Anda di halaman 1dari 5

http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=225:saatnya-menujuindustrialisasi-garam&catid=28&Itemid=133 Saatnya Menuju Industrialisasi Garam Senin, 06 Agustus 2012 Indonesia yang memiliki pantai yang luas dengan pancaran sinar matahari yang melimpah, harus bisa menjadi modal mengatasi impor garam dengan membangun industri garam yang kuat. Kualitas garam nasional yang rendah menjadi alasan bagi para pengusaha untuk terus melakukan impor. Praktis kondisi tersebut memicu turunnya harga garam yang dihasilkan para petambak di Tanah Air. Terinspirasi permasalahan tersebut, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan memandang perlu segera dilakukan industrialisasi garam. Menggenjot produk turunan garam menjadi salah satu solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan garam nasional akhir-akhir ini. Ke depan kami ingin para petambak garam di Tanah Air tidak saja terpaku untuk memproduksi garam, tapi juga bisa menghasilkan turunannya. Karena setelah dihitung-hitung, harga turunannya justru bisa mencapai 15 kali lebih besar jika dibanding garam untuk makan, ungkap Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr, Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, kepada Majalah Sains Indonesia, seusai penandatangan MoU dengan Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam pembangunan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Litbang Sumberdaya Garam dan Mineral Air Laut, baru-baru ini. Lebih lanjut Rompas me-ngatakan, ada sekitar 12 jenis turunan garam yang bisa dihasilkan. Di antaranya adalah untuk industri pembuatan kertas, medis, pewarnaan pada pembuatan film dan pertanian. Di bidang pertanian misalnya, produk turunan garam dapat digunakan untuk menaikkan pH tanah. Di daerah Kalimantan, masih banyak dijumpai tanah yang pH nya rendah. Ini artinya, kalau UPT ini sudah berjalan dan masyarakat juga sudah mulai mengembangkan industri turunannya, maka bukan tidak mungkin provinsiprovinsi di Kalimantan akan membeli produk turunan garam dari Pamekasan. Jika ini terjadi, maka petambak garam pun akan mendapatkan nilai tambahnya, ujar Rompas. Rompas berharap, pemerintah daerah membantu terutama dalam hal penyediaan kolektor yang menampung dan membeli hasil olahan para petambak. Ini merupakan salah satu program dari Kemen-terian Kelautan dan Perikanan untuk menuju industrialisasi kelautan dan perikanan. Agar target tersebut tercapai, peralatan yang akan dikenalkan kepada para petambak garam pun dibuat simpel dan sesederhana mungkin. Kami sudah bekerja sama dengan tenaga ahli dari Universitas Lampung. Untuk peralatan-peralatan yang akan kami terapkan di UPT akan dibuat sederhana dan mudah dioperasikan bagi masyarakat petambak. Saya yakin, jika para petambak dibekali dengan pelatihan dan pengetahuan, mereka pasti bisa, kata Dr. Budi Sulistiyo, Kepala Pusat Litbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan. Salah satunya, kata Budi, alat untuk memurnikan garam. Alat yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas garam ini pengoperasiannya sangat mudah. Termasuk beberapa peralatan yang dapat menghasilkan turunannya. Kalau para petambak sudah bisa menghasilkan produk turunannya sen -diri, maka secara otomatis pendapatan mereka juga bertambah, tegas Budi. Artikel selengkapnya bisa anda baca di Majalah SAINS Indonesia Edisi 08 http://www.jurnas.com/halaman/15/2012-01-24/196505 Garam Tradisional Menuju Industri Bireuen | Selasa, 24 Jan 2012 PRODUKSI garam yang selama ini dikelola secara tradisional di Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh, segera menuju industrialisasi seiring dimulainya pembangunan pabrik garam beryodium senilai Rp561 juta lebih. Dengan industrialisasi garam, jumlah produksi dapat ditingkatkan menjadi 3 ton garam beryodium per hari. Pabrik garam dibangun Aceh Development Fund (ADF) dan tiga mitranya, Fakultas Teknik Unsyiah, An-Nisaa' Centre, dan Perkumpulan BIMA melalui Program Teknologi Ramah Lingkungan untuk Industri Proses Perikanan (Terapan). Program berbasis masyarakat itu dibiayai dari hibah Multi Donor Fund (MDF) melalui proyek Fasilitas Pembiayaan Pembangunan Ekonomi (EDFF) Aceh.

