Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 2

The Case of Mr. G

TUTOR : dr. Fajar Wahyu P.

Disusun oleh : Nisa Hermina Putri G1A008043

BLOK BIOETHIC AND HEALT LAW 1 JURUSAN KEDOKTERAN UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2009

BAB I PENDAHULUAN

Kanker adalah penyakit neoplasma ganas, yaitu penyakit dengan kondisi sel yang tumbuh tanpa batas, liar dan tidak terkendali sehingga dapat merusak bentuk dan fungsi organ yang ditumbuhinya. Cepat maupun lambat kondisi semacam ini dapat mematikan si penderita dalam keadaan yang mengenaskan. Kanker dalam kondisi parah dapat menyebar ke organ lain seperti paru, hati, otak, tulang, kulit, jaringan lunak, dan sebagainya. Itulah mengapa kanker menjadi penyakit yang sangat ditakuti oleh manusia. Bahkan di Maroko, kanker tidak disebut sebagai As Sarathan (bahasa Maroko yang berarti kanker), tetapi disebut sebagai Al ghawl (tabu) atau Al Maradl Al Khabits (penyakit kotor). Begitu takutnya manusia terhadap penyakit ini membuat mereka kehilangan semangat hidup ketika menghadapi kenyataan bahwa mereka mengidap kanker bahkan apabila sampai pada stadium akhir (stadium 4). Banyak penderita kanker yang sulit mencapai tahap penerimaan / pasrah setelah divonis oleh dokter. Mereka kehilangan optimisme hidup karena beranggapan bahwa waktu yang mereka miliki tak banyak lagi. Hal inilah yang menjadi masalah bagi keluarga maupun tenaga kesehatan dalam menentukan pilihan menyampaikan berita buruk ini kepada pasien atau tidak. Banyak keluarga pasien yang meminta dokter untuk tidak memberi tahu pasien dengan alasan utama tidak ingin melihat pasien sedih. Tetapi sesungguhnya pasien memiliki hak untuk mengetahui kondisi kesehatannya dan dokter pun memiliki kewajiban untuk meberitahu pasien (doing good). Hal tersebut telah diatur dalam UU tentang praktik kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 dan

Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 18/KKI/KEP/IX/2006. Hanya saja perlu mempertimbangkan cara, waktu dan materi yang tepat dalam penyampaiannya agar tidak membuat efek buruk pada pasien (do no harm).

Dengan keterbukaan ini, akan ada banyak manfaat yang diperoleh. Pemberian informasi ini tentunya akan membuat pasien lebih siap menerima berbagai kemungkinan yang akan menimpanya dan memberi waktu pada pasien untuk menghadapinya. Misalnya, pasien akan tahu bahwa kanker yang diidapnya akan menimbulkan rasa nyeri yang sewaktu-waktu bisa kambuh, akibatnya pasien akan membawa obat-obatan penghilang rasa nyeri ke mana pun mereka pergi guna mengurangi penderitaan. Contoh lain misalnya, pasien akan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan YME karena mereka tahu bahwa sewaktu-waktu ajal mereka akan datang. Pada akhirnya, semua ini berdasar pada kepentingan pasien yang harus dijadikan prioritas oleh dokter seperti sebuah pepatah Aegroti Salus Lex Suprema, yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (utama) dan seperti pada ketentuan yang tercantum pada Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 18/KKI/KEP/IX/2006 pasal 7 tentang kewajiban dokter. Sehingga yang diperlukan adalah keseimbangan antara doing good dan do no harm.

Skenario

The Case of Mr. G

Mr. G, 70 tahun, didiagnosis terkena kanker paru bilateral invasif dengan metstasis ke tulang, beberapa hari setelah ia dikirim ke rumah sakit. Dokter menjelaskan diagnosis dan kondisi Mr. G kepada keluarganya. Menurut dokter, Mr. G hanya memiliki waktu sekitar 6 12 bulan lagi. Karena penyakit Mr. G sudah masuk stadium lanjut, dokter tidak menyarankan untuk dilakukan tindakan bedah. Atas permintaan keluarga, dokter memberikan kemoterapi meski peluang keberhasilan sangat kecil. Atas desakan keluarga juga, Mr. G tidak diberitahu tentang kondisi sebenarnya. Mr. G agak cemas dengan kondisinya, sementara semua orang di sekelilingnya sudah dipesan untuk tidak menceritakan yang sebenarnya kepada Mr. G.

