM E 647 dan ASM vol 8) sebagai berikut :

. aw P K= 2W Sec B 2 ( a (i + 1) - a(i) ) da a = ( N ( i + 1) - N(i) ) dN 1 a = (a (i + 1) + a(i) ) 2 2a 2a aw = untuk < 0,95 W W

.aw

- P = Pmax - Pmin , untuk R>0 - P = Pmax untuk R 0 2.2 Dimensi Benda Harga faktor Intensitas tegangan K akan berubah jika dimensi bendanya berubah (Gambar 2.1), persamaan faktor intensitas tegangan secara umum dapat dituliskan: KI = Y.

.a

Dimana Y adalah faktor geometri yang biasanya tergantung dari dimensi benda, sebagai contoh adalah geometri retak dibawah ini: a.Retak ditengah pelat : Untuk pelat tak berhingga dengan Y=1 atau K = .a Untuk pelat berhingga dengan lebar W, maka Y= (sec

.a
W

)1/2 atau

K=

.a .(sec

.a
W

)1/2

b. Retak pada kedua sisi pelat : Untuk pelat tak berhingga Y= 1.12 Untuk pelat dengan lebar W, maka Y= 1.12(

da sebagai berikut : = AK n dN
Specimen middle tension (MTS), komponen persamaan diatas dapat dihitung dengan

W .a 1/2 tan ) 2a W

Perilaku perambatan retak pada material dapat juga disajikan dengan grafik hubungan antara laju perambatan retak dan selisih faktor intensitas tegangan. Grafik tersebut dibuat dalam skala logaritmik seperti yang ditunjukan oleh Gambar 2.3

Gambar 2.1 Grafik hubungan antara ketebalan material dan harga ketangguhan(Neztor Perez, 2004) 2.3 Karakteristik Laju Perambatan Retak Pertumbuhan panjang retak dan jumlah siklus dapat disajikan dalam kurwa a dan N. Gambar 2.2 menunjukan secara skematis tiga spesimen yang dikenai tegangan berbeda pada pengujian fatik, R3>R2>R1. Benda uji mempunyai ukuran retak awal yang sama dan tegangan siklik minimumnyapun sama, yaitu nol. Dari gambar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa material yang dibebani siklik dengan level tegangan yang lebih tinggi akan mengalami kegagalan dengan jumlah siklus yang lebih sedikit dibandingkan material yang dibebani dengan tegangan yang lebih kecil.

Gambar 2.3 Hubungan intensitas tegangan dengan laju pertumbuhan retak (Neztor Perez, 2004) Kurva tersebut dapat dibagi menjadi tiga daerah. Daerah I menunjukan suatu daerah harga ambang Kth, dibawah harga ini tidak ada perambatan retak yang terjadi, kecuali pada orde sekitar 2,5 . 10-10 m/siklus. Daerah III merupakan daerah perambatan retak yang sangat cepat sehingga perambatan retak sulit untuk diamati dimana faktor intensias tegangannya diatas harga faktor intensitas tegangan kritis, sehingga daerah ini tidak begitu penting dalam pengamatan situasi fatik. Daerah II merupakan daerah terpenting dimana daerah ini menunjukan hubungan linier antara laju perambatan retak dan selisih intensitas tegangan yang bekerja.

Gambar 2.2 Skema kurva perambatan retak (Neztor Perez, 2004)

2.4 GTAW Gas tungsten arc welding (GTAW) adalah termasuk las listrik yang menggunakan gas inert sebagai pelindung daerah las terhadap pengaruh udara luar. Gas tungsten arc welding (GTAW) sering disebut juga dengan istilah Tungsten Innert Gas (TIG), dimana menggunakan tungsten sebagai elektode. Pada dasarnya busur listrik timbul diantara elektode tungsten dengan logam induk, dimana elektode tungsten hanya berfungsi sebagai tempat terjadinya busur listrik, elektode tidak ikut meleleh (non consumable electrode). Pada GTAW ini, menggunakan gas inert yaitu Argon atau Helium atau campuran dari keduanya. Fungsi gas pelindung untuk melindungi busur listrik manik las dari kontaminasi udara luar disamping sebagai fluida pendingin elektode tungsten. Sumber tenaga yang digunakan pada GTAW ini dapat berasal dari generator DC (direct current) maupun AC (alternating current). Dalam hal listrik DC, rangkaian listriknya dapat dengan straight polarity ( DCSP ) maupun reverse polarity ( DCRP ). Pada gambar 2.4, ditunjukkan proses GTAW yang berlangsung, dimana proses pengelasannya ini dilindungi oleh gas inert dari udara sehingga tidak ada kontaminasi dengan udara. Pada gambar tersebut, juga terdapat elektode tungsten yang digunakan untuk membangkitkan busur listrik dan filler metal diumpankan pada busur listrik sehingga terjadi proses pencairan logam.

