Anda di halaman 1dari 120

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan Indonesia merupakan wilayah yang memiliki konvergensi lempeng yang sangat rumit, dimana terdiri dari subduksi, collision, back-arc thrusting, back-arc dan opening faults. Kompleksitas ini bila ditinjau dari sudut pandang geofisik menempatkan Indonesia sebagai salah satu daerah yang paling aktif di dunia. Tidak kurang dari 460 gempa dengan magnitudo M > 4.0 terjadi setiap tahunnya (Ibrahim, dkk., 1989). Banyak di antara gempa-gempa besar menimbulkan kerusakan yang sangat besar serta jumlah kematian yang sangat tinggi. (Latief, dkk, 2000). Banyak diantara gempa dangkal yang besar yang terjadi di bawah laut

membangkitkan tsunami besar. Tsunami ini juga menimbulkan kerugian serta kematian jiwa yang cukup tinggi. Selain tsunami dibangkitkan oleh gempa, juga tsunami dapat ditimbulkan oleh erupsi gunung api bawah laut, dan tanah lonsor. Salah satu contoh tsunami yang dibangkitkan oleh aktivitas volkanik adalah tsunami yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Api Krakatau 1883 di Selat Sunda yang menyebabkan korban jiwa manusia tidak kurang dari 36.000 orang. Bencana gempa tsunami Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dengan koraban jiwa tidak kurang dari 300.000 jiwa dimana 230.000 diantaranya adalah rakyat Indonesia serta Gempa Nias yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 dengan koraban tidak kurang dari 650 jiwa mempertegas bahwa NKRI adalah daerah rawan bencana gempa dan tsunami. Kompleksitas kondisi geologi dengan segala masalah yang akan ditimbulkannya kemudian diperburuk oleh kondisi tata ruang di Indonesia yang kurang sesuai dengan kondisi alami tersebut, hal ini dapat dilihat dari sebagian besar pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia berlokasi di wilayah pesisir, misalnya Jakarta, Medan, Banda Aceh, Surabaya, Makassar dan lain-lain. Selain itu menurut data statistik kependudukan, hampir 60% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga resiko korban jiwa karena ancaman Tsunami sangat besar.

Kota Cilegon sebagai salah satu kota yang mempunyai tingkat kepadatan dan aktivitas perekokonomian yang cukup tinggi merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai resiko bencana alam tsunami yang cukup tinggi. Posisi geografis Kota Cilegon yang berada di sepanjang pantai barat Pulau Jawa dengan karakter topografi yang cukup landai merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Kota Cilegon mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi. Selain itu historikal data menunjukkan bahwa pernah terjadi tsunami disekitar pantai barat pulau Jawa ini pada tahun 1883 yang disebabkan oleh letusan gunung krakatau. menunjukkan adanya aktivitas tektonik disekitar perairan Kota Cilegon, hal ini diperkuat dengan kajian Geologi yang menyebutkan bahwa Kota Cilegon berhadapan dengan sesar aktif di Busur Sunda. Sehubungan dengan resiko bencana Tsunami di Kota Cilegon, maka perlu disusun perencanaan pembangunan wilayah yang kajian resiko bencana Tsunami sebagai salah satu faktor utama perencanaan. Salah satunya adalah dengan menyusun zonasi kawasan pesisir yang berbasis pada kajian mitigasi bencana alam Tsunami. Dimana pada perencanaan spatial ini mengatur keruangan yang ramah bencana dengan tingkat kerentanan wilayah (vulnerability) yang rendah serta ketahanan wilayah (capability) yang cukup tinggi. Hal ini diaplikasikan dengan menyusun zona-zona budidaya dan konservasi yang disesuaikan dengan tingkat kerentanan dan ketahanan wilayah, dalam hal ini adalah Kota Cilegon.

1.2. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalah yang menjadi latar belakang penelitian yaitu lokasi Kota Cilegon sebagai lokasi studi yang secara geografis dan geologi berada disekitar ancaman bencana tsunami dan pemanfaatan lahan eksisting Kota Cilegon dengan aktivitas ekonomi yang tinggi disekitar kawasan pantai.

1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resiko bencana alam tsunami di Kota Cilegon berdasarkan pengolahan data spasial serta data statistik kewilayahan.

1.4. Sasaran Adapun sasaran yang dicapai untuk dapat memenuhi tujuan diatas adalah: Mengidentifikasi ancaman bencana Inventarisasi komponen kerentanan wilayah Melakukan pemetaan kerentanan wilayah Menyusun analisis resiko bencana alam tsunami Melakukan analisis ambang batas (threshold analysis) berdasarkan analisis resiko bencana tsunami

1.5. Manfaat dan Relevansi Penelitian Dengan mengetahui tingkat resiko bencana suatu wilayah, termasuk tingkat kerentanannya berdasarkan kriteria yang berkaitan dapat membantu dalam menyusun perencanaan wilayah agar dapat mengoptimalkan tujuan pembangunan fisik yang ditentukan. Pembangunan dan resiko bencana merupakan dua hal yang berlawanan akan tetapi satu sama lain berkaitan. Bencana merupakan faktor yang dapat menghambat atau bahkan menghancurkan hasil pembangunan yang telah dicapai, sebaliknya pembangunan yang tidak berdasarkan penilaian kondisi alamiah lingkungan akan menempatkan wilayah tersebut pada tingkar resiko bencana yang tinggi. Tingkat resiko bencana merupakan bagian dari penyusunan perencanaan tata ruang. Dengan mengetahui tingkat resiko bencana, proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah dapat diselaraskan dengan kondisi alami. Selain itu, pemahaman kerentanan serta tingkat resiko dijadikan sebagai dasar dalam melakukan deliniasi zona ambang batas untuk menentukan zona limitasi, kendala serta zona yang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi resiko bencana wilayah.

1.6. Batasan Masalah 1.6.1. Lokasi Lokasi studi adalah di Kecamatan Ciwandan dan Citangkil, Kota Cilegon. Secara geografis kedua kecamatan ini memiliki wilayah pantai yang berhadapan langsung dengan

Selat sunda. Selain itu, hal lain yang memberikan penilaian lebih dalam penentuan lokasi kajian adalah nilai ekonomis dari kedua kecamatan ini, dimana hampir disepanjang wilayah pesisir kedua kecamatan ini merupakan lokasi industri yang termasuk kedalam kawasan industri zona 1 yang memegang peranan penting bagi perekonomian wilayah Kota Cilegon khususnya. 1.6.2. Ruang Lingkup Kajian Ruang lingkup kajian yang dilakukan dalam melakukan studi ini adalah sebagai berikut: a. Kajian literatur mengenai kebencanaan disekitar lokasi pekerjaan b. Penyusunan kriteria kerentanan wilayah c. Penentuan metoda pembobotan kriteria d. Analisis spasial dari komponen faktor-faktor kerentanan e. Penilaian Resiko bencana wilayah f. Penilaian umum kerugian yang ditimbulkan bencana g. Kajian kebijakan melalui analisis ambang batas.

BAB 2 KAJIAN LITERATUR

2.1. Tsunami Tsunami adalah gelombang panjang yang diakibatkan karena adanya perubahan dasar laut atau karena adanya perubahan badan air secara tiba-tiba dan impulsif yang disebabkan karena adanya gempa bumi, erupsi letusan gunung berapi, longsor di dasar laut, runtuhan gunung es dan jatuhan benda angkasa. Tsunami yang merupakan gelombang panjang pada istilah oseanografi atau kelautan, akan menjalar memasuki paparan benua dengan kecepatan yang semakin menurun tetapi dengan amplitudo gelombang yang semain tinggi. Dimana secara fisis umumnya Tsunami terdiri dari deretan gelombang yang mendekati pantai dengan perioda antara 5 s/d 9 menit. Seperti telah dijelaskan sebelumnya mengenai definisi Tsunami, diketahui bahwa penyebab terjadinya Tsunami adalah diakibatkan oleh faktor alam seperti gempa bumi, aktivitas vulkanik, longsor dan terjadinya jatuhan dahsyat. Untuk kasus kejadian Tsunami di Indonesia, hampir 90,5% kejadian Tsunami di Indonesia disebabkan oleh gempa bumi akibat aktivitas tektonik dasar laut; 8,6% akibat erupsi vulkanik; dan 1% disebabkan oleh longsor bawah laut. (Latief, 2000). Korban dan kerugian yang disebabkan oleh bencana Tsunami selain yang diakibatkan karena limpasan air yang naik ke daratan, hal lain yang menjadi ancaman adalah bencana ikutan (collateral hazzard) akibat Tsunami misalnya adalah (Latief, 2000): Kebakaran Angkutan sedimen Gelombang, kecepatan arus yang tinggi, pergerakan dan impact benda terapung

Hal ini dapat dilihat pada kejadian Tsunami di Aceh (2004) dimana kerusakan dan kerugian selain disebabkan oleh limpasan air dengan volume yang besar naik ke daratan, penyebab lainnya adalah karena benturan benda-benda terapung yang merusak bangunan-

bangunan yang dilewatinya, juga naiknya sedimen yang terangkut oleh massa air merusak lingkungan sekitar pantai sejauh limpasan air akibat Tsunami. Skala Intensitas Tsunami menurut Gerassimos Papadopoulos dan Fumihiko Imamura (2001), disusun berdasarkan: a. Efek tsunami terhadap manusia b. Efek tsunami terhadap obyek di pantai, misalkan perahu atau kapal c. Kerusakan pada bangunan Secara umum, skala ini disusun berdasarkan tinggi tsunami itu sendiri, berikut skala intensitasnya sebagai berikut: 1. 2. Not felt Scarcely felt a. b. c. 3. tsunami dirasakan oleh sedikit orang di perahu kecil dan tidak teramati di pantai tidak terasa pengaruhnya tidak merusak

Weak a. tsunami dirasakan oleh sedikit orang di perahu kecil dan teramati oleh beberapa orang di pantai b. c. tidak terasa pengaruhnya tidak menimbulkan kerusakan

4.

Largely observed a. tsunami dirasakan oleh semua perahu kecil dan terasa oleh beberapa orang di kapal besar b. c. beberapa kapal kecil terbawa ke arah pantai tidak terjadi kerusakan

5.

Strong (tinggi tsunami 1 meter) a. tsunami terasa oleh semua kapal besar dan terlihat di pantai. Beberapa orang menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi b. banyak perahu kecil yang bertubrukan dan kandas di pantai, terlihat jejak lapisan pasir di tanah dan terlihat genangan kecil c. terlihat banjir di fasilitas terbuka seperti kebun/ taman di struktur dekat pantai

6.

Slighly damaging (2 m)

a. b. c. 7.

banyak orang ketakutan dan lari ke tempat yang lebih tinggi banyak perahu kecil yang kandas di pantai dan bertabrakan diantaranya kerusakan dan banjir di beberapa struktur kayu

Damaging (3 m) a. b. banyak orang ketakutan dan lari ke tempat yang lebih tinggi banyak perahu kecil rusak. Beberapa kapal besar hanyut, obyek dengan berbagai ukuran hanyut. Lapisan pasir dan dan akumlasi kerikil tebawa ke darat. Beberapa karamba budidaya/aquakultur hanyut terbawa ombak. c. Banyak bangunan kayu rusak, beberapa diantaranya hancur atau tersapu. Kerusakan pada tingkat 1 dan banjir pada sebagian gedung.

8.

Heavily damaging (4 m) a. Semua orang menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi, beberapa di antaranya hanyut terbawa gelombang b. Sebagian besar kapal kecil rusak dan yang lainnya hanyut tersapu gelombang. Beberapa kapal besar terdampar di darat dan rusak. Benda benda berukuran besar terbawa sampai ke darat. Erosi terjadi sepanjang pantai. Terjadi genangan dalam skala luas. Kerusakan pada hutan pantai, karamba apung untuk akuakultur hanyut dan sebagian rusak c. Sebagian besar bangunan kayu tersapu atau rusak. Kerusakan pada beberapa gedung tingkat dua. Sebagian beton bertulang rusak pada tingkat 1 dan terlihat adanya genangan.

9.

Destructive (8 m) a. b. Banyak orang tersapu gelombang Sebagian besar perahu kecil hancur atau tersapu gelombang. Sebagian besar kapal besar kandas dan beberapa diantaranya hancur. Terjadi erosi di pantai dalam skala yang lebih luas. Terlihat penurunan tanah secara lokal. Kehancuran pada sebagian hutan pantai. Sebagian besar karamba akuakultur tersapu, sebagian besar rusak. c. Kerusakan tingkat 3 pada gedung, beberapa bangunan beton bertulang rusak pada level 2.

10. Very destructive (8 m) a. Terjadi kepanikan pada massa sebagian besar orang tersapu gelombang

b.

Sebagian besar kapal besar terbawa ke pantai, sebagian besar hancur dan menghantam gedung. Bongkahan kecil dari dasar laut terbawa gelombang ke darat. Mobil hanyut oleh gelombang. Terjadi tumpahan minyak, kebakaran mulai terjadi. Penurunan muka tanah terjadi dalam skala yang lebih luas.

c.

Kerusakan level 4 pada banyak gedung, sebagian kecil beton bertulang mengalami kerusakan pada level 3. Breakwater mengalami kerusakan.

11. Devastating (16 m) a. Kerusakan pada lifelines. Kebakaran meluas. Arus balik (backwash) membawa mobil dan obyek lain ke laut. Bongkahan besar dari dasar laut terbawa ke darat. b. Kerusakan level 5 pada gedung. Sebagian kecil beton bertulang mengalami kerusakan level 4 dan sebagian besar mengalami kerusakan 3. 12. Completely devastating (32 m) Semua gedung praktis hancur dan sebagian besar gedung beton bertulang mengalami kerusakan paling tidak level 3.

2.2. Indonesia sebagai Kawasan Ancaman Tsunami Gempa bumi di Indonesia merupakan penyebab utama timbulnya tsunami dimana jumlah tsunami yang dibangkitkan oleh gempa bumi mencapai 90.5% (95 kejadian) dari 105 kejadian tsunami yang pernah terjadi di Indonesia, kemudian oleh erupsi volkanik 8.6% (9 kejadian) dan oleh tanah longsor 1% (Latief, dkk., 2000). Salah satu contoh tsunami yang dibangkitkan oleh aktivitas volkanik adalah tsunami yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Api Krakatau 1883 di Selat Sunda yang menyebabkan korban jiwa manusia tidak kurang dari 36.000 orang. Bencana gempa tsunami Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dengan koraban jiwa tidak kurang dari 300.000 jiwa dimana 230.000 diantaranya adalah rakyat Indonesia serta Gempa Nias yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 dengan koraban tidak kurang dari 650 jiwa mempertegas bahwa NKRI adalah daerah rawan bencana gempa dan tsunami.

