Anda di halaman 1dari 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Masa nifas 1.

Pengertian Masa Nifas Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa ini berlangsung selama 6-8 minggu (Saifuddin et al, 2002). Asuhan selama periode nifas sangat diperlukan karena merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkannya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, yang mana 50% kematian ibu pada masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Di samping itu, masa tersebut juga merupakan masa kritis dari kehidupan bayi, karena dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu setelah persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir (Winkjosastro et al, 2002).

2. Tujuan Asuhan Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologik. Mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat. Memberikan pelayanan keluarga berencana (Winkjosastro et al, 2002). 3. Program dan kebijakan teknis dalam asuhan masa nifas Pada masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali kunjungan, hal ini dilakukan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir, dan untuk mencegah mendeteksi dan menangani masalahmasalah yang terjadi. Kunjungan pertama, dilakukan pada 6-8 jam setelah persalinan. Kunjungan ini dilakukan dengan tujuan mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. Mendeteksi

Universitas Sumatera Utara

dan merawat penyebab lain perdarahan, dan merujuk bila perdarahan berlanjut. Memberikan konseling kepada ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. Pemberian ASI awal, membantu melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir, juga menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia (Winkjosastro et al, 2002). Kunjungan kedua, dilakukan pada 6 hari setelah persalinan. Kunjungan ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan involusi uterus berjalan normal, yaitu uterus berkontraksi dan fundus di bawah umbilikus. Menilai adanya tanda-tanda infeksi atau perdarahan abnormal. Memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan dan istirahat. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tak memperlihatkan tanda-tanda penyulit. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari. Kunjungan ketiga dilakukan pada dua minggu setelah persalinan, yang mana kunjungan ini tujuannya sama dengan kunjungan yang kedua. Setelah kunjungan ketiga maka dilakukanlah kunjungan pada 6 minggu setelah persalinan yang merupakan kujungan terakhir selama masa nifas, yang mana kunjungan ini bertujuan untuk menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ia atau bayi alami, juga memberikan konseling untuk mendapatkan pelayanan KB secara dini (Saifuddin et al, 2002).

4. Perubahan- perubahan fisiologis yang terjadi selama nifas Dalam masa nifas alat-alat genitalia interna maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan-perubahan alat-alat genitalia ini dalam

Universitas Sumatera Utara

keseluruhannya disebut involusi. Disamping involusi ini, terjadi juga perubahan penting lain, seperti timbulnya laktasi yang dipengaruhi oleh Lactogenic Hormone dari kelenjar hipofisis terhadap kelenjar-kelenjar mamma (Saifuddin et al, 2002). Setelah janin dilahirkan fundus uteri kira-kira setinggi pusat; segera setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri kurang lebih 2 jari di bawah pusat. Uterus menyerupai suatu buah advokat gepeng berukuran panjang kurang lebih 15 cm, lebar kurang lebih 12 cm dan tebal kurang lebih 10 cm. Dinding uterus sendiri kurang lebih 5 cm, sedangkan pada bekas implantasi plasenta lebih tipis daripada bagian lain. Pada hari ke-5 postpartum uterus kurang lebih setinggi 7 cm di atas simfisis atau setengah simfisis pusat, sesudah 12 hari uterus tidak dapat diraba lagi di atas simfisis. Bagian bekas implantasi plasenta merupakan suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri, setelah persalinan. Penojolan tersebut, dengan diameter kurang lebih 7,5 cm, sering disangka sebagai suatu bagian plasenta yang tertinggal. Sesudah 2 minggu diameternya menjadi 3,5 cm dan pada 6 minggu telah mencapai 2,4 mm (Saifuddin, et al, 2002 & Mochtar, 1998). Uterus gravidus a term beratnya kira-kira 1000 gram. Satu minggu postpartum berat uterus akan menjadi kurang lebih 500 gram, 2 minggu postpartum menjadi 300 gram, dan setelah 6 minggu postpartum, berat uterus menjadi 40 sampai 60 gram(berat uterus normal kurang lebih 30 gram). Otot-otot uterus berkontraksi segera postpartum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan (Saifuddin, et al, 2002). Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks ialah segera postpartum bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga seolah-olah pada perbatasan antara

