Anda di halaman 1dari 25

Bab II. Tinjauan Pustaka 2.

1 Sejarah Usahatani
Pertanian di Indonesia diawali dengan sistem ladang berpindah-pindah, dimana masyarakat menanam apa saja, hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kemudian sistem bersawah di temukan, orang mulai bermukim ditempat yang tetap, tanaman padi yang berasal dari daerah padang rumput dan kemudian juga diusahakan di daerah-daerah hutan dengan cara berladang yang berpindah diatas tanah kering. Dengan timbulnya persawahan, orang mulai tinggal tetap disuatu lokasi yang dikenal dengan nama kampong walaupun usaha tani persawahan sudah dimulai, namun usaha tani secara berladang yang berpindah-pindah belum ditinggalkan. Di Jawa, sejak VOC menguasai di Batavia kebijakan pertanian bukan untuk tujuan memajukan pertanian di Indonesia, melainkan hanya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi VOC. Tahun 1830, Van Den Bosch sebagai gubernur Jendral Hindia Belanda mendapatkan tugas rahasia untuk meningkatkan ekspor dan muncullah yang disebut tanam paksa. Sebenarnya Undang-undang Pokok Agraria mengenai pembagian tanah telah muncul sejak 1870, namun kenyataanya tanam paksa baru berakhir tahun 1921. Setelah Indonesia merdeka, maka kebijakan pemerintah terhadap pertanian tidak banyak mengalami perubahan. Pemerintah tetap mencurahkan perhatian khusus pada produksi padi dengan berbagai peraturan seperti wajib jual padi kepada pemerintah. Namun masih banyak tanah yang dikuasai oleh penguasa dan pemilik modal besar, sehingga petani penggarap atau petani bagi hasil tidak dengan mudah menentukan tanaman yang akan ditanam dan budidaya terhadap tanamannya pun tak berkembang. Pada permulaan tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program Revolusi Hijau yang dimasyarakat petani dikenal dengan program BIMAS. Tujuan utama dari program tersebut adalah meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Pada tahun 1998 usaha tani di Indonesia mengalami keterpurukan karena adanya krisis multidimensi. Pada waktu itu telah terjadi perubahan yang mendadak bahkan kacau balau dalam pertanian kita. Kredit pertanian dicabut, suku bunga kredit membumbung tinggi sehingga tidak ada kredit yang tersedia ke pertanian. Keterpurukan pertanian Indonesia akibat krisis moneter membuat pemerintah dalam hal ini departemen

pertanian sebagai stake holder pembangunan pertanian mengambil suatu keputusan untuk melindungi sektor agribisnis yaitu pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Di propinsi lain di Indonesia, sektor pertanian di wilayah Aceh Darussalam mulai berkembang sejak tahun 1607-1636 melalui kegiatan perdagangan hasil bumi sektor pertanian seperti cengkeh, kopra, dan pala kepada pedagang asing, dan pada tahun 1960 selama masa penjajahan Belanda, sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama masyarakat Aceh. Meskipun sektor pertanian mulai meningkat pada tahun 1960 dan menyusut peranannya sejak tahun 1980-an, namun masih sangat penting kedudukannya bagi rakyat Aceh karena kesanggupannya menyediakan lapangan kerja bagi sebagian penduduk dan merupakan penunjang pendapatan utama mereka. Pada masa yang akan datang, Propinsi Aceh masih tetap dan berusaha mempertahankan surplus produksi pangannya karena masih terbukanya peluang perluasan areal baru, walaupun begitu pengelolaan usaha taninya secara umum masih belum bisa dikatakan berjalan secara optimal. Untuk sektor pertanian di daerah Bengkulu telah hadir sebelum abad ke-15, dan produksinya hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan setempat.. Sementara pada jaman penjajahan Belanda, kegiatan pertanian rakyat lebih ditekankan dengan diadakannya sistem tanam paksa kopi. Dalam perkembangannya penggunan lahan produktif pada masa pelita I sampai III, ternyata masih belum optimal yang hasilnya hanya mencapai 6,65% dati total luas daerah. Pertanian tersebut masih dikembangkan dengan tradisional berupa pertanian ladang, sawah, kebun campuran dan pekarangan. Dilihat dari kondisinya sampai saat ini banyaknya kendala yang masih dihadapi sektor pertanian Bengkulu diantaranya: Terbatasnya lahan yang mendapat pengairan teknis sempurna dan masih banyaknya lahan yang mempunyai sifat derajat keasaman tinggi. Intensifikasi umum lebih besar daripada intensifikasi khusus sehingga produktifitas per satuan luas masih rendah. Lambatnya pelaksanaan percetakan sawah baru dan lokasi pencetakan sawah yang sudah dilaksanakan terpencar-pencar.

