KARYA ILMIAH
Oleh
TOMI ARIYANTO
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2007
STRATEGI PELEPASLIARAN
Oleh
TOMI ARIYANTO
02311262150012
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2007
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL
Tomi Ariyanto
MENYETUJUI
Dekan
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa Sang Pencipta langit dan bumi
atas limpahan karunia, ilmu dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat
(Helarctos malayanus, Raffles, 1821)“ guna memenuhi mata kuliah Seminar Karya
Tersusunnya karya ilmiah ini tak lepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. DR. Sri Suci Utami Atmoko selaku pembimbing pertama yang telah banyak
2. Bapak Drs. Imran S.L Tobing, MSi. sebagai pembimbing kedua yang telah
3. Bapak Drs. Tatang Mitra Setia selaku Dekan Fakultas Biologi Universitas
Nasional Jakarta.
4. Drs Benny Djaja (almarhum) sebagai ayah sekaligus dosen terbaik yang telah
yang lebih baik dalam menjalani hidup. Semoga Tuhan memberikan tempat yang
Penasehat Akademik.
6. Bapak Drs. Sutarno dan Ibu DR. Rosmawati selaku pembahas atas saran dan
7. Dr. Siew Te Wong dan Ibu Gabriella Fredrikkson atas korespondensi, saran dan
bantuan pustakanya..
8. Fitri Ayu Wulan Yuniarti, terima kasih atas bantuan, motivasi serta momen
terindah yang selalu hadir dalam penulisan karya ilmiah ini dan terima kasih
9. Kelompok Studi Penyu Laut “Chelonia“ tercinta yang telah membuka mata,
telinga dan fikiran serta ilmu dan pengalaman yang sangat berharga.
10. Kepada orang-orang yang banyak memberikan inspirasi : Eddy Santoso Ssi,
Firmansyah Ssi, Juliarta B Ottay Ssi, Tri Wahyu Susanto, Ssi, Gunawan Ssi, Ari
Meididit Ssi, Hanni M Maharani Ssi, Radian Kurniawati Ssi, Ika Mian K Ssi,
Mayrina Ssi, Retno Wulandari Ssi, Erwin P Santoso, Didik Prasetyo Msi, Ahmad
Saleh Ssi, Fitriah Basalamah Ssi. Terima kasih atas diskusinya selama ini.
11. Sahabat, rekan seperjuangan serta teman bertukar pikiran : Nuruddin, Yunita
Nurdini, Rahmalia NAA, Aan Aliyah, Putri Wulansari dan Fembry Ariyanto.
Terima kasih atas kesabarannya, kasih sayang dan kebersamaanya selama ini.
Anita, Dicky, Ciko, Taufik dan Lutfi semoga tetap semangat dan tak pernah lelah
untuk belajar.
13. Yedi Zefriyadi Ssi dan Ana Puspaningdiah atas pengertian dan pernah menjadi
penampungan penulis.
14. Saudara-saudaraku : Adji Saga S.T, Fathur Rohim, Ahmad Effendi dan Wawan
15. Luri Ikhsan, yang bersedia berbagi tempat tidur dan berbagi cerita di kamar kos
16. Pantai Indah Citirem, SM Cikepuh sebagai tempat mencari inspirasi, perenungan,
kenangan indah dan tempat pembelajaran yang penuh makna dan tak terlupakan.
17. Teman-teman Bio 02 yang selalu memberikan tawa dan motivasi untuk terus
semangat.
18. Pusat Laboratorium Ragunan dan semua penghuninya, terimakasih atas malam-
19. Mes Monitoring Harimau Sumatra-TNKS Sungai Penuh, tempat dimana tulisan
ini berawal.
20. Terakhir penulis mempersembahkan karya ini untuk Ibu, Nenek, Oom Elvis dan
maka penulis berharap adanya kritik dan saran yang membenagun demi
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan serta
dapat dijadikan sebagai referensi dan wacana penting dalam dunia ilmu konservasi,
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xi
BAB
I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
A. Sejarah Evolusi.....………………………………………………... 3
B. Klasifikasi………………………………………………………… 7
C. Morfologi...................................…….……………………………. 8
D. Reproduksi dan Genetika................................................................. 11
E. Habitat dan Sebaran......................................................................... 13
F. Makanan........................................................................................... 16
G. Perilaku............................................................................................ 18
H. Parasit............................................................................................... 19
I. Ancaman. dan Predator Alami......................................................... 19
A. Persiapan Pelepasliaran..................................................................... 23
1. Rehabilitasi
2. Kondisi Area Pelepasliaran
B. Pelepasliaran.................................................................................... 32
C. Paska Pelepasliaran.......................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 48
DAFTAR TABEL
TABEL Halaman
Naskah
GAMBAR Halaman
Naskah
PENDAHULUAN
tersebar di beberapa negara bagian Asia Tenggara dan Asia Selatan, yaitu Thailand,
Indonesia beruang ini dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Namun
saat ini jenis beruang ini telah mengalami banyak tekanan dan eksploitasi baik di
Flora and Fauna) jenis ini telah dimasukkan dalam Appendix 1 yang berarti tidak
Nature and Natural Resourse) (2000) hingga saat ini populasi beruang madu belum
diketahui dengan pasti sehingga IUCN menetapkan status beruang madu termasuk
dalam kategori data deficient atau kekurangan data. Status IUCN tersebut
menunjukkan bahwa beruang madu merupakan salah satu satwa yang masih belum
dan beberapa faktor lain telah banyak menekan populasi beruang madu di habitat
alaminya (Mills and Servheen 1991). Produk farmasi merupakan produk yang banyak
dihasilkan dari bagian-bagian tubuh beruang madu seperti kalenjar empedu yang
2002). Selain itu ancaman lain yang cukup penting adalah adanya konflik dengan
di tepi hutan sehingga banyak beruang yang masuk ke areal perladangan untuk
mencari makan. Potensi konflik juga dapat terjadi di areal pertambangan di dalam
beruang madu, yaitu melalui penyitaan beruang madu yang diperdagangkan maupun
yang menjadi hewan peliharaan. Namun beruang madu yang telah disita tersebut
2005a). Oleh karena itu dibutuhkan program rehabilitasi dan pelepasliaran kembali
beruang hasil sitaan untuk mendukung penegakan hukum dan usaha konservasi
beruang madu yang akan dilepaskan dalam kondisi sehat dan memiliki kemampuan
satwa karena pada umumnya pelepasliaran satwa bukan merupakan bagian program
jangka panjang dan didokumentasikan secara detail. Selain itu juga disebabkan
karena tidak adanya ilmuwan yang terlibat serta tidak adanya monitoring terhadap
satwa yang dilepasliarkan. Hal tersebut yang menyebabkan salah satu faktor
memiliki strategi dan metode yang tepat. Terdapat berbagai prosedur dan kriteria
yang harus terpenuhi dalam pelepasliaran yang berhubungan dengan individu yang
tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk memberikan informasi mengenai strategi
A. Sejarah Evolusi
pohon (Miacidae) yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil pada 25 juta tahun yang
lalu (Herrero, 1999). Kedelapan jenis beruang modern saat ini berasal dari Ursavus,
yang berasal dari kawasan sub tropis Eropa pada periode Miocene lebih dari 20 juta
tahun yang lalu (Craighead, 2000). Ward dan Kynaston (1995) menyatakan pada
bentuk gigi yang seperti sekarang dengan geraham yang melebar dan lebih datar.
