Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dua dekade akhir abad 20 dan memasuki millenium ke-3 wacana
pembangunan wilayah di Indonesia ditandai dengan membesarnya fenomena
metropolitanisasi. Sampai tahun 1990 telah tumbuh beberapa kawasan yang
mengarah terbentuknya metropolitan seperti Jabodetabek, Medan Raya, Bandung
Raya, Surabaya Gerbangkertasusila, dan Semarang Raya dan lain-lain.
Salah satu isu yang mengiringi menguatnya metropolitanisasi dan perlu
mendapat perhatian adalah perkembangan koridor antar kota. Dalam sepuluh
tahun terakhir, wilayah sepanjang koridor Jakarta-Cirebon-Semarang, Jakarta-
Bandung, Semarang-Solo-Yogyakarta dan Surabaya-Malang mengalami
pertumbuhan daerah perkotaan yang pesat (Firman, 1992), bahkan kawasan
Jabodetabek dan Metropolitan Bandung raya berkecenderungan membentuk
koridor yang nyaris bersatu. Pembentukan koridor-koridor ini ditandai oleh
semakin kaburnya (blurring) perbedaan antara wilayah perkotaan dan wilayah
perdesaan (Firman, 1992).
Daerah-daerah perdesaan di sepanjang koridor telah mengalami
transformasi struktur wilayah (McGee, 1991) menyebut transformasi tersebut
sebagai proses kota-desasi, yaitu perubahan struktur wilayah agraris ke arah
struktur non agraris. Proses transformasi wilayah tersebut tentunya bukan hanya
spasial, tetapi yang lebih penting adalah perubahan sosioekonomik dan kultural
penduduk perdesaan yang antara lain menyangkut struktur produksi, mata pen-
caharian, konsepsi dan praktek-praktek kehidupan bersama, cara hidup, perilaku
dan banyak aspek sosiokultural lain. Di samping itu, tidak terintegrasinya
kegiatan-kegiatan perkotaan yang melakukan penetrasi ke daerah perdesaan
diyakini akan menimbulkan kesenjangan sosioekonomi, konflik-konflik sosial
budaya, terutama sebagai konsekuensi menjadi marginalnya penduduk perdesaan.
Ruang adalah sesuatu yang dinamis, misalnya ketersediaan jalan disatu sisi
akan mengintervensi pola hidup manusia, namun di sisi lain manusialah yang
mengintervensi ketersediaan jalan karena manusia membutuhkan aksesibilitas
untuk keperluan mobilitasnya. Terlebih lagi dengan adanya globalisasi, dimana
2
manusia dituntut untuk dapat berada dimana saja dan kapan saja. Perubahan
ruang, merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi bukan berarti semua
perubahan ruang berdampak baik bagi kehidupan manusia. Transformasi spatial
merupakan sebuah proses perubahan ruang dari yang bercirikan perdesaan
menjadi perkotaan atau juga dapat disimpulkan sebagai sebuah proses
perkembangan daerah suburban atau pinggiran kota, kehidupan manusia akan
didorong ke arah modern. Kehidupan modern yang diidentifikasi melalui kegiatan
perekonomiannya, akan menimbulkan dua sisi dampak yang berbeda.
Perekonomian akan menimbulkan akses terhadap pengembangan kualitas
kehidupan lebih baik, namun disisi lain mendorong manusia untuk lebih
konsumtif.
Penekanan pembangunan pada sektor modern perkotaan telah terbukti
meningkatkan pertumbuhan di sektor dan lokasi yang hanya memiliki tingkat
produktifitas tinggi. Laju pertumbuhan investasi dan akumulasi modal hanya
terpusat di sektor modern tersebut. Konsep tersebut menginspirasikan
terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan (growth pole economy).
Diharapkan dengan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi
proses penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickle down process)
dan pemerataan akan terjadi secara "otomatis" dari kutub-kutub pertumbuhan ke
daerah belakang tersebut (hinterland). Namun pada kenyataannya penetesan
pembangunan itu tidak terjadi, dan yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya
yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran (massive backwash effect).