Lahan usaha tani umumnya bergelombang. Tingkat pengetahuan petani rata-rata masih rendah terutama dalam pengelolaan usaha tani antara lain karena kurangnya informasi pasar dan pengetahuan petani dalam pemasaran hasil pertanian. Perkembangan sektor pertanian di wilayah Lampung diawali didaerah Tulang

Bawang sebagai penghasil komoditas lada hitam. Sejak Jaman Kerajaan Sriwijaya, Kota Menggala dan alur Sungai Tulang Bawang tumbuh menjadi pusat perdagangan beragam komoditas, khususnya lada hitam. Seiring dengan merosotnya pamor lada hitam, sektor pertninnya digantikan oleh komoditas karet. Perkebunan karet ini selain dimiliki perkebunan swasta, mayoritasnya adalah milik rakyat. Hasil olahan karet tersebut didistribusikan ke daerah Palembang. Sementara ubi kayu merupakan komoditas utama tanaman pangan. Sebagai salah satu sentra produksi ubi kayu di Lampung yang mampu menunjang perekonomian rakyat. Namun, sekarang harganya yang semakin turun dan eksport yang berkurang karena sedikitnya permintaan membuat tanaman singkong tidak lagi diminati. Pamor ubi kayu pun kini tenggelam beriringan dengan turunnya minat Negara pengimpor yang dahulunya sering mengekspor. Di daerah Tulang Bawang, perkebunan besar tebu dan pabrik gula, perkebunan sawit dan singkong, serta industri pengolahan hasilnya juga dimiliki lebih banyak oleh daerah ini dibandingkan daerah lain di Lampung. Oleh karena itu, puluhan ribu petani yang ikut serta dalam pola kemitraan benar-benar menyandarkan hidupnya pada perkebunan besar dan pabrik pengolahan hasil-hasil perkebunan di daerah tersebut. Lain halnya dengan daerah Karawang Jawa Barat, keadaan pertanian di daerah ini sudah dimulai jauh sebelum penjajah datang. Ladang sebagai bentuk miniatur dan hutan tropis telah lama dikembangkan. Begitu juga dengan model sawah yang telah dikembangkan oleh kerajaan. Seiring dengan datangnya Belanda ke Indonesia adalah untuk memperoleh produk pertanian yang dipasarkan di Dunia dan di daerah Karawang ini pertanian berkembang adalah persawahan dengan jenis tanaman padi. Sejak tempo dulu Karawang terkenal sebagai lumbung padi Jawa Barat, luas lahan sawah 93.590 hektar

atau sekitar 53% dari luas kabupaten dan tersebar diseluruh kecamatan, dan pada tahun 2001 kabupaten ini menghasilkan 1,1 juta ton padi sawah,selain padi sawah juga dihasilkan padi ladang 1.516 ton dari 740 hektar lahan di kecamatan pangkalan. Sampai saat ini Produksi padi Karawang tidak lepas dari sistem pengairan yang memadai. Saluran irigasi di Karawang terdiri dari Saluran Induk Tarum Utara dari Bendungan Walahar, Saluran Induk Tarum Barat dan Saluran Induk Tarum Timur dari Bendungan Curug. Selain tiga saluran irigasi tersebut daerah ini memiliki saluran irigasi yang sumber airnya berasal dari Bendungan Barugbu, dan Pundog di Kabupaten Purwakarta. Di daerah Yogyakarta sendiri, disimpulkan dalam tiga jaman, yaitu sebagai berikut: Masa sebelum perubahan hukum tanah tahun 1918 Dimasa ini petani hanya memiliki kewajiban dan tidak mempunyai hak sama sekali. Semua yang hidup di luar istana adalah abdi Sultan yaitu Kawulo Dalem. Seorang kawula dalem sanggup dan setuju menggarap tanah bagi penguasa, dia diperkenankan mengambil separoh dari hasil panen untuk diri sendiri dan keluarganya. Antara tahun 1918-1951 Di masa ini para petani mempunyai kewajiban dan hak. Seiring dengan dihapuskannya sistem tanam paksa. Program land reformtelah diterima ditahun 1912 atas dasar bahwa kaum tani tidak boleh hanya dibebani dengan berbagai kewajiban akan tetapi mereka juga harus diberi hak-hak. Masa ketika pajak tanah mulai dihapuskan yaitu tahun 1951 Dalam perekonomian sektor pertanian pada masa ini belum memberikan sumbangan yang berarti. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan, diantaranya: Luas tanah milik sangat terbatas, sehingga perluasan usaha tani juga terbatas, Kewajibankewajiban yang bersifat paksanaan atas kaum tani bukannya berkurang, karena kewajiban lama ditambah dengan kewajiban kewajiban kerja gotong-royong baru untuk kepentingan desa.

Beda dengan daerah Yogyakarta, Lombok semakin mendapat tempat khusus di bidang pertanian dan perdagangan, terutama sejak Gunung Tambora, yang berada di wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, Pulau Sumbawa, meletus dahsyat tahun 1815. Lekker (1920) menyebutkan, tahun 1839 Lombok menjadi produsen kapas berkualitas baik, kayu Sepang, dan beras. Pada tahun itu, tercatat sedikitnya 18.000 ton beras dikeluarkan dari Lombok untuk dikirim ke Jawa, Madura, dan Makassar, bahkan sampai ke Mauritius dan Cina. Komoditas perdagangan dari sektor pertanian tidak bisa lepas dari peran Lombok Barat bagian timur. Topografi yang datar dan diapit bukit serta gunung di bagian utara dan selatan, cocok untuk pengembangan hortikultura dan perkebunan. Didukung lahan pertanian 107.429 hektar, pertanian tanaman pangan menjadi andalan, dan pada tahun 2001, tanaman pangan menyumbang Rp 362,4 milyar, menduduki posisi pertama kegiatan perekonomian. Untuk masyarakat Bali sendiri, mengenal organisasi pengairan yang disebut subak. Subak adalah kesatuan dari pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasinya dari satu sumber atau bendungan tertentu. Pengembangan sektor pertanian di Bali mengalami perkembangan yang cukup pesat selama empat pelita pertama terutama setelah dilakukannya penerapan teknologi modern di bidang pertanian tanaman pangan. Pada tahun 1974, propinsi Sulawesi Utara memiliki hamparan dataran yang cukup potensial untuk pertanian dan perkebunan yang masih dalam tahap pendatang, tetapi sekarang wilayah-wilayah itu sudah menjadi lahan pertanian yang subur dan telah memegang peranan penting dalam perekonomian daerah. Sejak Pelita I dan Pelita V sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar sumbangannya dalam pembentukan pendapatan daerah. Demikian pula peranan dalam penyerapan tenaga kerja. Kendati semakin lama peranannya berangsur-angsur menurun tetapi sektor pertanian masih belum dapat digantikan oleh sektor lainnya. Pembangunan pertanian selama Pelita I sampai Pelita IV menunjukkan hasil yang menggembirakan baik dilihat dari skala pengesahaan maupun produktivitas. Di dukung berbagai program seperti intensifikasi,

ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi serta pembangunan prasarana irigasi, perkembangan masing-masing subsektor terus meningkat seperti tercermin dari

semakin luasnya areal tanaman perkebunan, semakin banyaknya jumlah rumah tangga petani yang terlibat dalam usaha tani secara luas. Untuk jangka panjang, peluang pengembangan wilayah masih sangat terbuka dimana orientasi produksi untuk tujuan ekspor bagi komoditi-komoditi yang memiliki daya saing kuat dapat dijadikan prioritas. Propinsi Sulawesi Tengah, sebelum tahun 1974, kondisi pertanian penduduk terbatas sekali. Pada periode itu sekitar 45 persen dari jumlah penduduk Sulawesi Tengah (tahun1971 berjumlah 913.662 jiwa) menggantungkan hidupnya dari hasil tanaman kelapa. Penguasaan tanah di Sulawesi Tengah, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu: Tanah yang dikuasai oleh masyarakat merupakan tanah-tanah yang telah diwarisi secara turun temurun, baik yang dikuasai oleh perorangan maupun komunal desa (tanah adat), ada pula lahan yang dikuasai oleh masyarakat karena kebijakan pemerintah misalnya lahan yang dicadangkan untuk lokasi transmigrasi, lahan perkebunan, dan lain-lain. dan Tanah yang dikuasai oleh negara, meliputi kawasan hutan (kawasan Tata Guna Kesepakatan) dan tanah-tanah lainnya untuk pembangunan kepentingan umum, seperti jalan-jalan, kuburan, sekolah dan lain-lain. Saat ini pertanian di Sulawesi Tengah sudah mulai berkembang ke pertanian yang lebih modern, sehingga jumlah produksi pertanian yang dihasilkan juga bertambah, namun akibat maraknya perkelahian antar suku di daerah ini, masyarakat mengalami kemunduran di bidang usaha tani, sehingga perekonomian di daerah ini menjadi tidak stabil.

2.2 Transek Desa


Arti harfiah (terjemahan lurus) dari Transek itu sendiri adalah gambar irisan muka bumi. Pada awalnya, transek dipergunakan oleh para ahli lingkungan untuk mengenali dan mengamati wilayah-wilayah Ekologi (pembagian wilayah lingkungan alam berdasarkan sifat khusus keadaannya).

Teknik Penelusuran Lokasi (Transek) adalah teknik PRA untuk melakukan pengamatan langsung lingkungan dan sumber daya masyarakat, dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa mengikuti suatu lintasan tertentu yang disepakati. Hasil pengamatan dan lintasan tersebut, kemudian dituangkan ke dalam bagan atau gambar irisan muka bumi untuk didiskusikan lebih lanjut Jenis Jenis Transek Jenis-jenis Transek berdasarkan jenis informasi (topik kajian) terdiri dari tiga jenis yaitu Transek Sumber Daya Desa yang bersifat umum, Transek Sumber Daya Alam dan Transek untuk Topik Topik Khusus. Uraian singkat ketiha jenis transek tersebut adalah: Pertama, Transek Sumber Daya Desa ( Umum ) Penelusuran desa adalah pengamatan sambil berjalan melalui daerah pemukiman desa yang bersangkutan guna mengamati dan mendiskusikan berbagai keadaan. Keadaan-keadaan yang diamati yaitu pengaturan letak perumahan dan kondisinya, pengaturan halaman rumah, pengaturan air bersih untuk keluarga, keadaan sarana MCK (mandi-cuci-kakus), sarana umum desa (a.l. sekolah, took, tembok dan gapura desa, tiang listrik, puskesmas, dsb), juga lokasi kebun dan sumber daya pertanian secara garis besar. Kajian transek ini terarah terutama pada aspek-aspek umum pemukiman desa tersebut, terutama sarana-sarana yang dimiliki desa, sedangkan keadaan sumber daya alam dan bukan alam dibahas secara garis besarnya saja. Kajian ini akan sangat membantu dalam mengenal desa secara umum dan beberapa sapek lainnya dari wilayah pemukiman yang kurang diperharikan. Kedua, Transek Sumber Daya Alam Transek ini dilakukan untuk mengenal dan mengamati secara lebih tajam mengenai potensi sumberdaya alam serta permasalahan-permasalahannya, terutama sumber daya pertanian. Seringkali, lokasi kebun dan lahan pertanian lainnya milik masyarakat berada di batas dan luar desa, sehingga transek sumber daya alam ini bisa sampai keluar desa.

