Ada 4 buah sinus yang berhubungan dengan cavum nasi, yaitu: Sinus sphenoidalis Sinus frontalis Sinus maxillaris Sinus eithmoidalis Bagian depan dan atas cavum nasi dipersarafi oleh N. Opthalmicus. Mucusa hidung dan lainnya dipersarafi oleh ganglion sphenopalatinum. Nasofaring dan concha nasalis dipersarafi oleh cabang dari ganglion pterygopalatinum.Sedangkan N. Olfaktorius untuk penciuman.
Faring Merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: Nasofaring Orofaring Laringofaringeal
Berfungsi untuk menyediakan saluran pada traktus repiratorius dan traktus digestivus. Laring Daerahnya dimulai dari aditus laringis (pintu laring) sampai batas bawah cartilago cricoid. Terbentuk oleh tulang dan tulang rawan. Tulangnya adalah Os. Hyoid. Tulang rawannya: Epiglotis: tulang rawan berbentuk sendok. Pada saat ekspirasi inspirasi biasa, epiglotis terbuka. Pada waktu menelan, epiglotis menutup aditus laringis agar makanan tidak masuk ke laring. Cartilago tyroid (adams apple): jaringan ikatnya adalah membrane thyrohyoid. Cartilago arytenoid: ada 2. Digunakan dalam gerakan pita suara dengan cartilago thyroid. Cartilago cricoid: adalah batas bawah laring. Dalam cavum laringis terdapat pita suara asli (plica vocalis) dan pita suara palsu (plica vestibularis).
Rongga hidung Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum disekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel didalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis.Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garismedial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dindinglateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkankonka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsimenghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/selsustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar dipermukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor danmemiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal(berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria.
KelenjarBowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktoriussehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa,konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udarayang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelummasuk lebih jauh.
Sinus paranasalis Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinussphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandungsel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikitkelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitassilia mendorong mukus ke rongga hidung. Faring Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak denganpalatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng. Laring Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Padalamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsisebagai katup yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasilsuara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring,meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagianlingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkanpermukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalamlumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plikavestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta dilipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapisgepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka).Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensiyang berbeda-beda.
yang menimbulkan turbulensi aliran udara sehingga dapat mengendapkan partikelpartikel dari udara yang seterusnya akan diikat oleh zat mucus. System turbulensi udara ini dapat mengendapkan partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari 4 mikron. II. Faring Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernapasan bagian atas. Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta laringofaring. Trakea Trakea berarti pipa udara. Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalator-muko-siliaris karena silia pada trakea dapat mendorong benda asing yang terikat zat mucus kearah faring yang kemudian dapat ditelan atau dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahanbahan beracun yang terkandung dalam asap rokok. Bronki atau bronkioli Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Akan tetapi mulai bronki sekunder, perubahan struktur mulai terjadi. Pada bagian akhir dari bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah menjadi lempengan-lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur tulang rawan menghilang dan saluran udara pada daerah ini hanya dilingkari oleh otot polos. Struktur semacam ini menyebabkan bronkioli lebih rentan terhadap penyimpatan yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus sehingga berfungsi sebagai pembersih udara. Bahan-bahan debris di alveoli ditangkap oleh sel makrofag yang terdapat pada alveoli, kemudian dibawa oleh lapisan mukosa dan selanjutnya dibuang.
III.
IV.
2. ZONA RESPIRATORIK Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan. Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli. Selain struktur diatas terdapat pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting untuk menyaring partikel-partikel yang masuk. Sistem pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri dalam melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak.
Fungsi Pernapasan : 1. Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh (sel-selnya) untuk mengadakan pembakaran 2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran, kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak berguna lagi oleh tubuh)
3. Melembabkan udara. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara berlangsung di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan di dalamnya aliran udara timbal balik (pernapasan), dan tergantung pada difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan uap yang dihirup. Paru-paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat udara pada paparan kerja. Proses dari sistem pernapasan atau sistem respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Ventilasi, yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut pernapasan luar Transportasi gas melalui darah Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut pernapasan dalam Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut juga pernapasan seluler.
