Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

1.1 SKENARIO

SEMESTER 7 MODUL 25 (PENYAKIT TROPIS) SKENARIO 1 DEMAM NAIK TURUN

Seorang mahasiswa (21 tahun) datang ke rumah sakit karena demam sejak 7 hari yang lalu. Penderita sebelumnya telah pernah berobat di poliklinik kampus tempatnya kuliah, tetapi demamnya masih terus naik turun dan suhu tubuh yang sangat tinggi terutama pada sore menjelang malam hari disertai diare. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter didapat : suhu tubuh 40 C, TD : 130/80, HR : 96 x/menit lidah kelihatan bercak kotor, bradikardi relatif dan perut gembung. Dokter yang memeriksa penderita disarankan untuk dirawat inap dirumah sakit guna pemeriksaan dan pengobatan intensif. Anjuran : Pemeriksaan WIDAL Kultur Darah.

1.2 LEARNING OBJECTIVE Definisi Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif Etiologi Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif
1

Klasifikasi Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif Patofisiologi Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif Tanda dan gejala Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif Pemeriksaan fisik dan penunjang Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif Diagnosa Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif Penatalaksanaan Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif Pencegahan Infeksi Bakteri Gram Negatif dan Positif

BAB II PEMBAHASAN

DEMAM TIFOID Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang dengan bakteremia tanpa terlibat struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyers patch. Etiologi Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.

Patogenesis Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman berspora, motile, berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37C (15C-41C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4C selama satu jam, dan 60C selama 15 menit, serta tahan

pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa. Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular. Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai di lambung maka mulamula timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrotektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh. Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana

asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.

Pendekatan Diagnosis Demam Tifoid Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam

tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi. Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik namun identifikasi kuman S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, positif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan retikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan memperdebatkan sensitivitas, spesifitas, serta perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka Widal cukup bermakna. Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif

memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah. Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali. Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap. Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang.

Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid adalah komplikasi intestinal berupa perdarahan sampai perforasi usus. Perforasi terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan usus yang berat ditemukan pada 1-10% anak dengan demam tifoid. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit. Komplikasi ini umumnya didahului dengan suhu tubuh dan tekanan darah menurun, disertai dengan peningkatan denyut nadi. Perforasi jarang terjadi tanpa adanya perdarahan sebelumnya dan sering terjadi di ileum bagian bawah. Perforasi biasanya ditandai dengan peningkatan nyeri abdomen, kaku abdomen, muntah-muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defence muskular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Adanya komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, diorientasi, delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karies). Sistitis dan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid, seringkali akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Komplikasi lain yang juga dapat terjadi adalah enselopati, trombosis serebral, ataksia, dan afasia, trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome, fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak,

hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian. Dilaporkan pula komplikasi berupa orkitis, endokarditis, osteomielitis, artritis, parotitis, pankreatitis, dan meningitis. Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya. Gambaran Darah Tepi Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3000 /l. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000 /l. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.

Penatalaksananaan Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakan diagnosis dilakukan dengan tepat. Demam lebih dari 7 hari disertai gejala gastointestinal, pada anak usia di atas 5 tahun, tanpa gejala penyerta lain, dapat dicurigai menderita demam tifoid. Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Samonella dapat dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut (1) spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan cukup, (3) cara pemberian mudah untuk anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya bukti efikasi klinis. Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter keberhasilan pengobatan, dan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Bila suhu turun, berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant S.typhi) Penggunaan antibiotik yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut :

10

Lini pertama Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih cukup sensitif untuk Salmonella typhi namun perhatian khusus harus diberikan pada kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada leukosit <2000/ul)> Ampisilin dengan dosis 150-200 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv selama 14 hari, atau Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis, selama 14 hari. Lini ke dua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang resisten terhadap berbagai obat (MDR=multidrug resistance), yang terdiri atas : Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari . Penyembuhan sampai 90% juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari. Sefiksim dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari, adalah alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal. Florokinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin diatas, dengan angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan bakteriologis, di samping kemudahan pemberian secara oral. Namun pemberian obat ini masih kontroversial dalam pemberian untuk anak mengingat adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago. Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama pemberian obat dianjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini dianjurkan pada kasus demam tifoid dengan MDR.