Informasi-informasi yang bisanya muncul antara lain adalah : Bentuk dan keadaan permukaan alam (topografi) : termasuk ke dalamnya adalah kemiringan lahan, jenis tanah dan kesuburannya, daerah tangkapan air dan sumbersumber air (sungai, mata air, sumur). Pemanfaatan sumber daya tanah (tataguna lahan) : yaitu untuk wilayah permukiman, kebun, sawah, lading, hutan, bangunan, jalan, padang gembala, dan sebagainya. Pola usaha tani: mencakup jenis-jenis tanaman penting (antara lain jenis-jenis local) dan kegunaanya (misalnya tanaman pangan, tanaman obat, pakan ternak, dsb), produktivitas lahan dan hasilnya dan sebagainya. Teknologi setempat dan cara pengelolaan sumber daya alam : termasuk teknologi tradisional, misalnya penahan erosi dari batu, kayu, atau pagar hidup; pohon penahan api; pemeliharaan tanaman keras; system beternak; penanaman berbagai jenis rumput untuk pakan ternak, penahan air, penutup tanah; system pengelolaan air, (konservasi air, kontrol erosi, dan pengairan) dan beberapa hal lainnya. Pemilikan sumber daya alam : biasanya terdiri dari milik perorangan, milik adat, milik umum/desa, milik pemerintah (missal hutan). Kajian lebih lanjut yang dilakukan antara lain adalah : Kajian mata pencaharian yang memanfaatkan sumber daya tersebut baik oleh pemilik maupun bukan (missal, penduduk yang tidak memiliki kebun mungkin menjadi pengumpul kayu bakar dari hutan, menjadi buruh, dsb). Kajian mengenai hal-hal lain yang mempengaruhi pengelolaan sumber daya, seperti perilaku berladang dan tata cara adat dalam pengelolaan tanah, pengelolaan air, peraturan memelihara ternak, upacara panen, dan sebagainya. Ketiga, Transek Topik Topik Lain Transek juga bisa dilakukan untuk mengamati dan membahas topik-topik khusus. Misalnya: transek yang dilakukan khusus untuk mengamati sarana kesehatan dan kondisi kesehatan lingkungan desa, transek wilayah persebaran hama, atau transek khusus untuk mengamati sumber air dan system pengelolaan aliran air serta irigasi, pendidikan dasar, dan sebagainya.

Transek berdasarkan Lintasan Selain jenis transek berdasarkan topik kajian diatas, transek juga dapat

dikelompokan dari segi cara penelusuran di lapangan, baik menurut garis lurus, bukan garis lurus dan atau melalui lintasan sumber air. Pertama, Transek Lintasan Garis Lurus Ditempat tim dan masyarakat berkumpul untuk melakukan penelusuran lokasi, dibahas dan ditetapkan lintasan yang akan dilakukan. Kegiatan penelusuran lokasi ini bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut : Berjalan mengikuti garis atau mengikuti jalan utama dan jalan-jalan di permukiman, di wilayah yang ingin diamati keadaanya (dengan demikian, lintasan yang sebenarnya tentu saja tidak benar-benar berupa garis lurus) Berjalan mulai dari titik terendah sampai titik tertinggi atau sebaliknya dari titik tertinggi ke titik terendah (biasanya dilakukan untuk membandingkan kondisi lahan dan jenis usaha pertanian yang dilakukan pada tingkat ketinggian yang berbeda di wilayah dataran tinggi). Kedua, Transek Lintasan Bukan Garis Lurus Kegiatan ini dilakukan dengan perjalanan yang mengabaikan lintasan jalan yang ada. Yang menentukan adalah letak-letak atau lokasi pengamatan yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan demikian, perjalanan dimulai dengan lokasi yang paling dekat, kemudian paling jauh. Arah perjalanan untuk mencapai lokasi-lokasi yang akan diamati tersebut bisa dilakukan dengan beberapa kemungkinan yaitu : Berkelok-kelok (zig-zag) Bisa pulang pergi atau juga berputar Menyapu (semua arah) Berdasar pengalaman, cara ini memberikan suatu hasil yang lebih menyeluruh daripada melintas lokai mengikuti garis lurus.

Ketiga, Transek Lintasan Saluran Air (Sumber Air) Penelusuran ini dilakukan dengan berjalan mengikuti aliran air secara sistematis untuk menyusuri aliran air atau tepian sungai. Pengamatan dilakukan terhadap daerah di sepanjang saluran air atau tepian sungai untuk mengkaji penataan sumber air bagi pertanian dan memperoleh informasi tentang pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dilakukan oleh para petani.

