Anda di halaman 1dari 23

Program Pemberantasan Tuberkulosis

Anggota Kelompok : Friska Juliarty Koedoeboen 10 2008 183 Beradona 10 2009 011 Florentina Dwi Etania Tulis 10 2009 264 Gilrandy 10 2010 054 Elisa 10 2010 084 Oktaviana Nenabu 10 2010 144 Dicky Taruna 10 2010 189 Desrainy Inhardini G 10 2010 261 Muhammad Afiq Bin Abd Malek 10 2010 367

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Semester 6 tahun 2013

PENDAHULUAN Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah. Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosa. Penularan kuman dipindahkan melalui udara ketika seseorang sedang batuk, bersin. Seseorang penderita TBC akan mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan, lesu, mual, anoreksia, penurunan berat-badan, haid tidak teratur pada wanita, demam sub febris dari beberapa minggu sampai beberapa bulan, malam batuk, produksi sputum mukuporolent atau disertai darah, nafas bunyi crakles (gemercik), Wheezing (mengi), keringat banyak malam hari, dan merasa kedinginan. Penatalaksanaan TBC dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Penatalasanaan secara promotif yaitu peningkatan kesehatan diberikan pada individu dan keluarga baik yang kontak dengan penderita TBC maupun tidak, adapun caracara untuk meningkatkan kesehatan terkait dengan TBC meliputi hal-hal : menghindari factor resiko, mengelola stress, menjaga kebersihan diri (Personal higiene), nutrisi yang seimbang, imunisasi, pemeriksaan rutin (laboratorium). Pengetahuan penderita TBC dan keluarga pada tingkatan tahu adalah mengingat penyebab kambuhnya batuk, tertarik menjadi tahu setelah melihat iklan obat batuk dan dengan obat batuk tersebut gejala batuk bisa reda. Contoh dari pengetahuan tingkat kedua (memahami) adalah mampu menjelaskan tanda dan gejala penyakit TBC, ataupun penyakit lainya. Pengetahuan yang terkait pada aplikasi misalnya adalah seorang penderita atau

keluarga yang mampu memilih berobat secara rutin ke puskesmas atau Balai Paru untuk pengobatan sakit TBC. Etiologi Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh Mycrobacterium tuberculocis, yang masih keluarga besar genus Mycrobacterium. Dari anggota keluarga Mycrobacterium yang diperkirakan lebih dari 30, hanya 3 yang dikenal bermasalah dengan kesehatan masyarakat. Mereka adalah Mycrobacterium

tuberculocis, M.bovis yang terdapat pada susu sapi yang tidak dimasak, dan M.leprae yang menyebabkan penyakit kusta. Mycrobacterium tuberculocis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, tahan terhadap pewarnaan yang asam sehingga

disebut dengan Bakteri Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan lipid yang membuat lebih tahan asam. Bisa hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen terutama pada bagian apical posterior paru-paru.1,2,3 Cara Penularan Penularan TB dikenal melalui udara, terutama pada udara tertutup seperti udara dalam rumah yang pengap dan lembab, udara dalam pesawat terbang, gedung pertemuan, dan kereta api berpendingin. Masih banyak variabel yang berperan dalam timbulnya kejadian TB pada seseorang, meski orang tersebut menghirup udara yang mengandung kuman. Sumber penularan adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila penderita TB batuk, berbicara atau bersin, maka bakteri TB akan berhamburan bersama droplet nafas penderita yang bersangkutan, khususnya pada penderita TB aktif dan luka terbuka pada parunya.1,2 Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan serta patogenesitas kuman yang bersangkutan, serta lamanya seseorang menghirup udara yang mengandung kuman tersebut. Kuman TB sangat sensitif terhadap cahaya ultra violet. Cahaya matahari sangat berperan dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu, ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TB berbasis keluarga atau lingkungan.4 Penemuan Kasus Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan

kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Penemuan penderita tersangka TB paru dilaksanakan secara aktif (Active Case Finding/ACF) dan pasif (Passive Case Finding/PCF): 1. Pasif Penderita yang secara sukarela datang ke Puskesmas, RS, dan BP4 (Balai Pemberantasan Penyakit Paru-Paru) 2. Aktif a. Mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan tentang tandatanda penyakit dan cara pengobatannya. Kader kesehatan/Posyandu, kader Desa Wisma dan kader lainnya diharapkan dapat membantu menemukan penderita. b. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas Puskesmas. Terutama dengan adanya bidan desa diharapkan penemuan penderita secara aktif dapat ditingkatkan. Strategi Penemuan Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:5 1. Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS) 2. Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif

3. Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pegobatan pencegahan. 4. Kontak dengan pasien TB resistan obat Gejala Klinis Pasien TB Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.5 Pemeriksaan Pemeriksaan dahak 1. Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes. c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium. 2. Pemeriksaan biakan Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu: a. Pasien TB Ekstra Paru b. Pasien Tb Anak c. Pasien TB BTA Negatif Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan.