11

Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebelum hari ke 4. Aztreonam juga diuji pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan hasil baik, namun tidak dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama. Pengobatan suportif akan sangat sangat menentukan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat penting. Penderita demam tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare, sehingga keseimbangan cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respons imun dan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5C. Terapi dietetik pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan bebas serat dan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat diberikan makanan lebih padat dengan kalori yang adekuat. Pengobatan terhadap demam tifoid dengan antibiotik memerlukan acuan data adanya angka kejadian demam tifoid yang bersifat MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kbBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 2 hari. Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan vaksin terhadap demam tifoid. Beberapa jenis vaksin telah beredar di Indonesia saat ini.

12

Pencegahan Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

Vaksin Demam Tifoid Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

TUBERKULOSIS PARU Definisi Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan

13

yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun.

Etiologi TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV. Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium.

Tanda Dan Gejala 1. Tanda a. Penurunan berat badan b. Anoreksia c. Dispneu d. Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning. 2. Gejala a. Demam

14

Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dengan berat-ringannya infeksi kuman TBC yang masuk. b. Batuk Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif (menghasilkan sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada ulkus dinding bronkus. c.Sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru. d. Nyeri dada Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (menimbulkan pleuritis) e.Malaise Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

Patofisiologi Pada tuberculosis, basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru meliputi : penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag, pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa untuk membentuk apa yang disebut dengan tuberkel. Banyaknya area fibrosis menyebabkan meningkatnya usaha otot pernafasan untuk

15

ventilasi paru dan oleh karena itu menurunkan kapasitas vital, berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi yang menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio ventilasi-perfusi yang abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi darah.

Pemeriksaan Penunjang Pembacaan hasil tuberkulin dilakukan setelah 48 72 jam; dengan hasil positif bila terdapat indurasi diameter lebih dari 10 mm, meragukan bila 5-9 mm. Uji tuberkulin bisa diulang setelah 1-2 minggu. Pada anak yang telah mendapt BCG, diameter indurasi 15 mm ke atas baru dinyatakan positif, sedangkan pada anak kontrak erat dengan penderita TBC aktif, diameter indurasi 5 mm harus dinilai positif. Alergi disebabkan oleh keadaan infeksi berat, pemberian immunosupreson, penyakit keganasan (leukemia), dapat pula oleh gizi buruk, morbili, varicella dan penyakit infeksi lain. Gambaran radiologis yang dicurigai TB adalah pembesaran kelenjar nilus, paratrakeal, dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi, efusipieura, kavitas dan gambaran milier. Bakteriologis, bahan biakan kuman TB diambil dari bilasan lambung, namun memerlukan waktu cukup lama. Serodiagnosis, beberapa diantaranya dengan cara ELISA (enzyime linked immunoabserben assay) untuk mendeteksi antibody atau uji peroxidase anti peroxidase (PAP) untuk menentukan Ig G spesifik. Teknik bromolekuler, merupakan pemeriksaan sensitif dengan mendeteksi DNA spesifik yang dilakukan dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Uji serodiagnosis maupun biomolekular belum dapat membedakan TB aktif atau tidak. Tes tuberkulin positif, mempunyai arti :

16

1. Pernah mendapat infeksi basil tuberkulosis yang tidak berkembang menjadi penyakit. 2. Menderita tuberkulosis yang masih aktif 3. Menderita TBC yang sudah sembuh 4. Pernah mendapatkan vaksinasi BCG 5. Adanya reaksi silang (cross reaction) karena infeksi mikobakterium atipik.

Epidemiologi Dan Penularan TBC Dalam penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : 1. Reservour, sumber dan penularan Manusia adalah reservoar paling umum, sekret saluran pernafasan dari orang dengan lesi aktif terbuka memindahkan infeksi langsung melalui droplet. 2. Masa inkubasi Yaitu sejak masuknya sampai timbulnya lesi primer umumnya memerlukan waktu empat sampai enam minggu, interfal antara infeksi primer dengan reinfeksi bisa beberapa tahun. 3. Masa dapat menular Selama yang bersangkutan mengeluarkan bacil Turbekel terutama yang dibatukkan atau dibersinkan. 4. Immunitas Anak dibawah tiga tahun paling rentan, karena sejak lahir sampai satu bulan bayi diberi vaksinasi BCG yang meningkatkan tubuh terhadap TBC.