2.3 Profil Usahatani 2.3.1 Karakteristik Usahatani dan Petani di Indonesia Karakteristik Usahatani Di Indonesia
1. Adanya jarak waktu antara mulai investasi dengan penerimaan hasil, karena proses produksi pertanian memerlukan waktu lama. Misal tanaman padi perlu waktu 3-4 bulan baru bisa menghasilkan, tanamanperkebunan & buah-buahan perlu waktu 4-8 tahun. Keadaan ini akan mempengaruhi tingkat resiko usaha dan tingkat pengembalian modal. Resiko usaha bisa berupa resiko fisik dan pasar. Resiko fisik berarti kemungkin gagal panen ataupengurangan panen yang disebabkan bermacam - macam faktor seperti banjir, kekeringan, hama dan penyakit, dan bencana lainnya. Resiko pasar bisa berupa terjualnya produk dengan harga murah atau tidak ada pembeli. Jika hasil lama baru diperoleh, akan menurunkan nilai kini hasil tersebut. Karena waktu mempunyainilai, semakin lama nilainya makin kecil. Faktor penyetaraan nilai tahun tertentu dengan nilai kini disebut faktor diskonto. 2. Merupakan pertanian rakyat Sebagian besar pertanian Indonesia merupakan pertanian rakyat dengan ciri-ciri: [1] skala usaha kecil, rata-rata penguasaan lahan pertanian hanya sekitar 0,5 hektar,

[2] tidak ada pembedaan antara usaha dan rumahtangga, misalnya rumah yang sekaligus merupakan gudang, kandang ternak, keuangan usaha dan rumah tangga tercampur, [3] manajemennya tidak profesional.

3. Bersifat ekstensif Pertanian membutuhkan lahan yang luas, implikasinya lahan pertanian di perkotaan pasti kalah bersaing dengan kegunaan usaha lain.

4.

Spesialisasi dalam pertanian sukar diterima. Spesialisasi dapat dibedakan menjadi spesialisasi produksi dan tenaga kerja. Spesialisasi produksi berarti menghasilkan satu macam produk. Karena pertanian beresiko tinggi maka tidak banyak petani yang melakukannya. Spesialisasi tenaga kerja banyak dilakukan dipabrik atau industri, tetapi tidak berlaku di pertanian. Umumnya tenaga kerja dapat bekerja pada beberapa pekerjaan. Tetapi ada kebiasaan di masyarakat tertentu yang pekerjaannya berdasarkan jenis kelamin, misalnya wanitabekerja di penyiangan, panen, sedang laki-laki bekerja mencangkul, sopir traktor dan pekerjaan yang relatif berat.

5.

Lebih banyak menggunakan TK manusia dan relatif sedikit menggunakan TK mesin. Penggunaan TK akan berbeda pada luasan lahan yang berbeda dan aktivitas pertanian yang berbeda. Usaha tani sempit penggunaan TK keluarga relatif besar. Pada usahatani yg relatif luas, biasanya menggunakan TK yg relatif sedikit untuk setiap hektarnya. Penggunaan TK pada saat pengolahan akan berbeda jumlahnya dengan saat panen. Perbedaan penggunaan TK juga berdasarkan seks. TK wanita untuk pekerjaan relatif ringan seperti menyiangi & panen. TK laki-lakiuntuk pekerjaan realtif berat, seperti pengolahan tanah & mengangkut hasil panen.

6.

Hasil pertanian sulit diprediksi/dikontrol Proses produksi pertanian yang banyak ditentukan oleh alam/musim, menyebabkan jumlah dan kualitas hasilnya sering tidak bisa dikontrol/diprediksi. Keadaan ini mengakibatkan perlunya proses sortasi dalam penanganan pascapanen.

7. Pasar komoditi pertanian sifatnya monopsoni/oligopsoni sehingga sering terjadi eksploitasi harga pada petani. Selain itu, harga hasil pertanian selalu berfluktuasi: fluktuasi jangka panjang= trend fluktuasi siklus: siklus ekonomi dan produksi siklus stabil, konvergen dan divergen fluktuasi musiman fluktuasi jangka sangat pendek

8.

Pertanian memiliki kontribusi yang relatif besar terhadap perekonomian Indonesia, bukan hanya kontribusinya dari sisi produk domestik brutto (PDB), tetapi juga terhadap penyerapan TK.

Karakteristik Petani di Indonesia


Hernanto (1984) mengemukakan bahwa partisipasi terhadap kegiatan yang dijalankan dalam sebuah program dipengaruhi oleh karateristik sosial ekonomi. Karakteristik sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat partisipasi yang berasal dari petani itu sendiri Karateristik sosial ekonomi tersebut meliputi: 1) Pendidikan

Tingkat pendidikan petani baik formal maupun non formal akan mempengaruhi cara berfikir yang diterapkan pada usahataninya yaitu dalam rasionalitas usaha dan kemampuan memanfaatkan setiap kesempatan ekonomi yang ada. Mardikanto (1993) menerangkan pendidikan merupakn proses timbal balik dari setiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, teman dan alam semesta. Pendidikan formal merupakn jenjang pendidikan dari terendah sampai

tertinggi yang biasanya diterima di bangku sekolah. Sedangkan pendidikan non formal biasanya diartikan sebagai penyelenggaraan pendidikan terorganisir diluar sistem pendidikan sekolah dengan isi pendidikan yang terprogram. Slamet (1993) menambahkan tingkat pendidikan responden yang dikelompokkan menjadi 3 dimana kelompok berpendidikan rendah yaitu SD kebawah; kelompok berpendidikan sedangdiatas SD sampai dengan tamt SLTA dan berpendidikan tinggi diatas SLTA. Dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula dalam berpartisipasi. 2) Pendapatan