Paradigma pembangunan yang urban biased tersebut telah menimbulkan berbagai
persoalan seperti terjadinya urbanisasi yang berlebihan (over urbanization) karena
akumulasi kapital yang berada di perkotaan. Urbanisasi yang berlebihan tersebut
pada akhimya menimbulkan berbagai persoalan di kota dan yang terjadi bukan
lagi economies of scale (economies of agglomeration) namun justru diseconomies
of scale. Kota-kota besar tumbuh dengan cepat sebagai pusat pertumbuhan
wilayah yang sering mengabaikan fungsinya untuk memberikan pelayanan kepada
daerah hinterland (Rustiadi dan Panuju, 2005).
Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya
kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota
3
(urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan
ke arah luar (urban sprawl). Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota akan
mengalami proses transformasi spasial berupa proses densifikasi permukiman dan
transformasi sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi
spasial. Proses densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota
merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah
perkotaan.
Daerah pinggiran kota (urban fringe) sebagai suatu wilayah peluberan
kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai
bidang ilmu seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930 an saat
pertama kali istilah urban fringe dikemukakan dalam literatur. Besarnya
perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan
oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan
fisikal misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta
kondisi sosial ekonomi.
Mc.Gee (1991) menyatakan bahwa proses perkembangan dan urbanisasi
kota-kota di Indonesia (terutama di Pulau Jawa) ditandai oleh adanya
restrukturisasi internal kota-kota besarnya. Kota-kota di Indonesia pada beberapa
dekade mendatang cenderung akan terus berkembang baik secara demografis,
fisik, maupun spasial. Fenomena menyusutnya penduduk perdesaan dalam dua
dekade yang lalu akibat adanya migrasi besar-besaran penduduk perdesaan. Hal
ini memberi indikasi bahwa kota-kota di Indonesia akan berkembang pesat baik
secara demografis maupun spasial di masa mendatang.
Diberlakukannya Undang-Undang mengenai Otonomi Daerah akan
berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di daerah.
Pemerintahan Daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar di dalam
merencanakan arah pembangunannya. Di sisi lain, pemerintah daerah akan
semakin dituntut untuk lebih mandiri di dalam memecahkan masalah-masalah
pembangunan di daerahnya. Otonomi daerah juga mengisyaratkan semakin
pentingnya pendekatan pembangunan dengan basis pengembangan wilayah
dibanding pendekatan pembangunan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan
berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan
4
intersektoral, interspasial, serta antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan
antar daerah.
Keterpaduan intersektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan
sinergi antar sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program-program
pembangunan di dalam kelembagaan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka
pembangunan wilayah. Keterpaduan sektoral tidak hanya mencakup hubungan
antar lembaga pemerintahan tetapi juga antara pelaku-pelaku ekonomi secara luas
dengan sektor yang berbeda. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya
keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan
output barang dan jasa antar sektor secara sangat dinamis.
Keterpaduan interspasial membutuhkan adanya interaksi spasial yang
optimal dalam arti terjadinya struktur keterkaitan antar wilayah secara dinamis.
Akibat potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial-ekonomi yang
tersebar secara tidak merata dan tidak seragam, maka diperlukan adanya
mekanisme interaksi intra- dan inter-wilayah secara optimal.
Keterkaitan konsep ruang dan waktu merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Dalam kehidupan umat manusia, khususnya pemanfaatan
sumberdaya wilayah membutuhkan pengaturan ruang dan waktu yang
terintegrasi. Dengan demikian, keterkaitan konsep ruang dan waktu sangat
esensial dalam pengelolaan wilayah Jabodetabek dan perlu diperlakukan secara
eksplisit dalam setiap perencanaan dan pengelolaan, yang diarahkan ke
perbaikan dan penyempurnaan kehidupan manusia. Konsep ruang dan waktu
ini sangat relevan untuk mengkaji berbagai isu yang mencuat ke permukaan,
khususnya mengenai isu-isu keruangan di wilayah Jabodetabek.
Pembentukan Kawasan Metropolitan Jakarta atau yang dikenal dengan
Jabodetabek disebabkan oleh adanya keterkaitan antar wilayah yang membuat
adanya suatu hubungan sehingga setiap kabupaten/kota yang terkait terus
berkembang, belum lagi adanya aliran investasi asing dan dalam negeri serta
kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung pembentukan wilayah
metropolitan. Perkembangan Kota Jakarta yang tadinya merupakan kota kecil
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan seiring dengan adanya
peningkatan perekonomian dan pembangunan infrastruktur telah mendorong
3
pertumbuhan wilayah di sekitarnya sampai terbentuk suatu kawasan metropolitan
seperti sekarang. Saat ini kawasan metropolitan Jabodetabek tidak dapat
dipandang sebagai suatu unit yang berdiri sendiri, akan tetapi terus memberikan
pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah yang terintegrasi.