17

Stadium TBC 1. Kelas 0 Tidak ada jangkitan tuberkulosis, tidak terinfeksi (tidak ada riwayat terpapar, reaksi terhadap tes kulit tuberkulin tidak bermakna). 2. Kelas 1 Terpapar tuberkulosis, tidak ada bukti terinfeksi (riwayat pemaparan, reaksi tes tuberkulosis tidak bermakna) 3. Kelas 2 Ada infeksi tuberkulosis, tidak timbul penyakit (reaksi tes kulit tuberkulin bermakna, pemeriksa bakteri negatif, tidak bukti klinik maupun radiografik). Status kemoterapi (pencegahan) : Tidak ada Dalam pengobatan kemoterapi Komplit (seri pengobatan dalam memakai resep dokter) Tidak komplit

4. Kelas 3 Tuberkuosis saat ini sedang sakit (Mycobacterium tuberkulosis ada dalam biakan, selain itu reaksi kulit tuberkulin bermakna dan atau bukti radiografik tentang adanya penyakit). Lokasi penyakit : paru, pleura, limfatik, tulang dan/atau sendi, kemih kelamin, diseminata (milier), menigeal, peritoneal dan lain-lain. Status bakteriologis : a. Positif dengan : Mikroskop saja
18

Biakan saja Mikroskop dan biakan

b. Negatif dengan : Tidak dikerjakan

Status kemoterapi : Dalam pengobatan kemoterapi sejak kemoterapi diakhiri, tidak lengkap reaksi tes kulit tuberkulin : a. Bermakna b. Tidak bermakna 5. Kelas 4 Tuberkulosis saat ini tidak sedang menderita penyakit (ada riwayat mendapat pengobatan pencegahan tuberkulosis atau adanya temuan radiografik yang stabil pada orang yang reaksi tes kulit tuberkulinya bermakna, pemeriksaan bakteriologis, bila dilakukan negatif. Tidak ada bukti klinik tentang adanya penyakit pada saat ini). Status kemoterapi : a. Tidak mendapat kemoterapi b. Dalam pengobatan kemoterapi c. Komplit d. Tidak komplit 6. Kelas 5 Orang dicurigai mendapatkan tuberkulosis (diagnosis ditunda) Kasus kemoterapi : a. Tidak ada kemoterapi
19

b. Sedang dalam pengobatan kemoterapi.

Penanganan a. Promotif 1. Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC 2. Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara penularan, cara pencegahan, faktor resiko 3. Mensosialisasiklan BCG di masyarakat. b. Preventif 1. Vaksinasi BCG 2. Menggunakan isoniazid (INH) 3. Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab. 4. Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat diketahui secara dini.

c. Kuratif Pengobatan tuberkulosis terutama pada pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu yang lama. Obat-obat dapat juga digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi. Penderita tuberkulosis dengan gejala klinis harus mendapat minuman dua obat untuk mencegah timbulnya strain yang resisten terhadap obat. Kombinasi obat-obat pilihan adalah isoniazid (hidrazid asam isonikkotinat = INH) dengan etambutol (EMB) atau rifamsipin (RIF). Dosis lazim INH untuk orang dewasa biasanya 5-10 mg/kg atau sekitar 300 mg/hari, EMB, 25 mg/kg selama 60 hari, kemudian 15 mg/kg, RIF 600 mg sekali sehari. Efek

20

samping etambutol adalah Neuritis retrobulbar disertai penurunan ketajaman penglihatan. Uji ketajaman penglihatan dianjurkan setiap bulan agar keadaan tersebut dapat diketahui. Efek samping INH yang berat jarang terjadi. Komplikasi yang paling berat adalah hepatitis. Resiko hepatitis sangat rendah pada penderita dibawah usia 20 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 60 tahun keatas. Disfungsi hati, seperti terbukti dengan peningkatan aktivitas serum aminotransferase, ditemukan pada 1020% yang mendapat INH. Waktu minimal terapi kombinasi 18 bulan sesudah konversi biakan sputum menjadi negatif. Sesudah itu masuk harus dianjurkan terapi dengan INH saja selama satu tahun. Baru-baru ini CDC dan American Thoracis Societty (ATS) mengeluarkan pernyataan mengenai rekomendasi kemoterapi jangka pendek bagi penderita tuberkulosis dengan riwayat tuberkulosis paru pengobatan 6 atau 9 bulan berkaitan dengan resimen yang terdiri dari INH dan RIF (tanpa atau dengan obat-obat lainnya), dan hanya diberikan pada pasien tuberkulosis paru tanpa komplikasi, misalnya : pasien tanpa penyakit lain seperti diabetes, silikosis atau kanker didiagnosis TBC setelah batuk darah, padahal mengalami batu dan mengeluarkan keringat malam sekitar 3 minggu.

ANTHRAX Adalah penyakit bakteri akut biasanya mengenai kulit, sangat jarang mengenai orofaring, mediastinum atau saluran pencernaan. Pada anthrax kulit rasa gatal pada kulit yang terpajan adalah hal yang pertama kali terjadi, diikuti dengan lesi yang berubah menjadi papulair, kemudian vesikulair dan selama 2 6 hari berubah menjadi jaringan parut hitam. Jaringan parut ini biasanya dikelilingi oleh bengkak ekstensif sedang, hingga berat. Kadangkala disertai dengan gelembung kecil. Rasa sakit jarang muncul
21

dan jika ada biasanya karena infeksi sekunder atau bengkak. Kepala, dahi dan tangan merupakan tempat dimana infeksi biasa muncul. Lesi ini kadang keliru dibedakan dengan Orf pada manusia (lihat penyakit virus Orf). Infeksi yang tidak diobati bisa menyebar ke daerah kelenjar limfe dan ke sistem peredaran darah dengan akibat terjadi septikemi. Selaput otak bisa terkena. Anthrax kulit yang tidak diobati mempunyai angka case fatality antara 5 % 20 %, dengan terapi antibiotik yang efektif, hanya terjadi sedikit kematian. Lesi berkembang berupa lesi yang sangat khas pada kulit bahkan sesudah dimulainya terapi antibiotik. Gejala awal karena inhalasi anthrax mula-mula sangat ringan dan tidak spesifik termasuk demam, malaise dan batuk ringan atau sakit dada. Kemudian muncul gejala akut berupa gangguan pernapasan, gambaran sinar-x melebarnya mediastinum; demam dan syok akan terjadi dalam 3 5 hari dan tidak lama kemudian akan mengakibatkan kematian. Anthrax usus jarang terjadi dan lebih sulit untuk dikenal terkecuali jika muncul sebagai KLB keracunan makanan, dengan gejala berupa gangguan abdominal diikuti dengan demam, tanda-tanda septikemi dan kematian pada kasus-kasus tertentu. Bentuk orofaringeal dari penyakit primer pernah ditemukan. Konfirmasi laboratorium dibuat dengan ditemukannya organisme penyebab penyakit di dalam darah, lesi atau discharge dengan pengecatan langsung Polikrom metilen biru (MFadyean) atau dengan kultur atau dengan inokulasi dari tikus, marmoot atau kelinci. Identifikasi cepat dari organisme dengan menggunakan tes Imunodiagnostik, ELISA & PCR mungkin hanya tersedia pada laboratorium rujukan tertentu.

22

Etiologi penyakit. Bacillus anthracis, bakteri gram positif, berkapsul, membentuk spora, berbentuk batang yang tidak bergerak.

Distribusi penyakit. Merupakan penyakit utama herbivora, sedangkan manusia dan karnivora merupakan hospes insidential. Infeksi anthrax pada manusia bersifat sporadis dan jarang terjadi disebagian besar negara maju. Ia merupakan penyakit akibat kerja (occupational disease) utama para pekerja yang memproses kulit, bulu (terutama kambing) tulang, produk tulang dan wol, dokter hewan dan pekerja pertanian, pekerja yang menangani binatang liar (wildlife) dan mengenai mereka yang menangani binatang sakit. Anthrax pada manusia endemis di wilayah pertanian, dimana didaerah itu kejadian anthrax pada binatang sangat umum ditemukan ; ini termasuk negara-negara di Amerika Tengah dan Selatan, Bagian Selatan dan Timur, Asia, Afrika. Munculnya daerah baru infeksi anthrax pada hewan ternak bisa terjadi melalui import makanan ternak yang mengandung tulang yang terkontaminasi. Kejadian bencana alam seperti banjir bisa memicu timbulnya epizootik. Antrhax di anggap sebagai alat yang sangat potensial untuk bioterorisme dan biowarfare (perang dengan menggunakan senjata biologis), pada saat terjadi perang biologis, anthrax dapat muncul sebagai kejadian yang secara epidemiologis sangat luar biasa.

Cara penularan. Infeksi kulit terjadi melalui kontak dengan jaringan binatang (sapi, biri-biri, kambing, kuda, babi dan sebagainya) yang mati karena sakit; mungkin juga karena gigitan lalat yang hinggap pada binatang-binatang yang mati karena anthrax, atau

23

karena kontak dengan bulu yang terkontaminasi, wol, kulit atau produk yang dibuat dari binatang-binatang ini seperti kendang, sikat atau karpet; atau karena kontak dengan tanah yang terkontaminasi oleh hewan. Tanah dapat juga tercemar anthrax karena dipupuk dengan limbah pakan ternak yang terbuat dari tulang yang tercemar. Inhalasi spora anthrax dapat terjadi pada proses industri yang berisiko, seperti pada waktu mewarnai kulit dan pada pemrosesan wol atau tulang; dimana saat itu dapat terjadi percikan dari spora B. anthracis. Anthrax usus dan orofaringeal muncul karena memakan daging terkontaminasi yang tidak dimasak dengan baik; tidak ada bukti bahwa susu dari binatang terinfeksi dapat menularkan anthrax. Penyakit menyebar diantara binatang pemakan rumput melalui makanan dan tanah yang terkontaminasi; sedangkan penyebaran penyakit pada omnivora dan karnivora melalui daging, tulang atau makanan lain dan penyebaran pada binatang liar terjadi karena binatang tersebut makan bangkai yang terkontaminasi anthrax. Infeksi tidak sengaja bisa terjadi pada petugas laboratorium. Pada Tahun 1979, telah terjadi KLB karena inhalasi anthrax di Yekaterinburg (Sverdlovsk), Rusia, dimana pada waktu itu 66 orang tewas dan 11 orang lainnya selamat. Di duga saat itu masih ada banyak kasus lain yang terjadi. Hasil investigasi memperlihatkan bahwa kasus anthrax ini diduga berasal dari sebuah institut penelitian biologi dan disimpulkan bahwa KLB terjadi karena percikan yang tidak disengaja sebagai akibat kecelakaan kerja pada kegiatan penelitian senjata biologis.

Masa inkubasi Dari 1 7 hari. Walaupun masa inkubasi dapat mencapai 60 hari (di Sverdlovsk masa inkubasi mencapai 43 hari).

24

Masa penularan. Penularan dari orang ke orang sangat jarang. Barang dan tanah yang terkontaminasi oleh spora bisa tetap infektif hingga puluhan tahun.

Cara pemberantasan A. Tindakan pencegahan. 1). Berikan imunisasi kepada orang dengan risiko tinggi dengan vaksin cell-free yang disiapkan dari filtrat kultur yang mengandung antigen protektif (tersedia di AS dari Bioport corporation, 3500 N. Martin Luther King, Jr. Boulevard, Lansing MI 48909). Terbukti bahwa vaksin ini efektif mencegah anthrax kulit dan pernapasan.; direkomendasikan untuk diberikan kepada petugas labororatorium yang secara rutin bekerja dengan B. anthracis dan para pekerja yang menangani bahan industri mentah yang potensial terkontaminasi. Vaksin ini juga dapat digunakan untuk melindungi personil militer yang terpajan senjata perang biologis. 2). Beri penyuluhan kepada para pekerja yang menangani bahan-bahan yang potensial terkontaminasi anthrax sebagai penular anthrax, sebaiknya para pekerja menjaga kulit agar tidak lecet dan menjaga kebersihan perorangan. 3). Membersihkan debu dan membuat ventilasi yang baik di tempat-tempat kerja pada industri berbahaya; terutama yang menangani bahan mentah. Selalu melakukan supervisi medis pada para pekerja dan melakukan perawatan spesifik pada luka dikulit. Pekerja sebaiknya menggunakan baju pelindung dan tersedia fasilitas yang baik untuk mencuci tangan dan pakaian dan mengganti sesudah kerja. Tempatkan ruang makan jauh dari tempat kerja. Uap