3. Uji kepekaan obat TB Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR. Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:5 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

Uji Tuberkulin Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya prosws penyakit. Sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) atau PPD (purified protein derivative) 5 STU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula. Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi 15 mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan. Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakn uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (trauma dan lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan

dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikkan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm. Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cut-off point hasil positif yang digunakan adalah 5 mm. Keadaan imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau pasien-pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (2 minggu). Pada anak yang mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga digunakan batas 5 mm. Uji tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi morbili, measles, mumpus, rubella (MMR), dan varisela, karena dapat terjadi reaksi anergi (negatif palsu karena terganggunya reaksi tuberkulin). TB pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga perlu dilakukan detesi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun.1 Diagnosis TB Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan dahak mikroskopis:5 Yang seringkali merupakan petunjuk awal dari tuberkulosis adalah foto rontgen dada. Penyakit ini tampak sebagai daerah putih yang bentuknya tidak teratur dengan latar belakang hitam. Rontgen juga bisa menunjukkan efusi pleura atau pembesaran jantung (perikarditis) Minimal 2 kali sputum BTA (+) didiagnosis sebagai TB paru BTA (+) Bila BTA (+) 1 kali, maka perlu dilakukan pemeriksaan rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang Upaya pertama dalam diagnosis TB paru pada anak adalah melakukan uji tuberkulin. Hasil positif yaitu > 10 mm atau > 15 mm pada anak yang telah mendapatkan BCG, ditambah dengan gambaran radiologi dada yang menunjukkan infeksi spesifik, LED yang tinggi, limfadenitis leher dan limfositisis relatif sudah dapat digunakan untuk membuat diagnosis kerja TB paru.

Diagnosis TB paru adalah sebagai berikut:5 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu pagi - sewaktu (SPS) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambar 2. Alur diagnosis TB paru5

Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia: Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping 2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep 3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien WHO dan IUALTD merekomendasikan OAT standar, yaitu:5 Kategori-1 (2HRZE/4H3R3) Obat tersebut diberikan tiap hari selama dua bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan, diberikan tiga kali seminggu selama empat bulan (4H3R3). Obat ini diberikan

untuk penderita TB paru BTA positif dan penderita TB paru BTA negative dengan rontgen positif yang sakit berat.

Tabel 1. OAT Kategori 16 Tahap Pengobatan Lama pengobatan Dosis per hari/kali H R Z E Jumlah hari/kali

300mg 450mg 500mg 250mg menelan obat Tahap intensif Tahap lanjutan 2 bulan 4 bulan 1 2 1 1 3 3 60 54

Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Tabel 2. OAT Kategori 25 Tahap pengobata n Lama pengob atan DOSIS PER HARI/KALI H 300 mg R 450 mg Z 500 mg ETAMBUT OL 250 mg Tahap intensif Tahap Lanjutan 2 bulan 1 bulan 5 bulan 1 1 2 1 1 1 3 3 3 3 1 500 mg 2 0.75gr 60 30 66 STREPTOM ISIN INJEKSI MENEL AN OBAT

Setelah tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan tablet HRZE dan suntikan streptomisin. Dilanjutkan satu bulan dengan tablet HRZE setiap hari. Setelah itu diturunkan dengan tahap lanjutan selama lima bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali seminggu. Suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita yang kambuh, penderita gagal berobat, atau penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

Obat sisipan Tabel 3. Obat Sisipan5 Tahap pengobatan Lama pengobatan H R Z E Jumlah

300m 450 g mg 1

500m 250m hari/kali g 3 g 3 menelan obat 30

Tahap intensif

1 bulan

Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan setiap hari selama 1 bulan (28 hari).

