Anda di halaman 1dari 71

STRATEGI PELEPASLIARAN

BERUANG MADU (Helarctos malayanus, Raffles 1821)

KARYA ILMIAH

Oleh

TOMI ARIYANTO

FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2007
STRATEGI PELEPASLIARAN

BERUANG MADU (Helarctos malayanus, Raffles 1821)

Karya Ilmiah ini diajukan untuk memenuhi persyaratan


MATA KULIAH SEMINAR

Oleh

TOMI ARIYANTO
02311262150012

FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2007
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL

Karya Ilmiah, Jakarta Januari 2007

Tomi Ariyanto

Strategi Pelepasliaran Beruang madu (Helarctos malayanus)

Xi + 45 halaman, 1 tabel, 9 gambar

Penyitaan merupakan salah satu langkah dalam penegakan hukum untuk


melindungi beruang madu (Helarctos malayanus) dari eksploitasi, perburuan dan
perdagangan ilegal. Namun penyitaan ini dapat menimbulkan masalah baru yaitu
tindakan selanjutnya yang harus dilakukan terhadap beruang madu sitaan tersebut.
Pelepasliaran beruang madu sitaan ke habitat alaminya dapat menjadi solusi ideal
bagi permasalahan tersebut. Oleh karena itu maka dibutuhkan adanya strategi
pelepasliaran untuk mendukung konservasi beruang madu.
Strategi pelepasliaran beruang madu terdiri dari tiga tahap yaitu persiapan
pelepasliaran yang meliputi rehabilitasi individu dan kajian lokasi, pelepasliaran dan
paska pelepasliaran yang meliputi monitoring, evaluasi dan sosialisasi ke masyarakat.
Program pelepasliaran beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain
mengalami kegagalan yang disebabkan karena adanya konflik antara masyarakat
lokal dengan beruang madu yang dilepasliarkan. Sedangkan Suaka beruang madu
Samboja Lestari merupakan lokasi penampungan beruang madu sitaan namun tidak
memiliki program pelepasliaran ke habitat alaminya. Suaka tersebut mengusahakan
agar beruang madu sitaan dapat memiliki kehidupan yang lebih baik dengan fasilitas
yang tersedia.
Kurangnya data populasi, sebaran, karakteristik habitat dan perilaku beruang
madu di alam dan semakin terdesaknya habitat beruang madu merupakan
permasalahan yang harus dikaji lebih jauh untuk melakukan pelepasliaran beruang
madu.
Judul Karya Ilmiah : Strategi Pelepasliaran Beruang Madu (Helarctos
malayanus, Raffles 1821)

Nama Mahasiswa : Tomi Ariyanto

Nomor Pokok : 023112620150012

Nomor Kopertis : 620150012

MENYETUJUI

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

DR. Sri Suci Utami Atmoko Imran SL Tobing, Drs, MSi.

Dekan

Tatang Mitra Setia, Drs. MSi

Tanggal Lulus : 16 Januari 2007


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa Sang Pencipta langit dan bumi

atas limpahan karunia, ilmu dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Strategi Pelepasliaran Beruang Madu

(Helarctos malayanus, Raffles, 1821)“ guna memenuhi mata kuliah Seminar Karya

Ilmiah di Fakultas Biologi Universitas Nasional.

Tersusunnya karya ilmiah ini tak lepas dari bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. DR. Sri Suci Utami Atmoko selaku pembimbing pertama yang telah banyak

memberikan petunjuk, arahan serta saran sehingga memudahkan penulis

menyeleseikan karya ilmiah ini.

2. Bapak Drs. Imran S.L Tobing, MSi. sebagai pembimbing kedua yang telah

memberikan semangat, motivasi, pengarahan dalam isi materi penulisan.

3. Bapak Drs. Tatang Mitra Setia selaku Dekan Fakultas Biologi Universitas

Nasional Jakarta.

4. Drs Benny Djaja (almarhum) sebagai ayah sekaligus dosen terbaik yang telah

banyak memberikan nasehat, perhatian, motivasi serta pembentukan pola berpikir

yang lebih baik dalam menjalani hidup. Semoga Tuhan memberikan tempat yang

terbaik di sisi –Nya


5. Bapak Drs. Yudistira dan Ibu Dra Yulneriwarni Msi. yang banyak memberikan

motivasi untuk lebih banyak belajar serta saran-sarannya selama menjadi

Penasehat Akademik.

6. Bapak Drs. Sutarno dan Ibu DR. Rosmawati selaku pembahas atas saran dan

kritiknya untuk perbaikan karya ilmiah ini.

7. Dr. Siew Te Wong dan Ibu Gabriella Fredrikkson atas korespondensi, saran dan

bantuan pustakanya..

8. Fitri Ayu Wulan Yuniarti, terima kasih atas bantuan, motivasi serta momen

terindah yang selalu hadir dalam penulisan karya ilmiah ini dan terima kasih

untuk Bapak Gunadi dan keluarga yang telah banyak memotivasi.

9. Kelompok Studi Penyu Laut “Chelonia“ tercinta yang telah membuka mata,

telinga dan fikiran serta ilmu dan pengalaman yang sangat berharga.

10. Kepada orang-orang yang banyak memberikan inspirasi : Eddy Santoso Ssi,

Firmansyah Ssi, Juliarta B Ottay Ssi, Tri Wahyu Susanto, Ssi, Gunawan Ssi, Ari

Meididit Ssi, Hanni M Maharani Ssi, Radian Kurniawati Ssi, Ika Mian K Ssi,

Mayrina Ssi, Retno Wulandari Ssi, Erwin P Santoso, Didik Prasetyo Msi, Ahmad

Saleh Ssi, Fitriah Basalamah Ssi. Terima kasih atas diskusinya selama ini.

11. Sahabat, rekan seperjuangan serta teman bertukar pikiran : Nuruddin, Yunita

Nurdini, Rahmalia NAA, Aan Aliyah, Putri Wulansari dan Fembry Ariyanto.

Terima kasih atas kesabarannya, kasih sayang dan kebersamaanya selama ini.

Tabah hingga akhir!!


12. Adik-adik tersayang Etika Sayekti, Neneng Mardianah, Filani, Oca-me, Hesmi,

Anita, Dicky, Ciko, Taufik dan Lutfi semoga tetap semangat dan tak pernah lelah

untuk belajar.

13. Yedi Zefriyadi Ssi dan Ana Puspaningdiah atas pengertian dan pernah menjadi

penampungan penulis.

14. Saudara-saudaraku : Adji Saga S.T, Fathur Rohim, Ahmad Effendi dan Wawan

Dina Mulyana atas pengertiannya dan malam-malam terindahnya. Kepada Diana

Ramora dan Chusnul “NINU“ Chotimah yang tak pernah melupakan.

15. Luri Ikhsan, yang bersedia berbagi tempat tidur dan berbagi cerita di kamar kos

Sawo Manila 14.

16. Pantai Indah Citirem, SM Cikepuh sebagai tempat mencari inspirasi, perenungan,

kenangan indah dan tempat pembelajaran yang penuh makna dan tak terlupakan.

17. Teman-teman Bio 02 yang selalu memberikan tawa dan motivasi untuk terus

semangat.

18. Pusat Laboratorium Ragunan dan semua penghuninya, terimakasih atas malam-

malam sepi yang dilalui bersama.

19. Mes Monitoring Harimau Sumatra-TNKS Sungai Penuh, tempat dimana tulisan

ini berawal.

20. Terakhir penulis mempersembahkan karya ini untuk Ibu, Nenek, Oom Elvis dan

keluarga Mas Hasan atas kepercayaannya selama ini.


Penulis menyadari bahwa dalam karya ilmiah ini masih banyak kekurangan

maka penulis berharap adanya kritik dan saran yang membenagun demi

penyempurnaan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan serta

dapat dijadikan sebagai referensi dan wacana penting dalam dunia ilmu konservasi,

khususnya beruang madu di Indonesia yang seakan terlupakan.

Jakarta, Januari 2007

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …………………………………………………… v

DAFTAR ISI ……………………………………………………………... viii

DAFTAR TABEL ………………………………………………………... x

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xi

BAB

I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1

II. BIOEKOLOGI BERUANG MADU……………………...................... 4

A. Sejarah Evolusi.....………………………………………………... 3
B. Klasifikasi………………………………………………………… 7
C. Morfologi...................................…….……………………………. 8
D. Reproduksi dan Genetika................................................................. 11
E. Habitat dan Sebaran......................................................................... 13
F. Makanan........................................................................................... 16
G. Perilaku............................................................................................ 18
H. Parasit............................................................................................... 19
I. Ancaman. dan Predator Alami......................................................... 19

III. PELEPASLIARAN BERUANG MADU (Helarctos malayanus).......

A. Persiapan Pelepasliaran..................................................................... 23

1. Rehabilitasi
2. Kondisi Area Pelepasliaran
B. Pelepasliaran.................................................................................... 32
C. Paska Pelepasliaran.......................................................................... 33

D. Kegagalan dan Kesuksesan Program Pelepasliara Beruang madu.... 35

IV. STUDI KASUS PELEPASLIARAN BERUANG MADU................... 38

A. Pelepasliaran beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain.......... 38

B. Suaka beruang madu Samboja Lestari…………………………….. 41

V. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………... 46

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 48
DAFTAR TABEL

TABEL Halaman

Naskah

1. Daftar komposisi pakan beruang madu di Ulu Segama Malaysia....………… 18


DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman

Naskah

1. Sejarah evolusi dan filogenetik beruang ………………………...... 5

2. Morfologi Beruang Madu …………………………........................ 9

3. Tulang kepala beruang madu ……………………..………............. 10

4. Perkiraan sejarah distribusi beruang madu ……………….............. 14

5. Perkiraan distribusi beruang madu saat ini ………...….………….. 15

6. Beruang madu di kandang sosialisasi Wanariset sebelum 41


dilepasliarkan di Sungai Wain .........................................................
7. Suaka beruang madu Samboja Lestari…………………………….. 45

8. Fasilitas suaka beruang madu Samboja Lestari…………………… 46

9. Pemeriksaan kesehatan beruang madu dalam tahap karantina……. 46


BAB I

PENDAHULUAN

Beruang madu (Helarctos malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang

tersebar di beberapa negara bagian Asia Tenggara dan Asia Selatan, yaitu Thailand,

Myanmar, Malaysia, Indonesia, Laos, Kamboja, Vietnam, Bangladesh dan India. Di

Indonesia beruang ini dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Namun

saat ini jenis beruang ini telah mengalami banyak tekanan dan eksploitasi baik di

Indonesia maupun di negara lain. (Augeri, 2005).

Berdasarkan PP No 7 tahun 1999, beruang madu telah dilindungi di Indonesia

dan oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild

Flora and Fauna) jenis ini telah dimasukkan dalam Appendix 1 yang berarti tidak

dapat diperdagangkan secara internasional baik secara utuh maupun bagian-bagian

tubuhnya (Sadikin, 2005). Menurut IUCN (International Union For Conservation of

Nature and Natural Resourse) (2000) hingga saat ini populasi beruang madu belum

diketahui dengan pasti sehingga IUCN menetapkan status beruang madu termasuk

dalam kategori data deficient atau kekurangan data. Status IUCN tersebut

menunjukkan bahwa beruang madu merupakan salah satu satwa yang masih belum

populer sebagai objek penelitian.

Adanya perburuan liar dan perdagangan, deforestasi, kegiatan pertambangan

dan beberapa faktor lain telah banyak menekan populasi beruang madu di habitat
alaminya (Mills and Servheen 1991). Produk farmasi merupakan produk yang banyak

dihasilkan dari bagian-bagian tubuh beruang madu seperti kalenjar empedu yang

banyak digunakan untuk obat-obatan tradisional Cina (Kurniawan dan Nursahid,

2002). Selain itu ancaman lain yang cukup penting adalah adanya konflik dengan

masyarakat. Konflik tersebut umumnya disebabkan adanya pembukaan perladangan

di tepi hutan sehingga banyak beruang yang masuk ke areal perladangan untuk

mencari makan. Potensi konflik juga dapat terjadi di areal pertambangan di dalam

hutan (Fredriksson, 2005).

Penegakan hukum merupakan salah satu bentuk usaha dalam konservasi

beruang madu, yaitu melalui penyitaan beruang madu yang diperdagangkan maupun

yang menjadi hewan peliharaan. Namun beruang madu yang telah disita tersebut

kadang justru menimbulkan masalah baru seperti perawatannya dan tindakan

selanjutnya yang harus diambil untuk menyelamatkan satwa tersebut (Fredriksson,

2005a). Oleh karena itu dibutuhkan program rehabilitasi dan pelepasliaran kembali

beruang hasil sitaan untuk mendukung penegakan hukum dan usaha konservasi

beruang madu. Sebelum individu dilepasliarkan dibutuhkan adanya rehabilitasi agar

beruang madu yang akan dilepaskan dalam kondisi sehat dan memiliki kemampuan

untuk dapat hidup mandiri di alam (IUCN/SSC, 1995) .