Program Manager Terapan Faisal Hadi mengatakan peletakan batu pertama itu adalah sesuatu yang sangat progresif, karena garam Bireuen yang selama ini diproduksi secara tradisional akan segera menuju industri dengan proses pengolahan peralatan mesin. "Garam tradisional bakal ditampung pabrik untuk diolah, sehingga menghasilkan tiga ton garam beryodium per hari. Dengan begitu petani garam tradisional tidak mengalami kesulitan lagi dalam memasarkan hasil garam mereka seperti yang selama ini terjadi," katanya saat dihubungi per telepon, Minggu (22/1). Prof Yusny Sabi, Ketua Dewan Pembina ADF, berharap kepada Pemerintah Kabupaten Bireuen terus membina koperasi perempuan yang telah dibentuk melalui program Terapan sehingga perekonomian warga masyarakat pesisir meningkat. "Kami masuk ke sini, karena diterima dan tidak diperas ketika pembangunan. Saya yakin masyarakat telah berpikir jauh ke depan karena dengan berdirinya pabrik garam beryodium ini akan memberikan manfaat yang besar bagi warga Jangka dan masyarakat Bireuen," tutur mantan Rektor IAIN ArRaniry Banda Aceh itu. Ketua Koperasi Perempuan Rahmat Kamoe Meusira, Fakriah, yang menjadi penerima manfaat industri iodisasi garam menyatakan pihaknya ingin meningkatkan kesejahteraan petani dan pedagang garam di Bireuen. Jumlah anggota koperasi yang baru terbentuk 3 Oktober 2011 adalah 125 orang. Ia mengaku koperasi masih lemah baik manajemen maupun keuangan. "Kami ingin semua pihak turut mendukung agar koperasi perempuan dapat kami jalankan untuk mewujudkan kesejahteraan petani garam Bireuen," katanya. Bupati Bireuen Nurdin Abdul Rahman, memerintahkan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi dan UKM agar terus memberikan pendampingan kepada koperasi perempuan itu serta memikirkan pemasaran sehingga garam yang diproduksi pabrik tersebut bisa menembus pasar modern. http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/content/display/profile/127/outlook-2012 Outlook 2012 Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dalam menyusun program dan kegiatannya mengacu pada 5 (lima) Pilar KP3K, antara lain: Konservasi yang efektif dan mendorong pemanfaatan sumberdaya peisisr dan kelautan secara berkelanjutan dan optimal Pulau-pulau kecil yang produktif dan menjadi perisai ketahanan Negara Pemberdayaan Masyarakat yang mendorong kemandirian dan peningkatan produktifitas

Penataan Ruang yang mengharmoniskan kebutuhan pemanfaatan wilayah secara efektif, adil dan transparan Pengelolaan pesisir yang mampu mengantisipasi tekanan alam maupun manusia secara efektif.

Mengacu dari pilar tersebut di atas, DITJEN KP3K merumuskan kegiatan-kegiatan unggulan antara lain:

1.

Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR)

Kegiatan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) adalah kegiatan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan petambak garam dan peningkatan kesempatan kerja. Kegiatan ini bertujuan: 1. Memberdayakan kelembagaan petambak garam dalam mendukung pengembangan kegiatan usaha; 2. Meningkatkan kemampuan usaha kelompo masyarakat petambak garam;

3. Meningkatkan akses kelembagaan masyarakat petambak garam kepada sumber permodalan, pemasaran, informasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi 4. 5. 6. Meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja. Terbentuknya sentra-sentra usaha garam rakyat di lokasi sasaran; Meningkatkan kerjasama kemitraan dengan stakeholder terkait; dan

