Anda di halaman 1dari 18

Sari kepustakaan 2 Divisi rheumatologi

Penatalaksanaan Rheumatoid Artritis Terkini


M. Fuad, Mahriani Sylvawani Divisi Rheumatologi Bagian Penyakit Dalam

ACC Supervisor

Dr. Mahriani Sylvawani,SpPD

Fakultas Kedokteran Unsyiah/BPK RSU Zainoel Abidin Banda Aceh

PENDAHULUAN Rheumatoid arthritis adalah Penyakit autoimmune yang mempengaruhi sendi. Di seluruh dunia, sekitar 1% dari populasi menderita penyakit ini, dengan prevalensi yang lebih tinggi pada orang keturunan Eropa atau Asia.1 Rheumatoid arthritis dapat berkembang pada orang-orang dari segala usia, dengan typical usia saat kejadian pertama sekitar 55 tahun. Prevalensi rheumatoid arthritis meningkat jauh dengan bertambahnya usia, mempengaruhi sekitar 6% dari populasi kulit putih pada usia lebih dari 65 tahun. Di Amerika Serikat, risiko rheumatoid arthritis adalah 3,6% pada wanita dan 1,7% pada pria. Ada beberapa indikasi meningkatnya risiko rheumatoid arthritis dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada wanita. 2 Menurut sensus penduduk pada tahun 1980, di indonesia terdapat 16,3 juta orang (11%) yang berusia 50 tahun ke atas. Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penderita artritis reumatoid meningkat menjadi 9,99% dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700 jiwa) dengan umur harapan hidup 65-70 tahun, sedangakan pada usia di atas 18 tahun diperkirakan 0,1 sampai 0,3 persen dari jumlah penduduk. 3 Menurut riset kesehatan dasar (riskesdas) 2007, prevalensi penyakit sendi secara nasional 30,3% berdasarkan keluhan penderita dan 14% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Di Nanggroe Aceh Darussalam dilaporkan prevalensi penyakit sendi 34,2% berdasarkan keluhan penderita dan 23,1% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Pada riset ini mengenai penyakit sendi tidak di bagi secara lebih terperinci.4 Arthritis secara umum, dan rheumatoid arthritis khususnya, adalah penyebab umum dari kecacatan. Lebih dari sepertiga pasien akhirnya mengalami gangguan aktivitas sehari hari karena penyakit.5 Hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dimulai sejak awal setelah onset penyakit, 80% dari pasien yang yang mengalami gangguan aktivitas sehari-hari setelah 2 tahun, dan 68% setelah 5 tahun.6 Harapan hidup menjadi lebih pendek hingga mencapai 3 sampai 5 tahun dari harapan hidup populasi umum, terutama pada pasien dengan penyakit ekstra-artikular dan mereka yang mengalami penyakit serius terkait efek samping pengobatan
1

termasuk infeksi, tumor, dan toksisitas gastrointestinal dari obat yang digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis.7 Selain itu, pasien dengan rheumatoid arthritis 50% mempunyai risiko yang lebih besar terkena serangan jantung dan lebih dari 2 kali lipat mengalami peningkatan risiko gagal jantung. 8,9,10 The American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 membuat kriteria untuk rheumatoid arthritis untuk peningkatan pendekatan diagnostik dan ketepatan pengobatan. Kriteria ini juga bertujuan untuk intervensi dini sehingga meningkatkan hasil pengobatan, mencegah kerusakan sendi, dan membatasi penurunan fungsional. 11 Tujuan dari tulisan ini adalah karena tingginya angka penderita rheumatoid arthritis pada masyarakat dan besarnya komplikasi yang ditimbulkannya, sehingga diharapkan akan bertambah pengetahuan kita dalam memberikan terapi pada penderita rheumatoid arthritis untuk mengontrol peradangan yang mendasari penyakitnya. Pencapaian tujuan ini diharapkan akan mengurangi rasa sakit, mengembalikan kualitas hidup penderita, dan pada akhirnya, kemandirian dan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari penderita. Tujuan utama jangka panjang dari pengobatan adalah untuk mencegah kerusakan sendi dan mencegah komorbiditas penyakit dan komplikasi pengobatan, termasuk penyakit jantung dan osteoporosis.

ETIOLOGI Walaupun faktor penyebab maupun patogenesis Rheumatoid arthritis sebenarnya hingga kini tetap belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperanan dalam timbulnya penyakit ini. Selain itu faktor hormon, imunologi, dan faktor-faktor infeksi mungkin memainkan peran penting. Faktor sosial-ekonomi, psikologis, dan faktor gaya hidup dapat mempengaruhi hasil akhir penyakit.12,13

PATOGENESA Patogenesis Rheumatoid arthritis dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen akan diproses oleh antigen presenting cell (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel dendritik atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan Human leukocyte antigen-heterodimer
2

(HLA-DR) pada membran selnya. Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan oleh CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+, sel tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin1 (IL-1) yang disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen, determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu kompleks antigen trimolekuler. Kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Prolifersi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut.12,13 Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresikan berbagai limfokin lain seperti interferon-A , tumor necrosis factor (TNF-), IL-3, IL-4 (B-cell differentiating factor, granulocytel macrophage coloni stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibody. Produksi antibody oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1, IL-2, IL-4 yang disekresi oleh CD4+ yang telah teraktivasi. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas kedalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak sel PMN yang memfagositir kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast cells dan

pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin, collagenase dan stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang.12,14,15 Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerasi hyaluronate sehingga mengakibatkan terjadinya penuurunan viskositas cairan sendi serta juga merusak jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walupun leukotrien LTB diketahui menyebabkan terjadinya migrasi dan aggregasi netrofil yang kuat, akan tetapi peranan LTB pada patogenesis AR belum dapat dijelaskan secara pasti. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan
3

TNF-. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan A-interferon, PGE2 juga memiliki efek anti inflamasi.12,16,17 Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T kedalam membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling bersifat destruktif pada patogenesis Rheumatoid arthritis. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga dapat menghancurkan strukur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak terhenti baik karena pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan menyebabkan terjadinya ankilosis.Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya peningkatan ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel mononukleus pada sel endotel mikrovaskular. Ekspresi ICAM-1 pada sel endotel kapiler sinovial mengakibatkan terjadinya peningkatan adhesi sel mononukleus pada endotel kapiler. Walaupun pada AR terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan adhesi sel mononuklear, tidak semua subset sel T mengalami migrasi dari kapiler sinovial. Hanya fenotip sel T tertentu saja yang keluar dari kapiler sinovial yaitu subset CD4+, CD45RO, dan CD29.12,16,17 Peristiwa diatas menunjukkan bahwa pengenalan antigen AR terjadi setelah subset sel T tersebut meninggalkan thymus. Terdapatnya reseptor MHC Class II seperti HLA-DR, DQ dan DP pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type 1 (VLA-1) menunjukkan bahwa aktivasi dan proliferasi sel T terjadi secara lokal. Dari penemuan ini dapat disimpulkan bahwa aktivasi sel T mungkin di cetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui, APC atau kompleks peptida trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan terjadinya sinovitis pada Rheumatoid arthritis. 12,16,17 Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada Rheumatoid arthritis, antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Berlangsung terusnya destruksi persendian pada Rheumatoid arthritis kemungkinan juga disebabkan karena terbentuknya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitope fraksi Fc yang dijumpai pada 70 sampai 90 % pasien Rheumatoid arthritis. Bagaimana suatu imunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen ,
4

hal ini belum dapat diterangkan dengan jelas. Faktor reumatoid juga dapat berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Terbentuknya autoantibodi terhadap collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan mekanisme yang sama.12,16,17

MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinis dari rheumatoid arthritis spesifik termasuk polyarthritis simetris dengan pembengkakan sendi, terutama tangan dan kaki, meskipun salah satu sendi apendikular dapat terkena. Pasien dengan rheumatoid arthritis riwayat kekakuan pagi hari yang berlangsung 1 jam atau lebih. Karakteristik nodul subkutan dan manifestasi penyakit extra artikular termasuk interstitial penyakit paru, vaskulitis, dan berbagai bentuk inflamasi penyakit mata yang merupakan penanda penyakit yang parah. 18

DIAGNOSIS Kriteria diagnostik Rheumatoid arthritis disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari American Reumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi Rheumatoid arthritis pada tahun 1958. Dengan kriteria tahun 1958 ini seorang di katakan menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang di tetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika memenuhi 2 kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang pesat mengenai Rheumatoid arthritis, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat memasukkan jenis artritis lain seperti spondyloarthropathy seronegatif, penyakit pseudo rheumatoid akibat deposit calcium pyrophosphate dihydrate, lupus eritematosus sistemik, polymyalgia rheumatica, penyakit lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai Rheumatoid arthritis. Pembagian rheumatoid arthritis sebagai classic, definite, probable dan possible, secara klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari-hari,
5

tidak perlu dibedakan penatalaksanaan Rheumatoid arthritis yang classic dari Rheumatoid arthritis definite. Selain itu seringkali pasien yang terdiagnosis sebagai penderita Rheumatoid arthritis probable ternyata menderita jenis artritis yang lain. Pada tahun 1987 American Rheumatism Association membuat kriteria baru untuk menegakkan diagnosis rheumatoid artritis dengan 7 poin kriteria dan harus didapati 4 atau lebih kriteria berikut ini : 1) Kaku pagi hari selama paling sedikit 1 jam dan sudah berlangsung paling sedikit 6 minggu. 2) Pembengkakan pada 3 sendi atau lebih selama paling sedikit 6 minggu. 3) Pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpofalang, atau interfalang proksimal selama 6 minggu atau lebih. 4) Pembengkakan sendi yang simetris. 5) Pemeriksaan radiologi tangan menunjukkan perubahan khas artritis reumatoid, harus didapati erosi atau dekalsifikasi tulang yang nyata. 6) Nodul reumatoid. 7) Serum faktor Reumatoid positif. Walaupun peranan faktor reumatoid patogenesis rheumatoid artritis belum dapat diketahui dengan jelas, dahulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok pasien seropositif dan seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, faktor reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai dalam stadium dini penyakit atau pembentukannya dapat ditekan oleh disease modifying antirheumatic drug (DMARD) 12,13 Pada tahun 2010 The American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 membuat kriteria untuk rheumatoid arthritis untuk peningkatan pendekatan diagnostik dan ketepatan pengobatan. Kriteria ini juga bertujuan untuk intervensi dini sehingga meningkatkan hasil pengobatan, mencegah kerusakan sendi, dan membatasi penurunan fungsional. Dengan intervensi pada waktu yang tepat dan diagnosis akurat mengurangi beban penyakit dan perkembangan rheumatoid arthritis, dengan hasil yang sangat baik, dengan lebih banyak pasien mampu beraktivitas dan kurang perlu untuk operasi rekonstruksi sendi daripada dekade sebelumnya. Harapan untuk pengelolaan penyakit telah menjadi lebih ketat sebagai dampak dari pemahaman penyakit menjadi lebih baik dan perawatan lebih baik. Pengharapan saat ini telah terjadi perubahan mendasar dalam pikiran rheumatolog dan pasiennya, yang berharap remisi lengkap aktivitas penyakit atau mendekati remisi sebagai tujuan pengobatan. 13 Klasifikasi "artritis-rheumatoid pasti" didasarkan pada ditemukan Synovitis setidaknya pada 1 sendi, ketiadaan diagnosis alternatif yang lebih baik untuk sinovitis tersebut, dan dijumpai 6 skor atau lebih tinggi dalam 4 domain skor individu (Tabel 1).
11,19

Domain dan rentang nilai


6

tersebut adalah sebagai berikut: jumlah dan lokasi sendi yang terlibat (0-5), kelainan serologi (03), peningkatan respon fase akut (skor, 0-1), dan durasi symptom (2 tingkat, skor, 0-1). Penggabungan lebih spesifik anti-citrullinated protein antibodi (ACPA) serologi tes, yang memiliki spesifisitas tinggi (>90%) dan sensitivitas sedang (~60%) untuk rheumatoid arthritis. Faktor rheumatoid juga dapat digunakan sebagai serologi penanda penyakit, meskipun memiliki spesifisitas rendah (<70%), dengan pembanding sensitivitas ACPA, yang meningkat menjadi sekitar 80% pada penyakit yang sudah lama.18,19 Penerapan kriteria baru memfasilitasi rujukan lebih awal pasien dengan inflamasi arthritis untuk rheumatolog dan diagnosis lebih dini rheumatoid arthritis. Sebagai contoh, pasien dengan kekakuan di pagi hari, satu pergelangan tangan bengkak, dan positif tes ACPA pada minggu ke 6 atau kurang dengan konsentrasi protein C-reaktif yang abnormal [CRP] memenuhi kriteria untuk arthritis, dan modifikasi terapi harus dimulai.18 Pada beberapa pasien dengan arthritis dini, pemeriksaan klinis tidak dapat dibuktikan adanya sinovitis, khususnya pada mereka dengan uji seronegative untuk penyakit ini. Lebih lanjut teknik pencitraan seperti ultrasonografi resolusi tinggi dan magnetik resonansi imaging dapat digunakan. Identifikasi sinovitis, edema tulang, dan erosi tulang yang tidak jelas pada pemeriksaan klinis dapat menegakkan diagnosis awal ketika temuan klinis tidak mendukung untuk diagnosis. 18-19

Table 1. ACR/EULAR 2010 kriteria klasifikasi rematoid arthritis 11,18 Variable a Target populasi yang harus diuji: Pasien yang memiliki setidaknya 1 sinovitis klinis pasti (pembengkakan) b Pasien dengan sinovitis tidak bisa dijelaskan dengan penyakit lain c Klasifikasi kriteria untuk RA (skor berbasis algoritma: jumlahkan skor kategori A-D, jumlah skor 6/10 diperlukan untuk klasifikasi pasti.d A) Keterlibatan bersama e 1 sendi besarf 2-10 sendi besar 1-3 kecil sendi (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) g 4-10 kecil sendi (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) Lebih 10 sendi, Termasuk setidaknya 1 sendi kecil h B) temuan serologi (setidaknya diperlukan satu hasil tes untuk klasifikasi) i RF dan ACPA negatif RF dan ACPA positif rendah RF dan ACPA positif tinggi C) Fase akut reaktan (setidaknya satu hasil tes yang diperlukan untuk klasifikasi) j CRP dan LED normal CRP dan LED tidak normal D) Durasi gejala (minggu) k Kurang 6 minggu Lebih 6 minggu Nilai

0 1 2 3 5 0 2 3 0 1 0 1

a ACPA = anti-citrullinated protein antibody; ACR = American College of Rheumatology; CRP = C-reactive protein; LED = laju endap darah; EULAR= European League Against Rheumatism; RA = rheumatoid arthritis; RF = rheumatoid factor b Kriteria untuk klasifikasi pasien baru. Selain itu, pasien dengan penyakit erosif khas RA dengan riwayat yang memenuhi dari kriteria 2010 diklasifikasikan sebagai memiliki RA. Pasien dengan lama penyakit termasuk orang dengan penyakit aktif (Dengan atau tanpa pengobatan) berdasarkan data yang tersedia secara retrospektif, sebelumnya telah memenuhi kriteria tahun 2010 harus diklasifikasikan sebagai memiliki RA. c. diagnosa Diferensial bervariasi antara pasien dengan temuan klinis yang berbeda, dapat mencakup kondisi seperti lupus eritematosus sistemik, Psoriatic arthritis, dan asam urat. Jika tidak jelas diagnosis diferensial yang relevan untuk dipertimbangkan, harus berkonsultasi seorang rheumatologist ahli. d. Walaupun pasien dengan skor < 6/10 tidak diklasifikasikan sebagai memiliki RA, status mereka dapat ditinjau kembali, dan mungkin terpenuhi kriteria secara kumulatif dari waktu ke waktu. e. Keterlibatan sendi mengacu pada setiap sendi bengkak atau pada pemeriksaan, yang dapat dibuktikan oleh bukti pencitraan sinovitis. sendi interphalangeal distal, sendi carpometacarpal pertama, dan sendi metatarsophalangeal pertama. Kategori distribusi sendi diklasifikasikan sesuai dengan lokasi dan jumlah sendi yang terlibat, dengan penempatan dalam kategori tertinggi pada pola keterlibatan bersama. f. sendi besar termasuk bahu, siku, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. g sendi kecil termasuk sendi metacarpophalangeal, sendi interphalangeal proksimal, sendi metatarsophalangeal kelima, jempol interphalangeal sendi, dan pergelangan tangan. h. Dalam kategori ini, setidaknya salah satu sendi kecil yang terlibat harus bersama, sendi lainnya dapat mencakup kombinasi besar dan sendi kecil dan sendi lain tidak secara khusus tercantum di tempat lain (misalnya, temporomandibular, acromioclavicular, sternoklavikularis sendi). i. Negatif mengacu pada nilai-nilai satuan internasional yang kurang dari atau sama dengan nilai terendah untuk uji laboratorium, dan positif mengacu ke unit internasional nilai-nilai yang lebih tinggi dari 3 kali nilai normal atau lebih untuk uji laboratorium, Ketika informasi RF hanya tersedia sebagai positif atau negatif, hasil positif harus dinilai sebagai positif rendah untuk RF. j normal atau abnormal ditentukan oleh standar laboratorium lokal. k Laporan diri pasien dari durasi tanda atau gejala sinovitis (misalnya, nyeri, pembengkakan) sendi yang terlibat di saat penilaian, tidak dalam status pengobatan.

Penilaian Aktivitas Penyakit Evaluasi klinis rheumatoid arthritis harus meliputi penilaian kuantitatif aktivitas penyakit, dan keputusan pengobatan harus bertumpu pada penilaian evaluasi rutin yang meliputi penilaian dari laporan pasien termasuk nyeri, Penilaian terbaik dengan menggunakan Disease Activity Score, dan dengan Quesioner Disability Index score. Dokter, perawat terlatih, atau asisten dokter melakukan evaluasi global assessment. Penilaian ini dilakukan menggunakan visual skala analog, baik dalam kertas atau format elektronik. Evaluator juga secara fisik memeriksa sendi dan mengevaluasi jumlah kerusakan dan pembengkakan sendi berdasarkan hitungan DAS 28, yang termasuk didalamnya sendi interphalangeal proksimal (pertama sampai kelima), metacarpophalangeal (pertama sampai kelima), pergelangan tangan, siku, bahu, dan lutut, pada kedua sisi tubuh. Secara rutin juga dinilai konsentrasi serum CRP, yang berguna sebagai biomarker. Beberapa ahli lebih suka mengukur tingkat sedimentasi eritrosit karena tes sederhana, lebih dapat diandalkan, dan tidak tergantung usia.20 Komposisi ukuran faktor-faktor individu harus digunakan untuk menentukan aktivitas klinis penyakit. ukuran tersebut lebih sensitif terhadap perubahan dalam aktivitas penyakit dibandingkan pemeriksaan diatas. Untuk menilai aktivitas Penyakit dan respon pengobatan menggunakan Score (DAS28) yang direkomendasikan oleh EULAR. 18,19,20,

Target Terapi Konsensus EULAR bahwa target utama dari terapi rheumatoid arthritis adalah remisi, didefinisikan sebagai tidak adanya tanda-tanda atau gejala penyakit inflamasi aktif. Remisi merupakan target yang realistis dan dapat dicapai di era saat ini, ketika memberikan target strategi yang digunakan dan ketika penyakit ini didiagnosis dan diobati sejak dini. Pengobatan dengan strategi kontrol ketat menggunakan nilai skor DAS28 tujuan yang diharapkan lebih rendah dari 2,6, menyebabkan remisi klinis lebih cepat dan lebih sering daripada melakukan pengobatan biasa pada saat ini. 18,19,21 ACR dan EULAR menerbitkan kriteria remisi.
11

Rheumatoid arthritis sekarang

didefinisikan sebagai pencapaian remisi dengan nilai SDAI 3.3 atau CDAI 2,8 pada minggu 14 atau radiografi adalah merupakan prediksi dari pada 1 tahun, terlepas dari terapi dengan methotrexate (MTX) sendiri atau kombinasi dengan infliximab. 18

Remisi tidak mungkin dapat dicapai pada semua pasien, khususnya mereka dengan penyakit yang berat dan refrakter. Ada juga ketidakpastian tentang keabsahan kriteria remisi dalam praktek klinis. Untuk mempermudah menilai remisi dapat dilihat table 2 dibawah ini.
18,19,20,

TABEL 2. Pengukuran aktivitas Penyakit a, b Rekomendasi penjumlahan nilai pengukuran SDAI = TJC + SJC + PGA + EGA + CRP CDAI = TJC + SJC + PGA + EGA Nilai batas aktivitas penyakit Level absolute aktivitas penyakit Index SDAI CDAI Remisi 3,3 2,8 Rendah 11 10 Sedang 26 22 Tinggi >26 >22

aCDAI = Clinical Disease Activity Index; CRP = C-reactive protein (mg/dL); EGA = Evaluator Global Assessment (0-100 mm); PGA = Patient Global Assessment (0-100 mm); SDAI= Simplified Disease Activity Index; SJC = No. of swollen joints using a 28-joint count; TJC= No. of tender joints using a 28-joint count. b pengukuran aktivitas penyakit dengan penjumlahan instrument aktivitas.SDAI untuk pasien dengan peningkatan acute-phase reactant, and untuk semua pengukuran lain menggunakan CDAI.

Tingkat Keparahan Penyakit dan Prognosis Klinisi harus menilai kemungkinan perkembangan penyakit dan komplikasi pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Pada diagnosis, berguna sebagai prediktor penyakit parah dan prognosis buruk termasuk hasil tes darah untuk faktor rheumatoid dan/atau ACPA positive, kecacatan yang lebih besar, peningkatan konsentrasi akut fase reaktan, dan dijumpai erosi sendi pada radiografi. Dijumpai faktor rheumatoid, ACPA, atau alelnya merupakan risiko utama untuk rheumatoid arthritis, Human leukocyte antigen-heterodimer consisting of a beta 1 chain, (HLADRB1) tidak bermamfaat untuk memprediksi respon pengobatan saat ini. 18 Ada beberapa bukti bahwa alat prediksi klinis radiografi mungkin berguna dalam menilai risiko perkembangan penyakit, namun, tidak disarankan penggunaannya dalam praktek klinis. Peran panel biomarker yang tersedia secara komersial lebih berguna untuk memprediksi respons pengobatan dan kemungkinan hasil yang buruk, strategi pengobatan yang baik akan memperbaiki manajemen rheumatoid arthritis.18

10

MANAJEMEN PENGOBATAN Terapi non Farmakologi Pertimbangan terapi nonfarmacologi adalah penting, untuk manajemen optimal rheumatoid arthritis. Pendidikan pasien tentang pathophysiologi karakteristik penyakit, keterampilan manajemen diri, dan prinsip-prinsip proteksi menyebabkan peningkatan kesehatan fisik dan fungsional penderita. Terapi okupasi, menguntungkan untuk perlindungan dan pengguanaan alat bantu orthotics, dan bebat, yang secara substansial dapat meningkatkan fungsi dan mengurangi rasa sakit.
11,18,19

Mengurangi kelelahan yang berhubungan dengan rheumatoid

arthritis dan istirahat sendi selama periode peradangan tidak terkontrol akan mengurangi gejala penyakit. Terapi Kognitif behavioral juga dapat bermanfaat bagi pasien kelelahan dengan meningkatkan manajemen diri dan mengurangi rasa tak berdaya. program latihan dinamis yang menggabungkan latihan aerobik dan pelatihan resistensi progresif meningkatkan kebugaran dan kekuatan, membuat massa tubuh tanpa lemak, dan aman. Semua manajemen pendekatan kepada pasien yang terbaik dilakukan oleh tim perawatan multidisipliner yang termasuk rheumatologist, perawat fisik dan occupational terapis, psikolog, dan perawatan dokter umum terampil.18,22,23

11

Pendekatan Pengobatan Pasien yang baru didiagnosis rheumatoid arthritis pengobatan awal lebih baik dengan monoterapi MTX (Gambar 1). Beberapa konsensus merekomendasi penggunaan kombinasi (DMARDs) pada pasien,

Gambar 1. Pendekatan penatalaksanaan terkini diagnosis untuk rheumatoid arthritis (RA) selama 6 bulan follow-up. ACR/EULAR 2010= American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010 Classification Criteria for RA; CDAI = Clinical Disease Activity Index; CTLA4:Ig = cytotoxic T lymphocyte associated antigen 4:immunoglobulin fusion protein; HCQ = hydroxychloroquine; LEF = leflunomide; MTX = methotrexate; Rx = prescription; SC = subcutaneous; SDAI = Simplified Disease Activity Index; SSZ = sulfasalazine; TNF = tumor necrosis factor.

Beberapa pendapat mengatakan MTX tidak bisa diandalkan atas dasar prediksi klinis, pendapat lain mengingat praktisnya biaya menggunakan MTX sehingga mendukung terapi awal dengan MTX atau kombinasi DMARDs atau agen biologis. Pada saat ini, MTX digunakan sebagai terapi pada kebanyakan pasien kecuali ada kontraindikasi. Dosis awal untuk memulai MTX adalah dengan dosis 15 mg / minggu bersama dengan asam folat 1 mg/hari. Dosis rendah MTX diperlukan pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Suplemen asam folat mengurangi kerusakan mucosa dan toksisitas gastrointestinal, dan kemungkinan sitotoksisitas hati tanpa mengurangi efektivitas MTX. 18 Banyak uji klinis telah dilaporkan bermanfaat dengan terapi dosis tinggi prednison pada terapi rheumatoid arthritis. Dua studi di Eropa, COBRA (Kombinasi Terapi Rheumatoid Arthritis) dan BeSt (Behandel-Stratien), ditemukan bahwa rejimen dosis tinggi prednison oral
12

(60 mg, diturunkan menjadi 7,5 mg selama 6 minggu, kemudian berhenti setelah Minggu 12) kombinasi dengan DMARDs konvensional lainnya menghambat perkembangan kerusakan sendi pada penilaian radiografi, dan efek ini bertahan selama bertahun-tahun. Secara khusus, temuan BeSt menunjukkan bahwa penambahan dosis tinggi terapi prednison dapat mengurangi dosis terapi biologis lebih lanjut, dalam hal ini dengan infliximab. 18,24 Setelah 6 sampai 12 Bulan Pertama Penyakit Dalam beberapa rekomendasi untuk pasien dengan penyakit aktif, dipertimbangkan dengan terapi tunggal atau kombinasi obat DMARD secara terpisah dari pasien yang terjadi perubahan respon biologis. Pada pasien yang menerima DMARD, baik terapi triple-DMARD harus dimulai, menambahkan SSZ (sulfasalazine) dan HCQ (hydroxychloroquine) untuk mengoptimalkan terapi MTX, atau inhibitor TNF atau CTLA-4: Ig (abatacept) harus ditambahkan pada terapi MTX. Pada pasien yang menerima agen biologis tertentu harus dihentikan pada permulaan triple-DMARD atau pengobatan menggunakan agen biologis alternatif. Setiap pengobatan harus dievaluasi selama minimal 3 sampai 6 bulan untuk menilai efektivitasnya. Gambar 2 dibawah ini merupakan panduan obat antara 6 sampai 12 bulan.18,25,26

Gambar 2. Pendekatan penatalaksanaan terkini diagnosis rheumatoid arthritis (RA) dari 6 bulan sampai 1 tahun. antiIL-6R = anti-interleukin 6 receptor; CDAI = Clinical Disease Activity Index; CTLA4:Ig = cytotoxic T lymphocyteassociated antigen 4:immunoglobulin fusion protein; DMARD = disease-modifying antirheumatic drug; HCQ = hydroxychloroquine; mAb = monoclonal antibody; MTX = methotrexate; Rx = prescription; SC = subcutaneous; SDAI = Simplified Disease Activity Index; SSZ = sulfasalazine; TNF = tumor necrosis factor.

13

Setelah 12 Bulan Penyakit Setelah 1 sampai 2 tahun pertama, manfaat terapi kortikosteroid jangka panjang sering sebanding dengan risiko, termasuk katarak, osteoporosis dan patah tulang, dan berpotensi, penyakit kardiovaskular. Pada periode awal penyakit, terapi prednison memperbaiki gejala klinis dan tidak mengubah jalannya perkembangan penyakit. Pedoman EULAR terbaru untuk manajemen risiko kardiovaskular pada pasien dengan rheumatoid arthritis merekomendasikan menggunakan dosis terendah prednisone. Rekomendasi terakhir 2010 untuk pencegahan osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid, jelas tidak aman penggunaan dosis prednison yang lama. Dengan demikian, di luar 1 sampai 2 tahun pertama penyakit, penggunaan prednison hanya digunakan sebagai terapi jembatan untuk flare-up sambil menunggu efek nonbiologic dan terapi biologis DMARD. Gambar 3 merupakan panduan untuk mengobati rheumatoid arthritis setelah 12 bulan.18,27,28,29

Gambar 3. pendekatan penatalaksanaan terkini diagnosis rheumatoid arthritis (RA) setelah sat tahun penyakit. Terapi DMARD digunakan bersama methotrexate (MTX) dan konvensional lain dari DMARD. Terapi biologic bersama pengobatan dengan tumor necrosis factor (TNF) inhibitors, abatacept, rituximab, tocilizumab, atau anakinra. antiIL-6R = anti-interleukin 6 receptor; CDAI = Clinical Disease Activity Index; CTLA4:Ig = cytotoxic T lymphocyteassociated antigen 4:immunoglobulin fusion protein; HCQ = hydroxychloroquine; IL-1ra = interleukin 1 receptor antagonist; LEF = leflunomide; mAb = monoclonal antibody; Rx = prescription; SDAI = Simplified Disease Activity Index; SSZ = sulfasalazine.

14

KESIMPULAN Manajemen kontemporer rheumatoid arthritis menekankan diagnosis dini, pemantauan kuantitatif aktivitas penyakit, dan terapi intensif untuk mencapai hasil terbaik bagi pasien. Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk menghambat aktivitas penyakit, radang dan mencapai remisi jangka panjang, yang idealnya akan berarti tidak adanya keluhan penyakit dan kebutuhan obat minimal. Penerapan kriteria klasifikasi ACR / EULAR 2010 untuk rheumatoid arthritis memfasilitasi diagnosis dini, yang sangat penting untuk probabilitas remisi klinis dengan memodifikasi terapi. Pendekatan pengobatan adalah dengan menggunakan MTX ditambah prednison sebagai pengobatan awal. Tiga bulan adalah waktu yang kritis di mana kita menilai respon terhadap MTX dan mempertimbangkan langkah untuk strategi pengobatan kombinasi lebih lanjut.

15

KEPUSTAKAAN
1. Helmick CG, Felson DT, Lawrence RC, et al; National Arthritis Data Workgroup. Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States.Part I. Arthritis Rheum. 2008;58(1):15-25. 2. Crowson CS, Matteson EL, Myasoedova E, et al. The lifetime risk of adult-onset rheumatoid arthritis and other inflammatory autoimmune rheumatic diseases. Arthritis Rheum. 2011; 63(3):633-639. 3. Addy S. Gambaran Pengetahuan keluarga tentang Artritis Reumatoid. 2009. Diunduh dari http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=5030.(29 Agustus 2012)). 4. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, Des 2008: 110-112 5. Allaire S, Wolfe F, Niu J, Lavalley MP. Contemporary prevalence and incidence of work disability associated with rheumatoid arthritis in the US. Arthritis Rheum. 2008;59(4):474- 480. 6. Sokka T, Kautiainen H, Pincus T, et al; QUEST-RA. Work disability remains a major problem in rheumatoid arthritis in the 2000s: data from 32 countries in the QUEST-RA study. Arthritis Res Ther. 2010;12(2):R42. 7. Gabriel SE, Crowson CS, Kremers HM, et al. Survival in rheumatoid arthritis: a population-based analysis of trends over 40 years. Arthritis Rheum. 2003;48(1):54-58. 8. Lindhardsen J, Ahlehoff O, Gislason GH, et al. The risk of myocardial infarction in rheumatoid arthritis and diabetes mellitus: a Danish nationwide cohort study. Ann Rheum Dis. 2011;70(6):929-934. 9. Nicola PJ, Crowson CS, Maradit-Kremers H, et al. Contribution of congestive heart failure and ischemic heart disease to excess mortality in rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum. 2006; 54(1):60-67. 10. Nicola PJ, Maradit-Kremers H, Roger VL, et al. The risk of congestive heart failure in rheumatoid arthritis: a populationbased study over 46 years. Arthritis Rheum. 2005;52(2):412420. 11. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, et al. 2010 Rheumatoid arthritis classification criteria: an American College of Rheumatology/ European League Against Rheumatism collaborative initiative. Arthritis Rheum. 2010;62(9):2569-2581. 12. Daud R. 2007. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: FKUI 13. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrissons Principles Internal Medicine 17th edition. 16

14. Thomas.R, MacDonald.K.P.A, Pettit.A.R, Cavanagh.L.L, Padmanabha.J, and Zehntner.S. Dendritic cells and the pathogenesis of rheumatoid arthritis J.Leukoc. Biol. 1999; 66: 28692 15. Firestein G.S, Pathogenesis of rheumatoid arthritis: how early is early? Arthritis Research & Therapy 2005, 7:157-159 16. Weissmann G, The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases. 2006; 64(1 & 2): 12-15 17. Firestein G.S, Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis, in Rheumatoid Arthritis, Part 9; 1035-86 18. Davis.JM, and Matteson.EL, My Treatment Approach to Rheumatoid Arthritis Mayo Clin Proc. 2012;87(7):659-673 19. Smolen JS, Aletaha D, Bijlsma JW, et al; T2T Expert Committee. Treating rheumatoid arthritis to target: recommendations of an international task force [published correction appears in Ann Rheum Dis. 2011;70(8):1519] [published online ahead of print March 9, 2010]. Ann Rheum Dis. 2010; 69(4):631-637. 20. Crowson CS, Rahman MU, Matteson EL. Which measure of inflammation to use? A comparison of erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein measurements from randomized clinical trials of golimumab in rheumatoid arthritis [published correction appears in J Rheumatol. 2009;36(11): 2625]. J Rheumatol. 2009;36(8):1606-1610. 21. Schipper LG, Vermeer M, Kuper HH, et al. A tight control treatment strategy aiming for remission in early rheumatoid arthritis is more effective than usual care treatment in daily clinical practice: a study of two cohorts in the Dutch Rheumatoid Arthritis Monitoring registry. Ann Rheum Dis. 2012; 71(6):845-850. 22. Barsky AJ, Ahern DK, Orav EJ, et al. A randomized trial of three psychosocial treatments for the symptoms of rheumatoid arthritis. Semin Arthritis Rheum. 2010;40(3):222-232. 23. Lemmey AB, Marcora SM, Chester K, Wilson S, Casanova F, Maddison PJ. Effects of highintensity resistance training in patients with rheumatoid arthritis: a randomized controlled trial. Arthritis Rheum. 2009;61(12):1726-1734. 24. Landew RB, Boers M, Verhoeven AC, et al. COBRA combination therapy in patients with early rheumatoid arthritis: long-term structural benefits of a brief intervention. Arthritis Rheum. 2002;46(2):347-356. 25. Genovese MC, Becker JC, Schiff M, et al. Abatacept for rheumatoid arthritis refractory to tumor necrosis factor alpha inhibition [published correction appears in N Engl J Med. 2005;353(21):2311]. N Engl J Med. 2005;353(11): 1114-1123.

17

26. Schiff M, Keiserman M, Codding C, et al. Efficacy and safety of abatacept or infliximab vs placebo in ATTEST: a phase III, multi-centre, randomised, double-blind, placebo-controlled study in patients with rheumatoid arthritis and an inadequate response to methotrexate. Ann Rheum Dis. 2008;67(8):1096- 1103. 27. van der Woude D, Young A, Jayakumar K, et al. Prevalence of and predictive factors for sustained disease-modifying antirheumatic drug-free remission in rheumatoid arthritis: results from two large early arthritis cohorts. Arthritis Rheum. 2009;60(8):2262-2271. 28. Saleem B, Keen H, Goeb V, et al. Patients with RA in remission on TNF blockers: when and in whom can TNF blocker therapy be stopped? [published correction appears in Ann Rheum Dis. 2011;70(8):1520. Ann Rheum Dis. 2010;69(9): 1636-1642. 29. Peters MJ, Symmons DP, McCarey D, et al. EULAR evidencebased recommendations for cardiovascular risk management in patients with rheumatoid arthritis and other forms of inflammatory arthritis. Ann Rheum Dis. 2010;69(2):325-331.

18

Anda mungkin juga menyukai