Gambar 1 Tektonik Lempeng Asia Tenggara -termasuk Indonesia dan sekitarnya- (Hall,1997)

Indonesia dan sekitarnya merupakan daerah yang memiliki konvergensi lempeng yang sangat rumit, dimana terdiri dari subduksi, collision, back-arc thrusting, back-arc and opening faults. Hasil dari kerumitan ini, bila ditinjau dari sudut pandang geofisik

menempatkan Indonesia sebagai salah satu daerah yang paling aktif di dunia. Tidak kurang dari 460 gempa dengan magnitudo M > 4.0 terjadi setiap tahunnya (Ibrahim, dkk., 1989) hal ini dapat dilihat pada gambar 2 sebelah kiri.

Gambar 2 Plot gempa yang terjadi di Indonesia dari 1960 -2000 (Triyoso, 2002), dan Pembagian Zona seismotektonik di Indonesia (Latief dkk, 2002)

Berdasarkan hubungan antara tsunami, aktivitas kegempaan dan karakteristik seismotektonik Indonesia seperti diperlihatkan pada gambar 2 disebelah kanan, wilayah Indonesia dapat dibagi ke dalam 6 zona seismotektonik (Latief, 2000) yaitu : Zona-A : Busur Sunda bagian Barat, terletak di sebelah Barat Laut Selat Sunda, antara lain Pulau Sumatera dan Pulau Andalas.

Zona-B : Busur Sunda bagian Timur, ternbentang antara Selat Sunda ke Timur sampai dengan Sumba, yang terdiri dari Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan Pulau Sumba. Zona-C : Busur Banda, terletak di Lau Banda, antara lain Flores, Timor, Kepulauan Banda, Kepulauan Tanimbar, Seram dan Pulau Buru. Zona-D : Selat Makassar. Zona-E : Laut maluku, termasuk didalamnya Sangihe dan Halmahera; Zona-F : Sebelah Utara Irian Jaya. Dari data-data tersebut terlihat dengan jelas bahwa sebagian kawasan di Indonesia

mempunyai tingkat ancaman bencana alam Tsunami yang cukup tinggi, dan hampir sebagian besar kawasan pesisir Indonesia dihadapkan pada ancaman tersebut, kecuali pada beberapa wilayah pesisir yang relatif terhindar dari ancaman bahaya Tsunami, yaitu sebagian pesisir Kalimantan Barat, pesisir utara Pulau Jawa dan Sebagian pantai Selatan Jawa Barat yang disebut sebagai Tsunami shadow area (Pusat Riset Tsunami KPPK ITB, 2002).

2.3. Potensi Bahaya Tsunami di Selat Sunda 2.3.1. Tatanan Tektonik Tatanan tektonik dan patahan dari gempa antar-lempeng (interplate) utama yang terjadi di sepanjang Sunda megathrust yang diberikan oleh Subarya, dkk (2006) seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Bidang yang berwarna kuning memperlihatkan estimasi daerah patahan dari gempa-gempa subduksi yang terjadi antara 1797-2004. Bidang yang berwarna jingga meperlihatkan daerah patahan gempa Sumatra-Andaman 2004 dengan slip sekitar 5 m sampai dengan 10 m lebih. Gambaran tektonik disederhanakan dari gambar yang diberikan oleh Natawidjaja, dkk. (2002). Kecepatan relatif lempeng Australia (panah hitam) dan India (panah merah) terhadap Sunda dihitung berdasarkan model kinematik regional yang diberikan oleh Subarya dkk (2006) Sedangkan garis putus-putus adalah ketembalan sedimen dengan interval 2000 meter. Gambar inset memperlihatkan umur lantai samudra yang meningkat kea rah Utara dari 50 jttahun dimana daerah episenter berada pada tahun 80-120 juta-tahun pada posisi Kepulauan Andaman.

Gambar 3 Tatanan dan patahan-patahan dari gempa-gempa utama antar-lempeng yang terjadi di sepanjang Sunda megathrust (Subarya, dkk, 2006)

2.3.2. Sejarah Tsunami yang Berpotensi Menjangkau Kawasan Selat Sunda Sejarah gempa utama yang pernah terjadi di pantai barat Sumatra dimana sebagian dari mereka ada yang menimbulkan tsunami seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 List gempa-gempa subduksi utama di sepanjang sunda megathrust

Tahun 1797 1833 1881 1881 1861 1907 1935 1941 1984 2000 2002 2004 2005 2007

Lokasi/Nama Siberut/Padang Pagai/Bengkulu Andaman Andaman Padang Simeulue Pini Island Andaman Pulau Pini Enggano/Bengkulu Simeulue Aceh Nias/Sumut Bengkulu

Magnitude 8.2 9.0 7.9 >7.5 8.5 7.6 7.7 7.7 7.2 7.9 7.2 9.2 8.7 7.9

Keterangan ada tsunami ada tsunami Ada tsunami Ada tsunami ada tsunami Ada tsunami Ada tsunami ? Tdk ada tsunami Tdk ada tsunami Tdk ada tsunami Ada Tsunami (besar) Ada tsunami (kecil) Ada tsunami

Sehubungan masih kurangnya data-data gempa di sekitar selat Sunda maka dalam analisis ini digunakan perioda ulang gempa berdasarkan data dari kejadian gempa-gempa subduksi yang terjadi di daerah subduksi sebelah barat Sumatera. Perhitungan perioda ulang momen magnitudo gempa (Mw) di sekitar Selat Sunda mengacu pada perhitungan perioda ulang di daerah dekat Banda Aceh seperti yang diberikan oleh Wayan dan Hendarto (2006) pada grafik berikut:

Gambar 4 Perioda ulang momen magnitude gempa subduksi di pantai Barat Sumatera

Dari grafik diatas memperlihatkan perioda ulang untuk gempa dengan momen magnitude yang akan ditinjau seperti Mw=7.0 adalah 25 tahunan, Mw=7.5 adalah 55 tahunan, Mw=8.0 adalah 120 tahunan, Mw=8.5 adalah 250 tahunan. Magnitudo-magnitudo yang ditinjau ini kemudian akan dihitung potensi tinggi tsunami yang dapat yang akan terjadi di kota Cilegon khususnya di daerah Ciwandan., dengan menggunakan model pembangkitan dan penjalaran serta rendaman tsunami.

2.4. Mitigasi Bencana Berdasarkan definisi terminologi ISDR (2004), yang dimaksud dengan mitigasi adalah tindakan atau langkah (struktural dan non-struktural) yang diambil dalam upaya untuk membatasi atau mengurangi dampak yang merugikan dari suatu bencana alam, degradasi lingkungan dan bencana teknologi. Berdasarkan definisi diatas maka hal yang dapat dilakukan

dalam upaya mengurangi dampak dari bencana alam ini, khususnya tsunami menurut Kawata Yoshiaki (Research Center for Disaster Reduction system, Kyoto University, 2001) yaitu: a. Memahami resiko bencana (memahami mekanisme dari tsunami) b. Memahami kerentanan wilayah (mengenali kelemahan dari sosial atau fisis wilayah). c. Memahami countermeasures (early warning system, Peta rawan bencana dan lain-lain). Tiga hal yang disebutkan diatas merupakan pendekatan umum yang dapat dilakukan dalam upaya perencanaan untuk mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh bencana. Selain tiga hal seperti telah disebutkan diatas, hal lain yang perlu diperhatikan adalah memahami ketahanan serta kerentanan wilayah. Ketahanan wilayah ini dapat berwujud dalam bentuk kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana atau juga dapat berbentuk perencanaan tata ruang yang ramah bencana alam, khususnya Tsunami. Selain pendekatan yang diperkenalkan oleh Yoshiaki Kawata (2001), pendekatan lainnya yang dapat dipergunakan untuk mengurangi dampak dari Tsunami diperkenalkan oleh Eddie N. Berdarnd (NOAA / Pasific Marine Environmental Laboratory, USA, 2001) yang dikenal sebagai TROIKA (Tsunami Reduction of Impact throught Three Key Action) yaitu: a. Hazzard assessment, Memetakan tsunami innundation dengan sumber lokal atau sumber jauh menggunakan model matematis/numerik. b. Mitigation, Mengelola kesiapan masyarakat dengan melakukan perencanaan tanggap darurat, misalnya dengan menempatkan tanda-tanda peringata tsunami serta rute penyelamatan diri dan lain-lain. c. Warning guidence, Mengembangkan sistem peringatan dini misalnya dengan

menempatkan buoy, seismograf dan lain sebagai sensor identifikasi terjadinya tsunami, serta pengembangan SIG untuk media informasi dari peringatan dini. Hal selanjutnya yang harus diperhatikan dalam mitigasi bencana adalah mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan mitigasi, misalnya adalah bencana, kerentanan, ketahanan, resiko bencana dan lain sebagainya yang akan diuraikan pada bagian berikut ini. Secara umum bencana dapat didefinisikan sebagai kejadian luar biasa yang terjadi secara perlahan ataupun secara tiba-tiba, dimana masyarakat yang mengalaminya harus merespon dengan tindakan yang luar biasa. Menurut definisi ISDR (2004) yang dimaksud dengan bencana adalah a serious disruption of the functioning of a community or a society

causing widespread human, material, economic or environmental losses which exceed the ability of the affected community or society to cope using its own resources yang dapat diterjemahkan sebagai adanya gangguan yang luar biasa terhadap suatu tatanan masyarakat yang menyebabkan kerugian kepada masyarakat luas, baik berupa materi, maupun kerusakan lingkungan dan melebihi kemampuan dari masyarakat tersebut untuk mengatasi bencana yang menimpanya dengan sumberdaya yang dimiliki. Konsep pengertian bencana dapat diformulasikan dalam hubungan suatu persamaan Resiko Bencana (R) sebagai fungsi dari ancaman atau bahaya (A), kerentanan (K), dan kemampuan/ketahanan (m), dimana keterkaitan masing-masing faktor tersebut diperlihatkan pada persamaan berikut ini:
R=

A K m

Dari persamaan diatas dapat ditarik kesimpulan umum bahwa Resiko bencana merupakan hasil dari tindakan langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan ancaman dan kerentanan yang bergantung pada kemampuan/ketahanan dari suatu tantangan lingkungan juga kemasyarakatannya dalam menghadapi dan menanggulani ancaman dan kerentanan tersebut. 2.4.1. Resiko (risk) Resiko dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian baik itu berupa materi, korban nyawa, kerusakan lingkungan, atau secara umum dapat diartikan sebagai kemungkinan yang dapat merusak tatanan sosial, masyarakat dan lingkungan yang disebabkan oleh interaksi antara ancaman dan kerentanan. Indonesia sebagai suatu kawasan dimana tingkat ancaman bahaya dan kerentanan yang cukup tinggi serta kemampuan untuk bertahannya relatif cukup rendah maka Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu kawasan dengan tingkat resiko bencana yang cukup tinggi. Tingkat resiko suatu wilayah bergantung hal-hal berikut ini: alam/geografi/geologi (kemungkinan terjadinya fenomena) kerentanan masyarakat yang terpapar terhadap fenomena (kondisi dan banyaknya) kerentanan fisik daerah (kondisi dan banyaknya bangunan)

konteks strategis daerah kesiapan masyarakat setempat untuk tanggap darurat dan membangun kembali

2.4.2. Ancaman / Bahaya (hazard) Bahaya atau ancaman dapat didefinisikan sebagai suatu kejadian atau kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian materi atau korban jiwa. Berdasarkan waktu kejadiannya, faktor bahaya dapat dibedakan menjadi (MPBI, 2004): Tiba-tiba/tidak terduga (gempa bumi, tsunami, dll) Bertahap, terduga dan teramati (wabah penyakit, aktivitas gunung merapi, dll) Periodik, terduga dan teramati (banjir, pasang surut, kekeringan, dll)

Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman adalah suatu kondisi, gejala atau aktivitas manusia yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, kerugian materil, kerusakan tatanan sosial dan lingkungan. Contoh kejadian atau aktivitas yang dianggap sebagai ancaman misalnya: Penggundulan hutan, gempa bumi, tsunami, wabah penyakit, dll. 2.4.3. Faktor Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan dapat artikan sebagai suatu kondisi yang menentukan bilamana bahaya alam (Natural hazard) yang terjadi dapat menimbulkan bencana alam (Natural Disaster). Kerentanan menunjukkan nilai dari potensi kerugian pada suatu wilayah akibat bencana alam, baik itu nilai lingkungan, materi, korban jiwa, tatanan sosial dan lainnya. Jenis-jenis kerentanan dapat dilihat berikut ini (PRNMB, DIKTI, 2004): Kerentanan sosial Kerentanan kelembagaan Kerentanan sistem Kerentanan Ekonomi Kerentanan Lingkungan Kerentanan akibat praktik-praktik yang tidak bersifat sustainable development.

Secara sederhana dapat disimpulakan bahwa ancaman bahaya alam akan menjadi bencana alam apabila terjadi pada suatu wilayah yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi.

Resiko pada dasarnya berkaitan dengan kondisi kerentanan dari faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang perlu dikaji dan diolah (ISDR, 2004). Sedangkan yang dimaksud dengan manajemen resiko dimana tujuan utamanya adalah untuk meminimalisir kerentanan terhadap ancaman yang ada melalui peningkatan individu (sdm), insitusional serta kapasitas sosial yang rentan. Akhir-akhir ini tumbuh ketertarikan yang cukup signifikan mengenai keterkaitan antara bencana dengan pembangunan. Pada awalnya beranjak pada keingintahuan pada dampak dari bencana terhadap pembangunan, lalu berkembang pada kebalikannya yaitu dampak dari pembangunannya terhadap bencana. Hal ini menunjukkan perhatian sosio-ekonomi dan lingkungan terhadap pemikiran kerentanan. Kerentanan merupakan gambaran dari kondisi fisis, sosial, ekonomi serta lingkungan, hal ini dibentuk secara kontinyu dari perilaku, kebiasaan, budaya, sosial-ekonomi dan pengaruh politik terhadap individu, rumah tangga, komunitas dan lingkungan. Pada Gambar 5 Interaksi Antara Faktor Kerentanan (ISDR, 2004), diperlihatkan 4 komponen yang merupakan faktor kerentanan yang berbeda, di tunjukkan oleh area irisan dari 4 lingkaran tersebut memperlihatkan bahwa keempat aspek tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya.

