Anda di halaman 1dari 4

NTT Ketinggalan 250 Tahun Untuk Pembangunan Sanitasi

Nike Frans dan Inriyani Takesan*

Lembaga PBB melaporkan bahwa akses untuk memperbaiki fasilitas kesehatan meningkat 1% dalam dua dekade (dari 36% ke 56% dalam tahun 1990-2010) di negara berkembang secara keseluruhan, dengan peningkatan terbanyak terlihat di Asia Timur dan Selatan. Bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana dengan NTT? Dengan tingkat pertumbuhan akses sanitasi layak (ASL) sebesar 1%, NTT akan ketinggalan 50 tahun dalam mencapai tujuan pembangunan milenium (MDGs) yakni 78%. Sebagian kabupaten mengalami peningkatan ASL yang jauh lebih lambat. Seperti Kabupaten Kupang, dengan angka pertumbuhan 0.36% ASL per tahun, baru akan mencapai target sanitasi MDGs di tahun 2194 atau terlambat 184 tahun. Jadi dengan model status quo, masih 240 tahun (pada tahun 2255) Kabupaten Kupang dapat memiliki total akses atas ASL. Kabupaten Kupang bukanlah yang terburuk di NTT. Statistik di atas ditopang oleh tiga Survey Sosial Ekonomi Nasional (yakni SUSENAS 1990, 2001, dan 2010). Persentase rata-rata peningkatan ASL nasional adalah 1,5% berdasarkan perhitungan dari tahun ke tahun. Sayangnya, angka yang sesungguhnya dari perbaikan sanitasi di Indonesia bervariasi di seluruh wilayah. Artinya pada tahun 2255 (240 tahun kemudian) barulah setiap orang memiliki jamban yang memadai di setiap rumah tangga. Konsep dari ASL mengkategorikan jamban dalam 3 bentuk : kakus cemplung dengan septic tank, kakus leher angsa dengan septic tank, dan toilet flush. Buang air besar (BAB) di tempat terbuka masih merupakan tantangan pembangunan kesehatan masyarakat. BAB di tempat terbuka menjadi pemicu berbagai

masalah kesehatan seperti diare. Dampak buruk dari tidak adanya Akses Sanitasi Layak (ASL) tidak hanya mengakibatkan kejadian kematian anak, tapi juga menghambat pembangunan manusia. Karena itu penting untuk mulai membicarakan kotoran jika kita menghendaki negara yang sehat. Jika saja ada kesadaran kritis dari para politisi, birokrat dan pemimpin, Kabupaten Kupang diperkirakan akan mencapai target MDGs 2015 pada tahun 2070 (atau 120 tahun lebih awal dari BAU/Business As Usual). Jika kabupaten mengadopsi angka percepatan nasional (1,5%) maka akan mencapai target MDGs 2015 pada tahun 2050 atau sekitar 35 tahun terlambat dari target tersebut. Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi di NTT kurang lebih 5% dan Kabupaten Kupang kurang lebih 4%. Hal ini memberi kesan bahwa pembangunan sektor ekonomi tidak memberikan investasi pada sanitasi. Hal ini mendorong, Action Contra La Faim (ACF) beberapa waktu lalu medukung studi sosial-budaya Water, Health, and Sanitation (WASH) di Kupang, Timor Barat, yang bertujuan untuk memahami bagaimana pandangan penduduk lokal mengenai praktek WASH yang ideal. Selain itu juga mengkaji sosial-budaya, ekonomi, dan dorongan lingkungan yang membentuk perilaku, kepercayaan, dan kebiasaan pada tingkat kabupaten. Hal yang ditemukan adalah bahwa adopsi mandiri dari jamban dihubungkan secara erat dengan tingkat ekonomi rumah tangga. Namun, peningkatan pendapatan bukan faktor utama dalam perbaikan sanitasi keluarga, seperti yang terlihat di Kabupaten Kupang. Berdasarkan sejarah, lembaga-lembaga internasional telah mempromosikan ketentuan-ketentuan internasional untuk sanitasi (termasuk air) selama tahun 1970an, dan di Timor Barat pergerakan ini dimulai pertengahan 1980an.

Hasil studi IRGSC memberi gambaran adopsi model jamban oleh warga desa. Sebaran penduduk desa mengikuti pola jaringan jalan agar. Meningkatnya jumlah penduduk di desa-desa tersebut kemudian menciptakan dorongan sosial seperti rasa malu sehingga mengecilkan hati penduduk desa jika BAB ditempat terbuka. Sebagian penduduk merasa hal tersebut tidak sopan sehingga rasa malu itu menjadi alasan mengapa dibutuhkan kakus di daerah tempat tinggal mereka. Kebutuhan terhadap kakus tidak hanya untuk menjadi lebih higienis namun juga merupakan bagian dari masalah sosial misalnya pria dewasa tidak ingin istrinya menjadi tontonan saat BAB. Dalam studi soal disinsentif untuk BAB, penciptaan "rasa malu" merupakan salah satu taktik kunci dalam kampanye kakus dibawah naungan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Bagaimanapun juga hal ini tidak menjelaskan mengapa 88% dari populasi Kabupaten Kupang tidak mencapai ASL. Selain itu, masalah yang dihadapi bukan hanya karena kekurangan air dan kemiskinan di wilayah semi arid seperti NTT, namun juga karena budaya membasuh dengan air setelah BAB secara tidak sadar terkesan jorok dalam paradigma orang Timor. Setara dengan orang Eropa dan Cina menggunakan tisu toilet, orang Timor menggunakan alat tradisional untuk mencegah kontak langsung dengan anus. Dorongan budaya sanitasi dari Arab (menggunakan air dan sabun untuk membersihkan anus) yang mendominasi sanitasi kita sekarang ini harus dipertanyakan lagi demi menciptakan perdebatan yang sehat soal sanitasi. Ada juga gap antara intervensi sanitasi dengan konteks penghidupan (livelihoods) pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberlangsungan BAB di tempat terbuka tidak ada kaitannya dengan keberadaan toilet. Hampir semua orang termasuk orang berpendidikan dan orang kaya di desa terus melakukan BAB di tempat terbuka saat mereka bekerja di ladang pertanian.

Ditemukan bahwa penduduk dengan mobilitas tinggi kota-desa cenderung mengadopsi ide untuk membangun kakus di rumah mereka. Rasa bangga apabila dapat menyediakan kakus bagi para tamu dari kota menjadi pendorong penduduk desa untuk membangun kakus. Intervensi kebijakan pemerintah tahun 1960an dimanifestasi dalam peran mantri kakus yang sekarang lebih dikenal dengan sanitarian. Namun yang jumlah tenaga sanitasi masih minim di Puskesmas. Analisis stakeholder di dua kecamatan di Kabupaten Kupang menunjukkan bahwa keberadaan sanitarian nyaris tidak anggap oleh penduduk setempat. Penduduk lokal di negara berkembang termasuk NTT, Papua, dan beberapa wilayah di bagian barat Indonesia mungkin harus menunggu beberapa abad untuk mencapai sanitasi yang lebih baik. Kami merekomendasikan perlu diadakan program politik radikal yang mempertimbangkan pemahaman sosial budaya dalam adopsi sanitasi di Indonesia. Namun, kmi berpendapat bahwa tanpa pemahaman dari dimensi budaya dan tanpa kebijakan institusi yang mendukung, akan sangat sulit membangun perekonomian masyarakat menuju sanitasi yang lebih baik.

* Asisten peneliti Public Health di IRGSC Kupang.

Anda mungkin juga menyukai