Universitas Sumatera Utara

korpus dan serviks uteri terbentuk semacam cincin. Warna serviks sendiri merah kehitamhitaman karena penuh pembuluh darah. Konsistensinya lunak. Segera setelah janin dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan ke dalam kavum uteri. Setelah dua jam hanya dapat dimasukkan 2-3 jari, dan setelah 1 minggu, hanya dapat dimasukkan 1 jari ke dalam kavum uteri (Saifuddin, et al, 2002 & Mochtar, 1998). Perubahan-perubahan yang terdapat pada endometrium ialah terjadi degenerasi, dan nekrosis di tempat implantasi plasenta. Pada hari pertama endometrium yang kira-kira setebal 25 mm itu mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua dan selaput janin. Setelah 3 hari, permukaan endometrium mulai rata akibat lepasnya sel-sel dari bagian yang mengalami degenerasi. Sebagian besar endometrium terlepas. Regenerasi endometrium terjadi dari sisa-sisa sel desidua basalis, yang memakan waktu 2 sampai 3 minggu. Jaringan-jaringan di tempat implantasi plasenta mengalami proses yang sama, ialah degenerasi dan kemudian terlepas. Pelepasan jaringan berdegenerasi ini berlangsung lengkap. Dengan demikian, tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas tempat implantasi plasenta (Winkjosastro, 2002). Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan partus, setelah janin lahir, berangsur-angsur ciut kembali seperti sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan uterus jatuh ke belakang. Tidak jarang pula wanita mengeluh kandungannya turun setelah melahirkan oleh karena ligament, fasia, jaringan penunjang alat genitalia menjadi agak kendor. Luka-luka jalan lahir, seperti bekas episiotomi yang telah dijahit, luka pada vagina dan serviks bila tidak seberapa luas akan mudah sembuh, kecuali bila terdapat infeksi (Winkjosastro et al, 2002). Sejak kehamilan muda, sudah terdapat persiapan-persiapan pada kelenjar-kelenjar

mamma untuk menghadapi masa laktasi. Perubahan yang terdapat pada kedua mamma antara

Universitas Sumatera Utara

lain: 1) proliferasi jaringan, terutama kelenjar-kelenjar dan alveolus mamma dan lemak, 2) pada duktus laktiferus terdapat cairan yang kadang-kadang dapat dikeluarkan, cairan tersebut berwarna kuning (kolostrum), 3) hipervaskularisasi terdapat pada permukaan maupun pada bagian dalam mamma. Pembuluh-pembuluh vena berdilatasi dan tampak dengan jelas, 4) setelah partus, pengaruh menekan dari estrogen dan progesteron terhadap hipofisis hilang. Timbul pengaruh hormon-hormon hipofisis kembali, antara lain lactogenic hormone (prolaktin) yang akan dihasilkan pula. Mamma yang telah dipersiapkan pada masa hamil terpengaruhi, dengan akibat kelenjar-kelenjar berisi air susu. Pengaruh oksitosin mengakibatkan mioepitelium kelenjar-kelenjar susu berkontraksi, sehingga pengeluaran air susu dilaksanakan. Umumnya produksi air susu baru berlangsung betul pada hari ke-2 sampai ke-3 postpartum (Rachimhadhi et al, 2002). Suhu badan wanita inpartu tidak lebih dari 37,20 Celcius. Sesudah 12 jam pertama melahirkan, umumnya suhu badan akan kembali normal. Bila suhu badan lebih dari 38,00 Celcius, mungkin ada infeksi. Nadi umumnya berkisar antara 60-80 denyutan permenit. Segera setelah partus dapat terjadi bradikardia. Pada masa nifas umumnya denyut nadi lebih labil dibandingkan dengan suhu badan (Winkjosastro et al, 2002). Pada sistem pernapasan, fungsi pernapasan kembali pada rentang normal dalam jam pertama pascapartum. Napas Pendek, cepat, atau perubahan lain memerlukan evaluasi adanya kondisi-kondisi abnormal (Varney, 2003). Lokhea adalah sekret yang keluar dari kavum uteri dan vagina pada masa nifas. Pada hari pertama dan kedua lokhea rubra atau kruenta, terdiri atas darah segar bercampur sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, sisa-sisa verniks kaseosa, lanugo, dan mekonium. Pada hari ke3 sampai ke-7 keluar cairan berwarna merah kuning berisi darah dan lendir. Pada hari ke-7