Pertanyaan

1. Jika Anda adalah Mr. G, apakah Anda ingin mengetahui bahwa Anda menderita kanker stadium akhir? Mengapa? 2. Apakah yang akan Anda lakukan jika Anda adalah Mr. G? 3. Apakah Anda akan memberitahu orang tua Anda jika mereka menderita kanker stadium akhir? Mengapa? 4. Bagaimana perasaan Anda jika Anda menemukan / mengetahui pada saatsaat terakhir kehidupan Anda bahwa keluarga Anda menyembunyikan informasi tentang penyakit Anda? 5. Cobalah menulis sebuah pesan (wasiat) tentang bagaimana Anda ingin diperlakukan atau dirawat apabila Anda dalam keadaan sekarat! 6. Apakah keuntungan dan resiko berterus terang menyampaikan berita buruk kepada pasien? 7. Menurut Anda, apakah faktor budaya berpengaruh terhadap sikap untuk menyampaikan berita buruk? Bagaimana di Indonesia?

BAB II PEMBAHASAN

1. Jika Anda adalah Mr. G, apakah Anda ingin mengetahui bahwa Anda menderita kanker stadium akhir? Mengapa?

Apabila saya menjadi Mr. G, saya ingin mengetahui bagaimana pun kondisi saya. Termasuk ketika saya ternyata menderita kanker stadium akhir, karena dengan begitu saya dapat melakukan beberapa tindakan yang bermanfaat di sisa waktu hidup saya. Adapun tindakan yang dapat dilakukan meliputi : Upaya-upaya paliatif yakni upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup saya (Quality of Life) seoptimal mungkin. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala yang timbul karena pada kanker stadium akhir (stadium 4) secara teori sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Beberapa hal yang dapat dilakukan ialah dengan meminum obat untuk mengurangi keluhan fisik seperti nyeri yang berkepanjangan, mual, perdarahan, borok, sakit kepala dan lain sebagainya. Upaya-upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME karena pada saat-saat seperti itu sangatlah penting untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME agar dapat menumbuhkan semangat hidup dan optimisme dalam menghadapai sisa hidup serta mempersiapkan diri untuk menghadapi ajal yang sewaktu-waktu dapat menjemput. Keingintahuan akan kondisi yang saya alami juga bukanlah sebuah keinginan yang hanya bersumber dari sebuah kewenanangan subjektif melainkan telah diatur pula dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 18/KKI/KEP/IX/2006, di mana salah satu hak pasien adalah mendapatkan penjelasan yang lengkap tentang keadaannya, pengobatan yang bisa ditempuh, pengobatan alternatif, peluang keberhasilan dan resiko dari proses pengobatan, serta kejadian-kejadian yang mungkin terjadi.

2. Apakah yang akan Anda lakukan jika Anda adalah Mr. G?

Ketika saya memeriksakan diri ke dokter atas beberapa keluhan yang saya rasakan, saya akan menunggu penjelasan dari dokter mengenai kondisi kesehatan saya yang sebenarnya. Namun, apabila dalam kenyataannya ada fakta-fakta yang disembunyikan (misalnya dalam kasus ini akibat diminta oleh keluarga saya), tentunya saya akan merasakan sedikit kejanggalan karena apa yang dirasakan seolah-olah tidak sesuai dengan apa yang diberitakan dokter. Untuk mengatasi hal tersebut, saya akan berusaha mencari tahu kebenarannya dengan menanyakan langsung kepada anggota keluarga saya atau kepada dokter tersebut tanpa sepengetahuan keluarga saya dengan meyakinkan mereka bahwa saya memiliki hak untuk mengetahui kondisi saya dan saya akan baik-baik saja (menerima semua kenyataan yang terjadi). Apabila kedua jalan tersebut tidak membuahkan hasil, saya akan mencari dokter lain dan meminta untuk diperiksa tentunya tanpa sepengatahuan keluarga. Setelah saya megetahui keadaan yang sebenarnya walaupun itu sangat menyakitkan, saya akan berusaha untuk melakukan hal-hal berikut ini : a. Mengoptimalkan upaya-upaya paliatif untuk mengatasi berbagai keluhan fisik yang saya alami. b. Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME. c. Menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan positif atau bahkan tetap bekerja karena sebuah penelitian menyebutkan bahwa orang yang menderita kanker memiliki produktivitas yang sama dengan orang normal dalam hal pekerjaan . Ketiga hal tersebut adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas hidup saya paling tidak di masa akhir kehidupan saya. Option nomor 1 adalah salah satu bentuk upaya untuk mengurangi keluhan fisik sedangkan option nomor 2 dan 3 cenderung merupakan upaya untuk mengurangi keluhan mental seperti rasa sepi, kesendirian, putus asa, takut,

cemas, was-was, ingin dicintai, disayangi, kebutuhan akan spiritual serta dukungan sosial dan mental.