DKI Jakarta sebagai ibukota negara dan pintu gerbang utama Indonesia
telah melakukan serangkaian kegiatan pembangunan dengan ciri-cirinya sebagai
pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan jasa. Pembangunan yang terus
dilakukan, menyebabkan hubungan dan keterkaitan antar berbagai sektor ekonomi
di DKI Jakarta bergerak ke arah yang semakin kompleks. Perubahan yang terjadi
pada satu sektor tertentu telah berpengaruh timbal-balik pada berbagai sektor
lainnya. Bahkan, perubahan yang terjadi pada sektor ekonomi di DKI Jakarta
telah mempengaruhi daerah sekitamya (hinterland), antara lain Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi (Bodetabek).
Menurut Hidayat (2004), sesuai dengan Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 13 tahun 1976, Bogor, Tangerang dan Bekasi berfungsi sebagai
daerah penyangga bagi DKI Jakarta, dan secara tidak langsung mengisyaratkan
bahwa wilayah tersebut harus mampu untuk menampung limpahan kegiatan-
kegiatan yang tidak terakomodir DKI Jakarta, antara lain: limpahan penduduk,
industri dan perdagangan. Bogor selain menampung pernukiman juga berfungsi
sebagai kantong air untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih bagi penduduk
yang berdomisili di kawasan DKI Jakarta dan Bodetabek, sedangkan Tangerang
dan Bekasi menampung pernukiman dan aktifitas industri. Hidayat (2004) juga
meyebutkan bahwa untuk mendukung pelaksanaan fungsi tersebut diperlukan
pengaturan tata guna lahan yang dikaitkan dengan proporsi lahan yang tersedia
untuk mengalokasikan pembangunan fisik dari sarana dan prasarana yang
dibutuhkan.
Struktur dari wilayah metropolitan Jabodetabek, dapat dilihat dengan
adanya jumlah migrasi yang keluar dan masuk DKI Jakarta dan kota Sekitarnya.
Jumlah ini menunjukkan suatu keterkaitan karena adanya pergerakan yang dapat
disebabkan oleh kegiatan ekonomi (tempat bekerja), perumahan (tempat tinggal),
dan lainnya. Keterkaitan ini juga didukung oleh adanya infrastruktur terutama
transportasi dan komunikasi yang mendorong aliran informasi antar daerah.
6
Perkembangan jumlah penduduk juga dapat memberikan suatu gambaran
bagaimana perkembangan suatu kawasan metropolitan terjadi. Jumlah penduduk
Jakarta sedikit menurun dari tahun 2000 ke tahun 2003, sedangkan keadaan yang
sebaliknya terjadi pada wilayah kabupaten, dimana jumlah penduduk pada tahun
2003 meningkat dari 7,58 juta jiwa menjadi 8,90 juta jiwa. Pertumbuhan ini dapat
disebabkan oleh adanya pertumbuhan alamiah atau pun adanya migrasi.
Penurunan ini juga terjadi pada tahun 2003, bersamaan dengan itu terjadi
pertambahan jumlah penduduk pada Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor,
serta Kota Depok. Pertambahan tersebut mengindikasikan adanya gejala sub
urbanisasi dengan didukung oleh peningkatan pembangunan infrastruktur seperti
jalan, transportasi umum, bahkan perumahan yang mendorong pergerakan keluar
dari pusat atau inti.
Pertumbuhan kepadatan penduduk yang pesat meningkatkan eksploitasi
sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga daya dukung dan daya tampung
lingkungan berpeluang terlampaui. Hal ini mendorong adanya perambahan
pemanfaatan ruang pada kawasan yang seharusnya dikonservasi dan dilindungi,
seperti konversi lahan pertanian sawah dan bantaran sungai menjadi perumahan
dan industri. Dengan demikian, pemanfaatan ruang dan konversi lahan pada
kawasan Jabodetabek ini harus didasarkan pada aspek ekonomi dan ekologi
dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah dikemudian hari.