7. Tercapainya Swasembada Garam Nasional dengan target pencapaiam Swasembada Garam Konsumsi pada tahun 2012 dan pencapaian swasembada garam industri pada tahun 2015. Kegiatan PUGAR tahun 2012 merupakan keberlanjutan dari kegiatan tahun 2011 yang dilaksanakan pada 40 Kabupaten/ Kota (7 Kab/Kota sebagai sentra PUGAR dan 33 Kab/Kota sebagai penyangga PUGAR) dengan mengintensifkan potensi lahan garam yang ada. Pendekatan kegiatan PUGAR di tahun 2012 diarahkan pada upaya industrialisasi usaha garam rakyat sesuai dengan semangat yang diusung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menempatkan garam sebagai salah satu komoditas unggulan, selain tuna, rumput laut dan udang. Strategi industrialisasi garam rakyat dilakukan dalam dua tahap, yaitu jangka pendek (2012) dan jangka panjang (2013-2015). Dalam rangka mengawal strategi industrialisasi garam rakyat, maka perlu dilaksanakan tiga kebijakan, yaitu: 1. 2. 3. Peningkatan produksi Kebijakan pengolahan Kebijakan harga, distribusi dan tata niaga.

2.

Minawisata

Sektor pariwisata adalah salah satu sektor unggulan yang mampu berkontribusi secara signifikan pada pertumbuhan ekonomi, tercatat dalam tiga tahun terakhir rata-rata per tahun arus wisatawan mancanegara bertumbuh sekitar 6,1% yang mampu menyerap devisa US$ 7,6 Miliar. Hal tersebut membuktikan bahwa pariwisata adalah sektor yang potensial, yang mana Pemerintah mendorong pengembangan iklim investasi pariwisata. Minawisata adalah salah satu terobosan kegiatan yang diinisiasi tahun 2012 yang mengkombinasikan kegiatan yang mendorong investasi di pulau-pulau kecil khususnya pariwisata dan upaya perlindungan ekosistem melalui kegiatan konservasi. Kegiatan ini merespon besarnya potensi pariwisata, khususnya untuk wisatawan mancanegara dengan preferensi exclusive luxury small island resort. Selain untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kegiatan MINAWISATA juga didasari atas: 1. 2. 3. 4. 5. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem. Meningkatkan hasil perikanan dan keberlanjutan mata pencaharian, Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang ekosistem Pulau-pulau Kecil, Mendukung riset pengembangan IPTEK, dan Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat.

Untuk tahun 2012 kegiatan Minawisata akan dialokasikan pada kawasan-kawasan konservasi yang memiliki potensi pengembangan pariwisata, antara lain: 1. 1. 2. 3. 2. a. b. c. Kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) pelimpahan dari Kehutanan : Taman Wisata Perairan (TWP) Rajaampat, Papua Barat TWP Gili Matra, Nusa Tenggara Barat TWP Pulau Pieh, Sumatra Barat. KKPN dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) :

KKPN Kepulauan Anambas dan KPPN Rajaampat. KKLD Alor (termasuk PPKT) KKLD Berau Lokasi Pemda : P. Dullah (Maluku Tenggara), Gili Sunut (NTB), Minahasa Utara, Maluku Tenggara Barat

3.

Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT)

Desa-desa pesisir di Indonesia diperhadapkan pada empat persoalan pokok, yakni: (1) tingginya tingkat kemiskinan masyarakat yang mencapai 7 juta jiwa (Data 2010); (2) tingginya kerusakan sumberdaya pesisir; (3) rendahnya kemandirian organisasi sosial desa dan lunturnya nilai-nilai budaya lokal; dan (4) rendahnya infrastruktur desa dan kesehatan lingkungan pemukiman. Keempat persoalan pokok ini juga memberikan andil terhadap tingginya kerentanan terhadap bencana alam dan perubahan iklim yang cukup tinggi pada desa-desa pesisir. Memperhatikan kondisi desa-desa pesisir yang semakin rentan, maka Kementarian Kelautan dan Perikanan menginisiasi kegiata Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) dengan visi Mewujudkan Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat untuk Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pesisir. Selain itu kegiatan ini juga dikembangkan dalam upaya mendukung program Peningkatan Kesejahteraan Nelayan sebagai salah satu prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan.

4.