Fisik

Lingkungan

Sosial

Ekonomi

Gambar 5 Interaksi Antara Faktor Kerentanan (ISDR, 2004)

Berdasarkan definisi dari ISDR (2004), kerentanan dikelompokan menjadi 4 faktor, yaitu:

a. Fisik Faktor kerentanan fisikal pada umumnya merujuk pada perhatian serta kelemahan atau kekurangan pada lokasi serta lingkungan terbangun. Hal ini dapat diartikan sebagai wilayah terbuka (exposure) atau tempat yang sangat rentan terkena bahaya (placed in harms way). Kerentanan fisik dapat ditunjukkan oleh misalnya tingkat kepadatan penduduk, permukiman terpencil, lokasi, desain serta material yang dipergunakan untuk infrastruktur dan perumahan, kondisi geomorfologi area terbangun serta elemen fisis lainnya. b. Sosial Elemen yang berkaitan dengan faktor kerentanan sosial adalah yang berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas, dan masyarakat pada umumnya. Hal tersebut termasuk aspek yang berkaitan dengan tingkat melek huruf dan pendidikan, jaminan keamanan dan ketenangan, jaminan hak asasi manusia, sistem pemerintahan yang baik, persamaan sosial, nilai sosial positif, ideologi, dll. Selain itu isu gender, kelompok usia, akses ke fasilitas kesehatan juga merupakan elemen kerentanan sosial. Fasilitas fisik dalam komunits, seperti keterbatasan infrastruktur dasar, misalnya sediaan air bersih dan sanitasi, fasilitas kesehatan, hal tersebut juga dapat meningkatkan kerentanan sosial. Kearifan lokal serta kebiasaan atau tradisi dapat menjadi bagian untuk meningkatkan kapabilitas sosial. c. Ekonomi Tingkat kerentanan ekonomi sangatlah bergantung pada status ekonomi dari masyarakat, komunitas serta tingkat diatasnya. Selain itu jumlah kaum miskin, komposisi jumlah perempuan yang tidak berimbang dan para manula juga akan meningkatkan kerentanan ekonomi, karena kelompok ini dianggap paling rentan apabila terjadi bencana, karena pada umumnya kelompok ini memiliki keterbatasan kemampuan dalam upaya recovery akibat bencana. Kerentanan ekonomi juga bergantung pada kondisi cadangan ekonomi dari masyarakat, komunitas atau level diatasnya, akses pada pendanaan, pinjaman dan asuransi. Ekonomi yang lemah pada umumnya akan meningkatkan tingkat kerentanan ekonomi. Selain itu keterbatasan akses terhadap Infrasturktur pendukung perekonomian seperti akses jalan, perbankan, pasar juga berpengaruh pada tingkat kerentanan ekonomi.

d. Lingkungan (Ekologi) Aspek kunci dari kerentanan lingkungan termasuk didalamnya peningkatan penurunan sumberdaya alam serta status degradasi sumberdaya. Dengan kata lain kekurangan dari resilience dalam sistim ekologi serta terbuka terhadap zat beracun serta polutan berbahaya, merupakan elemen penting dalam membentuk kerentanan lingkungan. Dengan meningkatnya kerentanan lingkungan seperti berkurangnya biodiversity, penurunan mutu tanah atau kelangkaan air bersih akan dengan mudahnya mengancam jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat yang bergantung pada produksi lahan, hutan serta lingkungan laut untuk mata pencahariannya. Lingkungan yang terpolusi juga meningkatkan ancaman resiko kesehatan. Sumberdaya alam yang semakin langka, menyebabkan terbatasnya pilihan bagi masyarakat, hal ini menyebabkan lemahnya resilience masyarakat terhadap kejadian bencana yang terjadi. 2.4.4. Faktor Ketahanan/kemampuan (Capacity) Faktor ketahanan merupakan faktor positif yang apabila dioptimalkan, maka faktorfaktor ini akan berperan dalam mengurangi efek bahaya yang dapat menimbulkan bencana. Ketahanan/kemampuan dapat didefinisikan sebagai kemampuan dan upaya dari masyarakat dalam mengelola dan menguasai sumberdaya untuk mengurangi, mencegah, meredam dan merespon serta memulihkan kembali sehubungan dengan bencana alam. Tipe-tipe kerentanan diperlihatkan berikut ini (Laporan PRNMB, DIKTI, 2004): Kelengkapan dan kesiapan fasilitas kesehatan dan tenaga medis Kelengkapan dan kesiapan institusi Penanganan bencana Ketersediaan cadangan logistik yang cukup Kehidupan sosial ekonomi yang kondusif Lingkungan fisik yang tidak terlalu padat

Berdasarkan penyebabnya, bencana sendiri dibedakan atas dua jenis, yaitu: a. Bencana alam, yaitu bencana yang disebabkan oleh fenomena atau aktivitas alam, seperti Gunung meletus, Tsunami, gempa bumi, dll.

b. Bencana ulah manusia, yaitu bencana yang disebabkan oleh ulah atau aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi berbagai bidang seperti kesehatan (wabah, epidemi, dll), Sosial (Kerusuhan, terorisme, konflik sipil, dll), ekonomi (inflasi, pengangguran, dll), politik (kudeta, kegagalan politik, dll), lingkungan (polusi, erosi, dll), kesalahan manusia (kebakaran, dll) serta bidang/aspek kehidupan manusia lainnya. Dari berbagai penjelasan diatas, untuk kasus di Indonesia, bencana alam terbesar yang pernah terjadi bebarapa waktu lalu adalah bencana Tsunami yang berpusat di sekitar Provinsi Aceh dan Nias, dimana pada kejadian ini korban jiwa dan kerugian materil serta kerusakan lingkungan menunjukkan tingkatan yang relatif tinggi.

2.5. Karakteristik Wilayah Pesisir Wilayah pesisir memiliki karakteristik yang unik, yang berbeda dengan wilayah daratan (terestrial/upland). Terdapat tiga karakteristik unik dari ekosistem pesisir dan lautan yang membuat pengelolaannya lebih menantang daripada pengelolaan untuk ekosistem darat. Ketiga karakteristik itu adalah sebagai berikut (Diposapto, S., 2004): a. Sistem lingkungan alam yang kompleks. Yang dimaksud dengan kompleks disini adalah sifat dari ekosistem disekitar pesisir, dimana sifat ini disebabkan oleh kondisi lingkungan wilayah pesisir yang unik, yakni terletak diantara (peralihan) ekosistem darat dan laut. Adapun yang dimaksud dengan ekosistem pesisir adalah mangrove, terumbu karang, lamun dan estuaria. Hal ini harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan pengelolaan wilayah pesisir dikarenakan untuk masin-masing ekosistem tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa setiap perubahan (kerusakan) yang menimpa suatu ekosistem pesisir (mis: mangrove), maka pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap ekosistem pesisir lainnya. b. Sistem pemanfaatan serba-neka. Dalam suatu wilayah pesisir biasanya terdapat beberapa tipe unit lahan atau unit perairan yang memiliki karakteristik biogeofisik-kimiawi yang berbeda. Sebagai konsekuensi logis, suatu wilayah pesisir pada umumnya dapat dimanfaatkan untuk lebih dari dua jenis kegiatan pembangunan. Hal ini sering menyebabkan terjadinya konflik dalam pemanfaatan

ruang maupun sumberdaya alam lebih sering terjadi di wilayah pesisir dari apada diwilayah daratan maupun lautan lepas. c. Kepemilikan Isu kepemilikan lahan (land tenure) dan alokasi sumberdaya (resource allocation) merupakan sumber utama konflik yang sering terjadi di wilayah pesisir dan laut. Perairan laut dan sumberdaya yang ada didalamnya merupakan milik bersama (common property resources), yang tidak dapat dimiliki oleh perorangan (Private). Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam pesisir biasanya mengikuti azas terbuka, dimana dalam hal ini siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya alam pesisir semaksimal mungkin.

2.6. Perencanaan Pembangunan dalam Kawasan Rawan Bencana Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya diatas, bahwa resiko bencana selain terkait dengan fenomena alam yang bersifat given juga sangat berhubungan dengan proses pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Disatu sisi keberadaan ancaman bencana alam menempatkan pembangunan menjadi beresiko, tetapi disisi lain, pembangunan yang dilakukan oleh manusia dapat menimbulkan atau membangkitkan resiko bencana, tetapi sebaliknya ada juga pembangunan yang dilakukan oleh manusia yang dilakukan sesuai dengan karakter suatu kawasan dapat mengurangi resiko bencana. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perencanaan pembangunan sebaiknya dilakukan untuk menghindari dan mengurangi ancaman bencana yang ada. Banyak kasus khususnya di Indonesia, dimana pembangunan wilayah tanpa melalui perencanaan yang baik dan menyeluruh dapat menimbulkan / memacu tingginya tingkat resiko bencana, khususnya untuk ancaman bencana Tsunami dikawasan pesisir. Pembangunan di kawasan pesisir yang tidak terencana dengan baik dan khas sebagai satu kawasan yang unik dapat meningkatkan tingkat kerentanan kawasan tersebut, dimana dengan semakin berkembangnya kawasan tersebut otomatis dibarengi oleh proses urbanisasi dan konversi lahan yang tidak terkendali secara keseluruhan, sangat mengundang resiko bencana untuk kawasan tersebut. Misalnya konversi lahan mangrove yang seharusnya menjadi kawasan konservasi karena tekanan kebutuan dikonversi menjadi lahan budidaya baik itu untuk permukiman ataupun pertambakan. Secara langsung kondisi tersebut akan mempengaruhi tingkat kerentanan dan mengurangi tingkat ketahanan kawasan, dimana secara alami hutan

mangrove yang tumbuh di tepi pantai ini meningkatkan ketahanan wilayah karena dapat mengurangi resiko khususnya bencana Tsunami. Hal ini dapat dilihat pada kasus bencana Tsunami di Aceh yang sebagian hutan mangrovenya terkonversi menjadi lahan budidaya, sehingga pada area tersebut mengalami kehancuran yang lebih hebat dibandingkan pada beberapa wilayah yang memiliki pertahanan green belt mangrove yang mengalami kerusakan relatif ringan. Secara umum hubungan pembangunan dengan dengan resiko bencana (ISDR, 2004) dapat dilihat pada Tabel 2 matrik dibawah. Dari tabel tersebut dapat dilihat hubungan dan keterkaitan antara resiko bencana dengan pembangunan yang dilakukan baik itu pembangunan ekonomi maupun pembangunan sosial.
Tabel 2 Matrik Hubungan Bencana dengan Pembangunan ( Sumber : Living With Risk ISDR, 2003 )

Pembangunan Ekonomi Bencana membatasi Pembangunan Menghancurkan aset-aset yang ada. Kehilangan kapasitas produksi, akses pasar atau input material. Kerusakan infrastruktur transportasi, komunikasi dan energi. Kehilangan matapencahariaan, tabungan dan modal-modal fisik Pelaksanaan pembangunan tidak berkelanjutan yang menyebabkan kerusakan lingkungan Pembangunan teknologi dapat mengurangi resiko bencana, dan dapat menekan tingkat kerentanan

Pembangunan Sosial Penurunan tingkat kesehatan atau infrastruktur pendidikan serta SDMnya. Kematian, migrasi dari pelaku sosial utama yang menyebabkan hilannya sosial kapital.

Pembangunan menyebabkan resiko bencana Pembangunan mengurangi resiko bencana

Pembangunan menimbulkan norma kultur yang menumbuhkan isolasi sosial atau eksklusi politik Membangun komunitas yang solid serta menciptakan kesempatan dalam pengambilan keputusan

Berdasarkan guidline perencanaan pembangunan yang dikeluarkan oleh UNDP (2004), dijelaskan mengenai proses perencanaan pembangunan berdasarkan pertimbangan bencana dimana penanganannya dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: a. Prospective disaster risk management, hal ini harus terintegrasi dalam perencanaan pembangunan berkesinambungan. Program pembangunan dan projek kerja harus diarahkan untuk mengurangi atau menekan tingkat kerentanan dan bencana. d. Compensatory disaster risk management, (misalnya persipan atau respon dari bencana), terpisah dari perencanaan pembangunan umum dan lebih terfokus pada penekanan tingkat kerentanan dan penurunan tingkat bencana yang telah direncanakan masa lalu.

Selanjutnya pada guidline yang dikeluarkan oleh UNDP (2004), disebutkan juga fungsi dan elemen peraturan yang sebaiknya ada dalam penanganan bencana, yaitu: a. Pelaksanaan Ekonomi termasuk didalamnya proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi aktivitas perekonomian suatu wilayah dan hubungannya dengan sektor ekonomi lainnya b. Pelaksanaan politik adalah proses pembuatan keputusan untuk memformulasikan sebuah kebijakan termasuk perencanaan dan kebijakan penekanan tingkat bencana c. Pelaksanaan Administratif adalah implementasi sistem kebijakan serta kebutuhan akan keberadaan organisasi fungsional baik ditingkat pusat ataupun lokal. Pada kaitannya penekanan tingkat bencana adalah perencanaan guna lahan monitoring resiko lingkungan dan kerentanan manusia serta standar keselamatan Hal tersebut mengindikasikan bahwa kesiapan sehubungan dengan perencanaan wilayah dalam menghadapi ancaman bencana alam harus menyeluruh mulai dari perencanaan spatial seperti rencana pemanfaatan lahan sampai dengan perencanaan mitigasi bencana apabila terjadi bencana alam dan setelah terjadi bencana alam yang mencakup semua elemen perencanaan (manusia, sumber daya alam dan kebijakan), sehingga hal ini akan meningkatkan daya tahan wilayah dalam menghadapi bencana tersebut.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir yang disusun dalam pengerjaan studi ini secara umum terdiri dari beberapa tahapan yaitu: 1. Identifikasi ancaman bencana alam (natural hazard) 2. Kajian Kerentanan Wilayah 3. Penyusunan Resiko Bencana 4. Identifikasi Kerugian akibat bencana serta deliniasi zona ambang batas (threshold) Untuk lebih jelasnya mengenai langkah-langkah pengerjaan diatas dapat dilihat pada diagram alir pada Gambar 6 berikut ini. Dari diagram alur kajian tersebut dapat terlihat urutan pengerjaan, dimana hal pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan kajian literatur mengenai kondisi ancaman bencana yang ada, dalam hal ini adalah ancaman bencana gempa bumi serta bencana ikutannya berupa gelombang tsunami disekitar lokasi studi. Selanjutnya adalah menentukan kriteria tingkat ancaman bencana untuk mendapatkan informasi tingkat ancaman bencana terhadap lokasi studi, yang kemudian dilakukan pemetaan ancaman bencana di lokasi studi berdasarkan kriteria tersebut. Hal lain yang dilakukan adalah identifikasi kerentanan wilayah, dimana dalam mengidentifikasi kerentanan dilakukan berdasarkan faktor kerentanan yang akan dijelaskan kemudian. Selanjutnya dari faktor kerentanan wilayah tersebut diidentifikasi komponen untuk masing-masing faktor serta elemen ancaman untuk faktor kerentanan tersebut. Sebelum dilakukan pemetaan kerentanan, komponen serta elemen ancaman dari masing-masing faktor tersebut disusun kriterianya untuk kemudian dihitung bobot untuk masing-masing kriteria tersebut. Setelah terpetakan masing-masing faktor kerentanan tersebut, kemudian dilakukan analisis spasial dengan menjumlahkan masing-masing suku faktor kerentanan tersebut untuk mendapatkan kerentanan total. Tahap selanjutnya adalah menyusun peta resiko dengan melakukan analisis spasial mengalikan suku ancaman bencana dengan suku kerentanan wilayah sehingga

menghasilkan deliniasi area tingkatan resiko. Untuk lebih jelas mengenai proses teknis penyusunan peta resiko bencana akan dijelaskan selanjutnya.
Identifikasi Ancaman Bencana (Hazard)