Menurut Novi (2003), secara umum pendapatan petani pada usahatani tanaman pangan tergolong rendah. Untuk itu dengan diadakannya program pengembangan agribisnis jagung hibrida Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar mengharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan para petani. Pendapatan petani dibedakan menjadi pendapatan usahatani dan usahatani. Pendapatan dalam usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dan biaya-biaya. Biaya ini dala makenyataan dapat dilkasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap seperti sewa tanah, pembelian alat-alat pertanian dan biaya tidak tetap seperti biaya yang diperlukan untuk membeli pupuk, benih, obatobatan, pembayaran tenaga kerja (1989). Menurut Mubyarto (1979), hasil produksi pertanian dihitung dengan mengalikan luas lahan dan hasil persatuan luas. Dan ini semua dinilai dengan uang. Tetapi tidak semua hasil ini diterima oleh petani. Hasil itu harus dikurangi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan yaitu harga pupuk dan bibit, biaya pengolahan lahan, upah menanam, upah membersihkan rumput dan biaya panenan yang biasanya berupa bagi hasil. Dan setelah semua biaya-biaya tersebut dikurangi barulah petani memperoleh hasil bersih atau pendapatan. Sehubungan dengan pendapatan Soekartawi (1988) menyebutkan bahwa petani dengan tingkat pendaptan tinggi ada hubungannya

dengan penggunaan suatu inovasi. Petani dengan pendapatan tinggi akan lebih mudah melakukan sesuatu yang diinginkan sehingga akan lebih aktif dalam berpartisipasi. 3) Luas penguasaan lahan

Luas penguasaan lahan akan menentukan partisipasi petani terhadap proyek. Luas sempitnya lahan yang dikuasai akan mempengaruhi anggota untuk mengolah lahan (Kuswardhani, 1998). Menurut Mubyarto (1979), hasil bruto produksi pertanian dihitung dengan mengalikan luas lahan tanah dan hasil persatuan luas. Dengan demikian emakin luas tanah garapan, hasil produksi pertanian pun semakin tinggi. Biasanya berdasarkan luas lahannya petani di Jawa digolongkan kedalam 3 kategori, yaitu petani gurem untuk luas lahan <0,5 Ha, petani menengah antara 0,5 Ha sampai 1 Ha, dan petani luas >1 Ha. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa factor pendidikan mempengaruhi cara pandang seseorang karena dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki akan memperluas wawasan dan pengetahuan petani sehingga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi. Pendapatan yang diterima petani akan mempengaruhi keterlibatan dalam suatu kegiatan. Penguasaan lahan lahan petani di Indonesia sebagian besar adalah sempit sehingga mempengaruhi petani dalam pengelolaannya, agar dapat mengoptimalkan produktifitas usahatani dengan lahan yang tersedia.

2.3.2 Tinjauan tentang Komoditas Pertanian ( TOMAT )


Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Tomat merupakan tanaman asli di Benua Amerika yang tersebar dari Amerika Tengah hingga Amerika Selatan. Tanaman tomat pertama kali dibudidayakan oleh suku Inca dan suku Aztee pada tahun 700 SM. Sementara itu, bangsa Eropa mulai mengenal tomat sejak Christophorus Columbus pulang berlayar dari Amerika dan tiba di Pantai San Salvador. Di Eropa, orang-orang menamai tomat

dengan berbagai julukan. Orang Prancis menyebut tomat dengan sebutan apel cinta, dan orang Jerman menyebut tomat dengan sebutan apel surga. Tahun 1821, orang-orang Lousiana di New Orleans mulai memakai tomat dalam berbagai menu masakan mereka. Kemudian, berita ini cepat menyebar sehingga banyak ditiru masyarakat luas yang menggunakan tomat sebagai campuran masakan seafood (Prajawati, 2006). Dalam botani atau ilmu tumbuh-tumbuhan, tanaman tomat diklasifikasikan sebagai berikut (Atherton dan Rudich, 1986). Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledoneae (berbiji berkeping satu) Ordo : Tubiflorae Famili : Solanaceae Genus : Lycopersicon Spesies : Lycopersicon esculentum Mill

Tanaman tomat termasuk tanaman semusim yang berumur pendek, artinya umur tanaman hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Tomat sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, karena mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan. Dalam buah tomat juga terdapat zat pembangun jaringan tubuh dan zat yang dapat meningkatkan energi. Tanaman tomat sangat dikenal masyarakat dan digemari karena rasanya yang manis-manis asam dapat memberikan kesegaran pada tubuh dan cita rasanya yang berbeda dengan buah-buahan lainnya. Bahkan kelezatan rasa buah tomat mi juga dapat menambah cita rasa dan kelezatan berbagai macam masakan. Kegunaannya sebagai penyedap masakan hanya sedikit, namun ketersediaannya tetap di dambakan sepanjang masa.

1.

Syarat Tumbuh Tanaman Tomat

Menurut Rukmana (1994), syarat tumbuh tanaman tomat sebagai berikut : Keadaan iklim 1) Suhu

Tanaman tomat tumbuh secara baik bila udaranya sejuk, yaitu suhu pada malam hari antara 10- 20oC dan pada siang hari antara 18- 29C. 2) Curah hujan

Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah 750 - 1250 mm/th. Keadaan ini berhubungan erat dengan ketersediaan air tanah bagi tanaman, terutama di daerah yang tidak beririgasi teknis. 3) Sinar matahari

Cahaya matahari sangat dibutuhkan dalam proses fisiologi tanaman untuk membentuk bagian vegetatif tanaman (batang, cabang, dan daun) dan bagian generatif tanaman (bunga, buah dan biji). Intensitas cahaya matahari yang diperlukan oleh tanaman tergantung pada fase atau tingkatan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan cahaya matahari sebagai sumber energi fotosintesis juga tergantung lamanya penyinaran. Penyinaran matahari untuk mendapatkan hasil yang baik adalah sepanjang hari di tempat yang terbuka (sekitar 8 jam perhari). 4) Ketinggian tempat

Pertumbuhan tanaman tomat di dataran tinggi lebih baik daripada di dataran rendah, karena tanaman menerima sinar matahari lebih banyak tetapi suhu rendah. Keadaan tanah Tanaman tomat dapat tumbuh di segala jenis tanah. Tanah yang ideal adalah tanah lempung berpasir yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik serta unsur hara, pH 6,0 - 7,0 dan draenase baik.