Masih sangat sedikit informasi dan dokumentasi mengenai pelepasliaran

satwa karena pada umumnya pelepasliaran satwa bukan merupakan bagian program

jangka panjang dan didokumentasikan secara detail. Selain itu juga disebabkan
karena tidak adanya ilmuwan yang terlibat serta tidak adanya monitoring terhadap

satwa yang dilepasliarkan. Hal tersebut yang menyebabkan salah satu faktor

kegagalan program pelepasliaran satwa (Dijk, 2005).

Program pelepasliaran beruang madu merupakan program yang sangat

kompleks sehingga untuk keberhasilan program pelepasliaran beruang madu harus

memiliki strategi dan metode yang tepat. Terdapat berbagai prosedur dan kriteria

yang harus terpenuhi dalam pelepasliaran yang berhubungan dengan individu yang

dilepasliarkan dan lokasi pelepasliaran. Berdasarkan latar belakang tersebut maka

tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk memberikan informasi mengenai strategi

pelepasliaran beruang madu untuk mendukung konservasi beruang madu.


BAB II

BIOEKOLOGI BERUANG MADU (Helarctos malayanus)

A. Sejarah Evolusi

Suku Ursidae merupakan keturunan dari nenek moyang predator pemanjat

pohon (Miacidae) yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil pada 25 juta tahun yang

lalu (Herrero, 1999). Kedelapan jenis beruang modern saat ini berasal dari Ursavus,

yang berasal dari kawasan sub tropis Eropa pada periode Miocene lebih dari 20 juta

tahun yang lalu (Craighead, 2000). Ward dan Kynaston (1995) menyatakan pada

zaman Miocene tersebut, Ursavus mengalami peningkatan ukuran tubuh dan

mengalami pertumbuhan bentuk gigi dari pemakan binatang (faunivorous) menjadi

bentuk gigi yang seperti sekarang dengan geraham yang melebar dan lebih datar.

Menurut Augeri (2005) perubahan bentuk gigi tersebut menjadikan beruang saat ini

frugivoirous dan herbivorous

Terdapat tiga jalur evolusi utama beruang modern yang berasal dari Ursavus

(gambar 1). Panda merupakan jenis beruang modern yang paling tua (Gittleman,

1999) yang terpisah dari Ursavus dan diturunkan dari Agriarctos sekitar 20 juta

tahun yang lalu (Ward dan Kynaston, 1995). Hasil analisis molekuler diketahui

bahwa Tremarctos ornatus merupakan beruang modern tertua kedua (Waits dkk,

1999) yang terpisah dari Ursavus elemensis sekitar 14 juta tahun yang lalu (Ward
dan Kynaston 1995), saat ini beruang tersebut hanya ditemukan di Amerika Selatan

(Nowak, 1991).

Gambar 1. Sejarah evolusi dan filogenetik beruang (Ward dan Kynaston 1995, Waits
dkk, 1999).
Keterangan gambar :
(1) Jalur evolusi pertama yang menurunkan Panda (Ailuropoda melanoleuca)
(2) Jalur evolusi kedua yang menurunkan beruang kaca mata (Tremarctos ornatus)
(3) Jalur evolusi ketiga yang menurunkan anak suku Ursinae
Keturunan langsung dari jalur ketiga yang merupakan anak suku Ursinae atau

beruang ursine sejati adalah Protursus yang diturunkan dari U. elemensis pada 12-10

juta tahun yang lalu. Sedangkan Ursus minimus yang merupakan beruang ursine

sejati pertama diturunkan dari Protorsus pada 5 juta tahun yang lalu (Ward dan

Kynaston, 1995). Menurut Craighead (2000) beruang madu yang hidup di Asia

Tenggara adalah berasal dari garis keturunan utama U. minimus sekitar satu juta

tahun yang lalu setelah Melursus ursinus (sloth bear) bercabang, tetapi filogenetik

dari beruang madu dalam Ursidae belum terlalu jelas. Hasil analisis mtDNA oleh

Zhang dan Ryder (1994) terindikasi bahwa beruang madu dan beruang hitam

Amerika (Ursus americanus) terpisah secara bersamaan setelah Melursus ursinus dan

kemudian menurunkan beruang hitam asia (Ursus thibetanus). Beruang madu

memiliki hubungan yang paling dekat dengan U. americanus yang diketahui dari

urutan DNA dari bagian lingkar D (D-loop), cytochrom b, 12S rRNA, tRNApro dan

tRNAthr (Zhang dan Ryder, 1994).

Namun Goldman dkk (1989) menyatakan bahwa jarak genetik antara

Helarctos malayanus dengan U. arctos (beruang cokelat himalaya) sebesar 0,026

yang lebih dekat daripada antara Helarctos malayanus dengan U. thibethinus (0,037)

dan antara Helarctos malayanus dengan M. ursinus (0,050). Sehingga antara

Helarctos malayanus dengan M. ursinus memiliki perbedaan morfologi yang telah

beradaptasi selama 5-7 juta tahun yang lalu.

Terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai marga Helarctos bagi

beruang madu. Meijaard (2004) menyatakan bahwa beruang madu seharusnya


termasuk dalam marga Ursus dengan nama spesies Ursus malayanus. Berdasarkan

variasi craniometrik dari spesimen beruang madu di Asia Tenggara beruang madu di

Borneo merupakan anak jenis tersendiri dan mengusulkan nama Ursus malayanus

euryspilus. Spesimen beruang madu Borneo memiliki tubuh yang lebih kecil dan

barisan gigi yang lebih panjang. Sedangkan spesimen yang berasal dari Sumatera,

Semenanjung Malaysia dan Asia daratan tidak memiliki perbedaan yang signifikan

dan disebut Ursus malayanus malayanus. Namun Augeri (2005) menyatakan bahwa

dalam studi tersebut, jumlah dan jenis kelamin dari beruang madu Borneo sangat

terbatas. Selain itu variasi cranial bukanlah satu-satunya pertimbangan taksonomi

bagi pemisahan subspesies, pada Ursidae yang paling utama adalah besarnya derajat

perbedaan morfologi, variasi fisiologi dan kemampuan reproduksi untuk

menghasilkan keturunan yang fertil.

B. Klasifikasi

Menurut Fitzgerald dan Krausman (2002) klasifikasi beruang madu adalah

sebagai berikut :

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Bangsa : Carnivora

Suku : Ursidae

Marga : Helarctos

Jenis : Helarctos malayanus (Raffles, 1821)


Secara etimologis Helarctos berasal dari bahasa Yunani yaitu “hela” yang

berarti matahari dan “arcto” yang berarti beruang sehingga Helarctos berarti sun bear

(Beruang matahari) penyebutan sun bear berdasarkan adanya corak putih pada bagian

dada yang terlihat seperti matahari (Fitzgerald dan Krausman, 2002). Beruang madu

juga disebut Ursus malayanus (Meijaard, 2004). Terdapat beberapa nama populer

untuk beruang madu yaitu Malayan sunbear (Fitzgerald dan Krausman, 2002),

Malayan bear (Fetherstonhaugh,1940, 1948), Malay bear (Davis 1958) dan Sun bear

(Corbet dan Hill, 1992).

C. Morfologi

Beruang madu (Helarctos malayanus) merupakan jenis yang memiliki ukuran

tubuh yang paling kecil dari suku Ursidae. Jenis ini memiliki tinggi tubuh 1.000-

1.400 mm, panjang ekor 30-70 mm dan berat tubuh sebesar 25-65 Kg (Dathe,1975),

ukuran telinga 40-60 mm dan berbentuk melingkar dan panjang kaki belakang 180-

210 mm (Lekagul dan McNeely 1977). Menurut Fitzgerald dan Krausman (2002)

beruang madu memiliki perawakan tubuh yang pendek gemuk, moncong yang

pendek, memiliki cakar melengkung tajam yang kuat dan telapak kaki yang tidak

ditumbuhi rambut (gambar 2).

Saat lahir berat beruang madu sebesar 300-325 g (Dathe 1970), warna

tubuhnya berwarna hitam keabuan, bagian dada berwarna putih kecoklatan (Feng dan

Wang,1991). Sedangkan menurut Fetherstonhaugh (1948) bayi beruang madu

tersebut berwarna kecokelatan dan berwarna terang saat terkena sinar matahari.

Rambut beruang madu dewasa berwarna hitam pekat dan memiliki lapisan rambut
berwarna terang di bawahnya sedangkan pada bagian moncongnya berwarna oranye,

abu-abu dan keperakan (Fetherstonhaugh,1940 dalam Fitzgerald dan Krausman,

2002).

Gambar 2. Morfologi beruang madu (www.bearden.org, 2006)

Bagian dada memiliki warna yang bervariasi antara kekuningan, krem, putih

dan kuning emas sedangkan pada moncong dan di sekitar mata berwarna keemasan

atau putih. (Allen, 1938 dalam Fitzgerald dan Krausman, 2002). Payne dkk (2000)

menyatakan bahwa pada dada bagian atas beruang madu terdapat bercak putih yang

membentuk huruf “V” atau “C”. Sedangkan pada beruang madu yang terdapat di

Sabah Tenggara, Borneo memiliki warna kemerahan di bagian dada (Payne dan

Francis 1985). Cakar kaki belakang memiliki warna coklat di bagian tepinya

(Fetherstonhaugh 1948).
Ukuran tulang tengkorak kepala beruang madu antara lain panjang tengkorak

264,5 mm, panjang condylobasal 241,3 mm, lebar zygomatic 214,6 mm, lebar

mastoid 170,2 mm, lebar interorbital 70,5 mm, lebar maxilla 76,2 mm (Pocock, 1932

dalam Fitzgerald dan Krausman, 2002). Gambar 3.

(a) (b)

(c)
Gambar 3. Tulang kepala beruang madu, (a) tulang kepala tampak atas, (b)
tulang kepala tampak bawah, (c) tulang kepala tampak samping.
(Fitzgerald dan Krausman, 2002)

Beruang madu memiliki zygomatic yang luas dan memiliki Paraocipital

process besar, tumpul dan menonjol ke bawah. Garis alveolar bagian atas memanjang

ke arah posterior dan memotong bagian atas glenoid cavity dan bagian tepi atas dari

auditory meatus (Allen,1938 dalam Fitzgerald dan Krausman, 2002). Bagian

rhinarium memanjang ke atas mulut dengan bagian lateralnya memanjang keluar dan

tampak menyembunyikan septum jika dilihat dari samping. Bibir tampak menonjol
keluar (Pocock, 1932 dalam Fitzgerald dan Krausman, 2002) dan memiliki lidah

yang panjang (Yin, 1967). Bentuk bibir dan lidah tersebut menurut Morris (1965)

mungkin hasil adaptasi untuk menghisap madu dan larva lebah dari sarangnya.

Beruang madu kadang kehilangan gigi premolar dan memiliki rumus gigi insicivus

3/3, premolar 3-4/3, molar 2/3 dengan total jumlah gigi 38-40 (Lekagul dan

McNeely, 1977).

Lengan depan beruang madu bengkok dan cakarnya melengkung ke arah

dalam sebagai adaptasinya untuk memanjat pohon (arboreal) (Pocock, 1932 dalam

Fitzgerald dan Krausman, 2002). Oxnard (1968) pada analisis multivariate morfologi

dari bagian bahu, kemungkinan beruang madu sangat dekat dengan Ailuropoda

melanoleuca (Panda raksasa/Giant Panda) dengan adaptasi pada keduanya sebagai

hewan arboreal. Analisis tersebut termasuk pada seberapa besar derajat dari lengan

bahu tersebut menahan tekanan.

Musculus tibialis cranialis pada beruang madu memiliki bagian yang

membesar hingga ujung distal dari tibia dan terikat dengan ujung proximal ossa

metatarsalia oleh tendon yang pendek. Musculus tabialis cranialis pada panda raksasa

hampir sama dengan beruang madu kecuali pada porsi yang kurang membesar seperti

beruang madu (Sasaki dkk, 2004). Hal ini sangat berbeda dengan musculus tibialis

cranialis pada beruang kutub dan beruang coklat yang tidak berkembang dan

memiliki tendon yang lebih panjang daripada beruang madu dan panda raksasa.

Perbedaan ini mempunyai hubungan dengan kemampuan beruang madu dan panda

raksasa untuk memanjat pohon (Sasaki dkk, 2004).