Namun kenyataanya adanya penyalahgunaan peruntukan lahan pada kawasan
Jabodetabek, terutama permasalahan lingkungan yaitu perubahan penggunaan
lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya sehingga banjirpun menjadi
bencana yang rutin terjadi setiap tahun, kerusakan lingkungan, kini semakin
berkembang.
Sebagai ibukota negara dan pusat perdagangan dan jasa, peran sektor
pertanian dan sektor pertambangan dalam struktur perekonomian DKI Jakarta
sangat tidak berarti, dan sebaliknya peran sektor industri, sektor perdagangan dan
sektor jasa amat berarti. Berdasarkan data-data BPS bahwa selama periode 1993-
2002, peran sektor pertanian pada pembentukan produk domestik regional bruto
(PDRB) relatif kecil dan tendensi menurun yaitu dari 0,28 persen di tahun 1993
menjadi 0,21 persen di tahun 2002. Penurunan kontribusi sektor pertanian ini juga
7
diimbangi dengan peningkatan peran tiga sektor terbesar yaitu sektor industri dari
20,95 persen monjadi 21,64 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran dari
22,14 persen menjadi 23,81 persen, dan sektor keuangan, persewaan bangunan
dan jasa perusahaan dari 22,64 persen menjadi 23,66 persen. Sementara, laju
pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mencapai 8,61 persen ditahun 1994 menjadi
3,99 persen di tahun 2002 atau laju pertumbuhannya hanya meningkat sebesar
2,92 persen pertahun. Perekonomian mulai meningkat menjadi 4,33 persen di
tahun 2000, sedikit melambat menjadi 3,64 persen tahun 2001, dan meningkat
lebih tinggi menjadi 3,99 persen di tahun 2002. Laju pertumbuhan sektoral yang
paling dominan selama periode 1993-2002 adalah sektor listrik, gas dan air
minum sebesar 4,89 persen, diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi 4,31
persen, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 3,89 persen.
Sementara itu, laju pertumbuhan untuk sektor lainnya hanya meningkat dibawah
3,00 persen babkan minus 2,59 persen untuk sektor pertanian. Laju pertumbuhan
ekonomi DKI Jakarta yang masih dibawah rata-rata nasional sebesar 5,00 persen,
mengindikasikan bahwa kemajuan ekonomi di daerah yang didominasi oleh sektor
barang akan menangkatkan kemajuan DKI Jakarta yang didominasi oleh sektor
jasa-jasa dan keuangan. Keberhasilan pembangunan ekonomi DKI Jakarta yang
diukur dengan perubahan struktur juga didukung oleh investasi dan komposisi
ekspor. Peran investasi mencapai 49,66 persen pada tahun 1993, namun mulai
menurun setelah krisis 1997 menjadi 38,36 persen pada tahun 2002. Sementara
itu, peranan ekspor mencapai 55,91 persen pada tahun 1993 dan menurun menjadi
48,12 persen.
Untuk Bodetabek, kontribusi sektor industri secara rata-rata mencapai
sebesar 58,12 persen, disusul sektor perdagangan 16,82 persen dan sektor
pertanian 5,28 persen, sedangkan kontribusi sektor lainnya dibawah 6,00 persen.
Sementara, laju pertumbuhan ekonomi Bodetabek mencapai rata-rata 6,64 persen
pertahun. Sektor yang kenaikannya paling tinggi adalah sektor listrikk, gas, dan
air minum sebesar 9,35 persen, diikuti sektor perdagangan sebesar 8,29 persen,
sektor industri 7,73 persen. Untuk sektor pertanian terjadi perlambatan
pertumbuhan sebesar minus 1,03 persen. Sektor tradisional yang mencakup
sektor pertanian dan pertambangan menunjukkan adanya penurunan peran dalam
8
pembentukan nilai tambah di DKI Jakarta sebaliknya sektor modern yang terfokus
pada sektor industri dan sektor jasa menunjukkan peningkatan yang cukup berarti.