25

formaldehid digunakan untuk disinfeksi pabrik tekstil yang terkontaminasi anthrax. 4). Lakukan pencucian secara menyeluruh, disinfeksi atau sterilkan bulu, wol dan tulang atau bagian dari tubuh binatang lainnya yang akan dijadikan pakan ternak sebelum diproses. 5). Kulit binatang yang terpajan anthrax jangan di jual. Bangkai binatang yang terpajan anthrax jangan digunakan sebagai bahan pakan ternak. 6). Jika dicurigai terkena anthrax, jangan melakukan nekropsi pada binatang tersebut. Jika ingin mengambil sampel darah untuk kultur lakukan secara aseptis. Hindari kontaminasi tempat pengambilan sampel. Jika nekrospi dilakukan dengan tidak hati-hati, sterilkan seluruh bahan dan alat yang dipakai dengan otoklaf, insinerator atau dilakukan disinfeksi dan fumigasi dengan bahan kimia. Karena spora anthrax bisa hidup selama berpuluh-puluh tahun jika bangkai dikubur, maka teknik pemusnahan yang paling baik adalah membakar bangkai binatang tersebut dengan suhu tinggi (insinerasi) di tempat binatang itu mati atau dengan mengangkut bangkai tersebut ke tempat insenerator, hati-hati agar tidak terjadi kontaminasi sepanjang jalan menuju insenerator. Jika cara ini tidak memungkinkan, kuburlah dalam-dalam bangkai binatang itu di tempat binatang itu mati; jangan dibakar di lapangan terbuka. Tanah yang terkontaminasi dengan bangkai atau kotoran binatang didekontaminasi dengan lye 5% atau kalsium oksida anhydrous (quicklime). Bangkai yang dikubur dalam-dalam sebaiknya di taburi dengan quicklime. 7). Awasi dengan ketat buangan air limbah dari tempat yang menangani binatangbinatang yang potensial terkontaminasi anthrax dan limbah dari pabrik yang

26

menghasilkan produk bulu, wol, tulang atau kulit terkontaminasi.

yang mungkin

8). Berikan Imunisasi sedini mungkin dan lakukan imunisasi ulang setiap tahun kepada semua hewan yang berisiko terkena anthrax. Obati hewan yang menunjukkan gejala anthrax dengan penisilin atau tetrasiklin, berikan imunisasi sesudah terapi dihentikan. Hewan ini sebaiknya tidak disembelih hingga beberapa bulan setelah sembuh. Pengobatan sebagai pengganti imunisasi dapat diberikan kepada hewan yang terpajan sumber infeksi, seperti terpajan dengan makanan ternak komersiil yang terkontaminasi.

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. 1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; kasus anthrax wajib dilaporkan di sebagian besar negara bagian dan negara-negara lain di dunia, Kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Laporan kepada badan yang berwenang menangani pertanian dan hewan ternak wajib dilakukan juga. Walaupun hanya ditemukan satu kasus anthrax pada manusia; terutama jenis pernafasan, dianggap sebagai kejadian luar biasa sehingga harus dilaporkan segera kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan masyarakat dan kepada penegak hukum sebagai bahan pertimbangan kemungkinan bahwa KLB ini bersumber dari kegiatan terorisme. 2). Isolasi : untuk anthrax kulit dan pernapasan lakukan tindakan kewaspadaan standar selama sakit. Dengan pemberian terapi antibiotik yang tepat lesi kulit bebas dari bakteri dalam waktu 24 jam namun lesi ini tetap berkembang sesuai dengan siklus yang sangat khas dari lesi anthrax yaitu adanya ulcerasi, pengelupasan dan resolusi.

27

3). Disinfeksi serentak : Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari lesi dan terhadap alat-alat yang kontak dengan tanah. Hipoklorit sangat baik dipakai untuk disinfeksi karena dapat membunuh spora dan digunakan jika bahan yang akan didisinfeksi volumenya kecil dan bahan tersebut tidak mudah korosif; hidrogen peroksida, asam perasetik dan glutaraldehid bisa menjadi alternatif; formaldehid, etilen oksida dan iradiasi kobalt juga sering digunakan. Memusnahkan spora dilakukan dengan sterilisasi uap, otoklaf atau dibakar untuk meyakinkan bahwa spora tersebut betul-betul telah musnah. Fumigasi dan disinfeksi kimia dapat digunakan untuk alat-alat berharga. Lakukan pembersihan menyeluruh. 4). Karantina : tidak diperlukan. 5). Imunisasi kontak : tidak diperlukan. 6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : Lakukan investigasi terhadap kemungkinan adanya riwayat seseorang terpajan dengan binatang yang terinfeksi atau terpajan dengan produk dari binatang, dan lacak tempat asalnya. Pada pabrik yang mengolah produk binatang, periksa apakah telah dilakukan tindakan preventif yang tepat seperti yang dijelaskan pada 9A diatas, Seperti dijelaskan pada 9B1 kemungkinan Anthrax bersumber dari kegiatan bioterorisme tidak bisa dikesampingkan terutama untuk kasus anthrax pada manusia, kasus-kasus tersebut sumber infeksinya tidak jelas. 7). Pengobatan spesifik; penisilin adalah obat pilihan untuk anthrax kulit dan diberikan selama 5 7 hari. Tetrasiklin, eritromisin dan klorampenikol juga efektif. Angkatan bersenjata Amerika merekomendasikan pemberian

28

Ciprofloxacin parenteral atau doksisiklin untuk anthrax pernapasan, lama pengobatan tidak dijelaskan secara rinci.

C.

Penanggulangan wabah KLB anthrax merupakan penyakit akibat kerja pada peternakan. Wabah anthrax yang jarang terjadi di AS adalah KLB yang bersifat lokal terjadi dikalangan pekerja yang mengolah produk binatang, terutama bulu kambing. KLB anthrax yang terjadi berkaitan dengan penanganan dan konsumsi daging ternak yang terinfeksi terjadi di Asia, Afrika dan bekas negara Uni Sovyet.

D.

Implikasi bencana : Tidak ada, kecuali jika terjadi banjir di daerah yang terinfeksi.

E.

Tindakan internasional : Sterilkan bahan pakan ternak import yang mengandung tulang sebelum digunakan sebagai makanan ternak. Disinfeksi wol, bulu dan produk lain dari binatang jika ada indikasi terinfeksi.

F.

Pengamanan bioterorisme. Selama tahun 1998, lebih dari 2 lusin ancaman anthrax terjadi di AS. Tidak ada satupun dari ancaman ini terjadi. Prosedur umum di AS untuk menangani ancaman ini adalah : 1). Siapapun yang menerima ancaman penyebaran anthrax, segera melaporkan kepada FBI (Federal Bureau of Investigation).

29

2). Di AS, FBI bertanggung jawab penuh untuk melakukan investigasi terhadap ancaman senjata biologis dan lembaga lain harus bekerja sama memberikan bantuan jika diminta oleh FBI. 3). Departemen kesehatan negara bagian dan Dinas Kesehatan setempat sebaiknya juga di beritahu jika ada ancaman ini dan siap memberikan bantuan dan tindak lanjut yang mungkin diperlukan. 4). Orang yang terpajan anthrax tidak menular, sehingga tidak perlu dikarantina. 5). Orang yang mungkin terpajan, sebaiknya di sarankan menunggu hasil laboratorium dan tidak perlu diberi kemoprofilaksis. Jika mereka menjadi sakit sebelum hasil tes laboratorium selesai, mereka harus segera menghubungi Dinas Kesehatan setempat dan segera ke Rumah Sakit yang ditunjuk untuk mendapatkan perawatan gawat darurat, dan mereka harus memberi tahukan kepada petugas medis bahwa ia kemungkinan terpajan anthrax. 6). Jika penderita terbukti terpajan anthrax yang ditularkan melalui udara, penderita harus segera mendapat pengobatan profilaktik pasca pajanan dengan antibiotik yang tepat (fluorokinolon adalah obat pilihan dan doksisiklin adalah obat alternatif) dan vaksin. Imunisasi pasca pajanan dengan vaksin bebas sel yang tidak aktif di indikasikan sebagai tindak lanjut pemberian

kemoprofilaksis sesudah suatu insiden biologis. Imunisasi direkomendasikan karena kita tidak tahu apakah spora yang terhirup akan berkembang biak atau tidak. Imunisasi pasca pajanan terdiri dari 3 suntikan : sesegera mungkin sesudah terpajan dan pada minggu ke 2 dan ke 4 sesudah terpajan. Terhadap vaksin ini belum dilakukan evaluasi efektifitas dan keamanannya bagi anakanak kurang dari 18 tahun dan orang dewasa berusia 60 tahun atau lebih.

30

7). Setiap orang harus mengikuti petunjuk teknis yang diberikan jika menghadapi ancaman biologis 8). Setiap orang dapat dilindungi dari spora anthrax dengan menggunakan jubah pelindung, sarung tangan dan respirator yang menutupi seluruh muka dengan filter yang memiliki efektifitas tinggi terhadap partikel udara High-efficiency Particle Air (HEPA), filter (level C) atau perlengkapan pernafasan SelfContained Breathing Apparatus (SCBA) (level B) 9). Orang yang terpajan dan kemungkinan besar terkontaminasi sebaiknya di dekontaminasi dengan menggunakan sabun dan dibilas dengan air mengalir dalam jumlah yang banyak. Biasanya larutan klorin tidak diperlukan. Cairan klorin rumah tangga dengan perbandingan 1 : 10 (konsentrasi hipoklorit 0,5%) digunakan bila terjadi kontaminasi luas dan bahan yang terkontaminasi ini tidak bisa dibersihkan dengan air dan sabun. Melakukan dekontaminasi dengan klorin hanya direkomendasikan sesudah dilakukan dekontaminasi dengan air dan sabun, dan larutan klorin ini harus dibersihkan sesudah 10 hingga 15 menit. 10). Semua orang yang di dekontaminasi harus melepaskan pakaian dan barangbarang mereka dan memasukkannya ke dalam tas plastik, yang di beri keterangan yang jelas, berisi nama pemilik barang, nomer telpon yang bisa dihubungi, dan keterangan tentang isi tas plastik tersebut. Barang-barang ini akan di simpan sebagai barang bukti terhadap kemungkinan adanya tindakan kriminal dan barang ini akan dikembalikan kepada pemiliknya bila ancaman ini tidak terbukti. 11). Jika paket atau amplop yang dicurigai berisi anthrax dalam keadaan tertutup (tidak terbuka), mereka yang menemukan amplop ini sebaiknya tidak

31

melakukan apapun selain menghubungi FBI. Upaya karantina, evakuasi, dekontaminasi dan kemoprofilaksis sebaiknya tidak dilakukan bila amplop atau paket dalam keadaan tertutup. Untuk kejadian yang disebabkan oleh surat yang mungkin terkontaminasi, lingkungan yang kontak langsung dengan surat tersebut harus di dekontaminasi dengan larutan hipoklorit 0,5 % sesudah dilakukan investigasi terhadap kemungkinan adanya tindakan kriminal. Barang-barang pribadi juga perlu didekontaminasi dengan cara yang sama. 12). Bantuan teknis dapat diberikan segera dengan menghubungi National Response Center di 800-424-8802 atau Weapon of Mass Destruction Coordinator FBI setempat.

32

BAB III KESIMPULAN

Tatalaksana kasus demam tifoid pada anak harus didasari strategi yang sesuai dengan patogenesis penyakti tersebut. Kegagalan pengobatan tidak selalu berarti antibiotik yang diberikan sudah resisten, dapat juga merupakan kesalahan strategi sejak awal tata laksana dalam diagnosis sampai pemantauan

33

DAFTAR PUSTAKA 1. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2002. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 367-375 2. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia: 37-46 3. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001

34

Anda mungkin juga menyukai