Solar Packed Dealer Untuk Nelayan

Bahan bakar minyak (BBM) merupakan komponen yang paling signifikan bagi nelayan dalam menjalankan usahanya, kurang lebih 70% biaya yang dikeluarkan nelayan untuk melaut peruntukannya untuk BBM. Oleh sebab itu, ketersediaan BBM untuk nelayan dengan harga resmi sangatlah penting untuk menunjang operasional mereka, karena seringkali akibat mahalnya biaya distribusi ke sentra nelayan, nelayan mendapatkan BBM dengan harga yang jauh diatas harga resmi pemerintah, tentu saja sangat memberatkan terlebih lagi bagi nelayan kecil. Dalam upaya mengurangi beban nelayan kecil, maka sebagai bagian dari upaya Program Peningkatan Kesejahteraan Nelayan (PKN), Kementerian Kelautan dan Perikanan menginisiasi kegiatan pengadaan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN). SPDN bertujuan meringankan beban nelayan kecil melalui penyediaan BBM bersubsidi kepada nelayan kecil, dan mengurangi pengangguran dengan membuka kesempatan kerja. Kegiatan SPDN dilakukan pada lokasi-lokasi program PKN yang berbasis Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), yangmana pada tahun 2012 dilakukan pada 50 Kabupaten/Kota dengan anggaran total Rp. 45 Milyar.

5.

Coral Triangle Initiative-Coral Reefs, Fisheries and Food Security

Sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia wilayah Segitiga Terumbu Karang (coral triangle area) yang meliputi enam negara, yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Kepulauan Solomom dan Timor Leste, memiliki peran penting dalam mendukung: Mata pencaharian (pendukung ekonomi) dan memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Sebagai tempat pemijahan dan pembersaran ikan-ikan yang bernilai komersial tinggi. Menunjang pertumbuhan ekonomi melalui ekowisata Resiko bencana melalui ekosistem terumbu karang dan mangrove yang sehat.

Coral Triangle Initiative-on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) merupakan inisiatif untuk secara bersama-sama menghadapi tantangan yang menghadang negara-negara di kawasan segitiga karang. Tahun 2012 CTI diarahkan pada upaya pencapaian lima tujuan CTI, yaitu: 1. Bentang laut prioritas ditetapkan dan dikelola secara efektif, melalui: 1. Bentang laut prioritas ditetapkan dengan recana dan langkah-langkah investasi yang lengkap.

2. Sumberdaya pesisir dan laut dalam semua bentang laut prioritas dikelola secara berkelanjutan 2. Pendekatan ekosistem pada pengelolaan perikanan (PEPP) dan sumberdaya laut lain, terimplemntasi penuh, melalui: 1. Ketersediaan kerangka legislative, kebijakan dan regulasi untuk mencapai PEPP;

2. Meningkatkan pendapatan, mata pecaharaian, dan ketahanan pangan 50 juta penduduk yang tinggal di wilayah pesisir kawasan CTI melalui sebuah inisiatif baru yaitu inisiatif perikanan pesisir berkelanjutan dan penurunan kemiskinan. 3. Pengelolaan berkelanjutan stok tuna bersama, untuk semua jenis tuna komersial yang dieksploitasi di dalam kawasan CTI 4. 3. Tercapainya perdagangan ikan hidup dan ikan hias terumbu karang yang berkelanjutan.

Kawasan konservas perairan (KKP) ditetapkan dan dikelola dengan efektif, melalui 1. Sistem KKP regional Segitiga Karang terbentuk dan seluruh fungsinya berjalan

4.

Targer langkah-langkah adaptasi terhadap perubahan iklim tercapai, melalui: 1. Rencana aksi dini adaptasi terhadap perubahan iklim regional untuk lingkungan laut sekitar, pantai, dan pesisir tersedia dan terlaksana 2. Jejaring pusat keunggulan nasional untuk adaptasi terhadap perubahan iklim pada lingkungan laut dan pesisir telah terbentuk dan beroperasi penuh

5.

Perbaikan status spesies yang terancam punah, melalui: 1. Perbaikan status ikan hiu, penyu, burung laut, mamalia laut, karang, padang lamun dan hutan bakau

Anda mungkin juga menyukai