2.5 Austenitik Satinless Steel Cara paling mudah untuk mendeteksi austenitic stainless steel adalah dengan menggunakan magnet, karena sifatnya yang non magnetik. Komposisi kimia austenitic stainless steel secara umum adalah: 18 - 24.7% Cr ; 6.48 - 18.8%Ni ; Balance Fe ; Sisa: Mo, C, Si, P, S, N. Jika diamati bahwa logam diatas yang kandungan Fe >50 % ini, mengapa bias non magnetik ? Jawabannya adalah karena struktur kristal logam tersebut adalah FCC (austenitik). Jadi sekarang muncul pertanyaan baru, logam mana yang magnetik ? Jawabannya adalah Delta Ferrit dengan struktur kristal BCC. Komposisi kimia Delta ferrite adalah sbb: 28% Cr, 4% Ni, dan 68% Fe. Apa definisi yang benar tentang delta ferrit itu, BCCiron yang disisipi interstitial larutan padat karbon atom. Austenitic stainless steel ini tidak dapat di-hardened, akan tetapi ada yang bersifat cold worked artinya adalah akan bertambah kekerasannya setelah kena benturan (atau dengan shot peening). Misalnya kekerasan awal 18 HRc, dan setelah kena benturan maka kekerasan akan naik menjadi 30 HRc. Contoh dari stainless steel yang bersifat cold work hardening adalah AISI 202 dengan komposisi kimia 18% Cr , 5% Ni, 9% Mn, dan balance Fe. Pada umumnya austenitic stainless steel amat mudah di-las, baik dengan proses SMAW (las listrik manual), TIG welding, Flux Cored arc welding, MIG/MAG welding, dsb. Tapi pengelasan semua jenis stainless steel tidak dapat dilakukan dengan oxy-acethylene welding. Austenitic stainless steel adalah AISI 201, 202, 301, 302, 304, 304L, 309, 310, 316, 316L, 321, 347, dimana diagram fasa untuk paduan 18% Cr dan 8% Ni dapat diamati pada Gambar 2.5

Gambar 2.4 Skema proses pengelasan dengan GTAW (AWS vol II, 1996)

Gambar 2.6 Grafik perbandingan temperature dan konsentrasi ion klorida terhadap pertumbuhan korosi retak tegang (Smith, B, J. dan Marder, A, R. 2003) Meskipun permukaan stainless sudah terlindungi oleh lapisan oksida Cr2O3, tetapi sulfur mampu merusak lapisan oksida tersebut, lalu menyerang permukaan logam, sehingga menyebabkan terjadinya korosi. Mekanisme sulfidasi terjadi karena unsur nickel dan sulfur membentuk Ni-sulfida, yang mempunyai titik lebur rendah (6450C). Jenis korosi pada suhu tinggi bisa terjadi akibat sulfidasi, nitridasi, oksidasi, karburisasi, dsb. III. Metodologi 3.1 Spesimen Pada penelitian ini material yang digunakan adalah AISI 304. Tebal yang digunakan adalah 5 mm. Detail gambar dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.5 Phase diagram stainless steel 18%Cr - 8%Ni (Handbook Stainlees Steel. 2000) Ketahanan korosi material stainless steel ini disebabkan lapisan oksida Cr2O3 yang terjadi pada permukaan logam, sehingga terlindung dari serangan korosi. Korosi yang terjadi ada beberapa macam, seperti pittingcorrosion, crevice-corrosion, intergranularcorosion, stress-corrosion-cracking, cavitation-corrosion, dsb. Ketahanan korosi dari stainless steel ini tergantung dari unsur paduan dalam logam itu sendiri, seperti Cr, Mo, Ni, Ti, Nb, dsb. Disamping itu kecepatan korosi sangat tergantung didalam jenis larutan kimiawi logam berada, pH larutan, temperatur, dan kecepatan aliran larutan tersebut. Seperti tampak pada Gambar 2.6 yang menjelaskan hubungan temperatur dan konsentrasi ion klorida terhadap kemungkinan terbentuk retak akibat korosi (SCC).

Pengelasan plate logam tebal (t) = 1/8 -1/2 inch, proses pengelasan TIG dengan ketentuan kampuh las sebagai berikut:

- Jarak A = 0,06 0,12 inch - Tebal B = 0,04 0,06 inch - Sudut C = 85 o sedangkan prosedur proses las dilakukan dengan menggunakan logam pengisi posisi kemiringan 15o-20o pada saat diumpankan dengan posisi stang las miring 65o-70o .
+

Force

r + +

3.2 Prosedur Uji Perambatan Retak Pengujian rambatan retak fatik di dalam media korosif terlihat seperti pada gambar di bawah dimana media korosi yang digunakan berupa larutan CaCl2. Spesimen dibuat menurut standard ASTM E-647 dengan retak awal di bagian tengah seperti pada gambar di bawah (Gambar 3.1). Pengujian dilaksanakan dengan R = 0,1, frekuensi 11-20 Hz. Retak awal dibuat sejajar dengan arah las dan tegak lurus terhadap arah rol. Tebal pelat 5 mm dan lebar 100 mm. Pengujian menggunakan mesin fatik (Gambar 3.2)
Force Force

t or d

Gambar 3.3 Spesimen Guide bend Test IV. Hasil dan Diskusi 4.1Hasil uji tarik Pengujian tarik dilakukan menggunakan mesin servofulser dengan jumlah spesimen sebanyak enam buah, data mengenai hasil pengujian sifat mekanik baja tahan karat seri 304 tampak pada Tabel 4.1 4.2 Hasil Pengujian Korosi Retak Tegang (SCC) Material terlebih dahulu dibending dengan beban sedikit diatas beban luluhnya supaya proses deformasi plastis pada spesimen berlangsung dengan baik sehingga bentuk akhir dari spesimen uji berupa profil U berhasil dibentuk. Pada uji bending ini spesimen ditekan dengan beban maksimal 3 ton. Kemudian pengujian dilanjutkan untuk uji imersi selama 3 bulan 20 hari guna mengetahui pengaruh larutan elektrolit kalsium klorida dan kalsium klorida yang telah diberi inhibitor Sodium silikat dan zeolit terhadap proses korosi, proses korosi yang diinginkan untuk pengujian ini adalah korosi retak tegang. Hasil dari uji SCC ini dapat dilihat pada Gambar 4.1 dimana gambar berikutnya Gambar 4.2 menunjukan hasil uji imersi yang telah dilakukan selama 3 bulan 20 hari.

Gambar3.1 Spesimen Uji CCT

Gambar 3.2 Mesin Uji Fatik Uji Korosi Retak Tegang Dalam pengujian Korosi Retak tegang spesimen diuji bending terlebih dahulu. Uji bending menggunakan metode triple point test ASTM E 290,dimana skema pengujian dapat dilihat pada Gambar 3.3

0 0 -1 Nilai logaritma da/dN -2 -3 -4 -5 -6 -7 y = 3.6861x - 7.4084 0.5 1 1.5 2

Gambar 4.1 Uji imersi plat stainless steel seri 304

Nilai logaritma intensitas tegangan

Nilai A = 3,90481. 10-8 dan n = 3,6861 Gambar 4.4 Kurva logaritma laju perambatan retak specimen ter-imersi larutan Kalsium Florida dengan penambahan inhibitor Sodium Silikat dan Zeolit
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1.1184 1.6773 1.6893 1.6955 1.6985 1.7005 1.7020 1.7028 1.7035 1.7041

Gambar 4.2 Spesimen Uji bending setelah proses imersi 4.3 Hasil Pengujian Fatik Pengujian fatik ini dilakukan dengan beban 58% dari beban luluh spesimen hasil pengelasan dengan proses GTAW. Pada proses pengujian ini, perambatan retak dilihat menggunakan lup seperti tampak pada Gambar 4.3. Proses pengujian menggunakan mesin Servopulser dengan frekuensi pembebanan 11- 20 herz. Spesimen yang telah diuji telah diberi retak awal sepanjang 10 mm dengan preparasi spesimen sesuai standard ASTM E 647. Kurva hasilkomparasi data dapat dilihat pada Gambar 4.4, 4.5, dan 4.6 Skala Lup (Mikro meter)

Panjang retak (a, mm)

Kurva panjang retak spesimen Las

Kurva panjang retak spesimen ter-immersi larutan kalsium klorid

Siklus (N, Dalam jutaan)

Kurva Panjang Retak Spesimen Ter-immersi dalam larutan Kalsium Klorida dengan penambahan Inhibitor Sodium Silikat dan Zeolit