Analisis Kerentanan (Vulnerability)

Kajian Literatur

Pengolahan Data Spasial dan statistik

Data Sejarah Kebencanaan

Identifikasi Komponen Faktor Kerentanan serta elemen kebencanaan untuk masing-masing Faktor

Gempa Berpotensi Tsunami dan Modelling Penjalaran dan Rendaman Tsunami

Pengkriteriaan

Pengkriteriaan Tingkat Ancaman Bencana Berdasarkan klasifikasi tinggi rendaman tsunami

Penyusunan Bobot menggunakan metoda peringkat dan perbandingan kriteria (pairwise)

Penyusunan bobot kriteria menggunakan metoda peringkat (rank sum)

Kerentanan Total dengan menjumlahkan Kerentanan masingmasing faktor V = v1 + v2 + v3 + v4

Analisis Resiko Bencana

Overlay Tingkat Ancaman dengan Kerentanan HxV

Identifikasi Kerugian berdasarkan Resiko Bencana

Analisis dan Deliniasi Zona Ambang Batas (Threshold)

Gambar 6 Diagram Alir studi

3.2. Identifikasi Ancaman Bencana Metode yang dilakukan untuk melakukan identifikasi ancaman bencana (hazard) adalah dengan melakukan studi literatur mengenai sejarah kebencanaan yang terjadi disekitar lokasi

studi. Untuk memenuhi informasi yang dipergunakan sumber data yang dijadikan acuan berupa katalog bencana berupa software basis data kebencanaan ITDB yang dikembangkan oleh peneliti yang berasal dari Rusia, Gussiakov. Dari software tersebut diperoleh informasi semua jenis bencana yang pernah tercatat, khususnya yang terkait dengan bencana gempa bumi serta bencana ikutannya, yaitu gelombang tsunami. Informasi yang diperoleh dari sumber data ini berupa tahun kejadian, intensitas bencana, area yang terkena dampak, serta informasi terkait lainnya. Sumber data lainnya yang dipergunakan sebagai bahan acuan dalam mengidentifikasi ancaman bencana di sekitar lokasi studi adalah hasil penelitian dan pekerjaan dari Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut (PPKPL ITB) yang terpublikasikan dalam dokumen laporan pekerjaan Latihan Evakuasi Tsunami di Kota Cilegon, Banten, Kerja sama Kantor Kementrian Riset dan Teknologi dengan Pusat Mitigasi Bencana - Institut Teknologi Bandung, 2007, khususnya mengenai pemodelan penjalaran tsunami disekitar wilayah pantai Kota Cilegon. Untuk lebih jelas mengenai hasil dari kajian literatur untuk identifikasi hazard di sekitar lokasi kajian akan dibahas pada bagian selanjutnya. Sedangkan penjelasan rinci mengenai metodologi studi literatur untuk bagian ini dapat dilihat pada diagram alir di Gambar 7. Dari diagram alir tersebut dapat dilihat bahwa tahap pertama yang dilakukan adalah kajian sejarah kegempaan disekitar lokasi studi. Tahap ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa lokasi studi memiliki tingkat ancaman terhadap gempa dan tsunami. Dari hasil kajian kegempaan tersebut kemudian dilengkapi dengan melakukan studi literatur terhadap hasil dari pemodelan matematis penjalaran dan genangan tsunami yang telah dilakukan oleh PPKPL ITB, dimana hasil dari pemodelan ini kemudian menjadi bahan dalam melakukan identifikasi ancaman bencana tsunami dilokasi studi.

Kajian sejarah kebencanaan disekitar lokasi studi

Basis Data Kebencanaan ITDB

Data Kejadian Gempa bumi

Data Kejadian Tsunami

Posisi dan magnitude sumber gempa tsunamigenic Pemodelan Matematis Penjalaran dan Rendaman Tsunami (PPKPL, 2007) Area Rendaman, tinggi rendaman, dan waktu tiba

Kriteria pembobotan ancaman bahaya tsunami

Peta Ancaman Bencana (Hazard)

Gambar 7 Diagram Alir Identifikasi Ancaman Bencana alam disekitar Lokasi Studi Pada diagram alir di

3.3. Kerentanan Wilayah Metodologi dalam melakukan kajian kerentan wilayah adalah dengan melakukan kompilasi dari data sekunder yang ada, selanjutnya data dan informasi yang diperoleh dari data sekunder tersebut ditransformasi menjadi data keruangan. Adapun data yang dipergunakan terdiri dari 2 jenis data, yaitu berupa data keruangan (spatial) dan data yang bersifat kewilayahan, dalam hal ini terkait dengan unit analisis setingkat desa / kelurahan, dimana data ini berupa data statistik.

Untuk kepentingan kajian kerentanan, seperti telah disinggung sebelumnya bahwa semua data ditransformasi menjadi data spatial, hal ini dilakukan agar selanjutnya dapat dilakukan analisis spatial untuk data tersebut. Transformasi menjadi data spatial disini adalah diberlakukan khususnya untuk data statistik yang pada awalnya berupa data tabulasi untuk unit desa kemudian di-spatial-kan kedalam data keruangan administrasi desa / kelurahan. Selanjutnya setelah semua data menjadi data spatial, proses selanjutnya adalah mengelompokkan data menjadi 4 kelompok berdasarkan komponen kerentanan wilayah, yaitu kelompok data komponen kerentanan fisis, sosial demografi, ekonomi, dan lingkungan (ISDR, 2004), untuk lebih jelasnya mengenai pembagian komponen kerentanan ini akan dibahas pada bagian selanjutnya. Untuk mendapatkan nilai kerentanan pada masing-masing komponen kerentanan tadi, dilakukan analisis spatial dengan menggunakan bantuan perangkat lunak pemetaan, yaitu dengan melakukan tumpang susun dari beberapa layer data yang kemudian dilaukan operasi union atau penggabungan dua atau lebih layer data menjadi satu layer data berdasarkan operasional penggabungan yang telah ditentukan. Adapun persamaan yang dipergunakan untuk memperoleh nilai kerentanan pada masing-masing kelompok komponen kerentanan seperti telah disebutkan sebelumnya dapat dilihat pada persamaan kerentanan (ADPC, 2004) berikut ini: V = V(A) + V(B) + V(C) + V(D) + V(...) ...................................... (1) V(a,A) = Si(wi.ei) Dimana: V(a,A) adalah tingkat kerentanan untuk komponen kerentanan a (misal: kemiringan lahan), pada parameter kerentanan A (misal: parameter fisis). Wi = koefisien pembobotan ei = nilai vektorial untuk komponen kerentanan n = jumlah total komponen kerentanan untuk parameter A Pada persamaan 1 merupakan persamaan umum untuk memperoleh nilai kerentanan wilayah, sedang persamaan 2 merupakan persamaan yang dipergunakan untuk menghitung kerentanan masing-masing komponen yang telah disebutkan diatas. Pada persamaan 2 dimana nilai i = 1,n ......................................... (2)

terdapat suku Wi yaitu koefisien pembobotan, dimana nilai pembobotan ini diperoleh dari nilai rangking / pengkelasan komponen parameter kerentanan a (misal: kemiringan), dimana misalnya pada komponen kemiringan rangking dikelompokkan berdasarkan range persentase tingkat kemiringan. Sedangkan nilai ei adalah nilai vektorial komponen kerentanan, yaitu nilai vektorial komponen kerentanan kemiringan terhadap komponen kerentanan lainnya pada kelompok parameter fisis, hal ini menunjukkan tingkat kerentanan satu komponen dibandingkan dengan komponen lainnya dalam satu kelompok parameter, misalnya parameter A, fisis. Nilai ini diperoleh dengan melakukan paire wise atau perbandingan antar komponen kerentanan yang satu dengan yang lainnya dalam satu parameter.

3.4. Resiko Bencana Alam Tahap selanjutnya adalah menyusun resiko bencana berdasarkan informasi yang diperoleh dari tahap sebelumnya yang telah diuraikan. Metodologi yang dilakukan dengan melakukan analisis keruangan, dimana data spatial ancaman bencana dan kerentanan wilayah yang telah dihasilkan pada tahapan sebelumnya. Operasi tumpang susun yang dilakukan untuk mendapatkan nilai resiko bencana alam disesuaikan dengan persamaan umum dari resiko bencana (ISDR, 2004) berikut ini: R = H x V .......................................... (3) Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa operasi tumpang susur untuk mendapatkan nilai resiko adalah dengan melakukan operasi perkalian dari nilai ancaman bencanan (hazards) dengan nilai kerentanan (vulnerability). Seperti halnya untuk memperoleh nilai H dan V, nilai Resiko, R, juga diperoleh dengan melakukan analisis spatial melalui bantuan perangkat lunak pemetaan.

3.5. Analisis Keruangan (Spatial Analysis) Salah satu metoda analisis keruangan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah proses tumpang susun atau overlay antara dua atau lebih layer tematik untuk mendapatkan tematik kombinasi baru sesuai dengan persamaan yang dipergunakan, untuk lebih jelasnya proses tumpang susun ini dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah.

Gambar 8 Proses Overlay pada Analisis Keruangan

Pada Gambar 8 terlihat bahwa terdapat empat layer data tematik yang dioverlay yang untuk kemudian menghasilkan satu layer tematik baru hasil kombinasi dari keempat layer masukan. Dalam penelitian ini, metoda tumpang susun dilakukan dalam melakukan pengolahan data untuk memperoleh nilai kerentanan dan resiko seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Tumpang susun data keruangan atau Overlay adalah salah satu prosedure analisis data spasial, dimana pada proses ini layer dimodifikasi sesuai dengan yang diperlukan. Proses overlay sendiri terdiri dari beberapa metoda, yaitu identity, intersect, union, update, erase, dan symmetrical difference. Metoda-metoda tersebut dijelaskan berikut ini: Identity bisa disebut juga sebagai menambah batas baru dengan sebuah feature line

Gambar 9 Operasi Identity (sumber ArcGis)

Intersect digunakan untuk mendapatkan daerah irisan

Gambar 10 Operasi Intersect (sumber ArcGis)

Union adalah daerah gabungan antara dua feature.

Gambar 11 Operasi Union (sumber ArcGis)

Update adalah membuat batas baru pada sebuah feature (input 1) dengan feature lain (input 2)

Gambar 12 Operasi Update (sumber ArcGis)

Erase digunakan untuk menghapus.

Gambar 13 Operasi Erase (sumber ArcGis)

Symmetrical Difference dihunakan untuk mendapatkan daerah yang diluar daerah irisan (kebalikan dari intersect)

Gambar 14 Operasi Symetrical Difference (sumber ArcGis)

3.6. Pengambilan Keputusan kriteria Tujuan dari pembobotan kriteria adalah untuk menyatakan tingkat kepentingan berdasarkan penilaian yang diberikan oleh pemberi keputusan. Pemberian bobot kepentingan untuk menghitung kriteria bergantung kepada: perubahan range variasi kepentingan terhadap perhitungan kriteria perbedaan derajat kepentingan terhadap range variasi ini (Kirkwood dalam Malczewsky, 1999). Teknis metodologi yang dilakukan adalah dengan melakukan pembobotan kriteria yang ditentukan, dimana pada tahap pengolahan data akan dilakukan metoda peringkat (ranking methode) dan metoda perbandingan berpasangan (pairwise comparison methode) 3.6.1. Metode Peringkat (Ranking methode) Metode ini merupakan metode paling sederhana untuk mengkaji bobot kepentingan dengan cara memberi peringkat sesuai urutan kepentingannya. Ada dua macam sistem peringkat, yaitu: Straight Ranking (1 = paling penting, 2 = kepentingan kedua, dst) dan Inverse Ranking (1 = paling tidak penting, 2 = kedua tidak penting, dst). Setelah suatu kriteria diberi peringkat, dilakukan beberapa prosedur untuk membuat pembobotan numerik dari informasi peringkat yang ada. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rank sum. Bobot rank sum dihitung dengan formula berikut:

wj

(n r

n rj 1
k

1)

(2.2)

Dimana wj adalah bobot normalisasi untuk kriteria j, n adalah banyaknya kriteria yang diperhitungkan (k = 1,2,,n) dan rj adalah posisi peringkat kriteria (Malczewski, 1999). 3.6.2. Metode Perbandingan Berpasangan (Pairwise Comparison Methode) Metode ini dikembangkan oleh Saaty (1980) dalam konteks pengerjaan analytical hierarchy process (AHP). Metode ini melibatkan perbandingan pairwise untuk menciptakan suatu matriks rasio (Malczewski, 1999). Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya adalah : dekomposisi, perbandingan komparatif, sintesis prioritas, dan logika konsistensi a. Dekomposisi Dekomposisi adalah memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakuikan terhadap unsur-unsurnya sampi tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga dihadapi beberapa tingkatan dari persoalan ini. Karena alasan inilah maka proses analisa ini dinamakan hirarki. b. Perbandingan Komparatif Merupakan prinsip penilaian tentang kepentingan relatip dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena ini akan berpengaruh terhadap prioritas unsur-unsurnya. Hasil dari penilaian ini biasanya disajikan dalam bentuk matrikss yang disebut matriks pairwise comparison. Dalam melakukan justifikasi diperlukan orang yang memiliki pengertian menyeluruh tentang relevansi unsur-unsur yang dibandingkan terhadap kriteria atau tujuan yang

dipelajari.Perbedaaan orang membuat judgement sangat mungkin menyebabkan perbedaan prioritas. Metode ini berpijak pada konsistensi, sehingga digunakan rumus Eigent Value dalam mencari Vector prioritas. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan sejumlah kombinasi elemen yang ada pada setiap hirarki sehinggga dapat dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengentahui besarnya bobot setiap elemen. Saaty telah menyusun tabel skala pembandingan berpasangan

seperti Tabel 3 Tingkat Penilaian Kelas pada Metoda Perbandingan Pairwise (Saaty, 1988) dibawah ini.
Tabel 3 Tingkat Penilaian Kelas pada Metoda Perbandingan Pairwise (Saaty, 1988)

INTENSITAS KEPENTINGAN 1 3

7 9 2,4,6,8

DEFINISI VERBAL Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada yang lain. Elemen yang mempunyai tingkat kepentingan yang kuat terhadap yang lain, jelas lebih penting dari elemen yang lain Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya. Satu elemen mutlak lebih dari elemen lainnya Nilai-nilai tengah diantara dua pertimbangan yang berdampingan

PENJELASAN Kedua elemen yang sama terhadap tujuan Pengalaman dan pertimbangan sedikit memihak pada sebuah elemen dibanding elemen lainnya

Pengalaman judgment secara kuat memihak pada sebuah elemen dibandingkan elemen lainnya.