Pengobatan TB Anak (2RHZ/ 4RH) Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Tabel 4. Dosis KDT pada Tuberkulosis Anak6 Berat Badan (kg) 2 Bulan Tiap Hari RHZ (75/50/150) 59 10 14 15 19 20 32 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet 4 Bulan Tiap Hari RH (75/50) 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

Program DOTS Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO (Pengawas Menelan Obat).5 a. Persyaratan PMO: Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

b. Siapa yang bisa jadi PMO: Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. c. Tugas seorang PMO: Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke Fasyankes. Pencegahan Pencegahan Primer Pencegahan ini merupakan pencegahan tingkat pertama yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus yang dapat ditujukan pada host, agent dan lingkungan. Pencegahan primer pada penyakit tuberkulosis di antaranya :i 1. Pencegahan pada faktor penyebab tuberculosis (agent) bertujuan mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh agent tuberculosis yaitu mycobacterium tuberkulosa serendah mungkin dengan melakukan isolasi pada penderita tuberkulosa selama menjalani proses pengobatan. 2. Mengatasi faktor lingkungan (environment) yang berpengaruh pada penularan tuberkulosa seperti meningkatkan kualitas pemukiman dengan menyediakan ventilasi pada rumah dan mengusahakan agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah. 3. Meningkatkan daya tahan pejamu (host) seperti meningkatkan status gizi individu, pemberian imunisasi BCG terutama bagi anak.

4. Tidak membiarkan penderita tuberculosis tinggal serumah dengan bukan penderita karena bisa menyebabkan penularan. 5. Meningkatkan pengetahuan individu pejamu (host) tentang tuberkulosa yaitu definisi, penyebab, cara untuk mencegah penyakit tuberculosis paru seperti imunisasi BCG, dan pengobatan tuberculosis paru. Vaksin BCG Vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari M. bovis yang dilemahkan. Vaksin BCG diberikan secara intradermal sebanyak 0,1 ml untuk bayi / anak atau 0,05 ml untuk neonatus. Penyuntikan harus dilakukan perlahan lahan ke arah permukaan sehingga terbentuk siatu benjolan (wheal) yang berwarna lebih pucat daripada kulit sekitarnya. Penyuntikan dilakukan di regio lengan kanan atas pada daerah insersio m. deltoideus dextra, agar bila terjadi limfadenitis BCG akan lebih mudah terdeteksi. Pemberian vaksin BCG direkomendasikan oleh IDAI pada bayi 2 bulan, namun pemberian BCG setelah usia 1 bulan akan lebih baik. Bayi yang diduga memiliki kontak erat dengan pasien TB aktif, atau yang akan diimunisasi pada usia 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Sekitar 50 60% anak balita yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Kemoprofilaksis diberikan untuk mencegah sakit TB pada anak dengan kondisi tersebut. Profilaksis primer diberikan pada anak balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif, tetapi pada evaluasi dengan sistem skoring, didapatkan skor < 5. Obat yang diberikan untuk profilaksis adalah INH dengan dosis 5 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.6

Syarat Rumah Sehat Kelembaban udara Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu: 1. Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara 2. Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan uap air pada temperatur tersebut. Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 %. Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.

Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.7 Bila kelembaban udara kurang dari 40%, maka dapat dilakukan upaya penyehatan antara lain 1. Menggunakan alat untuk meningkatkan kelembaban seperti humidifier (alat pengatur kelembaban udara) 2. Membuka jendela rumah 3. Menambah jumlah dan luas jendela rumah 4. Memodifikasi fisik bangunan (meningkatkan pencahayaan, sirkulasi udara) Bila kelembaban udara lebih dari 60%, maka dapat dilakukan upaya penyehatan antara lain: ii 1. Memasang genteng kaca 2. Menggunakan alat untuk menurunkan kelembaban seperti humidifier (alat pengatur kelembaban udara)

Ventilasi rumah Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: 1. Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. Di pihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan, karena juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan-gigitan nyamuk tersebut. 2. Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin, dan mesin pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan. Persyaratan ventilasi yang baik adalah : 1. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan. 2. Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. 3. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barangbarang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi

karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis.

Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.7 Suhu Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjdi: Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24 34 oC. Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20-25 oC. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25oC, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 oC atau > 25oC. Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya. Suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular.7 Upaya penyehatan: 1. Bila suhu udara di atas 30oC diturunkan dengan cara meningkatkan sirkulasi udara dengan menambahkan ventilasi mekanik/buatan. 2. Bila suhu kurang dari 18oC, maka perlu menggunakan pemanas ruangan dengan menggunakan sumber energi yang aman bagi lingkungan dan kesehatan.