Anderson dkk (1993) menyatakan bahwa beruang madu yang telah dewasa

(27 tahun) dapat mengeluarkan suara yang bervariasi yang dihasilkan dari

mengembangnya mylien yang terletak diantara jaringan saraf pada dorsal dan ventral

lumbar intradural.

D. Reproduksi dan Genetika

Onuma dkk (2000) menyatakan bahwa beruang madu memiliki musim kawin

yang terjadi pada musim hujan. Hal tersebut berhubungan dengan persediaan

makanan yang melimpah pada musim hujan. Selain keuntungan dari aspek makanan,

strategi tersebut juga berkaitan dengan fungsi organ gonadal. Pada musim kering

dengan temperatur yang tinggi akan berpengaruh terhadap kualitas sperma dan

konsentrasi testoteron yang rendah pada beruang madu jantan. Sedangkan pada

betina, temperatur yang panas akan menyebabkan penurunan tingkat gonadotropin

dan pertumbuhan follikular, tingginya presentase sel telur yang abnormal dan

kematian embryo.

Beruang madu mengalami matang kelamin pada usia 2-3 tahun (Feng dan

Wang, 1991) dan pada beruang madu betina mengalami masa estrus pertama kali

pada tahun-tahun tersebut (Dominico, 1988). Perilaku estrus pada betina dapat terjadi

pada 1-2 hari terakhir setelah menstruasi namun dapat memiliki kisaran antara 5-7

hari (Johnston dkk, 1994).

Pada habitat alaminya masa kehamilan beruang madu antara 96-100 hari

namun pada kebun binatang atau dalam penangkaran masa kehamilan tersebut relatif

lebih lama. Fort Worth Zoo di Texas, melaporkan bahwa pada 3 kehamilan beruang
madu terakhir yang terjadi di sana masing-masing selama 174, 228, dan 240 hari.

Sedangkan di East Berlin Zoo Jerman, semua kehamilan selama 95-96 hari

(McCusker,1974).

Menurut Feng dan Wang (1991) bayi beruang madu terlahir dengan kondisi

belum dapat mendengar dan kedua mata yang tertutup, mata tersebut akan terbuka

setelah 25 hari namun belum dapat melihat hingga usia 50 hari. Sedangkan

pendengarannya dapat bekerja setelah lebih dari 50 hari. Medway (1969) menyatakan

bayi beruang tersebut pada umumnya dilindungi oleh induknya ditopang di antara

akar-akar pada pohon besar pada daerah hutan yang rapat.

Pada usia 3-4 bulan bayi beruang madu mengalami pertumbuhan yang pesat

dan dapat berlari, bermain dan mencari makan bersama induknya. Anak beruang

tersebut tinggal bersama induknya selama 1,5 -2,5 tahun dan selama tinggal bersama

induknya tersebut induknya telah mengajarkan cara-cara untuk bertahan hidup seperti

mencari makan dan menghindari predator.

Beruang madu memiliki jumlah kromosom diploid sebanyak 74 kromosom.

Kromosom tersebut memiliki perbedaan dengan jenis beruang yang lain yaitu adanya

inversi parasentrik pada kromosom nomor 14 dan 18, tidak adanya tangkai negatif

pada terminal satelit terang di kromosom nomor 25 dan adanya reduksi pada lengan

pendek di kromosom nomor 34 (Nash dan O’brien,1987).

E.Habitat dan Sebaran

Beruang madu memiliki sejarah sebaran yang sangat luas (gambar 4), hampir

seluruh daratan Asia tenggara merupakan daerah sebaran beruang madu, bagian
paling barat adalah Assam hingga Distrik Chitwan, di India bagian paling utara

hingga mencapai Tibet dan propinsi Szechuan di Cina (Lydekker, 1906). Namun

spesies ini telah punah di China. (Servheen, 1999; Fitzgerald & Krausman, 2002).

Menurut Mills dan Servheen (1991) beruang ini juga pernah ditemukan di India

namun saat ini tidak ditemukan lagi.

Gambar 4. Perkiraan sejarah distribusi beruang madu (Servheen,1999).

Fitzgerald dan Krausman (2002) menyatakan beruang madu tersebar di

beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Selatan seperti Laos, Malaysia, Thailand,

Myanmar, Kamboja, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan (Borneo), Vietnam dan

kemungkinan juga terdapat di daerah Bangladesh (gambar 5). Meijaard (2003)

menyatakan bahwa beruang madu datang ke pulau Jawa pada pertengahan akhir masa

Pleistocene. Menurut Khan (1984) Beruang madu pernah terdapat di hutan bagian
selatan Bangladesh di sepanjang perbatasan India dan Myanmar namun keberadaanya

tidak lama berada di lokasi tersebut.

Gambar 5. Perkiraan distribusi beruang madu saat ini (Servheen,1999)

Di Thailand beruang madu hidup di hutan yang rapat pada ketinggian di atas

2.500 m (Lekagul dan McNeely, 1977), di Borneo di atas 2.300 m (Corbet dan Hill,

1992) dan di Indonesia (Sumatera) di atas 2.800 m (Santipillai dan Santipillai, 1988).

Payne dan Andaw (1991) menyatakan bahwa di Sabah dan Kalimantan beruang madu

dominan hidup di hutan dipterocarp namun juga dapat ditemukan di pegunungan

rendah dan hutan rawa. Di Kalimantan Tengah beruang madu juga ditemukan di

habitat rawa gambut hutan sekunder (Azwar dkk, 2004).


Augeri (2005) menyatakan berdasarkan beberapa parameter habitat yaitu

kondisi hutan, tutupan kanopi, umur hutan, tingkat gangguan dan kondisi topografi,

beruang madu lebih banyak ditemukan di hutan primer dengan tingkat gangguan yang

kecil. Pada hutan sekunder lebih banyak ditemukan pada hutan yang berumur lebih

dari 20 tahun. Sedangkan kondisi topografi seperti ketinggian dan kemiringan relatif

tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu.

Beruang madu banyak menghabiskan waktunya di permukaan tanah untuk

makan (Servheen, 1993) dan tidur di atas pohon (Fetherstonehaugh,1940) sekitar 2-4

meter di atas tanah untuk menghindari predator (Nowak, 1991). Beruang madu

membangun sarang untuk tidur di pohon dengan menggunakan ranting dan batang

pohon (Lekagul dan McNeely 1977).

Daerah jelajah beruang madu bervariasi, di Sabah antara 6,2-20,6 Km2

(Wong, 2002) dan 12-15 Km2 di kawasan utara Kalimantan Timur dan Sumatra Utara

(Augeri, 2005). Daerah jelajah untuk betina di Sungai Wein, Kalimantan antara 4-5

Km2 (Fredrikkson dan Wich kom pri dalam Meijaard, 2005). Sedangkan menurut

Wong (2002) tumpang tindih daerah jelajah di Sabah bervariasi antara 0,54-3,45

Km2. Beruang betina sering tumpang tindih dengan ibunya, sedangkan beruang jantan

menyebar ke area baru meskipun daerah jelajah dari kedua jenis kelamin tersebut

dapat tumpang tindih dengan beruang lainnya.


F. Makanan

Beruang madu merupakan hewan opportunis (Servheen, 1993) yang hampir

memakan segalanya seperti buah, vertebrata kecil dan madu (Ewer, 1973). Menurut

Cranbrook (1991) beruang madu menggunakan cakarnya untuk merobek sarang lebah

untuk mendapatkan madu dan larva lebah tersebut. Fetherstonhaugh (1940) dalam

Fitzgerald dan Krausman (2002) menambahkan bahwa beruang madu juga suka

menggali tanah dan memakan rayap, larva dan telurnya, beberapa jenis serangga,

kutu kayu dan cacing tanah. Dathe (1975) menyatakan beruang madu juga sering

memakan buah kelapa dan sering menimbulkan kerusakan pada pohon-pohon kelapa.

Pada kawasan Sungai Wain ditemukan 113 jenis buah yang dimakan oleh

beruang madu, buah tersebut berasal dari famili Moraceae, Burseraceae dan

Myrtaceae yang merupakan makanan yang sangat melimpah di hutan dataran rendah

Kalimantan Timur. Beruang madu di kawasan tersebut sering ditemukan memakan

buah durian (Durio spp), Artocarpus spp dan Dacryodes spp pada saat musim buah.

Sedangkan Ficus spp adalah makanan yang paling banyak dimakan beruang madu

ketika tidak musim buah. Di Sungai Wain juga telah diidentifikasi sebanyak 48 jenis

rayap dan 60 jenis semut yang dimakan oleh beruang madu. (Fredrikkson dan Wich

kom pri dalam Meijaard, 2005).

Berdasarkan penelitian perilaku makan beruang madu di Ulu Segama, Sabah,

Malaysia, beruang madu merupakan jenis omnivora yang memakan hewan dan

tumbuhan. Jenis hewan yang dimakan meliputi 13 marga rayap (Isoptera), delapan

suku dari kumbang (Coleoptera), satu marga lebah (Apidae), dua marga semut
(Formicidae) dan satu marga dari tawon (Vespidae) serta beberapa bangsa serangga

lainnya, dua kelas Arthropoda, reptilia, burung dan beberapa mamalia kecil. Hasil

analisis dari feses beruang madu didapatkan bahwa >37 % isinya berasal dari

beberapa marga rayap yaitu Bulbitermes, Coptotermes, Dicuspiditermes,

Nasutitermes, dan Schedorhinotermes (Wong dkk, 2002). Secara keseluruhan dari

beberapa tipe makanan invertebrata merupakan penyusun makanan yang dominant

(57 %), selebihnya adalah tumbuhan (29 %) dan vertebrata (11 %) (Wong dkk, 2002).

Tabel 1.

Tabel 1. Daftar komposisi pakan beruang madu di Ulu Segama Malaysia (Wong, dkk
2002).

Jenis makanan Frekuensi Presentase

Invertebrata 116 57,14


Rayap 26 50,00
Semut 13 25,00
Kumbang 33 63,46
Larva kumbang 29 55,77
Lebah 5 9,62
Kecoa hutan 3 5,77
Arthropoda lain 7 13,46
Vertebarata 23 11,26
Kura-kura 3 5,77
Reptil 2 2,85
Vertebarata kecil 11 21,15
Telur burung 1 1,92
Hewan tdk teridentifikasi 6 11,54
Tumbuhan 61 29,61
Ficus 32 61,54
Buah 15 28,85
Bunga 1 1,92
Biji 1 1,92
Tumb. Tdk teridentifikasi 12 23,08
Bahan non organic 3 0,14
Resin 3 5,77
Sedangkan jenis tumbuhan yang dimakan oleh beruang madu pada umumnya

adalah jenis tumbuhan ficus, 4 jenis diketahui sebagai tumbuhan penghasil buah dan

14 jenis tidak diketahui sebagai penghasil buah.

Sesuai dengan makanannya maka beruang madu merupakan salah satu

penyebar biji yang sangat penting terutama bagi buah yang berbiji besar seperti

durian (Durio spp), nangka (Artocarpus integer) dan lain-lain. Selain itu beruang

madu juga aktif dalam mengatur populasi insekta dengan memakan rayap dan koloni

semut (Augeri, 2002).

G. Perilaku

Beruang madu di habitat alaminya umumnya bersifat soliter (Ortolani dan

Caro, 1996) dan nokturnal (Lekagul dan McNeely 1977). Di Danum Valley, Sabah

waktu aktif beruang madu cenderung diurnal (Wong, 2002) dan di Kayan Mentarang,

Bulungan serta di ekosistem Leuser waktu aktif beruang madu adalah diurnal dan

nocturnal. Menurut Griffiths dan van Schaik (1993) aktifitas beruang madu juga

dapat dipengaruhi oleh gangguan manusia, beruang madu dapat beraktifitas pada

siang hari pada kondisi tidak adanya gangguan dari manusia. Onuma dkk (2000)

menyatakan bahwa beruang madu yang tinggal di perbatasan dengan perkebunan

sawit, biasanya memiliki perilaku memasuki kawasan sawit pada malam hari dan

pada siang hari terdapat di daerah hutan. Perilaku tersebut bertujuan untuk

menghindari panasnya martahari pada siang hari.

Beruang madu dapat melakukan penyerangan terhadap manusia khususnya

ketika beruang madu muda dilukai (Medway, 1969). Di Thailand beruang madu dapat
melakukan serangan tanpa peringatan atau sebab yang jelas (Lekagul dan McNeely,

1977). Namun pada dasarnya beruang madu bersifat tidak berbahaya dan pemalu jika

tidak terganggu dan ketika induk bersama bayinya bertemu dengan manusia mereka

lebih banyak menghindar (Fetherstonhaugh, 1940).