Satu elemen dengan disukai, dan dominasinya tampak dalam praktek. Bukti bahwa satu element penting dari element lainnya dalah dominan. Nilai ini diberikan bila diperlukan adanya dua pertimbangan Bila komponen I mendapat salah satu nilai diatas (non zero), saat dibandingkan dengan elemen J, maka elemen J mempunyai nilai kebalikannya saat dibandingkan dengan elemen J

Kebalikan dari nilai terbut diatas

e. Sintesis Prioritas Synthesis of priority adalah mencari eigen vector dari setiap matrikss pairwise comparison untuk memperoleh local priority. Karena matriks setiap matriks pairwise terhadap pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesa diantara prioritas lokal. Pengurutan element-element menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting. f. Logika Konsistensi Konsistensi memiliki dua makna. Pertama, bahwa objek-objek yang serupa dikelompokan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua, adalah tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Ada banyak cara untuk mencari vektor prioritas dari matrikss pairwise comparison dalam proses AHP, akan tetapi karena dan penekanan pada konsistensi menyebabkan

digunakannya rumus eigen value. Dalam hal ini apabila diketahui elemen-elemen dalam suatu tingkat dalam suatu hierarki adalah C1, C2 .. Cn dan bobot pengaruh mereka adalah W1 , W2 W3 , Wn, serta dimisalkan aij = Wi/Wj yang mana menunjukan kekuatan Ci dibandingkan Cj, maka marik dari aij ini dinamakan matriks pairwise comparison yang diberi simbol A. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa A adalah matrikss reciprocal, sehingga Aji = 1/aij. Jika penilaian kita sempurna pada setiap perbandingan maka aik =aij, ajk untuk semua i, j, k dan matrikss A dinamakan konsisten. Selanjutnya berdasarkan manipulasi matematika berikut ini maka : aij = wi/wj, dimana i,j = 1, , n aij (wi/wj) = 1 dimana i,j = 1, , n dengan konsekuensinya : Rumus ini menjunjukan bahwa w merupakan eigen vektor dari matriks A dengan eigen value n. Jika aij tidak didasarkan pada ukuran yang pasti (seperti w1, w2, w 11) tetapi lebih pada penilaian subjektif, maka aij akan menyimpang dari rasio w1, wj, yang sesungguhnya, sehingga aw = nw tidak terpenuhi lagi. Perubahan kecil pada aij menyebabkan perubahan Z maksimum, penyimpangan Z maksimum dari n merupakan ukuran konsistensi. Indikator terhadap konsistensi diukur melalui Consistency Index (CI). CI = (max n) / (n-1) AHP mengukur seluruh konsistensi penilaian dengan menggunakan Consistency Ratio (CR) yang dirumuskan sebagai berikut : CI CR = Random Consistency Index (RI) Bila harga CR lebih kecil atau sama dengan 10 % (0,10) maka nilai tersebut akan menujukan tingkat konsistensi yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan, atau dapat dikatakan eigen value maksimum atau
maks

diperoleh dari hasil pembobotan yang konsisten. Tetapi

jika CR lebih besar dari 10 % (0,10) maka penilaian yang telah dibuat secara random perlu direvisi. Revisi yang berlebihan dengan maksud mendapatkan nilai konsisten yang baik, dapat menyebabkan penyimpangan dari jawaban aslinya. Berikut ini akan diperlihatkan angka Random Consistency Index (RI) pada tabel dibawah ini:
Tabel 4 Indeks Konsistensi Acak (Saaty, 1989)

N RI

1 0

2 0

3 0.58

4 0.90

5 1.12

6 1.24

7 1.32

8 1.41

9 1.45

10 1.49

Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat konsistensi dari sebuah proses penilaian baru akan terlihat setelah melakukan penilaian diatas 2 kriteria, karena terlihat bahwa jumlah kriteria 1-2 indeks konsistensi acak nilainya nol. 3.6.3. Teknik Analisis Tahap analisis merupakan tahapan ujung tombak dalam pekerjaan sistem informasi geografis. Analisis dalam hal ini akan memberikan solusi melalui pertanyaan basis data untuk setiap pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi ruang. Analisis basis data biasa akan bekerja dengan baik bila konteks atribut yang dimiliki individu tersebut sama. Bila berbeda, maka pertanyaan basis data biasa tidak dapat memberikan solusinya. Untuk itu teknik analisis SIG ini diperlukan untuk memberikan solusi pertanyaan pada entitas yang berbeda-beda. Proses teknik analisis tersebut dikenal sebagai analisis tumpang susun (Eastman, 1992. dalam: Hadi, 1998).

3.7. Data Pendukung Data pendukung yang dipergunakan pada penelitian ini terdiri dari data spasial atau data keruangan, serta data atribut yang sebagian besar merupakan data yang bersifat statistikal yang berisi informasi dengan unit analisis administrasi desa. Untuk lebih jelas mengenai data yang dipergunakan dapat dilihat pada Tabel 5
Tabel 5 Data yang dipergunakan

No

Data

1.

Peta RBI Kota Cilegon

Metoda Pengambilan data Sekunder

Penyedia data

Tahun

Keterangan

Bakosurtanal

Arsip

Tahun terbitan terbaru

2. 3.

skala 1:25.000 Peta LPI Kota Cilegon skala 1:25.000 Peta Geologi

Sekunder Sekunder

Bakosurtanal Dinas Pertambangan dan Geologi Bakosurtanal

Arsip Arsip

Tahun terbitan terbaru Tahun terbitan terbaru dan skala terbesar yang tersedia Tahun terbitan terbaru dan skala terbesar yang tersedia Pengolahan dari Peta Topografi yang tersedia Tahun terbitan terbaru dan skala terbesar yang tersedia Skala terbesar yang tersedia Skala terbesar yang tersedia Skala terbesar yang tersedia

4.

Peta Topografi

Sekunder

Arsip

5.

Peta Kelerengan

Pengolahan

Analisis spatial

updating

6.

Peta Bathimetri

Sekunder

Dishidros, Bakosurtanal Bappeda Kota Cilegon Dinas Pekerjaan Umum kota Cilegon Dinas Pekerjaan Umum kota Cilegon Bappeda Kota Cilegon Dinas Tata Ruang Kota Cilegon BPS Pusat Riset Tsunami KPPKL ITB Analisis Model Numerik

Arsip

7. 8. 9. 10. 11

Peta Tata guna lahan Peta Jaringan Jalan Peta Sarana Prasarana RTRW Kota Cilegon RDTR Kecamatan Ciwandan dan Citangkil, Kota Cilegon Kota Cilegon dalam Angka Basis data Tsunami Indonesia Peta Rendaman Tsunami Kota Cilegon

Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder

2006 2005 2005 2006 2007

12. 13. 14.

Sekunder Sekunder Pengolahan

2006 Arsip Simulasi Model Numerik

Selain data tersebut diatas, pada pelaksanaan pengerjaan studi ini juga dilengkapi oleh data-data yang berupa hasil pelaporan pekerjaan pada instansi terkait yang berkaitan dengan pengerjaan studi ini.

BAB 4 PENGOLAHAN DATA

4.1. Ancaman Bencana Alam Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diawal bahasan, bahwa ancaman atau bahaya bencana merupakan suatu fenomena atau kejadian yang dapat menimbulkan kerugian, korban atau kehilangan, dimana waktu kejadiannya dapat berlangsung secara tiba-tiba atau memakan waktu yang cukup lama. Berdasarkan kajian literatur diketahui bahwa ancaman bencana alam yang mungkin menimbulkan bencana dengan kekuatan dan kerusakan yang besar, berasal dari gempa bumi yang bersumber pada zona subduksi lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia yang terletak relatif di sebelah barat daya lokasi studi. Informasi lainnya dapat dilihat dari peta geologi pada Gambar 15 yang memperlihatkan zona subduksi disekitar lokasi studi. Dari sisi geologi, zona subduksi atau daerah tumbukan antara dua lempeng ini merupakan salah satu sumber dibangkitkannya gempa bumi, dan gempa yang dibangkitkan di zona subduksi ini berpotensi membangkitkan bencana susulan setelah terjadi gempa, yaitu ancaman tsunami.

Gambar 15 Zona Subduksi disekitar Lokasi Studi

Berdasarkan kajian pemodelan matematis yang dilakukan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut (PPKPL ITB, 2007) mengenai rambatan serta genangan tsunami

yang dibangkitkan di zona subduksi seperti yang diperlihatkan pada Gambar 15 diperoleh informasi mengenai jarak penetrasi genangan tsunami ke darat, serta perkiraan tinggi tsunami di darat, kondisi ini dapat dilihat pada Lampiran 1 yang merupakan pendekatan melalui model matematis yang dikembangkan oleh PPKPL ITB (2007). Untuk lebih jelas sehubungan dengan pemodelan matematis tsunami yang mana hasil simulasi dari perhitungan tsunami sources diperlihatkan pada Gambar 16, distribusi energi gelombang diperlihatkan pada Gambar 17, waktu penjalaran tsunami serta tinggi tsunami disepanjang pantai dapat dilihat masing-masing pada Gambar 18 dan Gambar 19.

Gambar 16 Source Tsunami Sumber 2, Mw=8.0

Gambar 17 Distribusi Energi Tsunami, Sumber 2, Mw=8.0

Gambar 18 Tinggi maksimum Tsunami di, sepanjang pantai Sumber 2, Mw=8.0

Gambar 19 Waktu penjalaran tsunami, Sumber 2, Mw=8.0

Tinggi rendaman tsunami hasil model matematis tersebut kemudian dikelaskan berdasarkan tingkat ancaman yang telah disusun oleh Iida (1963) seperti terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6 Klasifikasi Tingkat Ancaman tsunami berdasarkan tinggi rendaman (Iida, 1963) No 1 2 3 4 5 Tinggi gelombang tsunami (m) >16 6 16 26 0.75 2 < 0.75 Daya Rusak Sangat besar Besar Menengah Kecil Sangat Kecil Peringkat 1 2 3 4 5 Bobot

0,238 0,190 0,143 0,095 0,048

4.2. Penyusunan Kriteria Kerentanan Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya dan diperlihatkan pada Gambar 5 bahwa Kerentanan wilayah berdasarkan uraian dari ISDR (2004) terbagi atas empat faktor, yaitu fisis, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan. Untuk kepentingan studi ini, masing-masing faktor tersebut selanjutnya disusun kriteria untuk mendapatkan gambaran kerentanan yang dapat mewakili wilayah tersebut. 4.2.1. Kriteria Faktor Kerentanan Fisis Secara garis besar berdasarkan deskripsi dari kerentanan fisis yaitu nilai-nilai negatif atau kekurangan dari lingkungan tempat tinggal atau kawasan terbangun, misalnya kondisi geologi, kemiringan, kepadatan bangunan, dll, maka kriteria yang diambil yaitu kondisi geologi, kondisi kelerengan, sempadan pantai dan sempadan sungai dari lokasi studi. Peta Geologi yang diperoleh dari lampiran RDTR Kota Cilegon, 2007, kemudian dikriteriakan berdasarkan jenis batuan seperti terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 7 Kriteria kerentanan fisis terhadap tsunami Berdasarkan Jenis Batuan /Susunan Geologi (Dita, 2004)

No 1 2 3 4 5

Jenis Batuan Aluvium Kuarter Muda Kuarter Tua Sedimen Gamping

Sifat Sangat peka Peka Agak peka Kurang peka Tidak peka

Peringkat 1 2 3 4 5

Bobot 0,333 0,267 0,200 0,133 0,067

Susunan geologi ini berkaitan dengan lingkungan kawasan terbangun, karena selanjutnya susunan geologi ini akan sangat terkait dengan daya tahan bangunan yang berdiri

diatasnya, terutama apabila dikaitkan dengan ancaman bencana alam yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Seperti telah dibahas bahwa ancaman bencana alam di lokasi studi adalah bencana geologi, dengan ancaman utama adalah gempa bumi, maka pengaruh dari jenis batuan akan sangat berpengaruh terhadap ancaman bencana ini, seperti diketahui bahwa lapisan batuan merupakan media rambat energi dari gelombang gempa. Kaitannya dengan bencana ikutan dari gempa yaitu tsunami, susunan geologi ini juga sangat berpengaruh terhadap lingkungan bangunan yang ada diatasnya, dimana respon susunan geologi terhadap tsunami dapat dilihat pada Tabel 7. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jenis batuan yang paling rentan atau peka terhadap genangan tsunami adalah batuan aluvium, dimana secara fisik batuan ini misalnya berupa kerikil, pasir atau sejenisnya dimana ikatan antar butirnya tidak terlalu kuat. Sebaliknya jenis batuan gamping merupakan batuan yang relatif lebih tidak peka terhadap genangan tsunami ataupun ancaman utamanya yaitu gempa bumi. Komponen lainnya yang dijadikan sebagai komponen dari faktor kerentanan fisis adalah kemiringan lahan (slope), data ini diperoleh dari hasil analisis data topografi. Adapun kriteria kerentanan dari data kemiringan lahan ini dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kriteria Kerentanan Kemiringan Lahan (SK. Mentan 1981)

No 1 2 3 4 5

Jenis Kelerengan pantai Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam

Kemiringan (%) 03 38 8 15 15 40 > 40

Kepekaan terhadap tsunami Sangat peka Peka Agak Peka Kurang Peka Tidak Peka

Bobot 5 4 3 2 1

Seperti halnya komponen geologi, kemiringan lahan ini juga berpengaruh pada bangunan yang berada diatasnya atau disekitarnya, karena apabila dihubungkan dengan ancaman yang ada berupa gempa bumi sebagai ancaman utama dan tsunami sebagai ancaman ikutan, kemiringan lahan berkontribusi untuk dapat menimbulkan kerusakan ikutan selain yang disebabkan karena goncangan atau rendaman saja, misalnya terjadinya longsor, likuifaksi, dan atau variabilitas tinggi rendaman tsunami di darat. Khusus untuk kepekaan terhadap tsunami pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa semakin rendah persentase kemiringan lahan maka akan meningkatkan intensitas tinggi genangan tsunami di daratan, begitu juga sebaliknya, semakin curam maka dapat meredam tinggi rendaman tsunami. Dengan semakin pesatnya pembangunan wilayah, termasuk juga di sekitar Kota Cilegon, batasan limitasi arae pembangunan seperti sempadan pantai dan sempadan sungai

mulai diabaikan. Akhir-akhir ini tekanan pembangunan fisik mulai menekan ke arah pantai dan sungai, dimana dari sisi lain, lokasi ini memiliki nilai yang cukup tinggi karena menempel pada sumber kehidupan, yaitu air, khususnya untuk wilayah sungai, dan kualitas ekonomi yang cukup tinggi untuk kawasan pantai, dimana biasanya dijadikan sebagai kawasan wisata. Disisi lain wilayah ini memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, terutama untuk ancaman bencana tsunami, terutama untuk kawasan sempadan pantai, begitu juga dengan kawasan sempadan sungai, seperti diketahui bahwa sungai merupakan jalan tol bagi tsunami untuk menggenangi kawasan darat, sehingga sempadan sungai memiliki tingkat kerentanan yang tinggi seperti halnya kawasan sempadan pantai. Kriteria untuk kawasan sempadan ini diadaptasi dari Kepres No. 32 tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung, dimana yang disebut sebagai sempadan pantai adalah jarak 100 m dari garis pantai pasang tertinggi, sedangkan untuk kriteria rangkin lainnya diadaptasi disesuaikan dengan jangkauan rendaman tsunami yang telah di bahas pada bagian sebelumnya. Keseluruhan dari pengkriteriaan komponen sempadan pantai dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Kriteria Kerentanan Kawasan Sempadan Pantai Untuk Faktor Kerentanan Fisis