Menurut Augeri (2005) perubahan bentuk gigi tersebut menjadikan beruang saat ini
Terdapat tiga jalur evolusi utama beruang modern yang berasal dari Ursavus
(gambar 1). Panda merupakan jenis beruang modern yang paling tua (Gittleman,
1999) yang terpisah dari Ursavus dan diturunkan dari Agriarctos sekitar 20 juta
tahun yang lalu (Ward dan Kynaston, 1995). Hasil analisis molekuler diketahui
bahwa Tremarctos ornatus merupakan beruang modern tertua kedua (Waits dkk,
1999) yang terpisah dari Ursavus elemensis sekitar 14 juta tahun yang lalu (Ward
dan Kynaston 1995), saat ini beruang tersebut hanya ditemukan di Amerika Selatan
(Nowak, 1991).
Gambar 1. Sejarah evolusi dan filogenetik beruang (Ward dan Kynaston 1995, Waits
dkk, 1999).
Keterangan gambar :
(1) Jalur evolusi pertama yang menurunkan Panda (Ailuropoda melanoleuca)
(2) Jalur evolusi kedua yang menurunkan beruang kaca mata (Tremarctos ornatus)
(3) Jalur evolusi ketiga yang menurunkan anak suku Ursinae
Keturunan langsung dari jalur ketiga yang merupakan anak suku Ursinae atau
beruang ursine sejati adalah Protursus yang diturunkan dari U. elemensis pada 12-10
juta tahun yang lalu. Sedangkan Ursus minimus yang merupakan beruang ursine
sejati pertama diturunkan dari Protorsus pada 5 juta tahun yang lalu (Ward dan
Kynaston, 1995). Menurut Craighead (2000) beruang madu yang hidup di Asia
Tenggara adalah berasal dari garis keturunan utama U. minimus sekitar satu juta
tahun yang lalu setelah Melursus ursinus (sloth bear) bercabang, tetapi filogenetik
dari beruang madu dalam Ursidae belum terlalu jelas. Hasil analisis mtDNA oleh
Zhang dan Ryder (1994) terindikasi bahwa beruang madu dan beruang hitam
Amerika (Ursus americanus) terpisah secara bersamaan setelah Melursus ursinus dan
memiliki hubungan yang paling dekat dengan U. americanus yang diketahui dari
urutan DNA dari bagian lingkar D (D-loop), cytochrom b, 12S rRNA, tRNApro dan
yang lebih dekat daripada antara Helarctos malayanus dengan U. thibethinus (0,037)
variasi craniometrik dari spesimen beruang madu di Asia Tenggara beruang madu di
Borneo merupakan anak jenis tersendiri dan mengusulkan nama Ursus malayanus
euryspilus. Spesimen beruang madu Borneo memiliki tubuh yang lebih kecil dan
barisan gigi yang lebih panjang. Sedangkan spesimen yang berasal dari Sumatera,
Semenanjung Malaysia dan Asia daratan tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dan disebut Ursus malayanus malayanus. Namun Augeri (2005) menyatakan bahwa
dalam studi tersebut, jumlah dan jenis kelamin dari beruang madu Borneo sangat
bagi pemisahan subspesies, pada Ursidae yang paling utama adalah besarnya derajat
B. Klasifikasi
sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Bangsa : Carnivora
Suku : Ursidae
Marga : Helarctos
berarti matahari dan “arcto” yang berarti beruang sehingga Helarctos berarti sun bear
(Beruang matahari) penyebutan sun bear berdasarkan adanya corak putih pada bagian
dada yang terlihat seperti matahari (Fitzgerald dan Krausman, 2002). Beruang madu
juga disebut Ursus malayanus (Meijaard, 2004). Terdapat beberapa nama populer
untuk beruang madu yaitu Malayan sunbear (Fitzgerald dan Krausman, 2002),
Malayan bear (Fetherstonhaugh,1940, 1948), Malay bear (Davis 1958) dan Sun bear
C. Morfologi
tubuh yang paling kecil dari suku Ursidae. Jenis ini memiliki tinggi tubuh 1.000-
1.400 mm, panjang ekor 30-70 mm dan berat tubuh sebesar 25-65 Kg (Dathe,1975),
ukuran telinga 40-60 mm dan berbentuk melingkar dan panjang kaki belakang 180-
210 mm (Lekagul dan McNeely 1977). Menurut Fitzgerald dan Krausman (2002)
beruang madu memiliki perawakan tubuh yang pendek gemuk, moncong yang
pendek, memiliki cakar melengkung tajam yang kuat dan telapak kaki yang tidak
Saat lahir berat beruang madu sebesar 300-325 g (Dathe 1970), warna
tubuhnya berwarna hitam keabuan, bagian dada berwarna putih kecoklatan (Feng dan
tersebut berwarna kecokelatan dan berwarna terang saat terkena sinar matahari.
Rambut beruang madu dewasa berwarna hitam pekat dan memiliki lapisan rambut
berwarna terang di bawahnya sedangkan pada bagian moncongnya berwarna oranye,
2002).
Bagian dada memiliki warna yang bervariasi antara kekuningan, krem, putih
dan kuning emas sedangkan pada moncong dan di sekitar mata berwarna keemasan
atau putih. (Allen, 1938 dalam Fitzgerald dan Krausman, 2002). Payne dkk (2000)
menyatakan bahwa pada dada bagian atas beruang madu terdapat bercak putih yang
membentuk huruf “V” atau “C”. Sedangkan pada beruang madu yang terdapat di
Sabah Tenggara, Borneo memiliki warna kemerahan di bagian dada (Payne dan
Francis 1985). Cakar kaki belakang memiliki warna coklat di bagian tepinya
(Fetherstonhaugh 1948).
Ukuran tulang tengkorak kepala beruang madu antara lain panjang tengkorak
264,5 mm, panjang condylobasal 241,3 mm, lebar zygomatic 214,6 mm, lebar
mastoid 170,2 mm, lebar interorbital 70,5 mm, lebar maxilla 76,2 mm (Pocock, 1932
(a) (b)
(c)
Gambar 3. Tulang kepala beruang madu, (a) tulang kepala tampak atas, (b)
tulang kepala tampak bawah, (c) tulang kepala tampak samping.
(Fitzgerald dan Krausman, 2002)
process besar, tumpul dan menonjol ke bawah. Garis alveolar bagian atas memanjang
ke arah posterior dan memotong bagian atas glenoid cavity dan bagian tepi atas dari
rhinarium memanjang ke atas mulut dengan bagian lateralnya memanjang keluar dan
tampak menyembunyikan septum jika dilihat dari samping. Bibir tampak menonjol
keluar (Pocock, 1932 dalam Fitzgerald dan Krausman, 2002) dan memiliki lidah
yang panjang (Yin, 1967). Bentuk bibir dan lidah tersebut menurut Morris (1965)
mungkin hasil adaptasi untuk menghisap madu dan larva lebah dari sarangnya.