Gambar 4.5 Kurva pajang retak stainless steel 304 da/dN (mm/siklus)
0.020 0.018 0.016 0.014 0.012 0.010 0.008 0.006
Kurva laju perambatan retak spesimen ter-imersi larutan Kalsium Klorida Kurva laju perambatan retak spesimen las

Perambatan Retak Gambar 4.3 Pengukuran panjang retak dengan Lup berskala mikrometer

0.004 0.002 0.000 0 50 100 -3/2 150

Kurva laju perambatan retak spesimen ter-imersi larutan Kalsium Klorida dengan penambahan inhibitor Sodium

K (kg.mm

Silikat dan Zeolit

Gambar 4.6 Kurva laju perambatan retak stainless steel 304

4.4 Hasil Pengujian Metallography Pengujian metallography dilakukan menggunakan mikroskop metalurgi yang memiliki perbesaran 5X - 100X dimana pengambilan gambar dapat dilakukan secara digital menggunakan komputer. Struktur kristal Austenit dapat diamati pada perbesaran 100X seperti tampak pada Gambar 4.7 dan adanya kemungkinan fasa lain berupa sigma dan delta ferrit diduga seperti tampilan yang tampak pada Gambar 4.8

4.5 Pembahasan Hasil dari pengujian diperoleh untuk beban 50% dari beban luluh material dengan membuat crak awal sepanjang 10mm pada specimen diperoleh retak berikutnya dengan nilai > 106 dan selisih dari setiap siklus memiliki nilai tertinggi > 104 siklus, hal ini menghasilkan nilai intensitas tegangan > 1,8 dan nilai perbandingan km.mm-3/2 perambatan retak > 1,15 . 10-5 mm/silkus, dengan nilai angka Paris untuk setiap specimen berturut-turut adalah Nilai A= 3,77 .10-8 dan n = 3,6995 untuk specimen las, Nilai A = 3,85922 .10-8 dan n = 3,9896 untuk specimen tre-immersi dalam larutan Kalsium klorida, dan Nilai A = 3,90481. 10-8 dan n = 3,85922 untuk specimen tre-immersi dalam larutan Kalsium klorida dengan penambahan inhibitor Sodium Silikat dan Zeolit. Menurut data pada tabel korosi, larutan Kalsium Klorida merupakan larutan yang berbahaya bagi baja tahan karat austenitik khususnya seri 304 terlebih jika kondisi tersebut didukung oleh adanya kalor pada larutan. Namun hasil dari uji imersi menunjukan sangat minimnya korosi yang terjadi pada bagian sambungan las, padahal bagian tersebut telah ditekan dengan beban 3 ton yang menyebabkan meningkatnya internal stress pada atom-atom bagian sabungan las tersebut, namun general corrosion terjadi hampir di seluruh permukaan logam induk. Seperti yang telah dituliskan oleh Djaprie,2001 disebutkan bahwa logam yang mengalami perlakuan dingin memiliki potensial yang lebih anodik dari logam yang dianil (mendapat heat treatment), maka dapat dipahami bahwa sambungan las spesimen lebih bersifat katodik karena mendapatkan heat input pada proses pengelasan sedangkan bagian logam induk bersifat lebih anodik karena plat merupakan hasil coldwork rolling. Hal ini

Karbida Crom Austenit

(a)

(b)

Gambar 4.7 (a) Struktur mikro sambungan las baja tahan karat austenitik AISI 304 100X (b) Weld Metal 500X Delta Ferrit

(a)

(b)

Gambar 4.8 (a)HAZ, Delta ferrit 100X (b) Delta Ferrit 500X

berarti logam yang akan terkorosi pada uji imersi adalah anodanya yaitu logam induk, sedangkan bagian sambungan las akan lebih selamat dari korosi dibandingkan logam induknya. Dari hasil pengamatan, korosi lebih dominan berada pada area logam induk. Namun tidak diperoleh korosi yang diinginkan yaitu korosi retak tegang. Korosi yang terjadi adalah korosi merata dimana pada bagian dekat HAZ Logam induknya mengalami korosi hebat, juga pada bagianbagian dari logam induk yang memiliki cacat permukaan baik goresan maupun adanya porosity timbul juga proses korosi pada bagian tersebut. Mengenai larutan elektrolit yang digunakan selama lebih dari 3 bulan, larutan tersebut mengalami perubahan warna dari putih menjadi coklat, hal ini mengindikasikan terbentuknya endapan besi (Fe) pada elektrolit tersebut. Hal ini terjadi karena material uji merupakan logam yang kaya dengan unsur besi, sehingga wajar jika dominan karat yang dihasilkan merupakan karat besi (Fe2O3xH2O). Kemudian dari inhibitor yang dipilih untuk sistem elektrolit kalsium klorida ternyata sangat baik, dimana setelah imersi dalam waktu yang sama yaitu lebih dari 3 bulan, larutan yang diberi inhibitor semakin jernih. Hal ini menerangkan bahwa silikat dari sodium silikat mampu mengendapkan kalsium dan ion natrium dari Sodium silikat mampu membentuk kristal garam NaCl yang terlihat dari endapan kristal putih pada bongkahan yang menempel pada logam. Hal yang disayangkan adalah inhibitor ini menyebabkan kerak pada spesimen yang mana hal ini sangat merugikan terutama jika material ini digunakan sebagai pipa saluran, tank air, maupun bejana-bejana lainnya. Kerak merupakan masalah pelik dalam benda kerja tersebut yang mana pada praktiknya di lapangan stainless steel seri