Universitas Sumatera Utara

sampai ke-14 cairan yang keluar berwarna kuning, cairan ini tidak berdarah lagi, setelah 2 minggu, lokhea hanya merupakan cairan putih yang disebut dengan lokhea alba (Mochtar, 1998). 5. Perawatan -perawatan pada masa nifas Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan. Karenanya, ia harus cukup dalam pemenuhan istirahatnya. Dari hal tersebut ibu harus dianjurkan untuk tidur terlentang selama 8 jam pasca persalinan. Kemudian boleh miring-miring ke kanan dan ke kiri, untuk mencegah adanya thrombosis. Pada hari ke-2 barulah ibu diperbolehkan duduk, hari ke-3 jalan-jalan, dan hari ke-4 atau ke-5 sudah diperbolehkan pulang (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998). Diet yang diberikan harus bermutu tinggi dengan cukup kalori, mengandung cukup protein, cairan, serta banyak sayur-sayuran dan buah-buahan (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998). Miksi atau berkemih harus secepatnya dapat dilakukan sendiri. Kadang-kadang wanita mengalami sulit kencing karena sfingter uretra tertekan oleh kepala janin, sehingga fungsinya terganggu. Bila kandung kemih penuh dan wanita tersebut tidak dapat berkemih sendiri, sebaiknya dilakukan kateterisasi dengan memperhatikan jangan sampai terjadi infeksi (Winkjosastro et al, 2002). Defekasi atau buang air besar harus ada dalam 3 hari postpartum. Bila ada obstipasi hingga skibala tertimbun di rectum, dapat dilakukan klisma atau diberikan laksans per oral atau per rectal. Namun dengan diadakannya mobilisasi secara dini, tidak jarang retensio urin et alvi dapat diatasi. Di sini dapat ditekankan bahwa wanita baru bersalin memerlukan istirahat dalam jam-jam pertama postpartum, akan tetapi jika persalinan ibu serba normal tanpa kelainan, maka

Universitas Sumatera Utara

wanita yang baru bersalin itu bukan seorang penderita dan hendaknya jangan dirawat seperti seorang penderita. (Winkjosastro et al, 2002). Bila wanita itu sangat mengeluh tentang adanya after paints atau mules, dapat diberi analgetik atau sedatif supaya ia dapat beristirahat atau tidur. Delapan jam postpartum wanita tersebut disuruh mencoba menyusui bayinya untuk merangsang timbulnya laktasi. Kecuali bila ada kontraindikasi untuk menyusui bayinya, seperti wanita yang menderita tifus abdominalis, tuberculosis aktif, diabetes mellitus berat, psikosis, putting susunya tertarik ke dalam dan lainlain. Bayi dengan labio palato skiziz (sumbing) tidak dapat menyusu oleh karena tidak dapat menghisap. Hendaknya hal ini diketahui oleh bidan atau dokter yang menolongnya.

Minumannya harus diberikan melalui sonde. Begitu pula dengan bayi yang dilahirkan dengan alat seperti ekstraksi vakum atau cunam dianjurkan untuk tidak menyusu sebelum benar-benar diketahui tidak ada trauma kapitis. Pada hari ketiga atau keempat bayi tersebut baru

diperbolehkan untuk menyusu bila tidak ada kontraindikasi. (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998). Perawatan mamma harus sudah dilakukan sejak kehamilan, areola mamma dan puting susu dicuci teratur dengan sabun dan diberi minyak atau cream , agar tetap lemas, jangan sampai kelak mudah lecet dan pecah-pecah. Sebelum menyusui mamma harus dibikin lemas dengan melakukan massage secara menyeluruh. Setelah areola mamma dan putting susu

dibersihkan, barulah bayi disusui (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998). Bayi yang meninggal, laktasi harus dihentikan dengan cara mengadakan pembalutan kedua mamma hingga tertekan, dan dapat pula diberikan Bromocryptin sehingga pengeluaran lactogenic hormone tertekan (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998).

Universitas Sumatera Utara

Pengunjung atau tamu sehat boleh mengunjungi wanita postpartum. Hendaknya para pengunjung harus dalam keadaan sehat dan bersih untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit oleh karena wanita dalam masa nifas mudah sekali terkena infeksi. Pemakaian gurita yang tepat masih dibenarkan pada wanita postpartum. Ketika dipulangkan, diberi penjelasan dan motivasi tentang cara menjaga bayi, memberi susu dan makanan bayi, keluarga berencana, hidup dan makanan sehat, dan dipesan untuk memeriksakan diri lagi (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998). B. Konsep Budaya dalam Perawatan Postpartum 1. Konsep Budaya Kebudayaan merupakan wawasan pegangan yang diambil dari pemahaman makna realitas yang dikembangkan menjadi pijakan sikap tingkah laku dalam menghadapi hidup dalam realitas itu, maka kebudayaan dilihat dari potensi-potensi (kemampuan-kemampuan) kreatif manusia (Mudji Sutrisno, 2006). Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan social, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya (Mulyana, 2002). Manusia melengkapi dirinya dengan kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa rencana, aturan, resep, dan instruksi yang digunakan untuk mengatur terwujudnya tingkahlaku dan tindakan tertentu (Geertz, 1973). Dalam pengertian ini, kebudayaan berfungsi sebagai alat yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan (Mudji sutrisno, 2006). Kebudayaan bukan sesuatu yang dibawa bersama kelahiran, melainkan diperoleh dari proses belajar dari lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan kata