Beruang madu kadang kehilangan gigi premolar dan memiliki rumus gigi insicivus
3/3, premolar 3-4/3, molar 2/3 dengan total jumlah gigi 38-40 (Lekagul dan
McNeely, 1977).
dalam sebagai adaptasinya untuk memanjat pohon (arboreal) (Pocock, 1932 dalam
Fitzgerald dan Krausman, 2002). Oxnard (1968) pada analisis multivariate morfologi
dari bagian bahu, kemungkinan beruang madu sangat dekat dengan Ailuropoda
hewan arboreal. Analisis tersebut termasuk pada seberapa besar derajat dari lengan
membesar hingga ujung distal dari tibia dan terikat dengan ujung proximal ossa
metatarsalia oleh tendon yang pendek. Musculus tabialis cranialis pada panda raksasa
hampir sama dengan beruang madu kecuali pada porsi yang kurang membesar seperti
beruang madu (Sasaki dkk, 2004). Hal ini sangat berbeda dengan musculus tibialis
cranialis pada beruang kutub dan beruang coklat yang tidak berkembang dan
memiliki tendon yang lebih panjang daripada beruang madu dan panda raksasa.
Perbedaan ini mempunyai hubungan dengan kemampuan beruang madu dan panda
(27 tahun) dapat mengeluarkan suara yang bervariasi yang dihasilkan dari
mengembangnya mylien yang terletak diantara jaringan saraf pada dorsal dan ventral
lumbar intradural.
Onuma dkk (2000) menyatakan bahwa beruang madu memiliki musim kawin
yang terjadi pada musim hujan. Hal tersebut berhubungan dengan persediaan
makanan yang melimpah pada musim hujan. Selain keuntungan dari aspek makanan,
strategi tersebut juga berkaitan dengan fungsi organ gonadal. Pada musim kering
dengan temperatur yang tinggi akan berpengaruh terhadap kualitas sperma dan
konsentrasi testoteron yang rendah pada beruang madu jantan. Sedangkan pada
dan pertumbuhan follikular, tingginya presentase sel telur yang abnormal dan
kematian embryo.
Beruang madu mengalami matang kelamin pada usia 2-3 tahun (Feng dan
Wang, 1991) dan pada beruang madu betina mengalami masa estrus pertama kali
pada tahun-tahun tersebut (Dominico, 1988). Perilaku estrus pada betina dapat terjadi
pada 1-2 hari terakhir setelah menstruasi namun dapat memiliki kisaran antara 5-7
Pada habitat alaminya masa kehamilan beruang madu antara 96-100 hari
namun pada kebun binatang atau dalam penangkaran masa kehamilan tersebut relatif
lebih lama. Fort Worth Zoo di Texas, melaporkan bahwa pada 3 kehamilan beruang
madu terakhir yang terjadi di sana masing-masing selama 174, 228, dan 240 hari.
Sedangkan di East Berlin Zoo Jerman, semua kehamilan selama 95-96 hari
(McCusker,1974).
Menurut Feng dan Wang (1991) bayi beruang madu terlahir dengan kondisi
belum dapat mendengar dan kedua mata yang tertutup, mata tersebut akan terbuka
setelah 25 hari namun belum dapat melihat hingga usia 50 hari. Sedangkan
pendengarannya dapat bekerja setelah lebih dari 50 hari. Medway (1969) menyatakan
bayi beruang tersebut pada umumnya dilindungi oleh induknya ditopang di antara
Pada usia 3-4 bulan bayi beruang madu mengalami pertumbuhan yang pesat
dan dapat berlari, bermain dan mencari makan bersama induknya. Anak beruang
tersebut tinggal bersama induknya selama 1,5 -2,5 tahun dan selama tinggal bersama
induknya tersebut induknya telah mengajarkan cara-cara untuk bertahan hidup seperti
Kromosom tersebut memiliki perbedaan dengan jenis beruang yang lain yaitu adanya
inversi parasentrik pada kromosom nomor 14 dan 18, tidak adanya tangkai negatif
pada terminal satelit terang di kromosom nomor 25 dan adanya reduksi pada lengan
Beruang madu memiliki sejarah sebaran yang sangat luas (gambar 4), hampir
seluruh daratan Asia tenggara merupakan daerah sebaran beruang madu, bagian
paling barat adalah Assam hingga Distrik Chitwan, di India bagian paling utara
hingga mencapai Tibet dan propinsi Szechuan di Cina (Lydekker, 1906). Namun
spesies ini telah punah di China. (Servheen, 1999; Fitzgerald & Krausman, 2002).
Menurut Mills dan Servheen (1991) beruang ini juga pernah ditemukan di India
beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Selatan seperti Laos, Malaysia, Thailand,
menyatakan bahwa beruang madu datang ke pulau Jawa pada pertengahan akhir masa
Pleistocene. Menurut Khan (1984) Beruang madu pernah terdapat di hutan bagian
selatan Bangladesh di sepanjang perbatasan India dan Myanmar namun keberadaanya
Di Thailand beruang madu hidup di hutan yang rapat pada ketinggian di atas
2.500 m (Lekagul dan McNeely, 1977), di Borneo di atas 2.300 m (Corbet dan Hill,
1992) dan di Indonesia (Sumatera) di atas 2.800 m (Santipillai dan Santipillai, 1988).
Payne dan Andaw (1991) menyatakan bahwa di Sabah dan Kalimantan beruang madu
rendah dan hutan rawa. Di Kalimantan Tengah beruang madu juga ditemukan di
kondisi hutan, tutupan kanopi, umur hutan, tingkat gangguan dan kondisi topografi,
beruang madu lebih banyak ditemukan di hutan primer dengan tingkat gangguan yang
kecil. Pada hutan sekunder lebih banyak ditemukan pada hutan yang berumur lebih
dari 20 tahun. Sedangkan kondisi topografi seperti ketinggian dan kemiringan relatif
makan (Servheen, 1993) dan tidur di atas pohon (Fetherstonehaugh,1940) sekitar 2-4
meter di atas tanah untuk menghindari predator (Nowak, 1991). Beruang madu
membangun sarang untuk tidur di pohon dengan menggunakan ranting dan batang
(Wong, 2002) dan 12-15 Km2 di kawasan utara Kalimantan Timur dan Sumatra Utara
(Augeri, 2005). Daerah jelajah untuk betina di Sungai Wein, Kalimantan antara 4-5
Km2 (Fredrikkson dan Wich kom pri dalam Meijaard, 2005). Sedangkan menurut
Wong (2002) tumpang tindih daerah jelajah di Sabah bervariasi antara 0,54-3,45
Km2. Beruang betina sering tumpang tindih dengan ibunya, sedangkan beruang jantan
menyebar ke area baru meskipun daerah jelajah dari kedua jenis kelamin tersebut
memakan segalanya seperti buah, vertebrata kecil dan madu (Ewer, 1973). Menurut
Cranbrook (1991) beruang madu menggunakan cakarnya untuk merobek sarang lebah
untuk mendapatkan madu dan larva lebah tersebut. Fetherstonhaugh (1940) dalam
Fitzgerald dan Krausman (2002) menambahkan bahwa beruang madu juga suka
menggali tanah dan memakan rayap, larva dan telurnya, beberapa jenis serangga,
kutu kayu dan cacing tanah. Dathe (1975) menyatakan beruang madu juga sering
memakan buah kelapa dan sering menimbulkan kerusakan pada pohon-pohon kelapa.
Pada kawasan Sungai Wain ditemukan 113 jenis buah yang dimakan oleh
beruang madu, buah tersebut berasal dari famili Moraceae, Burseraceae dan
Myrtaceae yang merupakan makanan yang sangat melimpah di hutan dataran rendah
buah durian (Durio spp), Artocarpus spp dan Dacryodes spp pada saat musim buah.