Beruang madu kadang berdiri dengan kedua kakinya untuk melihat obyek

agar lebih jelas ketika mendapatkan ancaman (Lekagul dan McNeely, 1977) atau

untuk mencium obyeknya pada jarak yang relatif jauh dengan jelas (Fetherstonhaugh,

1940).

Beruang madu menggunakan hidungnya untuk mencium saat mencari larva

dan serangga (Fetherstonhaugh, 1948). Kadang-kadang beruang madu membuat suara

yang serak dengan hidungnya atau raungan keras jika bertemu dengan orangutan

(Pongo pygmaeus) jantan dewasa (Fitzgerald dan Krausman, 2002). Umumnya

beruang madu akan memberikan gonggongan pendek saat merasa terancam oleh

hewan lainnya (Mills dan Servheen 1991).

H. Parasit

Terdapat 77 jenis parasit yang telah ditemukan pada kotoran semua jenis

beruang namun dari semua parasit tersebut tidak ada yang dapat menyebabkan

kematian. Efek patologis umumnya tidak terlihat jelas pada beruang tersebut

(Horstman 1949, Rausch 1955, Jonkel dan Cowan 1971, Poelker dan Hartwell 1973).

Pada beruang madu telah teridentifikasi 5 jenis parasit yaitu Pentorchis arkteios,

Ancylostoma malayanum Haemaphysalis semermis, H. leachi dan H. hystricis..

Sedangkan untuk Beruang madu yang berada di penangkaran Kebun Binatang


Philadelphia pernah ditemukan adanya parasit Baylisascaris transfuga (Canavan

1929; Stiles dan Baker 1935).

I. Ancaman dan Predator Alami

Beruang madu merupakan salah satu satwa liar yang telah mengalami

penurunan populasi yang sangat drastis yang diakibatkan oleh kerusakan habitat dan

perburuan. Perburuan beruang madu pada umumnya bertujuan untuk dibuat makanan,

obat-obatan dan obat perangsang dari bagian-bagian tubuhnya (Mills dan Servheen

1991). Menurut Payne dan Andau (1991) perburuan beruang sangat dipengaruhi oleh

adanya permintaan yang tinggi dari Jepang dan Korea yang menggunakan kalenjar

empedu beruang madu untuk bahan obat-obatan.

Beruang madu juga merupakan salah satu jenis hewan yang banyak

diperdagangkan di Indonesia baik beruang hidup maupun bagian-bagian tubuhnya.

Di Pulau Kalimantan perburuan dan perdagangan beruang madu marak terjadi di

Pontianak, Sintang, Putusibau dan Sanggau yang terletak di provinsi Kalimatan

Barat. Bengkulu, Jambi dan Sumatra Utara merupakan pasar beruang madu di

Sumatra yang berasal dari tangkapan di beberapa Taman Nasional seperti Taman

Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Gunung Leuser. Sedangkan pasar

beruang madu di Jawa meliputi Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya (Kurniawan dan

Nursahid, 2002).

Menurut Kurniawan dan Nursahid (2002) perdagangan beruang madu di

Indonesia dilakukan dalam keadaan hidup, mati ataupun bagian-bagiannya. Bagian-

bagian tubuh yang diperjualbelikan seperti kulit, kalenjar empedu, gigi taring,
tengkorak kepala dan cakarnya. Perdagangan tersebut sebagian besar digunakan

untuk bahan obat-obatan dan sebagian lainnya untuk membuat perhiasan atau hanya

untuk dipelihara.

Selain perburuan dan perdagangan adanya kerusakan habitat, deforestasi,

konversi lahan dan pembalakan liar serta kegiatan pertambangan merupakan faktor

yang sangat mempengaruhi keberadaan beruang madu di Indonesia. Hal tersebut telah

membuat peningkatan fragmentasi habitat sehingga populasi beruang madu menjadi

terisolasi dan terancam kelangsungan populasinya. Selain itu adanya konflik dengan

manusia juga menjadi ancaman potensial yang serius bagi beruang madu. Konflik

tersebut pada umumnya terjadi ketika beruang madu mencari makanan di dalam areal

ladang penduduk yang terdapat di pinggir hutan (Fredriksson, 2005).

Menurut Fredriksson (2005) terdapat beberapa permasalahan utama dalam

usaha konservasi beruang madu yaitu :

1. Kerusakan habitat

2. Eksploitasi dan perdagangan

3. Kurangnya jumlah dan luas area untuk distribusi di kawasan lindung dan

belum baiknya manajemen pengelolaan kawasan tersebut

4. Kurang efesiennya pengelolaan satwa liar

5. Tidak adanya fasilitas untuk merawat beruang madu hasil sitaan

6. Kurangnya dana dan pihak yang bekerja dalam manajemen hewan sitaan.

7. Kurangnya lokasi release (pelepasliaran) yang tersedia bagi hewan sitaan.


Sebagai salah satu karnivora besar sebenarnya beruang madu tidak banyak

mempunyai predator alami karena gangguan yang paling sering terjadi berasal dari

manusia (Fredrikksson, 2005). Namun Kawanishi dan Sunquist (2004) menyatakan

bahwa harimau (Panthera tigris) dan beberapa kucing besar lainnya seperti Panthera

pardus dan Neofelis nebulosa mempunyai potensi untuk menjadi predator bagi

beruang madu.

Fredriksson (2005b) menyatakan bahwa di Kalimantan Timur pernah di

temukan adanya predasi beruang madu oleh ular Phyton (Phyton reticulatus) yang

merupakan salah satu ular terbesar di dunia. Peristiwa tersebut terjadi di hutan

dipterocarp Kalimantan Timur dimana pada malam hari seekor beruang madu betina

dewasa dimangsa oleh ular Phyton yang memiliki panjang 7 m.


BAB III

PELEPASLIARAN BERUANG MADU

Menurut IUCN/SSC (1998) terdapat tiga tipe pelepasliaran yaitu reintroduksi,

translokasi dan suplementasi. Reintroduksi adalah pelepasan suatu spesies dalam

suatu kawasan yang pernah ditempati oleh spesies tersebut namun tidak terdapat

populasinya saat ini. Translokasi adalah memindahkan atau membantu perpindahan

suatu individu liar ke dalam suatu populasi yang telah ada, sedangkan suplementasi

adalah menambahkan individu ke dalam suatu populasi yang telah ada. Menurut

Kleiman (1996) reintroduksi adalah pelepasan satwa dari hasil penangkaran atau

satwa liar ke dalam area aslinya dimana populasi satwa tersebut telah mengalami

penurunan atau tidak ditemukan lagi.

Menurut Dijk (2005) batas antara definisi reintroduksi, translokasi dan

suplementasi terletak pada perbedaan jumlah satwa yang akan dilepaskan di lokasi

tersebut dengan jumlah satwa yang ada di lokasi tersebut sebelumnya. Hal tersebut

menyebabkan adanya kerancuan istilah dan tumpang tindih pengertian antara

reintroduksi, translokasi dan suplementasi/augmentasi.

Reintroduksi dari jenis hewan langka merupakan issu yang masih

diperdebatkan. Ketika melihat biaya dan kebutuhan yang diperlukan serta kurangnya

bahan makanan di habitatnya maka banyaknya program reintroduksi dalam strategi

konservasi masih terus diperdebatkan (Brambell 1977; Kleiman 1989). Namun pada

kasus yang sama, program reintroduksi dari mamalia hasil penangkaran atau sitaan
merupakan bagian dari usaha konservasi secara komperehensif dan tepat (Campbell

1980, Kleiman 1989).

Menurut Kleiman (1989) kesuksesan program reintroduksi tergantung dari

sasarannya, jika program tersebut bagian dari program konservasi bagi satwa langka

maka didalamya termasuk program perlindungan/restorasi habitat dan pendidikan

masyarakat, atau program tersebut bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman

genetik atau untuk tujuan rekreasi saja. Kleiman (1996) menambahkan hal yang

paling penting dalam reintroduksi adalah bagaimana usaha tersebut dapat mencapai

tujuan akhirnya yaitu dihasilkannya suatu populasi yang kuat dan dapat menunjang

kelangsungan spesies tersebut dalam jangka panjang.

A. Persiapan Pelepasliaran

Dalam tahap pra pelepasliaran, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji dan

dilakukan yaitu rehabilitasi individu dan pengkajian lokasi pelepasliaran.

1. Rehabilitasi

Beruang madu hasil sitaan pada umumnya mengalami perubahan perilaku dari

perilaku alaminya dan dalam kondisi kesehatan yang tidak baik. Oleh karena itu perlu

dilakukan rehabilitasi terhadap beruang madu tersebut agar siap untuk dilepasliarkan

ke habitat alaminya. Pada tempat rehabilitasi ini beruang madu sitaan akan menjalani

proses pemeriksaan kesehatan, perawatan dan pembelajaran. Selama proses

rehabilitasi beruang madu tersebut harus dipantau dan diteliti supaya setiap

perubahan perilakunya dapat diketahui dengan detail.


Menurut Soorae (2005) tidak semua beruang hasil sitaan mempunyai kans

untuk dilepasliarkan yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain beruang madu

yang memiliki penyakit kronis, tidak dapat disembuhkan dan mempunyai potensi

untuk menularkan penyakit tersebut kepada individu lain, hewan lain atau kepada

perawatnya sebaiknya dieuthanasia. Hal tersebut dimaksudkan agar penyakit individu

tersebut tidak dapat menyebar lebih luas. Sedangkan beruang madu yang sudah tua

dan tidak memiliki potensi untuk dilepaskan sebaiknya dirawat dalam penangkaran

untuk dapat bereproduksi sehingga hasil reproduksinya nantinya dapat dilepasliarkan.

Hanya beruang madu yang masih muda dan tidak memiliki penyakit kronis atau

memiliki penyakit yang dapat disembuhkan serta memiliki potensi untuk bertahan

hidup di habitat alaminya yang dapat menjalani program rehabilitasi dan

pelepasliaran. Sebelum dilepasliarkan terdapat berbagai macam persyaratan yang

harus dimiliki oleh beruang madu tersebut yaitu :

a. Kesehatan

Ketika individu berada dalam penangkaran atau dalam pemeliharaan manusia,

mereka dapat terjangkit berbagai macam penyakit. Resiko dari individu yang

dilepasliarkan untuk menyebarkan penyakitnya ke individu yang lain sangat serius

sehingga individu yang akan dilepasliarkan harus menjalani prosedur pemeriksaan

yang intensif. Pada umumnya penyakit yang menyerang beruang madu dalam

penangkaran adalah akibat dari cacing ascarid sehingga dalam tahap karantina

beruang madu tersebut harus diberikan obat anti cacing. Selain itu, beruang madu
tersebut juga harus diberikan berbagi vaksinasi untuk mengurangi resiko penyebaran

penyakit dalam populasi alaminya (Soorae, 2005).

b. PerilakuMenurut Clark dkk (2002) hal yang penting bagi pelepasliaran beruang

adalah jika beruang tersebut memiliki perilaku yang sama dengan beruang liar.

Perubahan perilaku tersebut dapat membuat beruang tersebut menjadi sangat

tergantung oleh pemberian makanan dari manusia dan mengurangi daya survivalnya

di alam. Castellanos (2005) mengungkapkan beruang yang berada dalam kurungan

dapat mengalami perubahan perilaku menjadi jinak dan kehilangan ketakutan

terhadap manusia. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif ketika individu yang

jinak tersebut dilepasliarkan. Pada reintroduksi hewan karnivora besar, kejinakan

dapat menimbulkan konflik dengan manusia. Selain itu individu yang memiliki

perilaku yang tidak normal jika dilepaskan ke dalam area yang memiliki populasi

alami dapat mempengaruhi perilaku beruang madu liar lainnya sehingga

mengganggu daya survival semuanya.

Payton dan Plenge (2005) menyatakan bahwa untuk mengembalikan perilaku

beruang madu sitaan dengan cara membatasi kontak manusia dan pemberian

makanan kepada beruang tersebut saat proses rehabilitasi. Selain itu kondisi

lingkungan lokasi rehabilitasi harus mirip dengan kondisi habitat alaminya dan

tersedia pakan alami yang cukup baik. Hal tersebut dapat mengurangi tingkat

ketergantungan beruang tersebut dari manusia.

c. Kemampuan hidup
Menurut Soorae (2005) banyak kemampuan yang dipelajari melalui

pengalaman seperti pada beruang madu dalam waktu yang lama. Bagi beruang madu

yang hidup dalam kandang, beberapa kemampuan tersebut tidak dimiliki dan jika

individu tersebut dilepaskan ke alam maka dapat merugikan. Kemampuan tersebut

seperti kemampuan untuk mencari lokasi makanan dan sumber mangsa, menghindari

predator dan manusia, mengetahui jalur migrasi lokal, mengetahui daerah jelajah

disekitarnya dan lain-lain. Oleh sebab itu, sebelum beruang madu tersebut dilepaskan

maka harus dilatih untuk memiliki kemampuan tersebut agar dapat bertahan hidup di

alam.