Mekanika Pernapasan Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 bagian, yaitu : 1. Menarik napas (inspirasi) 2. Menghembus napas (ekspirasi) Bernapas berarti melakukan inspirasi dan ekspirasi secara bergantian, teratur, berirama dan terus menerus. Bernapas merupakan gerak reflek yang terjadi pada otot-otot pernapasan. Reflek bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat atau mempercepat napasnya, ini berarti bahwa reflex napas juga di bawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka terhadap kelebihan kadar CO2 dalam darah dan kekurangan O2 dalam darah. Inspirasi : merupakan proses aktif, disini kontraksi otot-otot inspirasi akan meningkatkan tekanan di dalam ruang antara paru-paru dan dinding dada (tekanan intraktorakal). Inspirasi terjadi bila mulkulus diafragma telah dapat rangsangan dari nervus prenikus lalu mengkerut datar. Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah dapat dapat rangsangan kemudian mengkerut datar. Dengan demikian jarak antara stenum (tulang dada) dan vertebrata semakin luas dan lebar. Rongga dada membesar maka pleura akan tertarik, dengan demikian menarik paru-paru maka tekanan udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar. Ekspirasi : merupakan proses pasif yang tidak memerlukan konstraksi otot untuk menurunkan intratorakal. Ekspirasi terjadi apabila pada suatu saat otot-otot akan kendur lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus interkoatalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Jadi proses respirasi.
Patofisiologi
Patofisiologi :
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di : Hidung : lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Mata : edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner) Telinga : retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii faring : faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid laring : suara serak dan edema pita suara Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang a. In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002). b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Efek samping sistemik dari pemakaian jangka panjang kortikosteroid sistemik baik peroral atau parenteral dapat berupa osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glukoma, cutaneous striae. Efek samping lain yang jarang terjadi diantaranya sindrom Churg-Strauss. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan pengawasan diberikan pada kasus asma yang disertai tuberkulosis, infeksi parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus. Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi seperti Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone dan Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena mempunyai efek antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya, serta memiliki efek samping sitemik yang lebih kecil. Tapi pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi dan dapat memicu tumbuhnya jamur. 4. Antikolinergik Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi. Ipratropium bromida, yang merupakan turunan atropin secara topikal dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin. 5. Natrium Kromolin Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat penglepasan mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion kalsium dan klorida. 6. Imunoterapi Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala klinis rinitis alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen standar selama 3 tahun, terbukti memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan.
3. Sinusitis paranasal : merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
Efek samping yang paling sering juga di temukan ialah nafsu makan berkurang, mual,muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi, atau diare; efek ini akan berkurang bila AH1diberikan sewaktu makan. Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi,hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan . Nasal dekongestan agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada pasien rinitis alergika atau rinitisvasomotor dan pada pasien ispa dengan rinitis akut. Obat ini menyebabkan venokontriksi dalammukosa hidung melalui reseptor 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikianmengurangi penyumbatan hidung. Pengobatan dengan dekongestan nasal dapat menyebabkan hilangnya efektivitas reboundhiperimia dan memburuknya gejala pda pemberian kronik atau bila obat dihentikan. Dalam praktek, dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni efedrin, fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam betuk tetes hidung maupun semprothidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat imidazolin. Dekongestan topikal terutama berguna untuk rinitis akut karena tempat kerjanya yang lebih selektif. Penggunaan dekongestan jenis ini hanya sedikit atau sama sekali tidak diabsorbsi secara sistemik. Penggunaan secara topikallebih cepat dalam mengatasi penyumbatan hidung dibandingkan dengan penggunaan sistemik. Indikasinya per oral atau secara topikal. Eferdin oral sering menimbulkan efek sntral Pseudoeferdrin. Selain itu efek samping yang dapat ditimbulkan topical dekongestan antara lain rasaterbakar, bersin, dan kering pada mukosa hidung. Untuk itu penggunaan obat ini memerlukankonseling bagi pasien. Fenilpropanolamin obat ini harus digunakan secara hati2 pada pasien hipertensi dan priadengan hipertrofi prostat . Pemberian dekongestan oral tidak dianjurkan untuk jangka panjang, terutama karenamemepunyai efek samping stimulan SSP sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung dantekanan darah. Obat ini tidak boleh diberikan kepada penderita hipertensi, penyakit jantung,koroner, hipertiroid, dan hipertropi prostat. Dekongestan oral pada umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antihistamin atau dengan obat lain seperti antipiretik dan antitusif yangdijual sebagai obat bebas. c. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam pengobatan RA. Penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala buntu hidung yang berat.
Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling sering mengganggu penderitaRA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral diberikan dalam jangka pendek 7-14 haridengan tapering off, tergantung dari respon pengobatan. Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat antiinflamasi yang tinggi, namun juga mempunyaiefek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal akan memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek sistematik. Berbagai produk kortikosteroid intranasaldipasarkan dengan menggunakan berbagai karakteristik. Untuk meningkatkan keamanan kortikosteroid intranasal digunakan obat yang mempunyaiefek topikal yang kuat dan efek sistemik yang rendah. Kepraktisan dalam pemakaian serta rasa bauobat akan mempengaruhi kepatuhan penderita dalam menggunakan obat jangka panjang. Dosissekali sehari lebih disukai daripada dua kali sehari karena lebih praktis sehingga meningkatkankepatuhan. Beberapa kortikosteroid intranasal yang banyak digunakan adalah beklometason,flutikason, mometason, dan triamisolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dankeamanan yang tidak berbeda. Obat yang biasa digunakan lainnya antara lain sodium kromolin,dan ipatropium bromida. Mekanisme kerja Bekerja mempengaruhi kecepatan sintesis protein, molekul hormon memasuki sel melewatimembran plasma secara difusi pasif, mensintesis protein yg sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel limfoid.mempengaruhi metabolisme karbohidrat,protein,dan lemak,dan sebagaiantiinflamasi kuat. Pemberian glucocorticoid (eg, prednisone, dexamethasone) mengurangi ukuran dan isilymphoid dari limfonodi dan limpa, tdk memiliki efek toksik pada mieloid yg sdg berproliferasiatau stem sel erythroid dalam sumsum tulang. Glucocorticoid menghambat produksi mediator inflamasi, termasuk PAF, leukotrien, prostaglandin, histamin, dan bradikinin Toksisitas berat dpt tjd pd penggunaan glukokortikoid dosis tinggi, jangka panjangd.Antagonis Leukotrien Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asamlemak yang disebut eikosanoid. Senyawa ini diturunkan melalui aktivasi berbagi tipe sel olehlipooksigenasi asam arakhidonat yang dibebaskan oleh fosfolipase A2 di membran perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakhidonat sendiri merupakan substrat darisiklooksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostglandin dan tromboksan. Dengan kata lain,leukotrien juga merupakan mediator yang penting dalam terjadinya buntu hidung pada rinitisalergi.
Dewasa ini telah berkembang obat antileukotrien yang dinilai cukup besar manfaatnya bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien yakni inhibitor sintesis leukotrien dan antagonisreseptor leukotrien. Yang terbaru dapat satu inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonisreseptor leukotrien, yakni CysLT1 dan CYsLT2. Yang pertama merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA. Pada dasarnya antileukotrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat sintesis leukotrien.Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses inflamasi pada RA maupun asma dapat ditekan.Tiga obat antileukotrien yang pernah dilaporkan penggunaannya yakni dua nataginis reseptor (zafirlukast dan montelukast), serta satu inhibitor lipooksigenase (zileuton). Laporan hasil penggunaan obat tersebut pada RA belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak diketahui. Penanganan Rhinitis alergi yang terakhir adalah dengan imunoterapi. Terapi ini disebut jugasebagai terapi desensitisasi. Imunoterapi merupakan proses yang panjang dan bertahap dengancara menginjeksikan antigen dengan dosis yang ditingkatkan. Imunoterapi memiliki biaya yangmahal serta risiko yang besar, serta memerlukan komitmen yang besar dari pasien.
LI 5. MEMPELAJARI PANDANGAN ISLAM TENTANG ANATOMI PERNAPASAN Saat berwudhu disunnahkan menghirup air ke dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkannya (istinsyar) sebanyak tiga kali agar kebersihan dan kesehatan hidung terjaga. Hidung manusia terbebas dari kotoran selama 4-5 jam, kemudian hidung manusia menjadi kotor karena udara yang terhirup. Dengan istinsyaq dan istinsyarmembuat hidung dalam keadaan sehat dan bersih. Selain itu, penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Muhammad Salim membuktikan bahwa orang-orang yang tidak berwudhu lebih rentan terkena ISPA daripada orang-orang yang berwudhu. Dari penelitian didapatkan bahwa dengan menghirup air ke hidung sebanyak 3 kali dapat membersihkan mikroba yang menempel pada rongga hidung, sehingga hidung benar-benar bersih dari mikroba penyebab ISPA, radang paru-paru, demam rematik dan alergi rongga hidung.