Sedangkan Ficus spp adalah makanan yang paling banyak dimakan beruang madu
ketika tidak musim buah. Di Sungai Wain juga telah diidentifikasi sebanyak 48 jenis
rayap dan 60 jenis semut yang dimakan oleh beruang madu. (Fredrikkson dan Wich
Malaysia, beruang madu merupakan jenis omnivora yang memakan hewan dan
tumbuhan. Jenis hewan yang dimakan meliputi 13 marga rayap (Isoptera), delapan
suku dari kumbang (Coleoptera), satu marga lebah (Apidae), dua marga semut
(Formicidae) dan satu marga dari tawon (Vespidae) serta beberapa bangsa serangga
lainnya, dua kelas Arthropoda, reptilia, burung dan beberapa mamalia kecil. Hasil
analisis dari feses beruang madu didapatkan bahwa >37 % isinya berasal dari
(57 %), selebihnya adalah tumbuhan (29 %) dan vertebrata (11 %) (Wong dkk, 2002).
Tabel 1.
Tabel 1. Daftar komposisi pakan beruang madu di Ulu Segama Malaysia (Wong, dkk
2002).
adalah jenis tumbuhan ficus, 4 jenis diketahui sebagai tumbuhan penghasil buah dan
penyebar biji yang sangat penting terutama bagi buah yang berbiji besar seperti
durian (Durio spp), nangka (Artocarpus integer) dan lain-lain. Selain itu beruang
madu juga aktif dalam mengatur populasi insekta dengan memakan rayap dan koloni
G. Perilaku
Caro, 1996) dan nokturnal (Lekagul dan McNeely 1977). Di Danum Valley, Sabah
waktu aktif beruang madu cenderung diurnal (Wong, 2002) dan di Kayan Mentarang,
Bulungan serta di ekosistem Leuser waktu aktif beruang madu adalah diurnal dan
nocturnal. Menurut Griffiths dan van Schaik (1993) aktifitas beruang madu juga
dapat dipengaruhi oleh gangguan manusia, beruang madu dapat beraktifitas pada
siang hari pada kondisi tidak adanya gangguan dari manusia. Onuma dkk (2000)
sawit, biasanya memiliki perilaku memasuki kawasan sawit pada malam hari dan
pada siang hari terdapat di daerah hutan. Perilaku tersebut bertujuan untuk
ketika beruang madu muda dilukai (Medway, 1969). Di Thailand beruang madu dapat
melakukan serangan tanpa peringatan atau sebab yang jelas (Lekagul dan McNeely,
1977). Namun pada dasarnya beruang madu bersifat tidak berbahaya dan pemalu jika
tidak terganggu dan ketika induk bersama bayinya bertemu dengan manusia mereka
Beruang madu kadang berdiri dengan kedua kakinya untuk melihat obyek
agar lebih jelas ketika mendapatkan ancaman (Lekagul dan McNeely, 1977) atau
untuk mencium obyeknya pada jarak yang relatif jauh dengan jelas (Fetherstonhaugh,
1940).
yang serak dengan hidungnya atau raungan keras jika bertemu dengan orangutan
beruang madu akan memberikan gonggongan pendek saat merasa terancam oleh
H. Parasit
Terdapat 77 jenis parasit yang telah ditemukan pada kotoran semua jenis
beruang namun dari semua parasit tersebut tidak ada yang dapat menyebabkan
kematian. Efek patologis umumnya tidak terlihat jelas pada beruang tersebut
(Horstman 1949, Rausch 1955, Jonkel dan Cowan 1971, Poelker dan Hartwell 1973).
Pada beruang madu telah teridentifikasi 5 jenis parasit yaitu Pentorchis arkteios,
Beruang madu merupakan salah satu satwa liar yang telah mengalami
penurunan populasi yang sangat drastis yang diakibatkan oleh kerusakan habitat dan
perburuan. Perburuan beruang madu pada umumnya bertujuan untuk dibuat makanan,
obat-obatan dan obat perangsang dari bagian-bagian tubuhnya (Mills dan Servheen
1991). Menurut Payne dan Andau (1991) perburuan beruang sangat dipengaruhi oleh
adanya permintaan yang tinggi dari Jepang dan Korea yang menggunakan kalenjar
Beruang madu juga merupakan salah satu jenis hewan yang banyak
Barat. Bengkulu, Jambi dan Sumatra Utara merupakan pasar beruang madu di
Sumatra yang berasal dari tangkapan di beberapa Taman Nasional seperti Taman
Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Gunung Leuser. Sedangkan pasar
beruang madu di Jawa meliputi Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya (Kurniawan dan
Nursahid, 2002).
bagian tubuh yang diperjualbelikan seperti kulit, kalenjar empedu, gigi taring,
tengkorak kepala dan cakarnya. Perdagangan tersebut sebagian besar digunakan
untuk bahan obat-obatan dan sebagian lainnya untuk membuat perhiasan atau hanya
untuk dipelihara.
konversi lahan dan pembalakan liar serta kegiatan pertambangan merupakan faktor
yang sangat mempengaruhi keberadaan beruang madu di Indonesia. Hal tersebut telah
terisolasi dan terancam kelangsungan populasinya. Selain itu adanya konflik dengan
manusia juga menjadi ancaman potensial yang serius bagi beruang madu. Konflik
tersebut pada umumnya terjadi ketika beruang madu mencari makanan di dalam areal
1. Kerusakan habitat
3. Kurangnya jumlah dan luas area untuk distribusi di kawasan lindung dan
6. Kurangnya dana dan pihak yang bekerja dalam manajemen hewan sitaan.
mempunyai predator alami karena gangguan yang paling sering terjadi berasal dari
bahwa harimau (Panthera tigris) dan beberapa kucing besar lainnya seperti Panthera
pardus dan Neofelis nebulosa mempunyai potensi untuk menjadi predator bagi
beruang madu.