304 lazim dugunakan sebagai pipa saluran limbah kimia dan bejana, maka untuk penggunaan inhibitor ini di lapangan perlu pengkajian ulang. V. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian dan pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Karakteristik perilaku perambatan retak material stainless steel seri 304 yang telah mengalami pengelasan dengan metode GTAW memiliki nilai intensitas tegangan 1,892 kg.mm-3/2 dan laja perambatan retak 4,73 .10-7 mm/siklus dengan nilai angka Paris A= 3,77 .10-8 dan n= 3,7 2. Elektrolit Kasium Klorida merupakan elektrolit yang berbahaya bagi baja tahan karat austenitik khususnya seri 304, Namun pengaruh elektrolit tersebut terhadap sambungan las material ini tidak begitu efektif karena pada hasil uji korosi retak tegang tidak diperoleh retak dalam masa inkubasi 3 bulan 20 hari sedangkan tampilan retak pada spesimen hasil uji fatik menunjukan bentuk patah getas (patn halus) dan bentuk patah ulet (patn berserabut). 3. Penggunaan inhibitor Sodium silikat dan Zeolit terbukti efektif dalam meredam proses korosi material baja tahan karat austenitik seri 304 dalam larutan Kalsium Klorida dimana selama masa uji imersi inhibitor dapat mengendapkan dan mengkristalkan ion kalsium, namun memiliki efek samping pembentukan kerak pada material tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Neztor Perez, 2004. FRACTURE MECHANICS. Department of Mechanical.Engineering.Universi ty of Puerto Rico New York. Kluwer academic publishers Trethewey, K, R, 1991. Korosi untuk Mahasiswa Sains dan Rekayasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Althouse, Turnquist. Bowditch, Bowditch, 1984, Modern Welding,The Goodheart-Willcox Company, Inc., Illinois Cary, 1993, Modern Welding Technology, Prentice Hall, New Jersey ASTM. 2003. Metal Test Methods and Analitycal Prosedures, Annual Book of STM Standard. Sec. 3, Vol. 03.01, E647. Bar Harbor Drive. Broeh, D. 1983. Elementary Engineering Fracture Mechanics. The Hague. Netherlands: Martinus Nijhoff Publisher Easterling, K,E. 1992. Introduction to the Physical Metallurgy of Welding. London, UK: Butterworth- Heinemann Jones, A,D. 1991. Principles and Prevention of Corrosion. New York: macmillan Publishing Company

Kawano, H. 2002. Fatigue Strength of Thermo-Mechanically Controlled Process Steel and Its Weld Joint. Japan: National Maritime Research Institute Kou,S. 1987. Welding Metallurgy. New York: John Willey Sons, Inc Lancaster, J.F. 1999. Metallurgy of Welding. Cambridge : Abington Publishing Magnin,T. 1995. Recent advances for corrosion fatigue mechanisms. ISIJ International, Vol. 35, pp, 223-233 Smith, B, J. dan Marder, A, R. 2003. A metallurgical mechanism for corrosionfatigue (circumferential) crack initiation and propagation in Cr---Mo boiler tube steels. PA 18015, USA Wahab, M, A. 2001.Experimental Study of Corrosion Fatigue Behaviour of Welded Steel Structures. Osaka. Japan Sriyanto, Nanang Budhi, dan Ilman, Mochamad Noer. 2008. Perilaku Perambatan Retak Fatik di Udara dan 3,5 % NaCl pada Sambungan Las Busur Redam Baja ASTM A572 Grade 50. Yogyakarta. Laboratorium Teknik Bahan,Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik .UGM

Anda mungkin juga menyukai