Cahaya Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama chaya matahari di samping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembang biaknya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusak mata. Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:4 1. Cahaya Alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TBC. Oleh karena itu, rumah yang cukup sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogianya jalan masuk cahaya (jendela), luasnya sekurang-kurangnya 15%-20% dari luas antai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biaasa waktu pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca. 2. Cahaya Buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-lain. Luas bangunan rumah Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m2/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya.

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni 8 m2/orang. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Pencegahan Sekunder Pencegahan ini merupakan pencegahan tingkat kedua yang meliputi diagnosa dini dan pencegahan yang cepat untuk mencegah meluasnya penyakit, untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi. Sasaran pencegahan ini ditujukan pada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan menderita tuberkulosa (masa tunas). Pencegahan Sekunder penyakit Tuberkulosis diantaranya : 1. Pemberian obat anti tuberculosis (OAT) pada penderita tuberkulosa paru sesuai dengan kategori pengobatan seperti isoniazid atau rifampizin. 2. Penemuan kasus tuberkulosa paru sedini mungkin dengan melakukan diagnosa pemeriksaan sputum (dahak) untuk mendeteksi BTA pada orang dewasa. 3. Diagnosa dengan tes tuberculin 4. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya 5. Melakukan foto thorax 6. Libatkan keluarga terdekat sebagai pengawas minum obat anti tuberkulosa Pencegahan Tersier Pencegahan ini merupakan pencegahan tingkat ketiga dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan permanent, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian. Dapat juga dilakukan rehabilitasi untuk mencegah efek fisik, psikologis dan sosialnya. Pencegahan Tersier penyakit Tuberkulosis :

1. Lakukan rujukan dalam diagnosis, pengobatan secara sistematis dan berjenjang. 2. Berikan penanganan bagi penderita yang tidak mempan terhadap pengobatan. 3. Kadang-kadang perlu dilakukan pembedahan dengan mengangkat sebagian paru-paru untuk membuang nanah atau memperbaiki kelainan bentuk tulang belakang akibat tulang belakang. Kesimpulan TBC adalah suatu infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang utama menyerang organ paru manusia. TBC merupakan salah satu problem utama epidemiologi kesehatan didunia. Agent, Host dan Lingkungan merupakan faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Interaksi tersebut dapat digambarkan dalam Bagan Segitiga Epidemiologi TBC. Meningkatnya angka penderita TBC disebabkan berbagai faktor diantaranya karakteristik demografi keluarga, social ekonomi, sikap keluarga itu sendiri, seperti ketidaktahuan akan akibat, komplikasi dan cara merawat anggota keluarganya yang menderita TBC di rumah dan sikap penderita TBC. Selain itu penularan dalam keluarga juga disebabkan kebiasaan seharihari keluarga yang kurang memenuhi kesehatan seperti kebiasaan membuka jendela, kebiasaan membuang dahak penderita. Faktor lain yang berpengaruh adalah pengetahuan keluarga yang kurang tentang penyakit TBC seperti penyebab, akibat dan komplikasinya, sehingga menyebabkan keluarga dan penderita TBC kurang termotivasi untuk berobat yang berakibat terjadinya penularan dalam keluarga. Akibat lebih jauh dari hal tersebut adalah terjadinya penularan penderita TBC dalam keluarga dan masyarakat yang kemudian akan berdampak pada masalah pembangunan kesehatan kesehatan di Indonesia karena meningkatnya angka penderita TBC. DAFTAR PUSTAKA : 1. Achmadi, Umar Fahmi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Penerbit Buku Kompas. 2005. 2. Chin J (Ed), Kandun IN (Editor Penterjemah). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika. 2006. 3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI. 2006.

4. Santoso, M. Masalah Pengelolaan TBC Paru di Indonesia. Departemen Penyakit Dalam FK UKRIDA. RSUD Koja Jakarta. 2006. 5. Depkes RI. Pengawasan penyehatan lingkungan pemukiman. Jakarta: Dirjen P2M & PLP; 2009. 6. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Edisi 2. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2007: 3-55. 7. Notoatmojo A. Ilmu kesehatan masyarakat: prinsip-prinsip dasar. Jakarta: Rineka Cipta; 2003: 150-1.

Anda mungkin juga menyukai