No 1 2 3 4

Jarak Sempadan dari Garis Pantai 100 m 1 km 2 km > 2km

Kerentanan Tsunami Sangat rentan Rentan Kuran rentan Tidak rentan

Bobot 1 2 3 4

Seperti halnya pada sempadan pantai, pengkriteriaan sempadan sungai juga diadaptasi dari kepres yang sama, dimana disebutkan bahwa diluar pemukiman sempadan sungai berada pada area dengan jarak 50 m kanan dan kiri dan untuk sungai yang berada di kawasan pemukiman berjarak 100 m kanan dan kiri. Menimbang analisis spasial dilakukan pada skala kecil 1:50.000, maka diasumsikan sempadan sungai berjarak 50 m dengan mengambil asumsi jarak sempadan 50 m kanan dan kiri dimana ruas sungai yang dipetakan sebagian besar berada di luar kawasan pemukiman. Sedangkan untuk melengkapi kriteria kerentanan sempadan sungai diambil jarak tegak lurus dari pantai ambil asumsi yang sama dengan mendeliniasi tingkat kerentanan pada sempadan pantai. Selengkapnya kriteria kerentanan komonen sempadan sungai dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Kriteria Kerentanan Kawasan Sempadan Sungai

No 1

Jarak Sempadan Sungai Tegak Lurus Pantai 1 km

Kerentanan Tsunami Sangat rentan

Peringkat 1

Bobot 0,500

2 3

2 km > 2 km

Rentan Tidak rentan

2 3

0,333 0,167

Selanjutnya setelah menentukan komponen dari faktor fisis serta pengkriteriaan untuk masing-masing komponen adalah menentukan elemen ancaman untuk faktor kerentanan fisis. Dimana elemen ancaman ini bisa terdiri dari satu atau lebih elemen ancaman yang berdampak pada faktor kerentanan fisis. Dari hasil pengkajian faktor fisis maka dipilih elemen ancaman yang berkontribusi pada kerusakan atau kerugian faktor fisis yaitu rendaman tsunami, erosi atau longsor dan likuifaksi atau tanah amblas. Untuk tingkat kontribusi dari masing-masing elemen ancaman tersebut terhadap faktor kerentanan fisis akan dibahas pada bagian selanjutnya. 4.2.2. Kriteria Faktor Kerentanan Sosial Demografi Dalam proses manajemen resiko sangatlah penting untuk dapat mengidentifikasi kelompok masyarakat yang dianggap rentan (vulnerable group) agar dapat menekan kerugian atau kehilangan yang disebabkan oleh adanya bencana. Salah satu tujuan dari upaya mitigasi adalah untuk dapat menyelamatkan banyak nyawa dan menekan kerugian. Oleh karena itu identifikasi kelompok masyarakat rentan menjadi komponen dalam faktor kerentanan sosial demografi menjadi sangat penting. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maureen Fordham (2007) dalam artikel yang berjudul Social Vulnerability and Capacity disebutkan

(http://www.colorado.edu/hazards/o/archives/2007/nov07/NovObserver07.pdf)

bahwa yang termasuk kedalam kelompok masyarakat rentan diantaranya adalah kaum perempuan, anak-anak, dan penduduk lanjut usia serta beberapa kelompok masyarakat lainnya. Menurut Fordham kelompok masyarakat rentan yang disebutkan diatas terkait dengan kemampuan dalam upaya penyelamatan ketika terjadinya bencana serta kemampuan pulih (recovery) setelah terjadinya bencana. Berdasarkan hal tersebut diatas maka komponen penyusun untuk menentukan kerentanan Sosial Demografi terdiri dari data statistik dengan lingkup administrasi desa / kelurahan. Komponen yang dimaksud adalah kepadatan penduduk, anak-anak, penduduk usia lanjut dan perempuan. Kriteria kerentanan untuk komponen kerentanan penduduk diambil berdasarkan klasifikasi kepadatan penduduk dari SNI 03-1733-2004 mengenai Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Kriteria Kerentanan Kepadatan Penduduk

No 1 2 3

Kepadatan (jiwa / ha) < 150 151 200 > 201

Kerentanan Tidak rentan Rentan Sangat rentan

Peringkat 3 2 1

Bobot 0,167 0,333 0,500

Dari Tabel 11 terlihat bahwa semakin padat penduduk disuatu wilayah maka kerentanannya semakin tinggi, begitu juga sebaliknya, hal ini dikarenakan semakin padat penduduk dalam suatu wilayah, maka kawasan tersebut semakin rentan akan kehilangan banyak korban jiwa apabila terjadi bencana. Untuk komponen kerentanan komposisi jumlah anak-anak, lansia (lanjut usia) dan perempuan diklasifikasikan relatif terhadap jumlah total penduduk untuk masing-masing wilayah. Pengklasifikasikan disusun berdasarkan komposisi distribusi normal masing-masing komponen dalam total penduduk. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Kriteria Kerentanan Kelompok Masyarakat Rentan ( Vulnerable Group )

No 1 2 3

Persentase (%) 0 33,33 33,33 66,66 > 66,66

Kerentanan Tidak Rentan Rentan Sangat Rentan

Peringkat 3 2 1

Bobot 0,167 0,333 0,500

Dari Tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi persentse kelompok masyarakat rentan dalam jumlah penduduk di wilayahnya, maka berdasarkan keterangan dari Fordham maka masyarakat di wialyah tersebut dapat dianggap memiliki kerentanan yang tinggi, begitu juga sebaliknya. Untuk komponen kerentanan faktor fisis, selain komponen yang lebih bersifat demografi atau kependudukan, komponen lainnya yang dianggap penting dalam faktor sosial demografi diantaranya adalah keberadaan asset infrastruktur jaringan sosial kemasyarakatan. Klasifikasi kerentanan dari asset infrastruktur sosial diadaptasi dari ADPC (2004) yang dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 13 Kriteria Kerentanan Infrastruktur Utama Jaringan Sosial

No 1 2 3 4 5 6

Jenis Infrastruktur Permukiman Perdagangan Transportasi Pendidikan Perkantoran Kesehatan

Peringkat 1 2 3 4 5 6

Bobot 0,286 0,238 0,190 0,143 0,095 0,048

Adapun elemen ancaman yang berkontribusi dari kemungkinan merugi atau kehilangan dari faktor sosial ekonomi adalah seperti telah disinggung diatas yaitu: a. Kelompok masyarakat rentan (Vulnerable group) b. Infrastruktur utama jaringan sosial Elemen ancaman vulnerable group merepresentasikan kemungkinan kehilangan jiwa yang akan dialami suatu wilayah apabila terjadi bencana, berdasarkan keterangan dari Fordham bahwa vulnerable group ini berkaitan dengan kapabilitas ketika terjadi bencana dan pasca bencana. Sedangkan elemen ancaman asset infrastruktur diakaitkan dengan eksistensi jaringan sosial yang telah ada dalam suatu masyarakat. Kontribusi ancaman kerentanan dari kedua elemen tersebut akan dijelaskan melalui bobot ancaman yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. 4.2.3. Kriteria Faktor Kerentanan Ekonomi Secara sederhana, dampak dari suatu bencana dapat menimbulkan kerugian langsung (direct loss) berupa rusaknya asset infrastruktur, bangunan, korban jiwa dan lain sebagainya yang dapat dikonversikan dengan jelas, dan dapat juga menimbulkan kerugian atau kehilangan yang sifatnya tidak langsung atau tidak terhitung (indirect loss) misalnya terganggunya pergerakan barang dan jasa, dan lain sebagainya (ECLAC, 2003). Oleh karena itu penyusunan kriteria kerentanan untuk faktor ekonomi berdasarkan kemungkinan kerugian atau kehilangan yang langsung juga yang tidak langsung. Berdasarkan pertimbangan diatas dan uraian keterangan mengenai kerentanan faktor ekonomi dari ISDR (2004) yang menyebutkan bahwa kerentan faktor ekonomi bergantung pada status ekonomi individu masyarakat, komunitas dan tingkat diatasnya lagi, dengan kata lain bergantung pada perekonomian mikro dan makro. Disebutkan juga bahwa komponen kerentanan faktor ekonomi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu komponen demografi yang direpresentasikan oleh kelompok masyarakat rentan, dan komponen lainnya yaitu penggunaan lahan yang dikaitkan dengan komposisi mata pencaharian masyarakat dan kontribusi perekonomian wilayah. Pengkriteriaan kerentanan untuk komponen demografi seperti telah disebutkan diatas, sama dengan yang dilakukan pada pengkriteriaan kelompok masyarakat rentan pada faktor sosial seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Selain rentan dalam kapabilitas evakuasi serta

recovery, menurut Fordham kelompok ini juga meningkatkan kerentanan ekonomi karena kemampuan membangkitkan perekonomian baik mikro ataupun makro relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Untuk pengkriteriaan penggunaan lahan, diklasifikasikan dengan menggunakan pendekatan kontribusi PDRB di Kota Cilegon sebagai asumsi nilai dari tiap penggunaan lahan terhadap perekonomian wilayah. Adapun distribusi kontribusi sektor ekonomi di Kota Cilegon dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Kontribusi sektor ekonomi pada PDRB ADH Konstan Kota Cilegon 2002 2005 (Kota Cilegon dalam angka Tahun 2006)

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB ADH KONSTAN

2000 3,29 0,09 64,16 9,13 0,45 9,92 8,57 1,61 1,40 98,63

2001 3,18 0,09 63,90 10,90 0,40 9,81 9,21 1,45 1,40 100,35

2002 2,96 0,09 63,49 11,16 0,44 9,77 9,07 1,56 1,44 100,00

2003 2,80 0,09 63,39 11,15 0,48 9,83 8,88 1,94 1,44 100,00

2004 2,64 0,09 63,27 10,93 0,48 9,88 8,59 2,67 1,44 100,00

2005* 2,50 0,09 62,96 11,01 0,48 10,03 8,58 2,90 1,45 100,00

Dari Tabel 14 diatas terlihat bahwa kontribusi sektor industri terhadap perekonomian umum Kota Cilegon menduduki posisi utama. Dengan pertimbangan diatas, maka disusun kriteria penggunaan lahan, dimana klas yang diperhitungkan disesuaikan dengan data tata guna lahan yang ada di Kota Cilegon (sumber Dinas Tata Kota), adapun kriteria kerntanan komponen penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 15 Kriteria Kerentanan Komponen Penggunaan Lahan Untuk Faktor Ekonomi

No 1 2 3 4 5

Jenis Penggunaan Lahan Industri Sawah Perkebunan Hutan Rumput / Tanah kosong

Peringkat 1 2 3 4 5

bobot 0,238 0,190 0,143 0,095 0,048

Kriteria diatas menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk lahan industri menduduki bobot paling tinggi sesuai dengan kontribusi sektor industri pada PDRB, demikian juga dengan area permukiman. Selanjutnya diikuti oleh penggunaan lahan untuk pertanian dan perkebunan dengan nilai bobot 2. Sedangkan hutan diasumsikan memiliki nilai ekonomi yang relatif rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya.

Elemen ancaman untuk faktor ekonomi yang terkait dengan komponen-komponen diatas adalah: a. Vulnerable group b. Penggunaan Lahan Perbedaan nilai elemen ancaman vulnerable group yang terdapat pada faktor sosial demografi dan di faktor ekonomi adalah kontribusi tingkat kerugian/kehilangan terhadap elemen ancaman lainnya, sehingga hal ini berpengaruh pada nilati total kerentanan masingmasing faktor. 4.2.4. Kriteria Faktor Kerentanan Lingkungan Lingkungan dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari kondisi fisik (mencakup sumberdaya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral serta flora dan fauna yang ada di lingkungan sekitarnya baik itu di daratan, air dan udara) dengan kelembagaan (yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut). Secara sederhana lingkungan dapat didefinisikan sebagai kualitas komponen alam diselaraskan dengan parameter kehidupan objek yang berada didalamnya (Wikipedia Ensiklopedia, 2008). Kaitannya dengan kerentanan faktor lingkungan yang berkaitan dengan kemungkinan kehilangan/kerugian baik yang berupa fisik ataupun mutu lingkungan, maka komponen kriteria kerentanan faktor lingkungan yaitu vegetrasi penggunaan lahan sebagai representasi kerusakan fisik lingkungan yang disebabkan oleh ancaman bencana, dan kawasan industri sebagai area yang rentan menimbulkan kerusakan mutu lingkungan apabila terjadi bencana akibat B3 yang banyak terdapat dikawasan industri dilokasi studi. Kriteria kerentanan untuk vegetasi pada data penggunaan lahan diadaptasi dari kriteria kerentanan vegetasi terhadap tsunami dari USDA NRCS (1986), dimana pengkriteriaan berdasarkan respon vegetasi tersebut terhadap tekanan ancaman bencana yang ada, dalam hal ini adalah genangan tsunami. Masing-masing vegetasi memberikan respon berbeda terhadap genangan air tsunami, kondisi ini yang menjadi dasar pengkelasan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 16 Kriteria Kerentanan Vegetasi Untuk Faktor Lingkunga n

No 1 2 3 4

Vegetasi tutupan lahan Hutan Kebun Rumput Sawah

Kepekaan Terhadap Genangan Sangat tidak peka Kurang peka Peka Sangat peka

Peringkat 4 3 2 1

Bobot 0,1 0,2 0,3 0,4

Kriteria kerentanan pada area Industri ditunjukkan dengan radiasi dan sebaran gas berbahaya yang dibawa oleh angin atau air sebagai media pemindahan zat. Untuk media angin, jarak aman dari kontaminasi zat berbahaya dari sumber polutan yaitu lebih dari 5 km (Alamsyah, 2007), sedangkan untuk media air, jarak kontaminasi bergantung pada jangkauan genangan air yang dapat masuk ke arah darat, selengkapnya kriteria kerentanan industri dapat dilihat pada Tabel 17
Tabel 17 Kriteria Kerentanan Industri Untuk Faktor Lingkungan

No 1 2 3

Jarak dari sumber polutan 0 2 km 2 5 km > 5 km

Kerentanan Sangat rentan Rentan Tidak rentan

Peringkat 1 2 3

bobot 0,667 0,500 0,333

Elemen ancaman bencana sehubungan dengan komponen kerentanan diatas yaitu: Fisik vegetasi Mutu lingkungan