Pazhetnov dan Pazhetnov (2005) menyatakan bahwa perilaku beruang madu

yang harus dimiliki sebelum dilepasliarkan adalah perilaku mencari makanan,

perilaku predasi, orientasi terhadap daerah jelajah serta perilaku pertahanan diri.

Menurut Roth dan Huber (1986) yang harus diperhatikan dari individu beruang madu

yang akan dilepaskan adalah tingkat kecerdasannya, besarnya rasa keingintahuannya,

daya ingatnya, kemampuan dan daya tahannya.

d. Genetik

Untuk reintroduksi ataupun suplementasi satwa termasuk beruang madu

sangat penting untuk melepaskan satwa yang memiliki aspek genetik yang dekat

dengan populasi asli yang ada di area tersebut dan memiliki aspek ekologi seperti

morfologi, fisiologi, perilaku dan preferensi yang sama. (IUCN, 1998). Hal ini

menjadi penting jika beruang madu yang dilepasliarkan memiliki perbedaan 22

struktur genepool dapat mengkontaminasi genepool lokal yang unik. Pada kasus yang
sama hal ini dapat menimbulkan efek positif untuk meningkatkan variasi genetik dan

mengurangi adanya inbreeding.

Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kesuksesan proses rehabilitasi

yaitu :

1) Waktu

Dijk (2005) menyatakan bahwa faktor waktu merupakan salah satu faktor

yang penting untuk diperhatikan dalam program rehabilitasi beruang. Dalam hal ini

terdapat permasalahan jika beruang madu terlalu lama dalam pusat rehabilitasi, yaitu

adanya efek negatif dimana beruang madu tersebut sudah terlalu terhabituasi dengan

manusia atau pengasuhnya dan mempengaruhi perilakunya. Namun untuk melatih

dan mengajarkan beruang madu agar dapat memiliki kemampuan untuk bertahan di

alam juga tidak membutuhkan waktu yang singkat.

2) Lokasi

Payton dan Plenge (2005) menyatakan bahwa lokasi rehabilitasi bagi beruang

yang baik adalah lokasi yang memiliki kondisi vegetasi yang baik dan luas yang

dibatasi oleh pagar. Hal tersebut dapat membantu beruang madu untuk dapat

beradaptasi dengan kondisi lingkungan alaminya dan agar dapat belajar untuk

beradaptasi dengan makanan alaminya dengan cepat. Melalui cara tersebut beruang

madu dapat menjadi liar dalam waktu hanya dalam beberapa bulan.

3) Perlakuan

Payton dan Plenge (2005) menyatakan bahwa untuk membiasakan dengan

makanan alaminya beruang madu dalam proses tersebut tidak boleh diberikan
makanan selain vitamin. Hal tersebut karena pada umumnya beruang madu hasil

sitaan telah terbiasa dengan makanan manusia dan menjadi jinak dengan manusia.

Selain itu kontak dengan manusia juga harus dibatasi agar tidak menimbulkan

kejinakan pada beruang madu tersebut.

2. Kondisi area pelepasliaran

Menurut Van Mannen (1990) kemungkinan kesuksesan pelepasliaran akan

kecil jika dilakukan pada habitat dan lokasi yang kurang mendukung sehingga untuk

melakukan pelepasliaran kondisi habitat harus dievaluasi terlebih dahulu. Program

reintroduksi harus dilakukan pada habitat yang memungkinkan individu tersebut

dapat hidup dalam jangka waktu yang lama. Habitat tersebut juga harus diidentifikasi

dan direduksi berbagai kemungkinan gangguan yang ada di lokasi tersebut seperti

kegiatan perburuan, potensi penyakit, polusi, perambahan dan lain-lain. Jika lokasi

tersebut mengalami masalah – masalah seperti itu maka harus dilakukan restorasi

habitat terlebih dahulu.

Menurut Fredriksson (2005) lokasi pelepasliaran idealnya memiliki daya

dukung yang baik dalam makanan, kehadiran manusia yang rendah atau area yang

tidak digunakan oleh manusia untuk beraktifitas serta memiliki beruang madu residen

yang rendah atau tidak ada.

Beberapa hal yang penting untuk dikaji dalam penentuan area pelepasliaran

beruang madu adalah :


a. Luas area

Luas area pelepasliaran beruang madu merupakan faktor yang harus dikaji

sebelum dilakukan pelepasliaran. Luas area ini berkaitan dengan pola pemanfaatan

habitat, persebaran dan daerah jelajah beruang madu tersebut. Menurut Clark, Huber

dan Servheen (2002) daerah jelajah beruang madu dipengaruhi oleh umur, jenis

kelamin, batasan geografik dan lain-lain.

Jika luas tutupan hutan tidak mencukupi, beruang madu dapat berpindah dan

memasuki kawasan non hutan seperti perkebunan kelapa sawit, lahan pertanian dan

lain-lain. Hal tersebut dapat menyebabkan permasalahan yang serius bagi

keberhasilan program pelepasliaran (Onuma dkk, 2000).

b. Ketersedian makanan

Menurut Castellanos (2005) pada lokasi pelepasan harus memenuhi berbagai

kriteria seperti ketersedian makanan, air dan terlindung dari berbagai ancaman dari

manusia. Menurut Huber (2005) kondisi vegetasi dalam area pelepasliaran harus

terdiri dari jenis tumbuhan yang bervariasi sehingga dapat menyediakan makanan

dalam musim yang berbeda. Mereka juga harus mendapatkan tumbuhan tersebut

dalam jumlah yang banyak, jika sumber makanan tersebut jarang ditemukan maka

mereka harus mendapatkan makanan tersebut dalam jumlah yang cukup dalam satu

lokasi. Beruang madu membutuhkan lebih dari 10 % protein dalam makanannya dan

beruang madu telah cukup dengan mendapatkannya dari serangga atau invertebrata

lainnya atau bahkan dari bangkai hewan lain.


Modriæ dan Huber (1989) menyatakan bahwa jika karnivora lain dapat

mencari mangsa yang besar pada satu tempat dan dapat memangsanya untuk

beberapa hari hal ini berbeda dengan beruang madu yang hampir selalu bergerak

untuk mendapatkan makanannya sedikit demi sedikit. Makanan bagi beruang madu

hampir dapat ditemukan di semua tempat. Beruang madu dapat mencari makanan

dengan mencakar batang kayu yang membusuk, menggali tanah untuk mencari umbi-

umbian, invertebrata, telur ataupun larva invertebrata. Makanan lainnya berupa

hewan lain seperti tikus dan hewan mamalia kecil lainnya. Oleh karena itu luas area

dan luas derah jelajahnya harus diperhatikan dalam pelepasan beruang madu.

c. Ketersedian lokasi untuk berlindung

Kondisi vegetasi area pelepasliaran juga harus memiliki tutupan vegetasi yang

rapat yang dibutuhkan oleh beruang madu untuk beristirahat saat siang dan malam

hari. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan ketika memilih

lokasi pelepasliaran beruang madu. Menurut Wong dkk (2003) beruang madu

membutuhkan pohon yang besar (diameter >100 cm) sebagai tempat tidur dan

istirahat. Umumnya pohon yang digunakan sebagai sarang tersebut berasal dari suku

dipterocarpaceae.

Beruang madu membuat sarang (seperti orangutan) di atas pohon sebagai

tempat tidur (McConkey dan Galleti, 1990). Namun Wong dkk (2003) menemukan

bahwa beruang madu di Ulu Segama, Sabah tidak membuat sarang untuk tempat

tidur. Menurut Santipilai dan Santipilai (1996) dalam Wong dkk (2003) beruang

madu yang membuat sarang pada umumnya berada pada kawasan yang terganggu,
hutan sekunder atau karena keberadaan predator seperti macan tutul, macan dahan

dan lain-lain.

d. Dinamika populasi dan pemanfaatan habitat

Studi yang mendetail tentang status dan aspek biologi dari populasi liar yang

terdapat dilokasi tersebut (jika masih ada) digunakan untuk mendeterminasi

kebutuhan spesies yang kritis. Studi ini termasuk gambaran preferensi habitat, variasi

intraspesifik, adaptasi terhadap kondisi ekologi lokal, perilaku sosial, komposisi

kelompok, ukuran daerah jelajah, kebutuhan terhadap makanan dan tempat

perlindungan, perilaku makan, predator dan penyakit. Untuk spesies yang sering

melakukan migrasi studi ini termasuk area potensial migrasi (IUCN/SSC, 1995).

Untuk menghindari pelepasliaran beruang madu pada habitat yang tidak

sesuai, pelepasliaran beruang madu rehabilitan lebih baik dilakukan pada area yang

masih memiliki populasi liar baik pada populasi yang kecil maupun besar yang

memiliki keberlanjutan untuk jangka waktu yang lama. Namun pelepasliaran pada

area seperti itu akan memberikan dampak bagi populasi penerima dan memberikan

dugaan atau asumsi waktu paling sedikit bagi beruang madu yang dilepasliarkan

untuk dapat bertahan. Oleh karena itu pada area pelepasliaran harus dilakukan studi

tentang struktur populasi beruang madu di lokasi tersebut sebelumnya (Dijk, 2005).

Studi struktur populasi dari populasi beruang madu di lokasi pelepasliaran

dapat menujukkan interaksi sosial beruang madu baik yang langsung maupun yang

tidak langsung di lokasi tersebut. Interaksi sosial tersebut seperti dominant versus sub

dominant, presentase tumpang tindih daerah jelajah, teritori, penerimaan beruang


madu rehabilitan (interaksi sosial) juga harus diketahui pengaruh kelimpahan

makanan terhadap dinamika populasi beruang madu di lokasi tersebut (Joshi et al.

1999, Rogers, 1997, Swenson dkk, 1997, Stonorov dan Stokes 1972).

Stokes (1970) menyatakan bahwa tingkat intoleransi sosial berhubungan

langsung dengan jumlah beruang madu di lokasi tersebut yang berkaitan dengan daya

dukung lingkungan dan tingkat kejenuhan. Taylor (1994) menunjukkan bahwa

ketersediaan makanan sangat menentukan pola persebaran satwa. Pada umumnya

beruang madu yang tidak dapat berkompetisi dalam makanan atau dalam hubungan

sosial akan menyebar ke pinggiran habitat dan dapat memasuki area yang sangat

dekat dengan manusia. Beruang madu yang dalam kondisi seperti ini dapat

menimbulkan masalah dan gangguan terhadap masyarakat sekitar serta dapat

menimbulkan konflik.

Dijk (2005) mengungkapkan dalam suplementasi atau augmentasi sebaiknya

dilakukan pada habitat beruang madu yang mendekati kepunahan sehingga memiliki

kecukupan sumber makanan, meminimalisasi intoleransi sosial dengan populasi

penerima bagi beruang madu yang akan dilepasliarkan. Bagaimanapun juga

pelepasliaran beruang madu individu baru ke dalam populasi yang mengalami

kejenuhan akan menyebabkan individu baru tersebut dalam situasi yang sulit. Mereka

harus dapat menemukan lokasi mereka sendiri di antara populasi yang telah ada tanpa

menimbulkan masalah dengan individu lain.


e. Keberadaan manusia

Faktor kehadiran manusia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kesuksesan pelepasliaran beruang madu (Fredrikkson, 2005). Hal ini karena

keberadaan manusia yang terlalu dekat dapat mempengaruhi luas daerah jelajah

beruang madu dan distribusinya (Clark, Huber dan Servheen, 2002). Selain itu

keberadaan masyarakat yang berdekatan dengan lokasi pelepasliran dapat

menyebabkan beberapa gangguan dan konflik antara beruang madu dan masyarakat

lokal (Fredrikkson, 2005).

Augeri (2005) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

keberadaan beruang madu dengan aktifitas masyarakat seperti logging (perambahan),

pertanian, perburuan serta pemanfaatan habitat beruang madu. Umumnya beruang

madu liar akan menempati area yang relatif tidak terganggu atau menjauhi manusia.

Namun bagi beruang madu rehabilitan perilaku tersebut dapat berubah.

B. Pelepasliaran

Terdapat dua macam teknik pelepasliaran satwa yaitu hard release dan soft

release. Hard release adalah pelepasliaran satwa yang tidak diikuti oleh program

yang mendukung lainnya (Hall, 2005). Dalam pelepasliaran tipe ini satwa yang

dilepasliarkan tanpa mengalami proses aklimatisasi terlebih dahulu terhadap

lingkungan sekitarnya (www.kidsplanet.org, 2006). Teknik pelepasliaran ini juga

dikenal sebagai pelepasliaran langsung.