Salah satu bentuk implikasi fisik dari dinamika pertumbuhan penduduk dan
aktivitas sosial ekonomi di kawasan Jabodetabek dapat terlihat dari dinamika
perubahan penggunaan lahan yang dapat didekati dari analisis perubahan
penutupan lahan (land cover). Kecenderungan perubahan penggunaan lahan di
Kawasan Jabodetabek dari tahun 1972 hingga tahun 2009, terlihat sangat
signifikan terutama untuk areal terbangun (built-up area). Pada tahun 1972,
areal permukiman tampak hanya terkonsentrasi di DKI Jakarta. Kemudian pada
tahun 2005, tampak terjadi peningkatan areal permukiman yang secara visual
menyebar menuju Bogor, Tangerang dan Bekasi. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Keterangan: Warna merah adalah lahan terbangun
Sumber: Tahun 19722005 (Rustiadi dan Tim P4W, 2007) sedangkan 2009 hasil interpretasi citra TM7
Gambar 1. Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek Tahun
1972 2009
1.2. Perumusan Masalah
Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah
pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam skala nasional,
9
proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata di sisi lain telah
menimbulkan masalah pembangunan yang cukup kompleks, dan cenderung akan
mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang sangat
besar (Anwar, 2005), Dalam penelitian ini, wilayah DKI Jakarta merupakan pusat
dari aktivitas masyarakat yang didominasi oleh sektor tersier, serta wilayah
Bodetabek yang merupakan wilayah penyangga DKI Jakarta didominasi oleh
sektor sekunder. Sedangkan wilayah Sisa Indonesia masih didominasi oleh sektor
primer. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan
pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan
sumberdaya yang berlebihan.
Semakin berkembangnya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan
dengan segala aspek kehidupannya, yang berlangsung secara terus-menerus akan
mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena
wilayah kota secara administratif terbatas, maka harus mengalihkan perhatiannya
ke daerah pinggiran kota. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah
perkembangan kota yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang
berdampak pada perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggian kota. Pokok
persoalan yang terdapat di daerah urban fringe pada dasarnya dipicu oleh proses
transformasi spasial dan sosial akibat perkembangan daerah urban yang sangat
intensif. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota
yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada
perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggiran kota.
Pembangunan ekonomi di DKI Jakarta yang ditunjukkan dengan
peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang telah menyebabkan
perubahan struktur ekonomi sektoral dan mempengaruhi permintaan akhir, telah
berpengaruh pada perkembangan perekonomian dan penggunaan lahan di
Bodetabek. Meningkatnya perekonomian Bodetabek ini dapat dilihat dan
meningkatnya output dan pendapatan dan kaitannya dengan perubahan
penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.
Perubahan pemanfaatan ruang yang tidak mempehitungkan keseimbangan
geobiofisik akan berakibat kepada kemubaziran atau sebaliknya bencana alam
yang terjadi. Pemanfaatan ruang optimum merupakan pemanfaatan ruang yang
10
memberikan kesempatan tiap komponen aktivitas dalam unit ruang tersebut
berinteraksi secara maksimal sesuai daya dukung kawasan yang pada akhirnya
memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang berkepentingan
secara berkelanjutan. Aktivitas manusia, baik sosial maupun ekonomi merupakan
sumber perubahan dalam pemanfaatan ruang atau kawasan. Dinamika sosial yang
diikuti oleh dinamika aktivitas ekonomi akan selalu membawa perubahan tata
ruang yang dinamis pula. Oleh karena itu, sifat dinamis tersebut perlu
dipertimbangkan dalam pendekatan optimalisasi pemanfaatan ruang (Anwar,
2001).
Dalam pembangunan suatu daerah diperlukan suatu alat yang mampu
menganalisis dampak dan keterkaitan antarsektor dan antarspasial dalam
perekonomian. Untuk menganalisis dampak perekonomian suatu daerah atau
nasional dan melihat hubungan dan keterkaitan antarsektor perekonomian
biasanya digunakan tabel input- output.
Atas dasar isu keruangan tersebut menuntut adanya suatu komitmen yang
jelas dari para perencana, pengelola dan pengusaha di wilayah Jabodetabek, agar
tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya berkelanjutan serta tujuan pembangunan
ekonomi berkelanjutan dapat tercapai. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu
pada hakekatnya diperlukan suatu kearifan dalam penataan ruang, pengelolaan
dan pengusahaan, sehingga diperlukan adanya suatu konsep dinamis yang dapat
mengatur pemanfaatan sumberdaya wilayah Jabodetabek secara optimal, akan
tetapi tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Konsep dinamis yang
dimaksud adalah adanya suatu desain sistem terhadap pemanfaatan sumberdaya,
sehingga secara simultan dapat diketahui tingkat pemanfaatan saat ini dan masa
mendatang. Model dinamik sangat memungkinkan untuk dapat mengatur
berbagai opsi antara tujuan optimasi pemanfaatan ruang dengan berbagai
perubahan variabel secara berkelanjutan, dengan suatu bentuk pola transformasi
dan pemodelan.