4.3. Pembobotan Kriteria Setelah kriteria untuk masing-masing faktor kerentanan tersusun, selanjutnya adalah menentukan bobot dari masing-masing kriteria tersebut terhadap masing-masing elemen ancaman yang telah ditentukan, yang kemudian nilai parameter untuk masing-masing faktor di totalkan sehingga menghasilkan nilai kerentanan wilayah seperti yang terlihat pada persamaan 1 dibagian atas. Proses pembobotan menggunakan metoda MCA seperti telah dijelaskan pada bagian metodologi, dan pengolahan untuk masing-masing kriteria dapat dilihat selanjutnya. 4.3.1. Bobot Kriteria Faktor Kerentanan Fisis Tahapan pertama adalah membangun matrik perbandingan antar suku kriteria dari elemen ancaman (matrik perbandingan pairwise), hal ini dimaksudkan untuk menentukan

tingkat kepentingan antar suku kriteria elemen ancaman tersebut dengan memberikan penilaian berdasarkan indeks penilaian yang telah disusun oleh Saaty seperti terlihat pada Tabel 3 pada bagian sebelumnya. Berikut ini akan diperlihatkan pembangunan matrik pairwise dari kriteria elemen ancaman faktor fisis yang diperlihatkan pada tabel berikut ini:
Tabel 18 Pairwise Elemen Ancaman Faktor Kerentanan Fisis

Genangan Longsor / Erosi Likuifaksi

Genangan 1,000 0,333 0,333

Longsor / Erosi 3,000 1,000 2,000

Likuifaksi 3,000 0,500 1,000

Pada Tabel 18 diperlihatkan penilaian yang merepresentasikan kontribusi elemen ancaman sebagai respon dari ancaman bencana yang ada di wilayah studi. Tahap selanjutnya adalah melakukan normalisasi dari dari matrik pairwise tadi dengan membagi masing-masing nilai dengan jumlah total dari masing-masing kolom. Matrik normalisasi pairwise dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 19 Matrik Normalisasi dan Bobot Kriteria Elemen Ancaman Kerentanan Fisis

Normalisasi Genangan Longsor / Erosi Likuifaksi

Genangan 0,600 0,200 0,200

Longsor / Erosi 0,500 0,167 0,333

Likuifaksi 0,667 0,111 0,222

Bobot Kriteria 0,589 0,159 0,252

Selanjutnya adalah menentukan nilai bobot kriteria dengan merata-ratakan nilai baris dari masing-masing kriteria tersebut. Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa elemen ancaman bencana yang berkontribusi paling tinggi sehubungan dengan ancaman bencana gempa bumi serta bencana ikutannya berupa tsunami adalah kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh genangan dengan nilai bobot sebesar 0,589, diikuti oleh ancaman tanah amblas atau likuifaksi dan erosi atau longsor dengan masing-masing nilai bobot sebesar 0,159 dan 0,252. Setelah mendapatkan nilai bobot untuk masing-masing kriteria elemen ancaman, selanjutnya adalah menilai konsistensi dari penilaian yang dilakukan pada penyusunan matrik pairwise. Untuk mendapatkan nilai tersebut, sebelumnya harus menghitung nilai lamda () yaitu dengan merata-ratakan nilai faktor konsistensi dari matrik pairwise. Adapun penilaian faktor konsistensi dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 20 Tahap Perhitungan Faktor Konsistensi

Kriteria Genangan Longsor / Erosi Likuifaksi

Tahap 1 (0,589 x 1) + (0,159 x 3) +(0,252 x 3) = 1,822 (0,589 x 0,333) + (0,159 x 1) +(0,252 x 0,5) = 0,481 (0,589 x 0,333) + (0,159 x 2) +(0,252 x 1) = 0,767

Tahap 2 1,822 / 0,589 = 3,094 0,481 / 0,159 = 3,023 0,767 / 0,252 = 3,044

Dari nilai yang diperoleh hasil perhitungan pada Tabel 20 kemudian dihtung nilai dengan merata-ratakan nilai pada faktor konsistensi diatas, diperoleh nilai = 3,054. Selanjutnya dihitung nilai indeks konsistensi (consistency index) seperti berikut ini:

Setelah mendapatkan nilai dari indeks konsistensi, kemudian dihitung nilai dari Rasio konsistesi (Consistency Ratio), yaitu dengan membandingkan nilai konsistensi indeks dengan indeks acak (Random Index / RI) seperti tertulis pada Tabel 4, dimana nilai indeks acak dengan jumlah kriteria sebanyak 3 adalah 0,58, maka nilai rasio konsistensi (RC) adalah:

Nilai rasio konsistensi (CR) tersebut jika CR < 0,10, maka nilai rasio tersebut mengindikasikan tingkat konsistensi yang masuk akal dalam penyusunan matrik pairwise pada Tabel 18 diatas, sedangkan apabila nilai CR 0,10 menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan tidak konsisten. Pada perhitungan diatas diperoleh nilai CR = 0,046 dimana nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan 0,10, oleh karena itu bisa ditarik kesimpulan bahwa penilaian yang dilakukan pada matrik pairwisei sudah konsisten dan dapat dipergunakan untuk kepentingan pengolahan data selanjutnya. Setelah mendapatkan nilai bobot kriteria elemen ancaman dan telah diuji konsistensi dalam penyusunannya, tahapan selanjutnya adalah menentukan bobot kriteria kerentanan untuk faktor fisis terhadap masing-masing elemen ancaman bencana. Proses pengolahan data yang dilakukan seperti yang telah diuraikan dan dijelaskan pada penentuan nilai bobot kriteria ancaman bencana diatas. Bobot kriteria kerentanan faktor fisis dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 21 Matrik Pairwise Kriteria Kerentanan Faktor Fisis Terhadap Elemen ancaman Genangan Tsunami

Genangan Kemiringan Lahan Kondisi Geologi Sempadan Pantai Sempadan Sungai

Kemiringan Lahan 1,000 0,143 0,200 0,200

Kondisi Geologi 7,000 1,000 5,000 3,000

Sempadan Pantai 5,000 0,200 1,000 0,333

Sempadan Sungai 5,000 0,333 3,000 1,000 CI CR

Bobot Kriteria 0,597 0,055 0,229 0,119 4,244 0,081 0,091

Pada Tabel 21 terlihat bahwa untuk elemen ancaman genangan tsunami, komponen kriteria kerentanan fisis yang paling rentan adalah kemiringan lahan, diikuti oleh area semapadan pantai, sempadan sungai dan kondisi geologi. Nilai bobot tersebut menunjukkan respon dari masing-masing komponen kriteria terhadap elemen ancaman genangan tsunami, dimana kemiringan lahan memberikan nilai bobot yang cukup tinggi dalam menentukan area genangan dibandingkan dengan komponen lainnya. Selanjutya komponen kriteria kerentanan fisis tersebut dibandingkan kembali berdasarkan elemen ancaman lainnya, yaitu erosi/longsong, dan likuifaksi yang akan diperlihatkan berikut ini:
Tabel 22 Matrik Pairwise Kriteria Kerentanan Faktor fisis Terhadap Elemen Ancaman Erosi / Longsor

Erosi / Longsor Kemiringan Lahan Kondisi Geologi Sempadan Pantai Sempadan Sungai

Kemiringan Lahan 1,000 0,333 0,200 0,200

Kondisi Geologi 3,000 1,000 0,333 0,333

Sempadan Pantai 5,000 3,000 1,000 0,500

Sempadan Sungai 5,000 3,000 2,000 1,000 CI CR

Bobot Kriteria 0,550 0,249 0,118 0,083 4,106 0,035 0,039

Tabel 23 Matrik Pairwise Kriteria Kerentanan Faktor fisis Terhadap Elemen Ancaman Likuifaksi

Likuifaksi Kemiringan Lahan Kondisi Geologi Sempadan Pantai Sempadan Sungai

Kemiringan Lahan 1,000 5,000 2,000 2,000

Kondisi Geologi 0,200 1,000 0,333 0,333

Sempadan Pantai 0,500 3,000 1,000 0,500

Sempadan Sungai 0,500 3,000 2,000 1,000 CI CR

Bobot Kriteria 0,096 0,524 0,222 0,158 4,065 0,022 0,024

Pada tabel diatas ditunjukkan bahwa bobot kemiringan lahan lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria lainnya, hal ini menunjukkan bahwa untuk kerusakan yang disebabkan oleh adanya erosi/longsor, komponen kerentanan lahan mempunyai kontribusi tinggi dalam tingkat kerentanannya. Sedangkan pada Tabel 23 bobot kerentanan tertinggi pada kondisi lapisan geologi sehubungan dengan elemen ancaman likuifaksi. Selanjuntya untuk mendapatkan bobot kriteria dari faktor kerentanan fisis, nilai bobot kriteria terhadap masing-masing elemen ancaman tadi ditotalkan untuk mendapatkan bobot kriteria dari masing-masing komponen dari total elemen ancaman yang telah dihitung, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 24 Rekapitulasi Perhitungan Bobot Kriteria Faktor Kerentanan fisis

Genangan Longsor / Erosi Likuifaksi

Bobot Kriteria 0,589 0,159 0,252

Bobot Relatif Kemiringan Lahan 0,597 0,550 0,096

Bobot Relatif Kondisi Geologi 0,055 0,249 0,524

Bobot Relatif Sempadan Pantai 0,229 0,118 0,222

Bobot Relatif Sempadan Sungai 0,119 0,083 0,158

Tabel 25 Perhitungan Total Bobot Kriteria Untuk Masing-masing Komponen

Genangan Longsor / Erosi Likuifaksi Total

Total Bobot Kemiringan Lahan 0,351 0,088 0,024 0,463

Total Bobot Kondisi Geologi 0,033 0,040 0,132 0,204

Total Bobot Sempadan Pantai 0,135 0,019 0,056 0,210

Total Bobot Sempadan Sungai 0,070 0,013 0,040 0,123

Dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan untuk faktor kerentanan fisis, komponen yang paling berkontribusi dalam meningkatkan kerentanan fisis adalah komponen kemiringan lahan (slope), diikuti oleh komponen area sempadan pantai, kondisi geologi dan terakhir komponen sempadan sungai. 4.3.2. Bobot Kriteria Faktor Kerentanan Sosial Demografi Seperti yang telah dilakukan pada proses pengolahan data di faktor fisis, hal pertama yang dilakukan adalah memberikan bobot kriteria pada elemen ancaman bencana yang terkait dengan faktor kerentanan sosial demografi. Bobot kriteria elemen ancaman sosial demografi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 26 Bobot Kriteria Elemen Ancaman Bencana Faktor Sosial Demografi

Vulnerable Group Vulnerable Group Life Line 1,000 0,200

Life Line 5,000 1,000

Bobot Kriteria 0,833 0,167

Dari Tabel 26 dapat dilihat bahwa elemen ancaman bencana kelompok masyarakat rentan (vulnerable group) memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan infrastuktur sosial (life lines), hal ini disebabkan karena nilai jiwa manusia lebih berarti dibandingkan dengan asset apapun yang ada. Adapun komponen kerentanan sosial demografi pada proses pengolahannya dilakukan terpisah, hal ini dikarenakan antara komponen yang satu dengan komponen yang lain tidak memiliki keterkaitan terhadap masing-masing elemen ancaman bencana. Untuk perhitungan bobot kriteria kelompok masyarakat rentan, matrik pairewise dan bobot untuk masing-masing kriteria dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 27 Bobot Kriteria Faktor Sosial Demografi Komponen Kelompok Masyarakat Rentan

Kepadatan Penduduk Kepadatan Penduduk Anak-anak Lansia Perempuan 1,000 3,000 3,000 2,000

Anak-anak 0,333 1,000 0,500 0,333

Lansia 0,333 2,000 1,000 0,333

Perempuan 0,500 3,000 3,000 1,000 CI CR

Bobot Relatif 0,106 0,435 0,309 0,150 4,122 0,041 0,045

Pada komponen kelompok masyarakat rentan, yang menduduki bobot kriteria tinggi adalah kelompok usia anak-anak, diikuti oleh lansia, perempuan dan kemudian dilihat tingkat kepadatan penduduknya untuk masing-masing administrasi di lokasi pekerjaan. Penyusunan matrik pairwise tersebut didasari oleh pertimbangan kemampuan dari masing-masing kelompok kriteria terhadap jumlah kemungkinan korban jiwa yang mungkin timbul apabila terjadi bencana. Sedangkan untuk infrastruktur sosial, bobot untuk masing-masing kriteria diproses dengan menggunakan metoda peringkat yang di hitung untuk masing-masing bobot seperti telah ditunjukkan pada Tabel 13. 4.3.3. Bobot Kriteria Faktor Kerentanan Ekonomi Seperti yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, hal pertama yang dilakukan dalam pembobotan adalah menentukan bobot untuk masing-masing elemen ancaman. Dengan membangun matrik pairwise seperti yang dilakukan sebelumnya, maka tabel bobot kriteria elemen ancaman dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 28 Matrik pairwise Kriteria Kerentanan Elemen Ancaman Faktor Ekonomi

Demografi Penggunaan Lahan

Demografi 1,000 0,333

Penggunaan Lahan 3,000 1,000

Bobot Kriteria 0,750 0,250

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa kehilangan korban berdasarkan parameter demografi memberikan kontribusi yang dinggi dibandingkan komponen lainnya, hal ini sesuai dengan tujuan dari mitigasi bencana adalah untuk menekan jumlah korban jiwa sebagai prioritas utama. Dari tabel diatas juga diketahui bahwa kerusakan infrastruktur ekonomi dianggap lebih berkontribusi terhadap penurunan kuantitas dan kualitas ekonomi dibandingkan dengan penggunaan lahan sebagai sarana produksi perekonomian mikro dan makro wilayah.