3. Apakah Anda akan memberitahu orang tua Anda jika mereka menderita kanker stadium akhir? Mengapa?

Lambat laun saya akan meberitahu orang tua saya apabila mereka menderita kanker stadium akhir. Tujuannya masih tetap sama yakni dengan pengetahuan mereka akan kondisnya, mereka akan lebih siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan timbul. Selain itu, pemberitahuan ini dimaksudkan untuk menghindari kejadian doctor shopping, di mana seseorang yang merasa dirinya tidak dalam kondisi yang baik akan berusaha mencari jawaban sendiri dengan berpindahpindah dari dokter yang satu ke dokter yang lain. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan bahwa setiap dokter memberikan obat dan nasihat yang berbeda-beda dan dikhawatirkan akan terjadi interaksi obat yang tidak diinginkan. Pemberian informasi ini bisa dilakukan oleh kita sendiri (anggota keluarga) atau meminta bantuan dokter dan atau psikiater dengan asumsi bahwa mereka memiliki pemahaman yang baik mengenai kondisi orang tua kita serta cara yang tepat untuk menyampaikan berita buruk. Dokter pun di sini memiliki kapasitas berupa kewajiban untuk menyampaikan informasi kepada pasien secara jelas seperti tercantum dalam Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 18/KKI/KEP/IX/2006. Namun pada dasarnya, siapa pun yang menyampaikan berita ini haruslah berpedoman pada hal-hal berikut : a. Informasi yang diberikan haruslah dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien. b. Pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan-tindakan yang akan diambil, kemungkinan komplikasi dan resiko-resikonya.

c. Untuk anak-anak dan pasien penyakit jiwa, maka informasi diberikan kepada wali atau orang tuanya. Penyampaian berita buruk kepada pasien haruslah memperhatikan hal-hal berikut : a. Materi yang akan disampaikan. b. Batasan informasi / sejauh mana materi yang akan disampaikan. c. Siapa yang akan diberi informasi tersebut (berkaian dengan faktor umur, pendidikan, keadaan umum, dan keadaan mental). d. Waktu yang tepat untuk menyampaikan berita. e. Tempat yang tepat untuk menyampaikan berita. f. Cara yang tepat untuk menyampaikannya. Terdapat 4 level dalam proses penyampaian berita buruk kepada seseorang atau anggota keluarga. Keempat level tersebut meliputi : a. Closed awareness yakni berupa tahapan masih menyembunyikan kebenaran dari pasien. Jadi, dokter, perawat maupun keluarga meminimalisasi percakapan mengenai penyakit pasien dan lebih sering membicarakan mengenai masa depan dan harapan-harapan. b. Suspicion awareness yakni berupa tahapan di mana pasien mulai curiga dan mencari tahu kondisi kesehatannya dengan bertanya kepada dokter atau staf atau bahkan meminta catatan kesehatannya. c. Mutual pretence yakni tahapan setelah akhirnya pasien mengetahui dari hasil usahanya, staf kesehatan ataupun keluarga memberi motivasi kepada pasien. d. Open awareness yakni keadaan yang sudah benar-benar terbuka sehingga tidak ada lagi yang disembunyikan dan tiba saatnya untuk menyusun rencana-rencana berkaitan dengan penyakit yang diderita.

4. Bagaimana perasaan Anda jika Anda menemukan / mengetahui pada saat-saat terakhir kehidupan Anda bahwa keluarga Anda

menyembunyikan informasi tentang penyakit Anda?