temukan adanya predasi beruang madu oleh ular Phyton (Phyton reticulatus) yang
merupakan salah satu ular terbesar di dunia. Peristiwa tersebut terjadi di hutan
dipterocarp Kalimantan Timur dimana pada malam hari seekor beruang madu betina
suatu kawasan yang pernah ditempati oleh spesies tersebut namun tidak terdapat
suatu individu liar ke dalam suatu populasi yang telah ada, sedangkan suplementasi
adalah menambahkan individu ke dalam suatu populasi yang telah ada. Menurut
Kleiman (1996) reintroduksi adalah pelepasan satwa dari hasil penangkaran atau
satwa liar ke dalam area aslinya dimana populasi satwa tersebut telah mengalami
suplementasi terletak pada perbedaan jumlah satwa yang akan dilepaskan di lokasi
tersebut dengan jumlah satwa yang ada di lokasi tersebut sebelumnya. Hal tersebut
diperdebatkan. Ketika melihat biaya dan kebutuhan yang diperlukan serta kurangnya
konservasi masih terus diperdebatkan (Brambell 1977; Kleiman 1989). Namun pada
kasus yang sama, program reintroduksi dari mamalia hasil penangkaran atau sitaan
merupakan bagian dari usaha konservasi secara komperehensif dan tepat (Campbell
sasarannya, jika program tersebut bagian dari program konservasi bagi satwa langka
genetik atau untuk tujuan rekreasi saja. Kleiman (1996) menambahkan hal yang
paling penting dalam reintroduksi adalah bagaimana usaha tersebut dapat mencapai
tujuan akhirnya yaitu dihasilkannya suatu populasi yang kuat dan dapat menunjang
A. Persiapan Pelepasliaran
Dalam tahap pra pelepasliaran, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji dan
1. Rehabilitasi
Beruang madu hasil sitaan pada umumnya mengalami perubahan perilaku dari
perilaku alaminya dan dalam kondisi kesehatan yang tidak baik. Oleh karena itu perlu
dilakukan rehabilitasi terhadap beruang madu tersebut agar siap untuk dilepasliarkan
ke habitat alaminya. Pada tempat rehabilitasi ini beruang madu sitaan akan menjalani
rehabilitasi beruang madu tersebut harus dipantau dan diteliti supaya setiap
untuk dilepasliarkan yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain beruang madu
yang memiliki penyakit kronis, tidak dapat disembuhkan dan mempunyai potensi
untuk menularkan penyakit tersebut kepada individu lain, hewan lain atau kepada
tersebut tidak dapat menyebar lebih luas. Sedangkan beruang madu yang sudah tua
dan tidak memiliki potensi untuk dilepaskan sebaiknya dirawat dalam penangkaran
Hanya beruang madu yang masih muda dan tidak memiliki penyakit kronis atau
memiliki penyakit yang dapat disembuhkan serta memiliki potensi untuk bertahan
a. Kesehatan
mereka dapat terjangkit berbagai macam penyakit. Resiko dari individu yang
yang intensif. Pada umumnya penyakit yang menyerang beruang madu dalam
penangkaran adalah akibat dari cacing ascarid sehingga dalam tahap karantina
beruang madu tersebut harus diberikan obat anti cacing. Selain itu, beruang madu
tersebut juga harus diberikan berbagi vaksinasi untuk mengurangi resiko penyebaran
b. PerilakuMenurut Clark dkk (2002) hal yang penting bagi pelepasliaran beruang
adalah jika beruang tersebut memiliki perilaku yang sama dengan beruang liar.
tergantung oleh pemberian makanan dari manusia dan mengurangi daya survivalnya
terhadap manusia. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif ketika individu yang
dapat menimbulkan konflik dengan manusia. Selain itu individu yang memiliki
perilaku yang tidak normal jika dilepaskan ke dalam area yang memiliki populasi
beruang madu sitaan dengan cara membatasi kontak manusia dan pemberian
makanan kepada beruang tersebut saat proses rehabilitasi. Selain itu kondisi
lingkungan lokasi rehabilitasi harus mirip dengan kondisi habitat alaminya dan
tersedia pakan alami yang cukup baik. Hal tersebut dapat mengurangi tingkat
c. Kemampuan hidup
Menurut Soorae (2005) banyak kemampuan yang dipelajari melalui
pengalaman seperti pada beruang madu dalam waktu yang lama. Bagi beruang madu
yang hidup dalam kandang, beberapa kemampuan tersebut tidak dimiliki dan jika
seperti kemampuan untuk mencari lokasi makanan dan sumber mangsa, menghindari
predator dan manusia, mengetahui jalur migrasi lokal, mengetahui daerah jelajah
disekitarnya dan lain-lain. Oleh sebab itu, sebelum beruang madu tersebut dilepaskan
maka harus dilatih untuk memiliki kemampuan tersebut agar dapat bertahan hidup di
alam.
perilaku predasi, orientasi terhadap daerah jelajah serta perilaku pertahanan diri.
Menurut Roth dan Huber (1986) yang harus diperhatikan dari individu beruang madu
d. Genetik
sangat penting untuk melepaskan satwa yang memiliki aspek genetik yang dekat
dengan populasi asli yang ada di area tersebut dan memiliki aspek ekologi seperti
morfologi, fisiologi, perilaku dan preferensi yang sama. (IUCN, 1998). Hal ini
struktur genepool dapat mengkontaminasi genepool lokal yang unik. Pada kasus yang
sama hal ini dapat menimbulkan efek positif untuk meningkatkan variasi genetik dan
yaitu :
1) Waktu
Dijk (2005) menyatakan bahwa faktor waktu merupakan salah satu faktor
yang penting untuk diperhatikan dalam program rehabilitasi beruang. Dalam hal ini
terdapat permasalahan jika beruang madu terlalu lama dalam pusat rehabilitasi, yaitu
adanya efek negatif dimana beruang madu tersebut sudah terlalu terhabituasi dengan
dan mengajarkan beruang madu agar dapat memiliki kemampuan untuk bertahan di
2) Lokasi
Payton dan Plenge (2005) menyatakan bahwa lokasi rehabilitasi bagi beruang
yang baik adalah lokasi yang memiliki kondisi vegetasi yang baik dan luas yang
dibatasi oleh pagar. Hal tersebut dapat membantu beruang madu untuk dapat
beradaptasi dengan kondisi lingkungan alaminya dan agar dapat belajar untuk
beradaptasi dengan makanan alaminya dengan cepat. Melalui cara tersebut beruang
madu dapat menjadi liar dalam waktu hanya dalam beberapa bulan.
3) Perlakuan
makanan alaminya beruang madu dalam proses tersebut tidak boleh diberikan
makanan selain vitamin. Hal tersebut karena pada umumnya beruang madu hasil
sitaan telah terbiasa dengan makanan manusia dan menjadi jinak dengan manusia.
Selain itu kontak dengan manusia juga harus dibatasi agar tidak menimbulkan
kecil jika dilakukan pada habitat dan lokasi yang kurang mendukung sehingga untuk
dapat hidup dalam jangka waktu yang lama. Habitat tersebut juga harus diidentifikasi
dan direduksi berbagai kemungkinan gangguan yang ada di lokasi tersebut seperti
kegiatan perburuan, potensi penyakit, polusi, perambahan dan lain-lain. Jika lokasi
tersebut mengalami masalah – masalah seperti itu maka harus dilakukan restorasi
dukung yang baik dalam makanan, kehadiran manusia yang rendah atau area yang
tidak digunakan oleh manusia untuk beraktifitas serta memiliki beruang madu residen
Beberapa hal yang penting untuk dikaji dalam penentuan area pelepasliaran
Luas area pelepasliaran beruang madu merupakan faktor yang harus dikaji
sebelum dilakukan pelepasliaran. Luas area ini berkaitan dengan pola pemanfaatan
habitat, persebaran dan daerah jelajah beruang madu tersebut. Menurut Clark, Huber
dan Servheen (2002) daerah jelajah beruang madu dipengaruhi oleh umur, jenis
Jika luas tutupan hutan tidak mencukupi, beruang madu dapat berpindah dan
memasuki kawasan non hutan seperti perkebunan kelapa sawit, lahan pertanian dan
b. Ketersedian makanan
kriteria seperti ketersedian makanan, air dan terlindung dari berbagai ancaman dari
manusia. Menurut Huber (2005) kondisi vegetasi dalam area pelepasliaran harus
terdiri dari jenis tumbuhan yang bervariasi sehingga dapat menyediakan makanan
dalam musim yang berbeda. Mereka juga harus mendapatkan tumbuhan tersebut
dalam jumlah yang banyak, jika sumber makanan tersebut jarang ditemukan maka
mereka harus mendapatkan makanan tersebut dalam jumlah yang cukup dalam satu
lokasi. Beruang madu membutuhkan lebih dari 10 % protein dalam makanannya dan
beruang madu telah cukup dengan mendapatkannya dari serangga atau invertebrata
mencari mangsa yang besar pada satu tempat dan dapat memangsanya untuk
beberapa hari hal ini berbeda dengan beruang madu yang hampir selalu bergerak
untuk mendapatkan makanannya sedikit demi sedikit. Makanan bagi beruang madu
hampir dapat ditemukan di semua tempat. Beruang madu dapat mencari makanan
dengan mencakar batang kayu yang membusuk, menggali tanah untuk mencari umbi-
hewan lain seperti tikus dan hewan mamalia kecil lainnya. Oleh karena itu luas area
dan luas derah jelajahnya harus diperhatikan dalam pelepasan beruang madu.