Sedangkan pelepasliaran soft release adalah pelepasliaran satwa yang

dilkukan secara bertahap. Sebelum dilepasliarakan satwa tersebut dikandangkan dan


diberi makan hingga satwa tersebut terbiasa dengan kondisi lingkungannya. Setelah

dilepasliarkan satwa tersebut masih diberi dukungan berupa makanan tambahan yang

dikurangi secara bertahap (Hall, 2005). Pada soft release satwa tersebut masih dijaga

dalam area tersebut sehingga mulai terbiasa (teraklimatisasi) dengan lingkungan

sekitarnya (www.kidsplanet.org, 2006). Hall (2005) mengungkapkan dalam soft

release pada umumnya memerlukan monitoring dan studi tentang kondisi habitat dan

aspek perilaku setelah dilepasliarkan.

Pemilihan teknik pelepasliaran yang akan dilakukan memerlukan

pertimbangan yang tergantung pada jenis dan sifat satwa tersebut, kondisi habitat dan

lamanya waktu dalam rehabilitasi. Menurut Hall (2005) hard release dilakukan pada

satwa yang tidak terlalu lama berada dalam kandang dan dapat kembali kepada

habitat alaminya. Metode ini tidak direkomendasikan pada satwa yang dibesarkan

oleh manusia, satwa yang telah dirawat dalam jangka waktu yang lama dan pada

kawasan yang tidak familiar terhadap satwa tersebut. Sedangkan untuk satwa yang

telah direhabilitasi dalam jangka waktu yang lama sebaiknya menggunakan metode

soft release untuk mendukung kesuksesan adaptasinya.

C. Paska Pelepasliaran

Setelah pelepasliaran dibutuhkan berbagai aktifitas yang dibutuhkan demi

keberhasilan program pelepasliaran tersebut. Aktifitas tersebut meliputi :

1. Monitoring

Monitoring dari semua individu yang dilepasliarkan. merupakan salah satu

aspek vital dalam aktifitas pelepasliaran. Monitoring ini dapat dilakukan secara
langsung pengamatan di lapangan seperti dengan penggunaan radio telemetri dan

tagging ataupun secara tidak langsung. Walzer dkk (2005) menyatakan bahwa

beruang madu merupakan salah satu satwa yang sulit untuk ditemukan secara

langsung. Sehingga untuk memonitoring beruang madu yang telah dilepaskan dengan

cara menandai dengan transmitter. Metode ini sangat mudah dan cepat untuk

mendeteksi keberadaan satwa tersebut.

IUCN/SSC (1995) menyatakan beberapa aspek yang perlu diamati dalam

monitoring tersebut antara lain :

a) Studi demografi, ekologi dan perilaku dari beruang madu yang

dilepasliarkan.

b) Studi tentang proses adaptasi dalam jangka waktu yang lama dari individu

yang dilepasliarkan dan populasinya.

c) Investigasi dan pengumpulan data tentang angka kematian (mortalitas)

Fungsi monitoring tersebut antara lain adalah sebagai pertimbangan untuk

melakukan intervensi jika dibutuhkan dalam bentuk makanan tambahan, bantuan

kesehatan dan lain-lain, pengambilan keputusan untuk merevisi, menjadwalkan ulang

atau penghentian program jika dibutuhkan, perlindungan habitat atau melanjutkan

restorasi habitat jika diperlukan.

2. Melakukan aktifitas hubungan masyarakat dan edukasi

Untuk mendukung kesuksesan pelepasliaran adanya edukasi terhadap

mesyarakat lokal sangatlah penting (Hall, 2005). Hal tersebut untuk mencegah
adanya konflik antara beruang dan masyarakat dan untuk mencegah adanya

perburuan dari beruang tersebut.

Faktor kegagalan terbesar pada pelepasliaran beruang madu di Sungai Wain,

Kalimantan Timur adalah berasal dari adanya konflik dengan masyarakat lokal.

Beruang madu yang dilepasliarkan masuk ke wilayah perkebunan sehingga dibunuh

oleh masyarakat sekitar (Fredrikkson, 2005c). Oleh karena hal tersebut maka adanya

sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat lokal sangat diperlukan untuk

mendukung program tersebut.

3). Publikasi secara rutin dalam jurnal ilmiah maupun popular (IUCN/SSC,

1995).

D. Kesuksesan dan Kegagalan Program Pelepasliaran Beruang madu

Kesuksesan dan kegagalan program pelepasliaran beruang madu yang

berhubungan dengan kondisi individual dan populasi penerima dapat diketahui

melalui beberapa parameter :

1. Individu yang dilepaskan cenderung untuk menjauhi aktifitas manusia.

Menurut IUCN/SSC (1995) perilaku menjauhi manusia merupakan salah satu

parameter keberhasilan pelepasliaran beruang madu. Karena perilaku tersebut adalah

perilaku alami beruang madu. Menurut Chauhan dan Singh (2005) sebagian besar

kasus konflik antara beruang madu dan manusia terjadi di dalam hutan.

2. Tidak memberikan efek negatif terhadap populasi liar lokal.

Jika pelepasliaran pada area yang memiliki jumlah beruang madu liar yang

sedikit dan memiliki suplai makanan yang cukup serta terdapat resiko intoleransi
sosial akibat kepadatan populasi yang rendah maka kita dapat menyebutkan bahwa

program pelepasliaran tersebut sukses jika beruang madu yang dilepasliarkan dapat

bertahan. Selain itu populasi penerima juga tidak terganggu dengan adanya

penambahan individu dalam area tersebut (Dijk, 2005).

3. Daya survival beruang madu yang dilepasliarkan.

Menurut IUCN/SSC (1995) kriteria daya survival beruang madu yang

dilepaskan dapat diukur bilamana beruang madu tersebut dapat bertahan hidup

minimal 1 tahun dan dalam waktu tersebut tidak mendekati area pemukiman

penduduk.

4. Kesuksesan bereproduksi dari beruang madu yang dilepaliarkan.

Kesuksesan reproduksi tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam

kesuksesan program pelepasliaran karena adanya reproduksi dapat menjadi bukti

nyata bahwa program tersebut dapat mendukung untuk konservasi jenis. Hal tersebut

juga membuktikan bahwa sedikitnya konflik antara populasi beruang madu liar

dengan beruang madu madu yang dilepasliarkan (Dijk, 2005).

Sedangkan menurut Fredrikkson (2005) beberapa faktor yang dapat

memberikan kontribusi terhadap kesuksesan program pelepasliaran anatara lain :

1. Lamanya waktu aklimatisasi

2. Lamanya waktu individu tersebut di dalam rehabilitasi

Satwa yang dipelihara di lokasi rehabilitasi dalam waktu yang lama di bawah

penanganan manusia dapat menimbulkan resiko yang besar pada perkembangan

kemampuan survival dan sekaligus dapat menyebabkan perubahan perilaku. Hal ini
dapat menyebabkan beruang madu yang dilepasliarkan rentan untuk menimbulkan

masalah dan diperkirakan memiliki kemampuan bertahan hidup yang rendah.

Beruang madu tersebut dapat menjadi berbahaya untuk keamanan manusia atau

menghasilkan pandangan yang negatif dari masyarakat terhadap spesies tersebut

(Dijk dan Huber,2002)

3. Umur termuda saat dilepaskan

Pelepasliaran bayi beruang madu, anak ataupun beruang madu yang lebih tua

memiliki kesempatan yang besar untuk dapat bertahan hidup jika diikuti dengan

usaha meminimalisasi penanganan oleh manusia. Penanganan beruang madu harus

dibedakan berdasarkan umur dan tingkat perkembangan perilakunya. (Dijk dan

Huber,2002).

4. Adanya usaha yang terintegrasi antara program pelepasliaran dengan program

penelitian.
BAB IV

STUDI KASUS PELEPASLIARAN BERUANG MADU

A. Pelepasliaran beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain

Program pelepasliaran beruang madu di kawasan Hutan Lindung Sungai Wain

dilakukan pada tahun 1997. Jumlah beruang madu yang dilepasliarkan adalah lima

individu yang memiliki kisaran umur 2,5 sampai lima tahun. Dua individu sejak bayi

telah berada dalam kandang sedangkan sejarah kehidupan dari tiga individu lainnya

tidak tersedia. Beruang madu tersebut didapatkan dari sitaan BKSDA (Balai

Konservasi Sumber Daya Alam) ataupun dari penyerahan langsung dari pemiliknya

kepada Proyek Reintroduksi Wanariset Orangutan. Semua beruang tersebut

sebelumnya telah berada dalam fasilitas Proyek Reintroduksi Wanariset Orangutan

(gambar 6) (Fredriksson, 2005a).

Gambar 6. Beruang madu di kandang sosialisasi Wanariset sebelum


dilepasliarkan di Sungai Wain (dok. Yayasan BOS).

Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain memiliki luas area 10.000 Ha

merupakan kawasan yang didominasi oleh hutan dataran rendah dipterocarp


(Fredrikkson, 2005a). Fredriksson dkk (2006) menyatakan bahwa Sungai Wain

memiliki variasi ketinggian dari 30-150 mdpl dengan curah hujan 2740±530 mm.

Kawasan ini memiliki topografi perbukitan yang landai dengan beberapa bagian yang

curam dan terbagi-bagi oleh beberapa sungai kecil. Pohon di kawasan hutan Sungai

Wain didominasi oleh Famili Euphorbiaceae, Dipterocarpaceae, Sapotaceae dan

Myrtaceae. Dipterocarpaceae dominan pada bagian utara sedangkan pada bagian

selatan Sapotaceae dan Euphorbiaceae lebih mendominasi kawasan. Kondisi ekologi

tersebut menjadikan kawasan Hutan Lindung Sungai Wain merupakan habitat yang

sangat potensial bagi beruang madu.

Di kawasan tersebut telah diketahui adanya populasi beruang madu yang kecil

meskipun perkiraan jumlahnya tidak diketahui (Fredriksson, 2005a). Secara umum

hasil dari pelepasliaran beruang madu tersebut tidak berhasil karena terdapat tiga

individu yang dibunuh dan satu individu ditangkap oleh masyarakat lokal karena

memasuki kawasan pertanian dan merusak hasil pertanian sedangkan satu individu

menghilang (Fredriksson, 2005a).

Informasi mengenai tahap pra pelepasliaran yang terdiri dari rehabilitasi dan

kajian ekologi lokasi pelepasliaran khususnya mengenai populasi beruang madu

lokal dalam program pelepasliaran ini tidak tersedia. Sehingga berbagai aspek yang

harus dikaji dalam tahap pra pelepasliaran tidak dapat dilakukan, sedangkan aspek-

aspek tersebut sangat penting dalam mendukung kesuksesan program pelepasliaran

yang dilakukan. Soorae (2005) menyatakan bahwa tidak semua individu beruang
hasil sitaan mempunyai kans untuk dilepasliarkan yang disebabkan oleh berbagai hal

seperti perubahan perilaku, aspek kesehatan dan lain-lain.

Selain itu, tidak adanya data perkiraan jumlah populasi asli beruang madu di

lokasi tersebut dapat menyebabkan kegagalan pelepasliaran beruang madu. Menurut

Dijk (2005) permasalahan intoleransi sosial dapat menyebabkan adanya konflik

antara individu yang dilepasliarkan dengan populasi asli beruang madu di lokasi

pelepasliaran sehingga mempengaruhi kegagalan program pelepaslaiaran tersebut.

Van Mannen (1990) menambahkan bahwa evaluasi kondisi habitat dan keberadaan

populasi alami sangat penting untuk mendukung program pelepasliaran.

Metode pelepasliaran yang digunakan dalam pelepasliaran ini adalah metode

hard release dimana setelah pelepasliaran tidak diikuti oleh kegiatan lainnya yang

mendukung pelepasliaran kecuali dengan pemantauan radio collar untuk monitoring

(Fredriksson, 2005a).

Pemilihan metode pelepasliaran langsung atau hard release yang dilakukan

juga dapat menyebabkan kegagalan dalam proses pelepasliaran ini. Sedangkan

menurut Hall (2005) metode hard release tidak direkomendasikan pada satwa yang

dibesarkan oleh manusia, satwa yang telah dirawat dalam jangka waktu yang lama

dan pada kawasan yang tidak familiar terhadap satwa tersebut.

Semua individu yang dilepasliarkan tersebut dipasangi oleh radiotransmitter

untuk memonitor adaptasi mereka dan pola pergerakannya. Radio transmitter yang

digunakan memiliki frekuensi rendah (30 Mhz), dimana frekuensi ini tidak dapat

terdengar dalam hutan yang memiliki kerapatan pohon yang tinggi. Radio transmitter
ini memiliki jangkauan sekitar 300 meter. Konsekuensi dari radiotelemetri dengan

frekuensi rendah tersebut adalah sulitnya untuk menemukan beruang madu yang baru

dilepaskan untuk dimonitoring.

IUCN (2000) menyebutkan bahwa selain monitoring aktifitas sosialisasi dan

pendekatan terhadap masyarakat juga harus dilakukan dalam tahap paska

pelepasliaran. Tujuan sosialisasi ini adalah untuk meminimalisasi adanya konflik

antara masyarakat dengan beruang madu yang dilepasliarkan.

Salah satu faktor penyebab kegagalan program pelepasliaran ini adalah

kurangnya sosialisasi dan penyadartahuan kepada masyarakat lokal untuk turut

berperan aktiif dalam perlindungan beruang madu yang dilapasliarkan tersebut. Hal

tersebut dapat dilihat dari faktor penyebab kematian dari beruang madu yang

dilepasliarkan adalah dibunuh oleh masyarakat lokal. Menurut Fredriksson (2005c)

penyebab konflik antara beruang madu dan masyarakat di Sungai Wain adalah bahwa

beruang madu sering merusak perkebunan masyarakat lokal.

Fredriksson (2005c) menambahkan bahwa beruang madu merupakan satwa

yang paling sering merusak perkebunan setelah babi jenggot (Sus barbatus) di Sungai

Wain. Frekuensi perusakan perkebunan oleh beruang madu juga semakin meningkat

karena adanya kebakaran hutan dan kurangnya persediaan buah dalam hutan. Oleh

karena itu adanya perlindungan habitat juga merupakan salah satu solusi dalam

pencegahan konflik tersebut.


B. Suaka beruang madu Samboja Lestari

Sunbear Sanctuary (suaka beruang madu) Samboja Lestari merupakan tempat

rehabilitasi beruang madu selain orangutan sebagai satwa langka yang berada di

Samboja Lestari milik yayasan BOS di kecamatan Samboja kabupaten Kutai

Kartanegara Kotamadya Balikpapan Kalimantan Timur (Gambar 7). Tujuan

keberadaan suaka ini adalah untuk menampung beruang madu sitaan yang ada di

beberapa PPS (Pusat Penyelamatan Satwa) di Indonesia dan sebagai sarana penelitian

perilaku beruang madu. (Yayasan BOS, dokumen tidak dipublikasikan).

Gambar 7. Suaka beruang madu Samboja Lestari (Yayasan BOS,2005)

Suaka beruang madu dibangun pada tahun 2004 dengan luas 58 Ha yang

dilengkapi denagn berbagai sarana. Beberapa fasilitas yang disiapkan di suaka

beruang madu ini adalah kandang karantina, kandang introduksi, kandang sosialisasi I

dan II, kandang anak/balita, kawasan suaka (beserta kandang pakan), menara

pengawas, kantor dan gudang buah. Seluruh area kawasan tersebut dibatasi dengan

pagar kawat listrik (gambar 8). Kebutuhan makanan beruang madu dalam suaka ini
masih disuplai setiap 3 hari sekali, suplai makanan tersebut terdiri dari buah-buahan,

sus, pellet babi dan lain sebagainya (Yayasan BOS. 2004)

(a) (b)
Gambar 8. Fasilitas suaka beruang madu Samboja Lestari (a) lokasi introduksi cat
walk untuk memberi makan, (b) kandang pemberi makan (Yayasan BOS,
2005)

Tahapan kegiatan yang dilakukan di suaka beruang madu ini terdiri dari tiga

tahap yaitu:

1. Tahap Karantina : merupakan tahap awal bagi beruang madu yang baru tiba di

suaka ini. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah pemeriksaan

kesehatan dengan pengambilan sample darah dan kotoran untuk mengetahui

kondisi kesehatan bagi beruang madu tersebut (gambar 9).

Gambar 9. Pemeriksaan kesehatan beruang madu dalam tahap


karantina (Yayasan BOS, 2005).
2. Tahap Sosialisasi : merupakan tahapan yang bertujuan agar beruang madu

tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya agar siap untuk hidup

mandiri.

3. Tahap Reintroduksi : merupakan proses akhir dari program rehabilitasi dan

diharapkan pada tahap ini beruang madu rehabilitan dapat bertahan hidup

lebih mandiri (Yayasan BOS, dokumen tidak dipublikasikan)

Namun dalam program suaka beruang madu ini tidak memiliki kegiatan

pelepasliaran beruang madu ke habitat lainnya. Hal ini dikarenakan hingga saat ini

belum terdapat data mengenai populasi beruang madu dan sebaran beruang madu

yang baik. Sehingga suaka beruang madu ini hanya sebagai penampung dan

pemeliharaan beruang madu sitaan agar dapat memiliki kehidupan yang lebih baik

daripada dikandangkan di fasilitas PPS yang lebih kecil dan tidak memadai. Menurut

Castellanos (2005) dalam fasilitas suaka beruang madu dapat digunakan sebagai

sarana pendidikan konservasi untuk membangun kepedulian masyarakat terhadap

satwa tersebut.

Jumlah individu beruang madu hingga akhir tahun 2005 di suaka beruang

madu ini berjumlah 50 ekor yang terdiri dari 18 ekor jantan dan 32 ekor betina.

Selama tahun 2005 terdapat dua kasus kematian yaitu satu ekor betina yang

diakibatkan karena penyakit pneumonia dan satu ekor jantan karena terkena sengatan

listrik ketika mencoba kabur dari suaka beruang madu ini (Yayasan BOS, 2005).

Beberapa kendala dalam suaka beruang madu ini antara lain adalah fasilitas

suaka yang terbatas dan perilaku perusakan fasilitas oleh beruang madu. Keterbatasan
fasilitas ini menyebabkan untuk sementara ini suaka beruang madu Samboja Lestari

tidak lagi mampu menerima dan menampung tambahan individu sitaan dari PPS

ataupun BKSDA dan tidak mengusahakan program reproduksi di lokasi tersebut.

Tindakan perusakan pohon-pohon di areal suaka ini biasanya dilakukan oleh

jantan yang memiliki tingkat agonistik yang lebih tinggi akibat cakaran dan

goresan.Untuk mengatasi permasalahn tersebut pada jantan dapat dilakukan tindakan

vasektomi untuk menurunkan sifat agonistik dan untuk pengganti tempat berteduh

dibuatkan goa-goa buatan, penanaman pohon, pergiliran pemakaian suaka/area,

melindungi batang pohon dengan seng dan membuat beberapa buah kolam bermain

air (Yayasan BOS, 2005).

Secara umum Suaka beruang madu Samboja Lestari merupakan salah satu

alternatif untuk menampung beruang madu sitaan agar beruang tersebut dapat

memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun suaka tersebut tidak dapat membantu

restocking populasi beruang madu di alam.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Strategi pelepasliaran beruang madu terdiri dari tahap persiapan pelepasliaran

untuk mempersiapkan individu dan area pelepasliaran, tahap pelepasliaran dan

tahap paska pelepasliaran untuk monitoring dan mengevaluasi kesuksesan

pelepasliaran.

2. Kondisi individu beruang madu yang dilepaskan harus sehat, dapat hidup

mandiri dan memiliki perilaku alami. Sedangkan kondisi area pelepasliaran

yang layak menjadi lokasi pelepasliaran harus memiliki populasi beruang

madu alami, memiliki persediaan makanan yang cukup, tutupan hutan yang

luas, lokasi untuk berlindung yang cukup sehingga penambahan individu baru

tidak menganggu populasi alaminya. Selain itu lokasi pelepasliaran sebaiknya

jauh dari lokasi penduduk.

3. Pelepasliaran beruang madu harus diikuti dengan program monitoring yang

bertujuan untuk memantau keberadaan beruang madu yang dilepasliarkan dan

mengevaluasi hasil pelepasliaran serta program kampanye yang bertujuan

untuk menghindari konflik antara masyarakat sekitar dengan beruang madu

tersebut.
4. Indikator kesuksesan pelepasliaran beruang madu dapat dilihat dari tidak

adanya konflik antara masyarakat dengan beruang madu yang dilepaskan,

tidak menganggu populasi lokal, beruang madu yang dilepasliarkan dapat

bertahan minimal satu tahun serta dapat berkembangbiak.

5. Pelepasliaran beruang madu yang dilakukan di Hutan Lindung Sungai Wain

mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan tersebut karena pemilihan metode

pelepasliaran yang tidak sesuai dan adanya konflik antara masyarakat lokal

dengan beruang madu yang dilepasliarkan.

6. Suaka beruang madu Samboja Lestari merupakan salah satu alternatif untuk

menampung beruang madu sitaan agar beruang tersebut dapat memiliki

kehidupan yang lebih baik.

B. Saran

Sebaiknya dilakukan survey populasi beruang madu di habitat alaminya agar

dapat diketahui keberadaan populasi dan sebaran beruang madu di Indonesia.

Sehingga dapat diketahui kawasan prioritas dalam konservasi beruang madu dan

lokasi pelepasliaran beruang madu yang tepat bagi beruang madu hasil sitaan. Perlu

dilakukan kampanye perlindungan terhadap beruang madu yang lebih intensif

sehingga dapat mengurangi perburuan dan perdagangan beruang madu dan

turunannya.
DAFTAR PUSTAKA

Allen G. M. The mammals of China and Mongolia. American Museum of Natural


History, New York. 1938.

Anderson,W.I.dkk. Subclinical lumbar polyradiculopathy, polyneuritis and


ganglionitis in aged wild and exotic mammalians. Journal of
Comparative Pathology. 1993.

Augeri, D.M. On The Biogeographic Ecology Of The Malayan Sun Bear. A


dissertation submitted to the University of Cambridge in partial
fulfilment of the conditions of application for the degree of Doctor
of Philosophy. Wildlife Research GroupDepartment of Anatomy
Faculty of Biological Sciences University of Cambridge. 2005.

Azwar, dkk. Survey Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) Pada Hutan Rawa


Gambut Di Area Mawas. Propinsi Kalikmantan Tengah.2004

Brambell, M.R. Reintroduction. Int. Zoo.Yearb. 1977.

Campbell, S. Is reintroduction a realistic goal? In: Conservation Biology: An –


Ecological. Perspective. M.E. Soule and B.A. Wilcox (eds.).
Sunderland, MA., Sinauer Associates, Inc., 263-269. 1980.

Canavan, P.N. Nematode parasites of vertebrates in the Philadelphia Zoological


Garden and vicinity. Parasitology 21: 63-102. 1929.

Castellanos, A. X. Ecology of re-introduced Andean bears in the Maquipucuna


Biological Reserve, Ecuador: conservation implications. Re-
introduction News 23: 32-34. 2003.

Castellanos,A. X. Reinforcement of Andean bear populations in the Alto Choco


Reserve and neighbouring areas, northern Ecuador. Re-
introduction News 24: 12-13. 2005.

Chauhan dan Singh J. Human-Malayan Sun Bear Conflicts In Manipur State, India
dalam 16th IBA Conference. Riva del Garda, Trentino, Italy. 2005.

Clark, dkk. Bear Reintroducton : Lesson And Challenges. Ursus. 2002.


Corbet, G dan Hill, J.E. The Mammals of the Indo-Malayan Region: a Systematic
Review. Oxford University Press. United Kingdom.1992.

Craighead, L. Bears of the World. Voyageur Press, Inc. 2000.

Cranbrook. Mammals of southeast Asia. Second edition. Oxford University Press,


Singapore. 1991.

Dathe, H. Breeding the Malayan bear (Helarctos malayanus). International Zoo


Yearbook. 1962.

Dathe, H. A second-generation birth of captive sun bears, Helarctos malayanus, at


East Berlin Zoo. International Zoo Yearbook. 1970.

Dathe, H. Malayan Sun Bears. Pp. 141–142 in Grzimek’s animal life encyclopedia
(B. Grzimek, ed.). Van Nostrand Reinhold Company, New York.
1975.

Davis, D.D. Mammals of the Kelabit Plateau Northern.Serawak. Fieldian Zoology.


1958.

Dijk, J.J dan Huber, D. Limitations for Releasing Rehabilitated Bears Workshop -
Summary. Int. Bear News . 2002

Dijk, J.J. Considerations for the Rehabilitation and Release of Bears into the Wild. In
L. Kolter and J.J. Van Dijk (eds.): Rehabilitation and release of
bears. Zoologischer Garten Köln, 7-16. 2005.

Dominico, T. Bears of the world. Facts on File, Inc., New York. 1988.