Perasaan saya ketika mengetahui pada saat-saat terakhir kehidupan saya bahwa keluarga saya menyembunyikan informasi tentang penyakit saya tentunya saya akan merasa kecewa di awal karena bagaimana pun juga mengetahui kondisi kesehatan saya yang sebenarnya adalah hak saya, namun keluarga tidak memberikannya. Selama ketidaktahuan itu saya mungkin akan merasakan penurunan kondisi fisik dan stres tetapi tidak dapat berbagi kecemasan dan kesedihan kepada orang lain karena tidak paham sakit apa yang saya derita. Selain itu, saya juga tentunya akan merasa terisolasi karena tidak dilibatkan dalam pembicaraan-pembicaraan yang berkenaan dengan keadaan saya. Pemenuhan hak untuk mengetahui kondisi kesehatani ini sangatlah penting guna menentukan langkahlangkah apa yang akan ditempuh dan diupayakan. Namun, saya tidak akan terus menerus larut dalam kekecewaan karena saya pun harus bisa memahami bahwa keluarga saya memiliki alasan tertentu untuk tidak meberitahukan kondisi saya. Selain itu, saya pun tidak ingin diam saja sehingga saya akan berusaha menghilangkan kekecewaan pada keluarga di sisa hidup saya dan terus melangkah, melakukan berbagai hal yang belum dan ingin saya lakukan.

5. Cobalah menulis sebuah pesan (wasiat) tentang bagaimana Anda ingin diperlakukan atau dirawat apabila Anda dalam keadaan sekarat!

Saya mendefinisikan sekarat di sini adalah suatu masa di mana hampir tidak ada aktivitas fisik yang dapat saya lakukan, sehingga tidak memungkinkan bagi saya untuk melakukan apa yang saya wasiatkan oleh diri saya sendiri. Namun, apabila memang saya masih diberikan kekuatan

untuk bisa melakukannya, tentunya saya akan berusaha untuk melakukan apa yang saya inginkan sendriri. Dalam pesan wasiat, saya ingin mengajukan beberapa permintaan berkaitan dengan bagaimana saya ingin dirawat dan diperlakukan. Permintaan tersebut meliputi : a. Untuk tidak ditinggalkan selama saya dalam kondisi sekarat. b. Untuk terus dibimbing guna mendekatkan diri kepada Tuhan YME. c. Apabila saya sekarat dalam masa saya masih memiliki kewajiban untuk menutup aurat, saya akan meminta sebisa mungkin untuk tetap memasangkan jilbab ketika ada seseorang yang bukan muhrim yang melihat saya (berkaitan dengan keyakinan / agama yang saya anut).

6. Apakah keuntungan dan resiko berterus terang menyampaikan berita buruk kepada pasien?

Penyampaian berita buruk kepada pasien dapat memberikan keuntungan serta resiko baik bagi pasien itu sendiri mapun bagi dokter yang memberitahukan. Keuntungan bagi pasien diantaranya ialah pasien terpenuhi haknya, merasa dihargai karena diberi tahu kondisinya serta diikutsertakan dalam pengambilan keputusan untuk jenis pengobatan atau upaya paliatif apa yang akan ditempuh. Selain itu, dengan diberitahunya pasien akan kondisi kesehatannya (walaupun kondisi buruk), pasien akan lebih siap dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang muncul akibat penyakitnya tersebut sehingga akan meningkatkan quality of life (QOL) dan dapat memnentukan bagaimana ia ingin diperlakukan serta dirawat dalam sisa hidupnya. Resiko bagi pasien yang mungkin timbul adalah kurang siapnya pasien dalam menghadapi kenyataan buruk tersebut sehingga dapat

menjatuhkan mental pasien dan membuat pasien menjadi shock, melakukan penolakan, marah sampai depresi. sehingga tidak menutup

kemungkinan justru memperparah keadaan pasien akibat adanya perasaan was-was dan stres akan kondisinya. Keuntungan bagi dokter ialah terpenuhinya kewajiban dokter untuk menyampaikan kondisi pasien yang sebenarnya sesuai dengan isi pasal 53 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Selain itu, dokter pun bisa lebih terbuka dan leluasa dengan pasien maupun keluarga pasien dalam berdiskusi guna menentukan langkah-langkah pengobatan apa yang akan ditempuh.
Resiko bagi dokter salah satunya ialah dijadikan sasaran kemarahan

pasien yang kecewa mendengar berita buruk darinya karena dalam penerimaan berita buruk, pasien akan mengalami beberapa fase sebagai bentuk reaksi terhadap berita buruk tersebut. Fase perubahan mental-emosional yang biasa dilalui penderita dalam menghadapi penyakit berat termasuk kanker ialah : a. Fase pertama : Pengingkaran dan isolasi. Setelah seseorang mengetahui bahwa dirinya menderita kanker, reaksi yang umum ditunjukkan adalah mengingkari kenyataan tersebut. Kata-kata yang sering diucapkan penderita pada fase ini adalah Itu tidak mungkin , Mungkin diagnosisnya salah,.Saya tidak percaya karena dikeluarga saya tidak ada yang kena kanker dan kalimat-kalimat sejenis yang intinya mengingkari kenyataan yang terjadi pada dirinya. Akibat dari reaksi pengingkaran ini, penderita sering berpindahpindah berobat dari satu dokter ke dokter lainnya, bahkan lebih sering berobat ke alternatif atau ke orang-orang yang dianggap pintar. Sebenarnya pengingkaran ini ada gunanya, yaitu sebagai buffer, selama pengingkaran penderita dapat mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya. Biasanya pengingkaran ini bersifat sementara dan segera berubah ke fase lain .

b. Fase kedua : Kemarahan atau anger. Bila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah menjadi fase kemarahan, kemurkaan, perasaan iri dan penolakan. Penderita dapat mengalihkan kemarahan pada

lingkungannya. Sering yang menjadi sasaran adalah orang yang berada disekelilingnya, seperti keluarga, orang terdekat, perawat atau dokter yang merawat. Semua tindakan perawat, dokter atau keluarga selalu disalahkannya, banyak menuntut, cerewet, mudah tersinggung, atau meminta banyak perhatian. Bila ada yang datang menjenguk ia menunjukkan sikap penolakan, sehingga akhirnya mereka enggan datang. Hal ini menyebabkan penderita lebih marah dan tidak senang. c. Fase ketiga : Sikap tawar- menawar. Setelah marah-marah berlalu, penderita akan merasakan dan berpikir bahwa protesnya tidak ada arti. Mulailah timbul perasaan bersalah dan ia mulai lebih meningkatkan hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri khas pada fase ini. Penderita berjanji akan berbuat banyak kebaikan bila penyakitnya dapat disembuhkan. d. Fase keempat : Fase depresi. Pada fase ini penderita merasa sedih dan berkabung karena ia akan kehilangan orang yang dicintai, pengalaman yang indah, kebiasaan atau hobi yang menggembirakan, kehilangan segala-galanya yang berarti, takut terhadap kematian , takut akan ketergantungan, takut menjadi beban, takut tidak dapat bersosialisasi, takut tidak dapat menjalankan fungsi dalam keluarga serta rasa takut lainnya. Penderita dapat mengekspresikan kesedihannya dengan menangis atau

mengungkapkannya secara verbal. Penderita mulai memikirkan masa yang akan datang dan memohon serta berdoa.

e. Fase kelima : Fase penerimaan (Pasrah). Setelah melalui fase-fase sebelumnya, penderita sampai pada fase yang terakhir yaitu fase penerimaan. Tidak ada lagi pengingkaran, penolakan atau depresi. Pada fase ini penderita sering mengeluh merasa lemah, tidur lebih banyak / panjang. Hampir tidak ada lagi emosi. Pada saat ini penderita telah menerima kenyataan atau pasrah bahwa dirinya menderita kanker. Tidak semua fase tersebut harus dilalui satu persatu, karena respon penderita menghadapi vonis kanker sifatnya sangat individu, berbeda satu orang dengan lainnya tergantung pada kematangan kejiwaan dan juga tentunya ketaatan menjalankan agamannya. Makin matang kejiwaanya dan makin percaya akan takdir, maka makin cepat mencapai ke fase lima yaitu menerima kenyataan yang terjadi. Terdapat pula fase kemarahan / anger yang pada fase ini dokter atau siapa pun yang menyampaikna berita buruk ini dapat menjadi sasaran kemarahan

pasien sebgai bentuk ketidakterimaannya akan kondisi dirinya. 7. Menurut Anda, apakah faktor budaya berpengaruh terhadap sikap untuk menyampaikan berita buruk? Bagaimana di Indonesia?

Ya,

budaya

sangat

berpengaruh

terhadap

sikap

untuk

menyampaikan berita buruk. Dokter yang berasal dari Sumatra misalnya cenderung memiliki sikap untuk to the point dalam mebicarakan kondisi pasiennya, begitu pula dengan pasien yang berasal dari Sumatra yang cenderung pula lebih menyukai untuk secara langsung dan segera diberitahu mengenai apa yang terjadi. Sedangkan dokter dari Pulau Jawa misalnya, mereka cenderung untuk benar-benar berhati-hati dalam penyampaian berita, begitu pula dengan pasien yang berasal dari Pulau Jawa yang mudah shock dan down mendengar berita-berita buruk.