Kondisi vegetasi area pelepasliaran juga harus memiliki tutupan vegetasi yang
rapat yang dibutuhkan oleh beruang madu untuk beristirahat saat siang dan malam
hari. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan ketika memilih
lokasi pelepasliaran beruang madu. Menurut Wong dkk (2003) beruang madu
membutuhkan pohon yang besar (diameter >100 cm) sebagai tempat tidur dan
istirahat. Umumnya pohon yang digunakan sebagai sarang tersebut berasal dari suku
dipterocarpaceae.
tempat tidur (McConkey dan Galleti, 1990). Namun Wong dkk (2003) menemukan
bahwa beruang madu di Ulu Segama, Sabah tidak membuat sarang untuk tempat
tidur. Menurut Santipilai dan Santipilai (1996) dalam Wong dkk (2003) beruang
madu yang membuat sarang pada umumnya berada pada kawasan yang terganggu,
hutan sekunder atau karena keberadaan predator seperti macan tutul, macan dahan
dan lain-lain.
Studi yang mendetail tentang status dan aspek biologi dari populasi liar yang
kebutuhan spesies yang kritis. Studi ini termasuk gambaran preferensi habitat, variasi
perlindungan, perilaku makan, predator dan penyakit. Untuk spesies yang sering
melakukan migrasi studi ini termasuk area potensial migrasi (IUCN/SSC, 1995).
sesuai, pelepasliaran beruang madu rehabilitan lebih baik dilakukan pada area yang
masih memiliki populasi liar baik pada populasi yang kecil maupun besar yang
memiliki keberlanjutan untuk jangka waktu yang lama. Namun pelepasliaran pada
area seperti itu akan memberikan dampak bagi populasi penerima dan memberikan
dugaan atau asumsi waktu paling sedikit bagi beruang madu yang dilepasliarkan
untuk dapat bertahan. Oleh karena itu pada area pelepasliaran harus dilakukan studi
tentang struktur populasi beruang madu di lokasi tersebut sebelumnya (Dijk, 2005).
dapat menujukkan interaksi sosial beruang madu baik yang langsung maupun yang
tidak langsung di lokasi tersebut. Interaksi sosial tersebut seperti dominant versus sub
makanan terhadap dinamika populasi beruang madu di lokasi tersebut (Joshi et al.
1999, Rogers, 1997, Swenson dkk, 1997, Stonorov dan Stokes 1972).
langsung dengan jumlah beruang madu di lokasi tersebut yang berkaitan dengan daya
beruang madu yang tidak dapat berkompetisi dalam makanan atau dalam hubungan
sosial akan menyebar ke pinggiran habitat dan dapat memasuki area yang sangat
dekat dengan manusia. Beruang madu yang dalam kondisi seperti ini dapat
menimbulkan konflik.
dilakukan pada habitat beruang madu yang mendekati kepunahan sehingga memiliki
kejenuhan akan menyebabkan individu baru tersebut dalam situasi yang sulit. Mereka
harus dapat menemukan lokasi mereka sendiri di antara populasi yang telah ada tanpa
keberadaan manusia yang terlalu dekat dapat mempengaruhi luas daerah jelajah
beruang madu dan distribusinya (Clark, Huber dan Servheen, 2002). Selain itu
menyebabkan beberapa gangguan dan konflik antara beruang madu dan masyarakat
madu liar akan menempati area yang relatif tidak terganggu atau menjauhi manusia.
B. Pelepasliaran
Terdapat dua macam teknik pelepasliaran satwa yaitu hard release dan soft
release. Hard release adalah pelepasliaran satwa yang tidak diikuti oleh program
yang mendukung lainnya (Hall, 2005). Dalam pelepasliaran tipe ini satwa yang
dilepasliarkan satwa tersebut masih diberi dukungan berupa makanan tambahan yang
dikurangi secara bertahap (Hall, 2005). Pada soft release satwa tersebut masih dijaga
release pada umumnya memerlukan monitoring dan studi tentang kondisi habitat dan
pertimbangan yang tergantung pada jenis dan sifat satwa tersebut, kondisi habitat dan
lamanya waktu dalam rehabilitasi. Menurut Hall (2005) hard release dilakukan pada
satwa yang tidak terlalu lama berada dalam kandang dan dapat kembali kepada
habitat alaminya. Metode ini tidak direkomendasikan pada satwa yang dibesarkan
oleh manusia, satwa yang telah dirawat dalam jangka waktu yang lama dan pada
kawasan yang tidak familiar terhadap satwa tersebut. Sedangkan untuk satwa yang
telah direhabilitasi dalam jangka waktu yang lama sebaiknya menggunakan metode
C. Paska Pelepasliaran
1. Monitoring
aspek vital dalam aktifitas pelepasliaran. Monitoring ini dapat dilakukan secara
langsung pengamatan di lapangan seperti dengan penggunaan radio telemetri dan
tagging ataupun secara tidak langsung. Walzer dkk (2005) menyatakan bahwa
beruang madu merupakan salah satu satwa yang sulit untuk ditemukan secara
langsung. Sehingga untuk memonitoring beruang madu yang telah dilepaskan dengan
cara menandai dengan transmitter. Metode ini sangat mudah dan cepat untuk
dilepasliarkan.
b) Studi tentang proses adaptasi dalam jangka waktu yang lama dari individu
mesyarakat lokal sangatlah penting (Hall, 2005). Hal tersebut untuk mencegah
adanya konflik antara beruang dan masyarakat dan untuk mencegah adanya
Kalimantan Timur adalah berasal dari adanya konflik dengan masyarakat lokal.
oleh masyarakat sekitar (Fredrikkson, 2005c). Oleh karena hal tersebut maka adanya
3). Publikasi secara rutin dalam jurnal ilmiah maupun popular (IUCN/SSC,
1995).
perilaku alami beruang madu. Menurut Chauhan dan Singh (2005) sebagian besar
kasus konflik antara beruang madu dan manusia terjadi di dalam hutan.
Jika pelepasliaran pada area yang memiliki jumlah beruang madu liar yang
sedikit dan memiliki suplai makanan yang cukup serta terdapat resiko intoleransi
sosial akibat kepadatan populasi yang rendah maka kita dapat menyebutkan bahwa
program pelepasliaran tersebut sukses jika beruang madu yang dilepasliarkan dapat
bertahan. Selain itu populasi penerima juga tidak terganggu dengan adanya
dilepaskan dapat diukur bilamana beruang madu tersebut dapat bertahan hidup
minimal 1 tahun dan dalam waktu tersebut tidak mendekati area pemukiman
penduduk.
nyata bahwa program tersebut dapat mendukung untuk konservasi jenis. Hal tersebut
juga membuktikan bahwa sedikitnya konflik antara populasi beruang madu liar
Satwa yang dipelihara di lokasi rehabilitasi dalam waktu yang lama di bawah
kemampuan survival dan sekaligus dapat menyebabkan perubahan perilaku. Hal ini
dapat menyebabkan beruang madu yang dilepasliarkan rentan untuk menimbulkan
Beruang madu tersebut dapat menjadi berbahaya untuk keamanan manusia atau
Pelepasliaran bayi beruang madu, anak ataupun beruang madu yang lebih tua
memiliki kesempatan yang besar untuk dapat bertahan hidup jika diikuti dengan
Huber,2002).
penelitian.
BAB IV
dilakukan pada tahun 1997. Jumlah beruang madu yang dilepasliarkan adalah lima
individu yang memiliki kisaran umur 2,5 sampai lima tahun. Dua individu sejak bayi
telah berada dalam kandang sedangkan sejarah kehidupan dari tiga individu lainnya
tidak tersedia. Beruang madu tersebut didapatkan dari sitaan BKSDA (Balai
Konservasi Sumber Daya Alam) ataupun dari penyerahan langsung dari pemiliknya
memiliki variasi ketinggian dari 30-150 mdpl dengan curah hujan 2740±530 mm.
Kawasan ini memiliki topografi perbukitan yang landai dengan beberapa bagian yang
curam dan terbagi-bagi oleh beberapa sungai kecil. Pohon di kawasan hutan Sungai
tersebut menjadikan kawasan Hutan Lindung Sungai Wain merupakan habitat yang
Di kawasan tersebut telah diketahui adanya populasi beruang madu yang kecil
hasil dari pelepasliaran beruang madu tersebut tidak berhasil karena terdapat tiga
individu yang dibunuh dan satu individu ditangkap oleh masyarakat lokal karena
memasuki kawasan pertanian dan merusak hasil pertanian sedangkan satu individu
Informasi mengenai tahap pra pelepasliaran yang terdiri dari rehabilitasi dan
lokal dalam program pelepasliaran ini tidak tersedia. Sehingga berbagai aspek yang
harus dikaji dalam tahap pra pelepasliaran tidak dapat dilakukan, sedangkan aspek-
yang dilakukan. Soorae (2005) menyatakan bahwa tidak semua individu beruang
hasil sitaan mempunyai kans untuk dilepasliarkan yang disebabkan oleh berbagai hal
Selain itu, tidak adanya data perkiraan jumlah populasi asli beruang madu di
antara individu yang dilepasliarkan dengan populasi asli beruang madu di lokasi
Van Mannen (1990) menambahkan bahwa evaluasi kondisi habitat dan keberadaan
hard release dimana setelah pelepasliaran tidak diikuti oleh kegiatan lainnya yang
(Fredriksson, 2005a).
menurut Hall (2005) metode hard release tidak direkomendasikan pada satwa yang
dibesarkan oleh manusia, satwa yang telah dirawat dalam jangka waktu yang lama
untuk memonitor adaptasi mereka dan pola pergerakannya. Radio transmitter yang
digunakan memiliki frekuensi rendah (30 Mhz), dimana frekuensi ini tidak dapat
terdengar dalam hutan yang memiliki kerapatan pohon yang tinggi. Radio transmitter
ini memiliki jangkauan sekitar 300 meter. Konsekuensi dari radiotelemetri dengan
frekuensi rendah tersebut adalah sulitnya untuk menemukan beruang madu yang baru
berperan aktiif dalam perlindungan beruang madu yang dilapasliarkan tersebut. Hal
tersebut dapat dilihat dari faktor penyebab kematian dari beruang madu yang
penyebab konflik antara beruang madu dan masyarakat di Sungai Wain adalah bahwa
yang paling sering merusak perkebunan setelah babi jenggot (Sus barbatus) di Sungai
Wain. Frekuensi perusakan perkebunan oleh beruang madu juga semakin meningkat
karena adanya kebakaran hutan dan kurangnya persediaan buah dalam hutan. Oleh
karena itu adanya perlindungan habitat juga merupakan salah satu solusi dalam
rehabilitasi beruang madu selain orangutan sebagai satwa langka yang berada di
keberadaan suaka ini adalah untuk menampung beruang madu sitaan yang ada di
beberapa PPS (Pusat Penyelamatan Satwa) di Indonesia dan sebagai sarana penelitian
Suaka beruang madu dibangun pada tahun 2004 dengan luas 58 Ha yang
beruang madu ini adalah kandang karantina, kandang introduksi, kandang sosialisasi I
dan II, kandang anak/balita, kawasan suaka (beserta kandang pakan), menara
pengawas, kantor dan gudang buah. Seluruh area kawasan tersebut dibatasi dengan
pagar kawat listrik (gambar 8). Kebutuhan makanan beruang madu dalam suaka ini
masih disuplai setiap 3 hari sekali, suplai makanan tersebut terdiri dari buah-buahan,
(a) (b)
Gambar 8. Fasilitas suaka beruang madu Samboja Lestari (a) lokasi introduksi cat
walk untuk memberi makan, (b) kandang pemberi makan (Yayasan BOS,
2005)
Tahapan kegiatan yang dilakukan di suaka beruang madu ini terdiri dari tiga
tahap yaitu:
1. Tahap Karantina : merupakan tahap awal bagi beruang madu yang baru tiba di
suaka ini. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah pemeriksaan
tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya agar siap untuk hidup
mandiri.
diharapkan pada tahap ini beruang madu rehabilitan dapat bertahan hidup
Namun dalam program suaka beruang madu ini tidak memiliki kegiatan
pelepasliaran beruang madu ke habitat lainnya. Hal ini dikarenakan hingga saat ini
belum terdapat data mengenai populasi beruang madu dan sebaran beruang madu
yang baik. Sehingga suaka beruang madu ini hanya sebagai penampung dan
pemeliharaan beruang madu sitaan agar dapat memiliki kehidupan yang lebih baik
daripada dikandangkan di fasilitas PPS yang lebih kecil dan tidak memadai. Menurut
Castellanos (2005) dalam fasilitas suaka beruang madu dapat digunakan sebagai
satwa tersebut.
Jumlah individu beruang madu hingga akhir tahun 2005 di suaka beruang
madu ini berjumlah 50 ekor yang terdiri dari 18 ekor jantan dan 32 ekor betina.
Selama tahun 2005 terdapat dua kasus kematian yaitu satu ekor betina yang
diakibatkan karena penyakit pneumonia dan satu ekor jantan karena terkena sengatan
listrik ketika mencoba kabur dari suaka beruang madu ini (Yayasan BOS, 2005).