Penelitian ini dilakukan di Jabodetabek karena:
1. Kawasan Jabodetabek merupakan kawasan dengan peranan strategis di
dalam pembangunan nasional baik dalam struktur perekonomian maupun
11
dalam konteks politik, sosial, budaya dan hankam. Perkembangan ini perlu
dicermati secara seksama agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan
terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan mengingat sangat
besarnya peranan nasional, ekonomi, politik dan hankam, maupun
lingkungan di wilayah ini terhadap pembangunan wilayah maupun
nasional.
2. Proses suburbanisasi merupakan proses global yang tengah berlangsung di
berbagai metropolitan dunia. Wilayah Jabodetabek mengalami proses
suburbanisasi dengan berbagai keunikan dan kecenderungan yang
berimplikasi khusus terhadap wilayah lainnya secara nasional.
3. Wilayah Jabodetabek dicirikan oleh keterkaitan antar wilayah (regional
linkages) yang sangat tinggi, seperti dalam masalah keterkaitan ekosistem
seperti adanya daerah aliran sungai (DAS) yang bersifat lintas wilayah serta
masalah sosial yang dicirikan dengan intensitas menglajo (commuting) dari
wilayah suburban ke pusat perkotaan serta semakin menonjolnya fenomena
migrasi keluar (out migration) dari kota Jakarta ke suburban.
4. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dengan Puncak dan Cianjur
(Jabodetabekpunjur) merupakan salah satu contoh kawasan yang
direncanakan ditata secara formal melalui Keppres. Rancangan ini
didasarkan pada suatu kesadaran akan fakta bahwa Jabodetabekpunjur
merupakan satu sistem yang utuh yang setiap dinamika komponennya
mempengaruhi dinamika komponen yang lain. Hubungan fungsional
ekologis-ekonomis antar wilayah tersebut sulit untuk dipisahkan secara
tegas. Geliat perekonomian di wilayah Bodetabekpunjur dipengaruhi oleh
geliat ekonomi Jakarta. Di sisi lain, geliat aktifitas yang mempengaruhi
kondisi ekologis Bodetabekpunjur akan mempengaruhi kondisi Jakarta.
Berdasarkan pada pemahaman wilayah Jabodetabek sebagai satu kesatuan
sistem, maka perlu dilihat dinamika yang terjadi di wilayah tersebut.
Disain model penataan ruang di wilayah Jabotabek ini diharapkan
merupakan suatu kajian transformasi spasial dengan pendekatan sistem dinamik
dalam penataan ruang kearah yang berkelanjutan. Pendekatan ini didasari oleh
12
prinsip umpan balik (causal loops) antar subsistem lingkungan, subsistem sosial
dan subsistem ekonomi. Salah satu karakteristik dari proses pola transformasi
spasial tersebut adalah adanya bentuk pemodelan yang bersifat dinamis dan
kuantitatif guna menghasilkan keputusan yang rasional, terukur dan transparan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah
1) Bagaimana pola transformasi spasial yang terjadi pada kawasan
Jabodetabek?
2) Bagaimana keterkaitan intersektoral dan interspasial dalam penataan ruang
kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan?
3) Bagaimana dampaknya terhadap perubahan output dan penggunaan lahan
secara sektoral dan spasial Bodetabek apabila investasi DKI Jakarta
diubah.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengkaji pola transformasi spasial yang terjadi pada kawasan
Jabodetabek.
2. Mengkaji keterkaitan intersektoral dan interspasial dalam penataan ruang
kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan.
3. Menganalisis dampak peningkatan investasi DKI Jakarta terhadap
perubahan output dan penggunaan lahan secara sektoral dan spasial
Bodetabek.
1.4. Manfaat Penelitian
Dari sisi teoritis akademis penelitian ini akan memperkaya teori-teori
mengenai perkembangan wilayah perkotaan dan perdesaan, khususnya mengenai
keterkaitan baik secara sektoral maupun spasial di kawasan Jabodetabek.