Universitas Sumatera Utara

lain, hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh kebudayaan yang dimilikinya. Dilihat dari segi ini, kebudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif karena melengkapi manusia dengan cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan fisiologis dari diri mereka sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan malah berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan tertentu dari lingkungannya. Kebiasaan atau kelakuan yang terpolakan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu bukan berarti mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang sama. Dengan kata lain, masyarakat manusia yang berlainan mungkin akan memilih cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan timbulnya keaneka ragaman budaya (Mudji Sutrisno, 2006). 2. Konsep Budaya tentang Perawatan Masa Nifas Terbentuknya janin dan kelahiran bayi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam kelangsungan kehidupan manusia, namun berbagai kelompok masyarakat dengan

kebudayaannya di seluruh dunia memiliki aneka persepsi, interpretasi dan respon perilaku dalam menghadapinya, dengan berbagai implikasinya terhadap kesehatan (Swasono, 1998). Menurut pendekatan biososiokultural persalinan, kehamilan dan kelahiran bukan hanya dilihat semata-mata dari aspek biologis dan fisiologisnya saja. Lebih dari itu, fenomena ini juga harus dilihat sebagai suatu proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal, seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung , cara-cara pencegahan bahaya,

Universitas Sumatera Utara

penggunaan ramu-ramuan atau obat-obatan dalam proses kelahiran, cara-cara menolong persalinan, dan pusat kekuatan dalam perawatan bayi dan ibunya (Jordan, 1993). Berbagai kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kelahiran menganggap peristiwa tersebut sebagai tahapan kehidupan yang harus dijalani di dunia. Pada saat lahirnya, bayi dianggap berpindah dari kandungan ibu ke dunia untuk menjalankan kehidupan baru sebagai manusia. Begitu pula sang ibu mulai memasuki tahapan baru dalam kehidupannya sebagai orangtua, untuk menjalankan peran baru sebagai seorang ibu (Swasono. 1998). Dalam memahami sikap dan perilaku menanggapi kehamilan, kelahiran serta perawatan ibu dan bayinya, faktor-faktor sosial budaya sangat mempunyai peranan penting. Sebagian pandangan budaya mengenai hal-hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan (Swasono, 1998). Pada masyarakat di Bandanaera, Kabupaten Maluku Tengah, perawatan postpartum dilakukan salah salah satunya dengan segera memberi minuman pada wanita yang baru melahirkan, yang minuman tersebut terdiri dari campuran jeruk asam (jeruk nipis), halia (jahe) yang diparut, gula merah dan lada, yang kesemuanya dimasak hingga menjadi cairan kental. Kemudian setelah kurang lebih 3 jam pasca persalinan ibu nifas diberi makan rujak, dengan tujuan agar darah nifasnya keluar, dan dinding peranakan menjadi bersih dari gumpalan darah, yang disebut kotor banta. Bila ketika melahirkan terjadi sobekan, keadaan ini dipulihkan dengan pasir panas yang dibungkus daun, kemudian dibungkus lagi dengan kain, untuk ditekantekankan kebagian jalan lahir yang sobek selama 9 hari, pada pagi dan sore hari. Bahan yang sama juga ditepuk-tepuk ke seluruh tubuh wanita yang baru bersalin. Pada masyarakat Maluku

Universitas Sumatera Utara

Tengah wanita postpartum juga diurut, diuapi, diberi minuman berupa jamu-jamuan, dan aneka perlakuan lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan ibu dan bayinya (Swasono, 1998). Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk keselamatan perempuan nifas dan bayinya dilakukan upacara adat salussu. Upacara salussu ini dilaksanakan dengan menyediakan daun pisang panjang sebanyak dua lembar, yang masing-masing diisi dengan ketan putih dan hitam, tumpi-tumpi, yakni sejenis ikan yang ditumbuk kemudian dibentuk bulat kecil sebanyak 40 buah. Seperti halnya dengan upacara adat lainnya, kemenyan, kelapa, dan bedak kuning senantiasa disajikan sebagai pelengkap upacara. Dalam upacara ini ditambahkan pula dua buah cincin emas. Apabila bayi yang lahir laki-laki, sajian ditambah lagi dengan dua ekor ayam jantan, sedangkan jika bayi seorang perempuan, disediakan dua ekor ayam betina. Hidangan yang dibuat dalam dua bagian tersebut dibagi dua, sebuah diberikan kepada sandro (dukun yang bertugas sebagai pemimpin acara), sedangkan yang lainnya ditujukan bagi keluarga sang bayi (Swasono, 1998). Perawatan nifas menurut budaya masyarakat Aceh. Seperti, pantangan untuk meninggalkan rumah selama 44 wanita yang baru melahirkan. Selama masa nifas perempuan