Ewer R. F. The carnivores. Cornell University Press, Ithaca, New York Feng.Q. dan
Wang Y.1991. Studies on Malayan sun bear (Helarctos
malayanus) in artificial rearing. Acta Theriologica Sinica. 1973.

Feng, Q. dan Wang,Y. Studies on Malayan sun bear (Helarctos malayanus) in


artificial rearing. Acta Theriologica Sinica 11:81–86. 1991.

Fetherstonhaugh, A. H. Some notes on Malayan bears. Journal of the Malayan Nature


Society. 1940.

Fetherstonhaugh, A. H. Two Malayan bears. Journal of the Malayan Nature Society.


1948.
Fitzgerald, C.S dan Krausman P.R , Malayan Species Helarctos malayanus.
American Society of Mammologists. 2002.

Fredriksson.G. Conservation Threats Facing Sun Bears, Helarctos malayanus, in


Indonesia and Experiences with Sun Bear Re-introductions in East
Kalimantan, Indonesia.Rehabilitation and Release of Bear.
Zoologischer Garten Köln Riehler Str. 173 50735 Köln Germany.
2005(a).

Fredriksson.G. Predation on Sun Bears by Phyton reticulates in East


Kalimantan.Indonesian Borneo.The Raffles Bulletin of zoology.
National University of Singapore. 2005(b).

Fredriksson.G. Human–sun bear con.icts in East Kalimantan, Indonesian Borneo.


Ursus. 2005(c).

Fredriksson, G. dkk Frugivory in sun bears (Helarctos malayanus) linked to El


Niñorelated fluctuations in fruit availability in East Kalimantan,
Indonesia. Biodivers Conserv. Springer Science+Business Media
B.V. 2006

Gittleman, J.L. Hanging Bears from Phylogenetic Trees: Investigating Patterns of


Macroevolution. Ursus, 11:29-40. 1999.

Goldman, D dkk. Molecular genetic-distance estimates among the Ursidae as


indicated by one- and two-dimensional protein electrophoresis.
Evolution. 1989.

Griffiths, M. and C. P. van Schaik. The Impact of Human Traffic on the Abundance
and Activity Periods of Sumatran Rain Forest Wildlife.
Conservation Biology. 1993.

Hall, E. Release Consideration For Rehabilitated Wildlife. National Wildlife


Rehabitation Conference. 2005.

Herrero, S. Introduction to Bears: Status Survey and Conservation Action Plan. Pages
1-7, in: S. Servheen, S. Herrero, and B. Peyton (eds.). Bears:
Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN, Gland,
Switzerland. 309 pp. 1999.
Hortsman, B.N. A survey of parasites of the black bear in southwestern Colorado.
Unpublished MS thesis, Colorado A & M, Fort Collins, 60 pp.
1949.

Huber.D. Why not to Re-introduce "Rehabilitated" Brown Bears to the Wild?


Zoologischer Garten Köln Riehler Str. 173 50735 Köln Germany.
2005.

IUCN/SSC. Guidelines for Re-introductions With courtesy of the IUCN/SSC Re-


introduction Specialist Group.1995.

IUCN. Guidelines for Re-introductions. Prepared by the IUCN/SSC Reintroduction


Specialist Group, approved by the 41st Meeting of the IUCN
Council, Gland Switzerland, May 1995; publisher IUCN, Gland,
Switzerland and Cambridge, UK, 10 pp [appendix VII]. 1998.

IUCN. Guidelines for the Placement of Confiscated Animals. Prepared by the


IUCN/SSC Reintroduction Specialist Group, IUCN, Gland,
Switzerland. 2000.

Johnston, L. A.,dkk. Oocyte recovery and maturation in the American black bear
(Ursus americanus): a model for endangered ursids. Journal of
Experimental Zoology.1994.

Jonkel dan Cowan, The black bear in the spruce-fir forest. Wildlife Monogr. No. 27.
57 pp. 1971.

Joshi dkk, Sociobiology of the myrmecophagous sloth bear in Nepal. Canadian


Journal of Zoology, 77 (11): 1690-1704. 1999.

Kawanishi, K dan Sunquist. Conservation Status of Tigers in a primary rainforest of


Peninsular Malaysia. Biological Conservation..2004,

Khan, M. A. R. Endangered mammals of Bangladesh. Oryx. 1984.

Kleiman, D. G. Reintroduction programs. In Wild mammals in captivity: principles


and techniques,ed D. V. Kleiman, M. E. Allen, K. V. Thompson and
S. Lumpkin.London: University of Chicago Press. 1996.
Kurniawan, D dan Nursahid, R . Bear Markets: Indonesia A summary of the findings
of ‘The Illegal Trade In Bear Products, Bear Parts, And Live
Malayan Sun Bears In Indonesia’, Animal Conservation for Life
(KSBK). Jakarta. 2002.

Lekagul.B..dan McNelly J.A. Mammals of Thailand.Association for the Conservation


of Wildlife, Sahakarnbhat Co., Bangkok, Thailand. 1977.

Lydekker. On the occurrence of the bruang in the Tibetan Province. Proceedings of


the Zoological Society of London. 1906

McConkey, K. and M. Galetti. Seed dispersal by the sun bear Helarctos malayanus in
Central Borneo. Journal of Tropical Ecology 15:237-241. 1999.

McCusker, J. K. Breeding Malayan sun bears Helarctos malayanus at Fort Worth


Zoo. International Zoo Yearbook 14. 1974.

Medway, L. The wild mammals of Malaya and offshore islands including Singapore.
Oxford University Press, London, United Kingdom. 1969.

Meijaard, E. Forest, pigs and people. A plan for the sustainable management of
Bearded Pig populations in and around the Kayan Mentarang
National Park, East Kalimantan, Indonesia. Unpublished report for
WWF-Indonesia. WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia. 2003.

Meijaard, E. Craniometric Differences Among Malayan Sun Bears (Ursus


malayanus), Evolutionary and Taxonomic Implication . The Raffles
Bulletin of Zoology. National University of Singapore. 2004.

Mills, J.A dan Servheen. The Asian trade in bears and bear parts. Corporate Press,
Inc., Landover, Maryland. 1991.

Modriæ dan Huber. Curiosity of brown bears in Zagreb Zoo. Period. biol. 91: 86-87.
1989.

Morris, D. The mammals. Harper & Row Publisher, New York. 1965.

Nash, W. G. dan. O’Brie. S.J A comparative chromosome banding analysis of the


Ursidae and their relationship to other carnivores. Cytogenetics and
Cellular Genetics. 1987

Nowak, R. M. Walker’s mammals of the world. Fifth edition. Johns Hopkins


University Press, Baltimore, Maryland. 1991.
Onuma, dkk. Reproductive Pattern Of The Sub Bear (Helarctos malayanus) In
Serawak, Malaysia. Theriogenology. 2000.

Ortoloni dan Caru. The adaptive significance of color patterns in carnivores:


phylogenetic tests of classic hypotheses. Pp. 132–188 in Carnivore
behavior, ecology, and evolution. Second edition (J. L. Gittleman,
ed.). Cornell University Press, Ithaca, New York. 1996

Oxnard, C. E. The architecture of the shoulder in some mammals. Journal of


Morphology Payne, J dan Francis.C.M. 1985. A field guide to the
mammals of Borneo. Sabah Society, Malaysia . 1968.

Payne, J dan Andau M. Large mammals in Sabah. The state of nature conservation in
Malaysia (R. Kiew, ed.). Malayan Nature Society, United Selangor
Press,Kuala Lumpur, Malaysia. 1991.
.
Payne dkk, Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam, Prima
Centre, Jakarta. 2000.

Payton dan Plenge, Captive Spectacled Bears, Conservation, and Community


Development in Peru In L. Kolter and J.J. Van Dijk (eds.):
Rehabilitation and release of bears. Zoologischer Garten Köln. 2005.

Pazethnov, V.S. and Pazhetnov, S.V. Re-introduction of Orphan Brown Bear Cubs.
In L. Kolter and J.J. Van Dijk (eds.): Rehabilitation and release of
bears. Zoologischer Garten Köln. 2005.
.
Pocock, R. I. The black and brown bears of Europe and Asia. Journal of the Bombay
Natural History Society. 1932.

Poelker R. J dan Harthwel H. D, Black bear of Washington. Washington State Game


Dept. Biol. Bull. No. 14. 180 pp. 1973.

Raffles, T. S. Descriptive catalogue of a zoological collection, made on account of the


honourable East India Company, in the island of Sumatra and its
vicinity, under the direction of Sir Thomas Stamford Raffles,
Lieutenant-Governor of Fort Marlborough; with additional notices
illustrative of the natural history of those countries. Transactions of
the Linnaean Society of London. 1821.

Rausch, R. L. Unusual pathogenicity of Diphyllobothrium. sp. in a black bear. Proc.


Helminthol. Soc. Washington 22(2): 95-97. 1955.
Roth, H. U. and Huber, D. Diel activity of brown bears in Plitvice Lakes National
Park,Yugoslavia. Int. Conf. Bear Res. and Manage. 6: 177-181.
1986.

Sadikin, L.A. Keberadaan Mamalia Sedang Dan Besar di Kawasan Pinggir Hutan
dengan Metode “Camera Trap” di Air Dikit, Taman Nasional
Kerinci Seblat, Skripsi Sarjana Sains, Fakultas Biologi Universitas
Nasional, Jakarta, 2005.

Santiapillai, A. dan C. Santiapillai. The status, distribution and conservation of the


Malayan sunbear (Helarctos malayanus) in Indonesia. Tigerpaper
23:11-16. 1996.

Santiapillai, A. dan Santiapillai C. The status, distribution and conservation of the


Malayan sun bear (Helarctos malayanus) in Indonesia. World
Wildlife Federation No.3769. 1988.

Sasaki dkk. Adaptation of the hindlimbs for climbing in bears. Elsevier. 2004 .

Servheen C. The sun bear. Pp. 124–127 in Bears (I.Stirling, ed.). Rodale Press Inc.,
Emmaus, Pennsylvania. 1993.

Servheen, C. Sun bear conservation action plan. In: Bears. Status Survey and
Conservation Action Plan. Servheen, C., Herrero, S., and Peyton, B.
(compilers). IUCN/SSC Bear and Polar Bear Specialist Groups.
IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge. 219-224. 1999.

Soorae. Placement Options for Confiscated Bears In L. Kolter and J.J. Van Dijk
(eds.): Rehabilitation and release of bears. Zoologischer Garten
Köln. 2005.

Stokes, A.W. An ethologist’s views on managing grizzly bears. BioSci. 20:1154-


1157. 1970.

Stonorov, D. dan Stokes, A. W. Social behavior of the Alaska brown bear.


International Conf. Bear Res. and Manage. 2:232-242. 1972.

Swenson, J. E., Sandegren, F., Söderberg, A., Bjärvall, A., Franzén, R. and P.
Wabakken 1997.Infanticide caused by hunting of male bears.
Nature, 386: 450-451.
Taylor, M. (Editor). Density-dependent population regulation in black, brown, and
polar bears. Monogr. Ser. No. 3, International Conference on Bear
Research and Management, Missoula, Mont., February 1992.
International Association for Bear Research and Management,
Washington, D.C. 1994.

Van Manen, F.T. A feasibility study for the potential reintroduction of black bears
into the Big South Fork Area of Kentucky and Tennessee. Tennessee
Wildlife Resources Agency, Technical Report 91-3, Nashville,
Tennessee, USA. 1990.

Waits dkk. Rapid radiation events in the family Ursidae indicated by likelihood
phylogenetic estimation from multiple fragments of mtDNA.
Molecular Phylogenetics and Evolution.1999

Ward, P dan Kynaston, S. Bears of the World. Blandford, London. 191 pp. 1995

Wong, S.T. The Ecology of Malayan Sun Bear (Helarctos malayanus) in the
Lowland Tropical Forest of Borneo. M.S. Thesis, University of
Montana. 2002

Wong dkk. Food habits of Malayan sun bears in lowland tropical forests of Borneo,
2002.

www.bearden.org

www.kidsplanet.org

Yayasan BOS. Laporan Tahunan samboja Lestari. 2004.

Yayasan BOS. Laporan Tahunan samboja Lestari. 2005.

Yayasan BOS. Selayang Pandang Rehabilitasi Beruang madu. Dokumen tidak


dipublikasikan

Yin, U. T. Wild Animals of Burma. Rangoon Gazette Ltd., Yangon, Myanmar. 1967.

Zhang, Y.-P., dan Ryder.O.A. Phylogenetic relationships of bears (the Ursidae)


infered from mitochondrial DNA sequences.Molecular
Phylogenetics and Evolution.1994.

Anda mungkin juga menyukai