2.

Budidaya tanaman tomat

Menurut Cahyono (1998), budidaya tanaman tomat yaitu: Persiapan bahan tanaman Pengadaan benih tomat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan cara membeli bibit yang sudah siap tanam atau dengan membuat benih sendiri. Apabila pengadaan bibit dengan cara membeli, hendaknya membeli pada toko pertanian yang terpercaya menyediakan benih-benih yang bermutu baik dan telah bersertifikat Pengolahan tanah Tomat dapat hidup subur bila tanahnya gembur. Oleh karena itu, tanah harus dicangkul, ditraktor atau dibajak lebih dahulu sebelum tomat di tanam. Setelah itu dibuat bedengan dengan ukuran 100 - 200 cm untuk media tanaman tomat Pemasangan mulsa plastik hitam perak Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan mulsa adalah, sebelum pemasangan, bedeng-bedeng yang telah terbentuk sebaiknya diairi terlebih dahulu sehingga kondisinya lembab. Pemasangan mulsa sebaiknya dilakukan sekitar pukul 09.00-14.00 agar mulsa plastik dapat terpancang kuat, karena pada saat itu plastik mengalami pemuaian akibat teriknya matahari langsung. Penanaman Bibit tomat yang telah berumur kurang lebih 2-3 minggu dan berdaun 3 - 4 helai dapat ditanam pada lahan yang telah disiapkan. Jarak tanam sebaiknya 60 x 40 cm, 60 x 60 cm atau 50 x 50 cm. Dalam satu hektar dapat ditanami sekitar 21 ribu rumpun. Pemeliharaan 1) Penyiraman

Penyiraman untuk tanaman tomat sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan hidup sehingga tanaman dapat hidup dan berproduksi secara optimal.

2)

Penyiangan

Penyiangan adalah kegiatan membersihkan atau memberantas rumput-rumput dan jenis tanaman lain yang mengganggu tanaman yang di budidayakan Gulma yang tumbuh di areal tanaman tomat harus disiangi agar tidak menjadi pesaing tanaman. 3) Pemberian air

Pada umur 21 hari sejak penanaman di kebun, atau kira-kira sudah setinggi 25 cm, tanaman tomat harus diberi air untuk menopang tegaknya tanaman dan menopang buah. Sebab, tanaman tomat memiliki batang yang kurang kuat sehingga apabila tidak diberi air akan roboh. 4) Penyulaman

Penyulaman adalah mengganti tanaman yang mati atau masak. Penyalaman hendaknya dilakukan seminggu setelah tanaman. 5) Pemupukan

Jenis pupuk yang dapat digunakan untuk tanaman tomat adalah pupuk organik (pupuk kandang, kompos dan pupuk hijau) atau pupuk buatan (pupuk nitrogen (N), Pospor (P), dan Kalium (K). Pemupukan yang berwawasan lingkungan adalah pemupukan yang dilakukan dengan memperhatikan waktu, dosis, dan cara penempatannya. Dengan memperhatikan tiga hal tersebut, maka dapat menghindari pemupukan yang berlebihan. 6) Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dan penyakit yang perlu diterapkan adalah pengendalian secara terpadu yaitu pengendalian yang memadukan cara biologis, mekanis, dan iklim. Penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir untuk memberantas hama dan penyakit.

3.

Pemanenan

Pemetikan buah tomat dapat dilakukan pada tanaman yang telah berumur 60 100 hari setelah tanam atau tergantung varietasnya. Saat pemetikan buah tomat yang baik adalah pada pagi atau sore hari dan keadaan cuaca cerah. Cara memetik buah tomat yang sudah matang cukup dilakukan dengan memutar buah satu per satu. Tomat merupakan sayuran populer di Indonesia. Produksi tomat di Indonesia tiap tahun akan meningkat mengimbangi kebutuhan masyarakat yang meningkat dan juga perluasan pasar (ekspor). Buah tomat saat ini merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi dan masih memerlukan penanganan serius, terutama dalam hal peningkatan hasilnya dan kualitas buahnya. Apabila dilihat dari rata-rata produksinya, tomat di Indonesia masih rendah. Rendahnya produksi tomat di Indonesia kemungkinan disebabkan varietas yang ditanam tidak cocok, kultur teknis yang kurang baik atau pemberantasan hama/penyakit yang kurang efisien.

2.4 Analisis Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan ( Pendapatan ) Usahatani (rumus dan kurva) Analisis Biaya Biaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Total Fixed Cost (TFC): biaya yang dikeluarkan perusahaan atau petani yang tidak mempengaruhi hasil output / produksi. Berapapun jumlah output yang dihasilkan biaya tetap itu sama saja. Contoh : sewa tanah, pajak, alat pertanian, iuran irigasi.

2. Total Variable Cost (TVC) yaitu biaya yang besarnya berubah searah dengan berubahnya jumlah output yang dihasilkan.

Kurva Variable Cost 3. Total Cost (TC) = FC + VC

Kurva Total Cost 4. Average Cost (AC) a. Average Fixed Cost yaitu biaya tetap satuan output yang dihasilkan.

Kurva Average Cost

b. Average Variable Cost (AVC) = VC/Q , yaitu biaya variabel untuk setiap satuan output yang dihasilkan.

Kurva Average Variable Cost c. Average Total Cost ( AC


TC ) biaya persatuan output Q

Kurva Average Total Cost TC = FC + VC dan AC = AFC + AVC Tingkat output yang dihasilkan pada saat AC minimum / OQ3 satuan disebut tingkat output minimal / the optimum rate of output.

Penerimaan
Penerimaan usahatani adalah hasil penjualan dan sejumlah produksi tertentu yang diterima atas penyerahan sejumlah barang pada pihak lain (Boediono, 1992). Di lain pihak, Soedarsono (1992) menyatakan bahwa jumlah penerimaan total didefinisikan sebagai penerimaan dan penjualan barang tertentu dikalikan dengan harga jual satuan. Setelah petani menjual hasil produksinya, maka petani akan menerima sejumlah uang. Penerimaan dirumuskan dengan : TR = P.Q Dimana : TR P Q = Total Revenue (Penerimaan Total) = Price (Harga) = Quantity (Jumlah Produksi)

Keuntungan ( Pendapatan )
Pendapatan merupakan jumlah seluruh uang yang akan diterima oleh seseorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu. Pendapatan terdiri dan upah atau penerimaan tenaga kerja, pendapatan dan kekayaan seperti sewa, bunga serta pembayaran transfer atau penerimaan dari pemerintah tunjangan sosial (Samuelson dan Nordhaus, 2003). Sementara itu, Kadariah (1983), menyatakan bahwa pendapatan adalah hasil berupa uang atau hasil material lainnya yang berasal dan pemakaian kekayaan atau dan jasa-jasa manusia yang bebas. Pendapatan umumnya adalah penerimaan-penerimaan individu atau perusahaan. Ada dua jenis pendapatan, yaitu: 1. Pendapatan kotor (gross income) adalah penerimaan seseorang

atau suatu badan usaha selama periode tertentu sebelum dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran usaha. 2. Pendapatan bersih (net income) adalah sisa penghasilan dan laba

setelah dikurangi semua biaya, pengeluaran dan penyisihan untuk depresiasi serta kerugian-kerugian yang bisa timbul.

Lebih lanjut Soekartawi (1986) menyebutkan bahwa pendapatan ada 2 macam : 1. Pendapatan usahatani adalah pendapatan yang diperoleh dengan

mempertimbangkan biaya tenaga kerja keluarga. 2. Pendapatan keluarga adalah pendapatan yang diperoleh petani

dan keluarga tanpa dikurangi dengan biaya tenaga kerja. Soedarsono (1992), menyatakan pendapatan yang diterima petani dan hasil produksi adalah total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : I = TR TC Dimana : I = Income (Pendapatan)

TR = Total Revenue (penerimaan Total) TC = Total Cost (Biaya Total)

2.5 Analisis Kelayakan Usahatani 2.5.1 R/C Ratio


R/C Ratio, merupakan alat analisa untuk mengukur biaya dari suatu produksi.

Kriteria: R/C Ratio > 1, usahatani layak dikembangkan R/C Ratio < 1, usahatani tidak layak dikembangkan R/C Ratio = 1, usahatani impas.

2.5.2 BEP ( Break Even Point ) ( beserta rumus dan kurva )


Break Even Point (BEP) adalah suatu kondisi yang menggambarkan bahwa hasil usaha tani yang diperoleh sama dengan modal yang dikeluarkan atau usaha tani yang dilakukan tidak menghasilkan keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian.

Ada 3 perhitungan BEP a. BEP Volume Produksi BEP Volume Produksi menggambarkan produksi minimal yang harus dihasilkan, agar usaha tani tidak mengalami kerugian. BEP Volume = Total Biaya Produksi Harga di tingkat petani Hasil ini menunjukkan bahwa pada saat diperoleh produksi sebesar n kg maka usaha tani ini menghasilkan keuntungan dan tidak mengalami kerugian.

b. BEP Harga Produksi BEP harga produksi menggambarkan harga terendah dari produk yang dihasilkan. Apabila harga di tingkat petani lebih rendah dari BEP maka usaha tani akan mengalami kerugian BEP Harga = total biaya produksi total produksi Hasil ini menunjukkan bahwa pada saat harga suatu usaha tani di tingkat petani x rupiah, maka usaha tani ini tidak menghasilkan keuntungan dan tidak mengalami kerugian. c. BEP Pendapatan BEP Pendapatan menggambarkan pendapatan minimal yang harus diperoleh agar tidak mengalami kerugian. BEP Pendapatan = Biaya Tetap 1 biaya tidak tetap pendapatan Artinya bahwa dengan pendapatan Rp.xxxxxx pengusaha telah mengalami balik modal dari usaha tersebut.

KURVA BEP

Anda mungkin juga menyukai