pada masyarakat Aceh disuruh berbaring pada suatu pembaringan yang ditinggikan yang dasarnya diberi batu bata panas. Kakinya terlentang dan dirapatkan. Lengannya tidak boleh diangkat di atas kepala. Ibunya menjaganya, seraya mengawasi supaya perempuan nifas tersebut tetap mengikuti petunjuk mengenai posisi kaki dan cara berbaring sekali-sekali harus dirubah supaya seluruh badan wanita dihangatkan. Penghangatan badan dimulai pada hari sesudah melahirkan dan berlangsung sekurang-kurangnya 20 hari dan paling lama 44 hari. Ibu yang baru melahirkan mandinya dibatasi agar berkeringat, karena bila ibu postpartum berkeringat dianggap baik untuk proses pengeringan luka-luka jalan lahir (Swasono, 1998).

Universitas Sumatera Utara

Selain penghangatan badan, selama minggu pertama ibu postpartum juga diurut oleh dukun beranak dengan menggunakan minyak kelapa. Dalam minggu pertama ini, wanita yang baru bersalin bebas makan dan minum apa saja yang diinginkannya. Tetapi sesudah hari ketujuh, waktu dia diberi minuman yang diramu dari jenis daun-daunan tertentu, dia pantang makan dan minum beberapa jenis bahan makanan yang paling biasa dikonsumsi masyarakat Aceh, pantangan makan tersebut berlangsung selama 5 bulan atau lebih. Makanan yang dilarang itu misalnya adalah ketan, daging kerbau, telur bebek, daging bebek dan semua jenis buah-buahan (Swasono, 1998). Dengan berbagai variasi kultur atau budaya di atas, umumnya sering berhubungan dengan faktor sosial ekonomi dan pendidikan. Oleh karena itu, meskipun petugas kesehatan mungkin menemukan suatu bentuk perilaku atau sikap yang terbukti kurang menguntungkan bagi kesehatan, seringkali tidak mudah bagi mereka untuk mengadakan perubahan terhadapnya. Hal tersebut diakibatkan oleh telah tertanamnya keyakinan yang melandasi sikap dan perilaku itu secara mendalam pada kebudayaan warga suatu komuniti (Swasono, 1998). C. Fenomenologi Fenomenologi berakar pada filsafat tradisional yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger yang mana pemikirannya bersumber dari pengalaman hidup manusia. Fenomenologi adalah suatu penelitian tentang gejala dalam situasi yang alami dan kompleks, yang hanya mungkin menjadi bagian dari alam kesadaran manusia-sekomprehensif apapun-ketika telah direduksi ke dalam suatu parameter yang terdefenisikan sebagai fakta, dan yang demikian terwujud sebagai realitas (Wignjosoebroto, 2001 dalam Bungin, 2006). Fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjukkan pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjektif yang ditemui. Fenomenologi juga

Universitas Sumatera Utara

digunakan sebagai pendekatan dalam metodelogi kualitatif. Fenomenologi merupakan pandangan berfikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasiinterpretasi dunia (Moleong, 2007). Teori fenomenologi terutama membagi tentang isu-isu bahasa, sejauh mana diberikan kepada peranan dalam membentuk pengalaman. Peneliti dalam pandangan fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berasal dalam situasi-situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti mereka (Moleong 2007). Penelitian sosial yang menggunakan pendekatan kualitatif diuraikan oleh Hutomo (1992, dalam Moleong, 2007), merupakan penelitian sosial yang sumber datanya bersifat ilmiah, artinya peneliti harus berusaha memahami fenomena sosial secara langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Peneliti sendiri adalah merupakan instrumen penelitian yang paling penting dalam pengumpulan data dan penginterpretasian data. Penelitian kualitatif bersifat memberikan deskripsi artinya mencatat segala gejala (fenomena) yang dilihat dan didengar. Data dan informan harus berasal dari tangan pertama. Dan kebenaran data harus dicek dengan data lain, misalnya wawancara atau observasi mendalam.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai