Anda di halaman 1dari 3

Bom Waktu HIV/AIDS di NTT

Inriyani Takesan

Di NTT, selain Angka Kematian Anak yang masih memprihatinkan, kasus HIV/AIDS pada usia 0-5 tahun terdapat 102 kasus. Dengan demikian, risiko penularan yang paling memungkinkan adalah dari ibu ke anak. Sedangkan kasus HIV/AIDS secara umum di NTT yang terdeteksi pada tahun 2012 berjumlah 596 kasus (HIV 287 kasus dan AIDS 309 kasus). Jumlah tersebut sekilas nampak sangat sedikit diantara jumlah penduduk NTT yang berjumlah 4.7 juta jiwa. Namun jika menghitung persentase peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di NTT sejak tahun 2006 melalui perhitungan minimum, maka setiap tahun terdapat 40-50% peningkatan kasus. 25 tahun ke depan diperkirakan akan bertambah menjadi 500,000 hingga 600,000 kasus HIV/AIDS. Artinya, akan terjadi bom waktu HIV/AIDS di NTT bila pemerintah gagal membuat kebijakan preventif. Indonesia berada pada level epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada populasi kunci. Bukan berarti populasi umum bisa mencoba menutup mata dari penyebaran penyakit ini, sebab di NTT sendiri, jumlah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga lebih banyak yaitu 457 kasus dibandingkan dengan pekerja seks yaitu 97 kasus. Sedangkan jumlah kasus pada mahasiswa adalah 53 kasus, tidak berbeda jauh dari kasus HIV/AIDS pada TKI yaitu 72 kasus. Orang muda merupakan kelompok yang paling rentan terhadap penularan HIV/AIDS. Disisi lain, orang muda juga adalah agen yang berperan penting dalam perubahan perilaku untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Sejak tahun 1997 hingga Maret 2013, kasus HIV & AIDS di NTT terbanyak yaitu 626 kasus pada usia 26-30 tahun. Sedangkan 455 kasus pada usia 31-35 tahun, 398 kasus pada usia 21-25 tahun, 254 kasus pada usia 41-45 tahun, 119 kasus pada usia 16-20 tahun. Komitmen Pemerintah Menurut Jaringan Orang Terinveksi HIV Indonesia (JOTHI 2013), dari 21 Kabupaten/Kota di Provinsi NTT tidak semua pemerintah daerah berkomitmen dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di daerah masing-masing. Hanya minoritas yang mau ikut berperan dalam penanggulangan HIV/AIDS pada konteks kepulauan di NTT. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) misalnya dari pulau Rote, harus pergi pulang ke Kupang untuk memeriksakan diri di RSUD Prof.Dr.WZ Yohanes dan mengambil obat secara teratur. Sekalipun ARV gratis, belum tentu ia mampu membiayai transportasi selama ia harus berobat. Selama ini ODHA cenderung diposisikan sebagai objek yang hanya menerima layanan pengobatan. ODHA belum dianggap sebagai subjek yang mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan mereka; tidak mendapat dukungan untuk bisa berupaya memenuhi kebutuhan mereka, maupun memperbaiki kualitas hidup karena stigma dan diskriminasi.

Upaya penanggulangan HIV/AIDS secara dini sangatlah berarti untuk memulihkan produktivitas tenaga kerja. Korenromp, dkk (2011) menemukan bahwa penanggulangan HIV/AIDS memulihkan partisipasi dan produktivitas tenaga kerja petani di Kenya, Botswana, dan Uganda. Partisipasi dan produktivitas mereka menunjukkan pola-V yang konsisten; kemunduran seiring gejala AIDS yang memburuk sebelum diberikan ART dan pulih 75% mendekati normal dalam beberapa bulan kemudian setelah diberikan ART. Selain itu, pengeluaran untuk menopang anak yatim piatu (anak yang salah satu atau kedua orang tua telah meninggal) bisa dialihkan karena orang tua mereka dapat bertahan hidup dengan ART. Penularan HIV dari ibu ke anak dapat berkurang 5% melalui pengobatan antiretroviral. Tahun 2011, Malawi mengimplementasikan kebijakan untuk menyediakan terapi antiretroviral (ART) bagi semua ibu hamil yang positif HIV, dan juga bagi ibu menyusui. Satu tahun kemudian, jumlah ibu hamil dan ibu menyusui yang menerima ART meningkat 748%, dari 1,257 pada pertengahan tahun 2011 menjadi 10,663 pada pertengahan tahun 2012 (Chimbwandira, dkk 2013). ODHA yang memiliki pasangan negatif HIV, dapat memperkuat sistem kekebalan tubuhnya melalui pengobatan secara teratur sehingga ia tidak menularkan HIV kepada pasangannya, bahkan jika memiliki anak, anak mereka negatif HIV (WHO 2012). Pencegahan ini hanya akan terjadi jika seseorang sudah mengetahui status HIV-nya. Sayangnya, tidak banyak yang tahu bahwa walaupun belum ada obat untuk menyembuhkan HIV & AIDS secara tuntas, namun masih dapat dicegah dan dihindari. Banyak orang yang belum mendapat informasi pelayanan penanggulangan HIV & AIDS meskipun tahun 2011 Mendagri telah mengeluarkan peraturan No.19 Pasal 7 ayat 2(c) tentang Pedoman Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar di Posyandu, mencakup penanggulangan HIV/AIDS. Dampak nyata pada implementasi kebijakan terlihat jelas dalam masyarakat, walaupun Revolusi KIA telah berlangsung namun tidak menggandeng penanggulangan HIV/AIDS di semua fasilitas kesehatan. Salah satu terobosan untuk memeratakan penanggulangan HIV/AIDS yaitu melalui Home-based konseling sukarela dan tes HIV (VCT). Home-based VCT ternyata lebih mudah diterima. Di Zambia, home-based VCT meningkatan proporsi tes HIV dari 18% menjadi 38%. Peningkatan tertinggi terjadi di daerah pedesaan; pada lelaki berumur 15-24 tahun, meningkat dari 14% menjadi 42%. Sedangkan pada lelaki di perkotaan meningkat dari 17% menjadi 37% (Mutale, dkk 2010). Upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS salah satunya dengan cara memperkenalkan dan mendekatkan layanan konseling sukarela dan tes HIV (VCT) kepada masyarakat. Masih banyak orang yang belum mendapat informasi yang cukup mengenai HIV/AIDS sehingga enggan untuk mengikuti pemeriksaan dini status HIV-nya, ditambah lagi

untuk mendapat pelayanan, harus menempuh jarak yang relatif jauh dan memakan ongkos transportasi. Selain itu, pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT) harus sungguhsungguh diperhatikan apalagi NTT dalam masa Revolusi KIA sekarang ini.

Anda mungkin juga menyukai