Selain itu, pengaruh budaya ini pun dapat diilustrasikan dari adanya budaya western dan nonwestern. Di mana budaya western cenderung bersifat individualis, sedangkan budaya non-western seringkali melibatkan keluarga dalam berbagai keadaan. Perbedaan karakteristik budaya ini membuat dokter harus benar-benar mengetahui cara, waktu dan tempat yang tepat dalam penyampaian berita buruk.

BAB III KESIMPULAN

Dalam praktik kedokteran terdapat beberapa hak dan kewajiban baik bagi pasien maupun dokter. Segala bentuk hak dan kewajiban pasien serta dokter ini salah satunya diatur dalam UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 18/KKI/KEP/IX/2006 tentang penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di Indonesia. Khusus untuk hak-hak yang dimiliki pasien merupakan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dokter kepada pasiennya agar praktik kedokteran berjalan dengan lancar. Salah satu hak pasien yang sering terabaikan pada berbagai kasus praktik kedokteran adalah hak untuk mengetahui informasi lengkap mengenai penyakit yang dideritanya. Begitu pula dengan kewajiban dokter yang sering terlupakan ialah kesadaran untuk meberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya. Pemenuhan hak dan kewajiban ini sangat bermanfaat karena dengan begitu dokter dan pasien dapat sama-sama berdiskusi secara terbuka mengenai tindakan apa yang akan dilakukan untuk mengupayakan penyembuhan (bagi penyakitpenyakit yang masih dalam tahap ringan) maupun menentukan langkah-langkah paliatif serta upaya pendekatan diri kepada Tuhan YME (bagi penyakit-penyakit yang telah memasuki stadium akhir) serta membuat pasien bisa mempersiapkan diri atas berbagai kemungkinan yang dapat terjadi akibat dari penyakitnya. Namun, kewajiban seorang dokter tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memperhatikan aspek psikologis yang dapat mengguncang pasien (doing good and do no harm). Oleh karena itu seorang dokter haruslah menggunakan bahasa yang sederhana agar pasien dapat mengerti secara keseluruhan mengenai penyakit yang dideritanya, menyampaikan informasi sejelas mungkin, dan untuk pasien dengan gangguan jiwa atau pasien anak, maka proses penyampaian informasi dilakukan melalui wali / keluarga. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan waktu, tempat dan cara yang tepat dalam penyampaian berita.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penyelenggaraan Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia. Jakarta : Depertemen Kesehatan RI. Guwandi. 2005. Medical Error dan Hukum Medis. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Hanafiah, M. Yusuf. 1999. Etika Kedoteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC. www.dinkes-kotasemarang.go.id/staticfiles/dokumen/uu_praktik_kedokteran.pdf www.litbang.depkes.go.id/download/regulasi/UU_23_1992.pdf www.repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/6cf2481f4c725676078aca4d397ae46 2ab181c53.pdf www.unescobkk.org/index.php?id=2508

THE CASE OF MR. G


Inti Masalah : Mr. G tidak diberitahu bahwa dirinya mengidap kanker paru bilateral invasive stadium akhir

Sikap yang kurang tepat baik itu oleh anggota keluarga maupun dokter yang memeriksa

Dasar : UU No. 20 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Pasien berhak mendapatkan informasi mengenai penyakitnya dan dokter memiliki kewajiban meberitahu pasien

Manfaat : Pasien bisa mengupayakan usaha paliatif, dan mepersiapkan diri dengan berbagai kemungkinan, dokter tenang karena telah menjalankan kewajibannya dan dapat berdiskusi secara terbuka dengan pasien mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh.

Resiko : Pasiendengan kondisi mental yang kurang baik sulit sampai pada tahap penerimaan. Dokter menjadi sasaran kemarahan pasien

PErlu upaya untuk optimalkan manfaat dan minimalisasi resiko.

Ketentuan : menggunakan bahasa yang sederhana, informasi jelas dan lengkap, bagi pasien dengan gangguan jiwa atau pasien anak : informasi diberikan melalui wali / keluarga

Anda mungkin juga menyukai