Kontribusi terhadap ilmu pengetahuan yang berasal dari originalitas tema
penelitian yang belum banyak diteliti, aspek-aspek metodologis yang diterapkan
dalam studi khususnya menggabungkan sistem dinamik dengan IRIO. Dari sisi
13
praktis empiris, penelitian ini bermanfaat dalam membangun kerangka pikir dan
perumusan kebijaksanaan pembangunan wilayah dengan memperhatikan
keterkaitan wilayah perkotaan dan perdesaan secara dinamik.
1.5. Kebaruan (Novelty)
Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal yaitu dari segi
pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis
secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis yaitu analisis
sistem dinamik, analisis I-O interregional dan analisis spasial untuk dapat
menghasilkan pola penggunaan lahan kawasan Jabodetabek secara terpadu dan
berkelanjutan.
Hasil dari model ini menggunakan prinsip-prinsip keterpaduan dalam
pengelolaan kawasan antara lain (1) keterpaduan sektor yaitu antar sektor
pertanian dengan lahan terbangun (pemukiman, industri, jasa dll), (2) keterpaduan
wilayah yaitu antara DKI Jakarta dengan Bodetabek yang masuk dalam satu
kawasan metropolitan, dan (3) keterpaduan sosial, ekonomi dan fisik lahan.
1.6. Kerangka Berpikir
Ruang sebagai bentuk konstruksi interaksi masyarakat yang terbentuk
dalam jangka waktu tertentu dan berubah secara dinamis karena dipengaruhi oleh
banyak aspek, seperti sosial, politik, ekonomi, geografi, dan lain-lain. Dalam
sudut pandang ini ruang bukanlah suatu bentuk statis yang hanya bisa dilihat dari
segi fisik saja, namun juga terbentuk oleh faktor-faktor non-fisik. Sehingga ruang
tidak hanya bisa dibentuk dalam selembar kertas, kemudian melupakan aktivitas
sebenarnya yang terjadi di realita. Dikarenakan manusia, sebagai komponen
utama dalam kota selalu berkembang. Populasi yang meningkat akan
mempengaruhi jumlah permintaan lahan, air bersih, fasilitas kesehatan, fasilitas
pendidikan, ketersedian jalan dan lain-lain, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi ruang hidup manusia. Oleh karena itu, baik dalam perencanaan
ataupun dalam implementasi, perencanaan ruang harus mengacu pada kebutuhan
14
di realita. Interaksi yang terjadi harus dapat diwadahi dalam ruang-ruang yang
sesuai.
Perubahan ruang, merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi bukan
berarti semua perubahan ruang berdampak baik bagi kehidupan manusia.
Transformasi spasial merupakan sebuah proses perubahan ruang dari yang
bercirikan perdesaan menjadi perkotaan atau juga dapat disimpulkan sebagai
sebuah proses perkembangan daerah di daerah sub-urban atau pinggiran kota,
kehidupan manusia akan didorong ke arah modern. Kehidupan modern yang
diidentifikasi melalui kegiatan perekonomiannya, akan menimbulkan dua sisi
dampak yang berbeda. Perkembangan ini antara lain ditunjukkan oleh tingginya
pertumbuhan penduduk, peningkatan investasi, dan kontribusi sektor non agraris
serta cepatnya proses alih fungsi lahan. Sebagai daerah transisi penghubung,
daerah sepanjang koridor mengalami proses perubahan yang tinggi akibat tekanan
kegiatan-kegiatan perkotaan yang terus meningkat yang tidak saja berdampak
pada perubahan spasial akan tetapi juga aspek sosio-ekonomi dan kultural
penduduk. Secara spasial daerah ini dicirikan dengan perubahan tata guna lahan
pertanian menjadi guna lahan industri komersial atau permukiman (McGee,
1991).
Perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh wilayah
sekitarnya, terutama antara wilayah kota dengan wilayah pinggirannya. Sejalan
dengan perkembangan kota Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan,
perdagangan dan jasa, Bodetabek sebagai daerah penyangga secara langsung
menerima dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota tersebut. Salah
satu pengaruh yang mulai jelas terlihat adalah terjadinya urban sprawl. Urban
sprawl merupakan suatu proses peluberan kegiatan perkotaan ke wilayah
pinggiran, dengan kata lain terjadi proses perembetan kenampakan fisik
kekotaan ke arah luar yang menyebabkan transformasi spasial dari bentuk-
bentuk kedesaan menjadi bentuk-bentuk kekotaan. Proses transformasi spasial
ini dapat terjadi lebih dahulu dari proses transformasi sosio kultural, namun
dapat pula terjadi sesudah terjadinya transformasi sosio kultural kedesaan
menjadi bersifat kekotaan.
13
Gambar 2. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan (Djakapermana, 2010)
Dalam Pengembangan pemodelan spasial dinamik dilakukan dengan
terlebih dahulu mengkaji berbagai model yang telah ada. Kajian ini dibagi ke
dalam tiga kategori yakni model ekonomi, model ekologi, dan model sosial
berdasarkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan Berkelanjutan pada
dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan
lingkungan. Dengan demikian, tujuan Pembangunan Berkelanjutan terfokus pada
ketiga dimensi, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic
growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social
progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan
seimbang (ecological balance). Hubungan keterkaitan antara dimensi ekonomi,
sosial dan lingkungan disajikan pada Gambar 2.
Pemodelan yang akan dibangun mempertimbangkan ketiga dimensi di atas
dalam satu kesatuan, sehingga akan ada suatu trade-off antara satu dimensi
dengan dimensi lainnya. Pemodelan ini nantinya dapat digunakan untuk
menyusun alternatif-alternatif skenario pembangunan yang mendukung
terwujudnya proses pembangunan berkelanjutan. Selain mempertimbangkan
Ekonomi
Pertumbuhan
Efisiensi
Stabilitas
Sosial
Pemberdayaan
Inklusi
Konsultasi
Lingkungan
Keliatan/keanekaragaman
Sumber daya alam
Polusi
Penurunan Kemiskinan
Keberlanjutan
Keadilan
Co-evolusi
16
ketiga dimensi tersebut dalam penyusunan model tersebut juga dikaitkan dengan
perubahan-perubahan penatagunaan lahan (land use changes) akibat adanya
pembangunan tersebut. Mengingat dikaitkan dengan perubahan tata guna lahan,
maka model yang digunakan bukan merupakan model statik tetapi merupakan
model sistem dinamik yang digabungkan dengan model dinamis spasial.
Selanjutnya, ketiga subsistem tersebut akan dilihat kinerjanya terhadap perubahan
lahan secara spasial. Dalam menganalisis perubahan lahan, penting memberi
penjelasan tentang terminologi perubahan untuk mendeteksinya dalam dunia
nyata. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai (secara
kuantitatif) perubahan besaran (bertambah atau berkurang) dari suatu jenis
penggunaan atau tutupan lahan. Pendeteksian dan pengukuran perubahan
tergantung kepada level ruang (spasial): semakin tinggi detil dari level spasial,
semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam.
Fokus analisis perubahan penggunaan lahan terletak pada dua hal yang
saling berkaitan: (1) faktor yang mendorong atau menyebabkan perubahan
penggunaan lahan dan (2) dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut
(baik secara ekologi maupun sosial-ekonomi). Faktor-faktor pendorong perubahan
penggunaan lahan biasanya terbagi dalam 2 kategori, yaitu: kondisi bio-fisik dan
kondisi sosial-ekonomi. Faktor bio-fisik melibatkan karakteristik dan proses
ekologi alamiah seperti cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses
geomorfik, erupsi vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan
ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan faktor sosial-ekonomi melibatkan
persoalan demografi, sosial, ekonomi, politik dan kelembagaan, serta proses-
proses yang terjadi di dalamnya seperti perubahan penduduk, perubahan struktur
industri, perubahan teknologi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
Faktor bio-fisik tidak mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara
langsung, kebanyakan hanya menyebabkan terjadinya perubahan pada tutupan
lahan, atau mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut.
Keputusan pengelolaan terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor perubahan
yang berkaitan dengan aktivitas manusia.
17
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
18
Berdasarkan uraian di atas untuk memperoleh alokasi penggunaan lahan
dalam rangka penataan ruang kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan dengan
menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik
analisis yaitu analisis sistem dinamik, I-O interregional dan spasial dinamik
maka dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.

Anda mungkin juga menyukai