Beberapa kendala dalam suaka beruang madu ini antara lain adalah fasilitas
suaka yang terbatas dan perilaku perusakan fasilitas oleh beruang madu. Keterbatasan
fasilitas ini menyebabkan untuk sementara ini suaka beruang madu Samboja Lestari
tidak lagi mampu menerima dan menampung tambahan individu sitaan dari PPS
jantan yang memiliki tingkat agonistik yang lebih tinggi akibat cakaran dan
vasektomi untuk menurunkan sifat agonistik dan untuk pengganti tempat berteduh
melindungi batang pohon dengan seng dan membuat beberapa buah kolam bermain
Secara umum Suaka beruang madu Samboja Lestari merupakan salah satu
alternatif untuk menampung beruang madu sitaan agar beruang tersebut dapat
memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun suaka tersebut tidak dapat membantu
A. Kesimpulan
pelepasliaran.
2. Kondisi individu beruang madu yang dilepaskan harus sehat, dapat hidup
madu alami, memiliki persediaan makanan yang cukup, tutupan hutan yang
luas, lokasi untuk berlindung yang cukup sehingga penambahan individu baru
tersebut.
4. Indikator kesuksesan pelepasliaran beruang madu dapat dilihat dari tidak
pelepasliaran yang tidak sesuai dan adanya konflik antara masyarakat lokal
6. Suaka beruang madu Samboja Lestari merupakan salah satu alternatif untuk
B. Saran
Sehingga dapat diketahui kawasan prioritas dalam konservasi beruang madu dan
lokasi pelepasliaran beruang madu yang tepat bagi beruang madu hasil sitaan. Perlu
turunannya.
DAFTAR PUSTAKA
Chauhan dan Singh J. Human-Malayan Sun Bear Conflicts In Manipur State, India
dalam 16th IBA Conference. Riva del Garda, Trentino, Italy. 2005.
Dathe, H. Malayan Sun Bears. Pp. 141–142 in Grzimek’s animal life encyclopedia
(B. Grzimek, ed.). Van Nostrand Reinhold Company, New York.
1975.
Dijk, J.J dan Huber, D. Limitations for Releasing Rehabilitated Bears Workshop -
Summary. Int. Bear News . 2002
Dijk, J.J. Considerations for the Rehabilitation and Release of Bears into the Wild. In
L. Kolter and J.J. Van Dijk (eds.): Rehabilitation and release of
bears. Zoologischer Garten Köln, 7-16. 2005.
Dominico, T. Bears of the world. Facts on File, Inc., New York. 1988.
Ewer R. F. The carnivores. Cornell University Press, Ithaca, New York Feng.Q. dan
Wang Y.1991. Studies on Malayan sun bear (Helarctos
malayanus) in artificial rearing. Acta Theriologica Sinica. 1973.
Griffiths, M. and C. P. van Schaik. The Impact of Human Traffic on the Abundance
and Activity Periods of Sumatran Rain Forest Wildlife.
Conservation Biology. 1993.
Herrero, S. Introduction to Bears: Status Survey and Conservation Action Plan. Pages
1-7, in: S. Servheen, S. Herrero, and B. Peyton (eds.). Bears:
Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN, Gland,
Switzerland. 309 pp. 1999.
Hortsman, B.N. A survey of parasites of the black bear in southwestern Colorado.
Unpublished MS thesis, Colorado A & M, Fort Collins, 60 pp.
1949.
Johnston, L. A.,dkk. Oocyte recovery and maturation in the American black bear
(Ursus americanus): a model for endangered ursids. Journal of
Experimental Zoology.1994.
Jonkel dan Cowan, The black bear in the spruce-fir forest. Wildlife Monogr. No. 27.
57 pp. 1971.
McConkey, K. and M. Galetti. Seed dispersal by the sun bear Helarctos malayanus in
Central Borneo. Journal of Tropical Ecology 15:237-241. 1999.
Medway, L. The wild mammals of Malaya and offshore islands including Singapore.
Oxford University Press, London, United Kingdom. 1969.
Meijaard, E. Forest, pigs and people. A plan for the sustainable management of
Bearded Pig populations in and around the Kayan Mentarang
National Park, East Kalimantan, Indonesia. Unpublished report for
WWF-Indonesia. WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia. 2003.
Mills, J.A dan Servheen. The Asian trade in bears and bear parts. Corporate Press,
Inc., Landover, Maryland. 1991.
Modriæ dan Huber. Curiosity of brown bears in Zagreb Zoo. Period. biol. 91: 86-87.
1989.
Morris, D. The mammals. Harper & Row Publisher, New York. 1965.
Payne, J dan Andau M. Large mammals in Sabah. The state of nature conservation in
Malaysia (R. Kiew, ed.). Malayan Nature Society, United Selangor
Press,Kuala Lumpur, Malaysia. 1991.
.
Payne dkk, Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam, Prima
Centre, Jakarta. 2000.
Pazethnov, V.S. and Pazhetnov, S.V. Re-introduction of Orphan Brown Bear Cubs.
In L. Kolter and J.J. Van Dijk (eds.): Rehabilitation and release of
bears. Zoologischer Garten Köln. 2005.
.
Pocock, R. I. The black and brown bears of Europe and Asia. Journal of the Bombay
Natural History Society. 1932.
Sadikin, L.A. Keberadaan Mamalia Sedang Dan Besar di Kawasan Pinggir Hutan
dengan Metode “Camera Trap” di Air Dikit, Taman Nasional
Kerinci Seblat, Skripsi Sarjana Sains, Fakultas Biologi Universitas
Nasional, Jakarta, 2005.
Sasaki dkk. Adaptation of the hindlimbs for climbing in bears. Elsevier. 2004 .
Servheen C. The sun bear. Pp. 124–127 in Bears (I.Stirling, ed.). Rodale Press Inc.,
Emmaus, Pennsylvania. 1993.
Servheen, C. Sun bear conservation action plan. In: Bears. Status Survey and
Conservation Action Plan. Servheen, C., Herrero, S., and Peyton, B.
(compilers). IUCN/SSC Bear and Polar Bear Specialist Groups.
IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge. 219-224. 1999.
Soorae. Placement Options for Confiscated Bears In L. Kolter and J.J. Van Dijk
(eds.): Rehabilitation and release of bears. Zoologischer Garten
Köln. 2005.
Swenson, J. E., Sandegren, F., Söderberg, A., Bjärvall, A., Franzén, R. and P.
Wabakken 1997.Infanticide caused by hunting of male bears.
Nature, 386: 450-451.
Taylor, M. (Editor). Density-dependent population regulation in black, brown, and
polar bears. Monogr. Ser. No. 3, International Conference on Bear
Research and Management, Missoula, Mont., February 1992.
International Association for Bear Research and Management,
Washington, D.C. 1994.
Van Manen, F.T. A feasibility study for the potential reintroduction of black bears
into the Big South Fork Area of Kentucky and Tennessee. Tennessee
Wildlife Resources Agency, Technical Report 91-3, Nashville,
Tennessee, USA. 1990.
Waits dkk. Rapid radiation events in the family Ursidae indicated by likelihood
phylogenetic estimation from multiple fragments of mtDNA.
Molecular Phylogenetics and Evolution.1999
Ward, P dan Kynaston, S. Bears of the World. Blandford, London. 191 pp. 1995
Wong, S.T. The Ecology of Malayan Sun Bear (Helarctos malayanus) in the
Lowland Tropical Forest of Borneo. M.S. Thesis, University of
Montana. 2002
Wong dkk. Food habits of Malayan sun bears in lowland tropical forests of Borneo,
2002.
www.bearden.org
www.kidsplanet.org
Yin, U. T. Wild Animals of Burma. Rangoon Gazette Ltd., Yangon, Myanmar. 1967.