Selanjutnya pembobotan kriteria untuk komponen demografi dapat dilihat pada Tabel 29, seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa kriteria yang dipergunakan sama dengan kriteria pada faktor sosial demografi, yang membedakan adalah penentuan nilai bobot kriteria tersebut. Penilaian bobot ini akan berbeda berdasarkan sudut pandang dan konteks elemen ancaman yang berbeda.
Tabel 29 Bobot Kriteria Faktor Ekonomi untuk elemen ancaman Demografi

Demografi sosial Wanita Anak - anak Lansia

Wanita 1,000 5,000 3,000

Anak anak 0,200 1,000 0,333

Lansia 0,333 3,000 1,000 CI CR

Bobot kriteria 0,106 0,633 0,260 3,039 0,019 0,033

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa anak-anak mempunyai bobot kriteria yang paling tinggi, disusul oleh lansia dan wanita, hal ini berbeda dengan bobot kriteria komponen vulnerability group pada faktor sosial demografi. Pembobotan kriteria penggunaan lahan tidak seperti pengolahan komponen lainnya yang menggunakan matrik pairwise, komponen penggunaan lahan dimana kriteria yang dibangun berdasarkan pendekatan kontribusi sektor industri pada PDRB, dibobotkan berdasarkan normalisasi peringkat masing-masing komponen seperti terlihat pada Tabel 15. 4.3.4. Bobot Kriteria Faktor Kerentanan Lingkungan Elemen bencana untuk faktor kerentanan lingkungan berkaitan dengan ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh ancaman bencana utama yaitu gempa bumi dan tsunami sebagai bencana ikutan. Untuk kontribusi masing-masing elemen terhadap kerentanan lingkungan dapat dilihat dari matrik pairwise berikut ini:
Tabel 30 Pairwise Elemen Ancaman Faktor Kerentanan Lingkungan

Fisik Mutu Lingkungan

Fisik 1,000 5,000

Mutu Lingkungan 0,200 1,000

Total 1,200 6,000

Bobot 0,167 0,833

Mutu lingkungan merupakan hal utama dibandingkan dengan fisik lingkungan yang rusak apabila terjadi bencana. Pemulihan kerusakan mutu lingkungan lebih banyak memakan

biaya dan waktu dalam pemulihannya, berbeda dengan pemulihan fisik lingkungan yang relatif lebih terukur dan lebih mudah dalam upaya rehabilitasinya. Kasus seperti ini seperti terjadi pada kejadian tumpahan minyak dilaut dimana kerusakan mutu lingkungan laut akibat tercemar minyak lebih sulit dipulihkan dibandingkan dengan menkompensasi ikan yang mati akibat kepekatan minyak yang tercampur dengan air. Berbeda dengan memulihkan terumbu karang yang mati akibat mutu air laut yang tercemar, memerlukan biaya dan waktu yang lebih banyak. Pembobotan kriteria untuk komponen kerentanan lingkungan dilakukan dengan menggunakan proses pairwise membangingkan masing-masing komponen yang satu dengan yang lainnya, dari tabel diatas diketahui nilai kontribusi komponen kerentanan mutu lingkungan dibandingkan dengan kerusakan fisik lingkungan seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Sedangkan pembobotan kriteria untuk komponen kerentanan lingkungan seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya dilakukan dengan metoda peringkat yang kemudian peringkat tersebut dinormalisasi seperti tertera pada Tabel 15 dan Tabel 16. Bobot normalisasi dari hasil perhitngan peringkat tadi kemudian dikalikan dengan bobot kriteria dari elemen ancaman pada Tabel 30.

4.4. Penyusunan Kerentanan Wilayah Selanjutnya nilai bobot kriteria yang telah ditentukan pada bagian sebelumnya tersebut dijadikan sebagai faktor pengali dalam melakukan analisis spasial, dimana masing-masing komponen tersebut selanjutnya dioverlay untuk mendapatkan nilai kerentanan. Untuk faktor kerentanan Fisis, layer kemiringan lahan berdasarkan pembobotan kriteria yang telah dihitung pada bagian sebelumnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari gambar tersebut berdasarkan kriteria kemiringan lahan, hampir sebagian besar area kajian masuk kedalam katagori sangat rentan, hal ini dikarenakan hampir sebagian besar area kajian merupakan dataran landai dengan persentase kemiringan 0 3%. Pada Lampiran 3 Kerentanan Fisis Komponen Geologi, diperlihatkan mengenai kerentanan wilayah berdasarkan kondisi geologi, dapat dilihat lapisan geologi yang memiliki tingkat kerentanan tinggi sebagian besar berada jauh dari garis pantai, hanya beberapa bagian memiliki tingkat kerentanan tinggi yang berada disekitar pantai, dan bukan merupakan kawasan terbangun,

dengan kata lain sebagian besar kawasan industri yang berada di sekitar pantai dibangun diatas lapisan geologi yang cukup stabil. Lampiran 4 Kerentanan Fisis Komponen

Sempadan Pantai dan Sungai, menunjukkan tingkat kerawanan yang dilihat dari sempadan pantai dan sungai, dari lampiran ini dapat dilihat bahwa sempadan pantai dan sempadan sungai yang dekat dengan garis pantai merupan wilayah dengan tingkat kerentanan yang tinggi. Sempadan sungai merupakan salah satu area yang rentan karena seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa sungai merupakan kanal masuk bagi gelombang tsunami. Untuk memperoleh nilai kerentanan faktor fisis, diperoleh dengan menggunakan persamaan 1 yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana nilai-nilai kerentanan masing-masing komponen yang telah ditunjukkan tadi ditumpang susunkan dan dijumlahkan untuk mendapatkan nilai kerentanan total. Hasil dari penjumlahan nilai kerentanan ini dapat dilihat pada Lampiran 5, dimana secara fisis kerentanan tertinggi terakumulasi diwilayah sempadan pantai, dan sempadan sungai pada jarak < 2 km, hal ini disebabkan karena wilayah ini merupakan area yang pertama kali diterjang oleh tsunami, dan kerusakan terbesar disebabkan oleh terjangan dan genangan oleh tsunami. Kerentanan faktor Sosial Demografi diperoleh dengan tahapan yang sama seperti mendapatkan nilai kerentanan fisis, dimana bobot kriteria komponen kerentanan sosial demografi tersebut dibagian sebelumnya dipergunakan untuk melakukan pemetaan kerentanan dengan unit analisis administrasi desa / kelurahan, hal ini dilakukan karena data yang dipergunakan merupakan data statistik yang mendeskripsikan kondisi desa / kelurahan. Hasil dari pengolahan yang dilakukan berdasarkan bobot kriteria yang telah dihitung dapat dilihat pada Lampiran 6, Lampiran 7, Lampiran 8, dan Lampiran 9. Dari lampiran tersebut dapat dilihat bahwa disebagian besar lokasi studi secara demografi kepadatan penduduk menduduki tingkat kerentanan yang rendah, karena hampir disemua keluarahan di wilayah studi memiliki kepadatan penduduk antara 1000 2000 jiwa / km2, hanya dikelurahan Rawa Arum memiliki tingkat kepadatan penduduk sedang, sehingga secara keseluruhan kerentanan komponen kepadatan penduduk secara umum tidak memberikan kontribusi signifikan. Untuk kerentanan berdasarkan persentase jumlah usia anak, hampir seluruh administrasi desa menempati tingkat kerentanan sedang dengan persentase jumlah anak dari total penduduk tiap desa berkisar antara 30 50%, hanya ada di Gunung sugih dan Gerem memiliki persentase jumlah anak dibawah 30%. Jadi secara keseluruhan tingkat

kerentanan sosial demografi berdasarkan komponen persentase jumlah anak berada pada tingkat rentan. Komponen kerentanan sosial demografi lainnya yaitu persentase lansia, dari hasil pengolahan data dilokasi studi pada umumnya memiliki persentase lansia yang cukup rendah sehingga kerentanan berdasarkan persentase lansia juga cukup rendah. Sedangkan apabila dilihat dari jumlah perempuan, sebagian besar lokasi studi berada pada tingkat kerentanan sedang dengan jumlah persentase perempuan berkisar antara 30 50 %, hanya di kelurahan Gunung Sugih yang memiliki tingkat kerentanan tinggi dengan persentase perempuan diatas 50%. Pada Lampiran 10 diperlihatkan rekap dari pengolahan data demografi, terlihat bahwa secara demografi Kelurahan Rawa Arum memiliki tingkat kerentanan paling tinggi, kemudian Kelurahan Samang Raya dan Tegal Ratu dengan tingkat kerentanan dibawahnya, tingkat kerentanan selanjutnya terdapat pada Kelurahan Warna Sari, Kubang Sari, Randakari dan Kepuh.Sedangkan untuk tingkat kerentanan infrastruktur Sosial dapat dilihat pada Lampiran 11, dari peta tersebut dilihat bahwa area infrastruktur yang memiliki kerentanan tinggi terdapat pada area yang lokasinya berdekatan dengan area lainnya, misalnya infrastruktur yang berada di lokasi pemukiman dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan adanya kepadatan bangunan dan fungsi dalam satu satuan lokasi dan hal ini dapat meningkatkan tingkat kerentanan pada keberadaan infrastruktur tersebut. Pada Lampiran 12 diperlihatkan kerentanan faktor Sosial Demografi secara keseluruhan dimana kerentanan dari komponen vulnerable group di-intersect-kan dengan komponen kerentanan infrastruktur sosial. Dari lampiran tersebut diketahui area kelurahan yang berbatasan langsung dengan laut dengan tingkat kerentanan yang tinggi adalah di Kelurahan Kepuh, Randakari, Tegal Ratu, Kubang sari dan Samangraya. Faktor kerentanan ekonomi seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, salah satu komponen pembangun kerentanannya adalah penilaian kembali terhadap vulnerable group, yang membedakan dengan perhitungan vulnerable group pada faktor kerentanan sosial demografi adalah faktor pengali bobot komponen ini terhadap elemen ancaman, serta bobot kriteria dari komponen vulnerable group itu sendiri, dimana pada faktor ekonomi matrik pairwise dibangun berdasarkan pertimbangan kerentanan ekonomi. Hasil pengolahan data untuk kerentanan faktor ekonomi dapat dilihat pada Lampiran 13 dan Lampiran 14 yang menunjukkan kondisi demografi kelompok masyarakat rentan kaitannya dengan kerentanan ekonomi. Pada komponen vulnerable group wilayah kelurahan yang mempunyai kerentanan tinggi terdapat pada Rawa Arum, desa pesisir lainnya termasuk pada tingkat kerentanan yang sedang, Kelurahan Gerem dan Gunungsugih termasuk pada wilayah dengan tingkat

kerentanan vulnerable group yang rendah. Komponen kerentanan ekonomi lainnya adalah penggunaan lahan, dimana unit penggunaan lahan dibobotkan berdasar produktivitas terhadap perekonomian. Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa sebagian besar kawasan pesisir dilokasi studi berada pada tingkat rentan, hal ini dikarenakan sebagian besar pemanfaatan lahan disekitar pesisir dimanfaatkan menjadi kawasan industri dan permukiman, sehingga hampir sebagian besar tingkat kerawanannya berada pada tingkat rentan. Faktor kerentanan selanjutnya adalah kerentanan lingkungan, dalam kerentanan lingkungan komponen yang diperhitungkan adalah vegetasi yang diperoleh dari data penggunaan lahan serta area kawasan rawan polutan industri yang mungkin diakibatkan apabila terjadi bencana industri. Hasil pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 16 untuk tingkat kerentanan berdasarkan respon vegetasi dan Lampiran 17 kerentanan berdasarkan jangkauan kontaminasi zat berbahaya dari industri. Untuk kerentanan berdasarkan respon vegetasi sebagian besar area pesisir didomonasi oleh kawasan terbangun dengan fungsi industri, hanya terdapat pada kelurahan Tegal Ratu dan Kubang Sari, dimana sebagian area pesisirnya dipegunakan masarakat untuk lahan pertanian, sedangkan di Kelurahan Warnasari area pesisirnya sebagian besar berupa hutan, sehingga tingkat kerentanannya pun rendah. Komponen lainnya adalah jangkauan kontaminasi dari instalasi zat berbahaya yang berasal dari kawasan industri. Sebagian besar kawasan pesisir memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi, karena sebagian besar industri di zona ini berada disekitar area pesisir. Pada Lampiran 18 diperlihatkan tinkat kerentanan lingkungan setelah digabungkan antara kerentanan berdasarkan respon vegetasi serta jangkauan kontaminasi zat berbahaya dari industri, dari hasil pengolahan data wilayah yang memiliki tingkat kerentanan lingkungan paling tinggi terdapat di Kelurahan Tegal Ratu, Kubang Sari dan Gerem, sedangkan untuk sebagian besar area pesisir lainnya berada pada tingkat kerentanan faktor lingkungan yang rentan walaupun secara mutu lingkungan berada pada peringkat sangat rentan, tetapi kerusakan fisik lingkungan dalam hal ini vegetasi mempunyai nilai nol karena merupakan area terbangun. Tingkat kerentanan lingkungan yang rendah terdapat di wilayah pesisir Kelurahan Kubangsari, walaupun berada disekitar kawasan industri, tetapi pemanfaatan vegetasi disekitar tersebut hanya berupa kawasan tanah kosong dan rumput yang mempunyai bobot kerentanan kerusakan fisik yang rendah, sehingga secara keseluruhan area ini memiliki kerentanan lingkungan yang relatif rendah.

Proses selanjutnya adalah menjumlahkan seluruh komponen kerentanan seperti yang ditulis pada persamaan 1 untuk kemudian mendapatkan nilai kerentanan total wilayah. Hasil dari proses ini dapat dilihat pada Lampiran 19 Kerentanan Wilayah Total. Dari peta tersebut dapat dilihat bahwa area dengan kerentanan tinggi terdapat pada wilayah sempadan pantai dan sempadan sungai, karena secara fisis kedua area ini merupakan area yang pertamakali akan terkena hempasan tsunami, begitu juga dengan area sempadan sungai yang merupakan pintu masuk utama dari tsunami. Tingkatan kerentanan selanjutnya didominasi oleh area dengan kerentanan penurunan mutu lingkungan yang disebabkan oleh jangkauan kontaminasi zat berbahaya seperti telah dijelaskan diatas. Secara keseluruhan dari Lampiran 19 dapat dilihat bahwa masing-masing faktor kerentanan memiliki kontribusi tersendiri dalam membangun kerentanan wilayah secara keseluruhan.

4.5. Penyusunan Resiko Bencana Tsunami Berdasarkan definisi resiko yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, disebutkan bahwa resiko secara matematis merupakan perkalian dari ancaman dan kerentanan seperti diekspresikan pada persamaan 3, maka proses selanjutnya langkah yang dilakukan adalah mengalikan nilai kerentanan wilayah (Lampiran 19) dengan ancaman bencana (Lampiran 1). Hasil yang diperoleh dari langkah ini dapat dilihat pada Lampiran 20. Operasi pengalian kedua layer ini dilakukan dengan bantuan software GIS, dan hasil yang diperoleh serupa dengan operasi intersect, dimana hasil dari operasi merupakan area yang saling beririsan, hal ini dikarenakan area yang tidak berisisan sama dengan melakukan perkalian dengan nilai nol, sehingga hasilnya pun akan nol. Untuk pembahasan peta resiko ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.

BAB 5 ANALISIS

5.1. Kondisi Resiko Bencana Tsunami 5.1.1. Ancaman Bencana Salah satu konsekuensi dari pembangunan, serta meningkatnya populasi penduduk khususnya diwilayah pesisir adalah semakin meningkatnya berbagai resiko terhadap ancaman bencana (UNEP, 1994). Hal tersebut sejalan dengan apa yang disebutkan pada bagian awal bahwa pembangunan merupakan salah satu pendorong terjadinya bencana dimana sebaliknya bencana dianggap sebagai faktor penghambat dari pembangunan. Oleh karena itu diperlukan manajemen resiko untuk menselaraskan antara rencana pembangunan serta resiko bencana yang ada berkaitan dengan konsekuensi yang harus diterima. Dalam prosedur manajemen resiko ada tiga tahapan yang harus dilakukan berkaitan dengan resiko bencana serta pembangunan wilayah, ketiga langkah tersebut yaitu: a. Identifikasi ancaman bencana. b. Penaksiran dari potensi ancaman bencana khusus c. Penyusunan perencanaan yang terintegrasi dengan pendekatan resiko bencana yang ada. Langkah mengidentifikasi ancanam bencana telah dilakukan dengan melakukan kajian referensi seperti apa yang telah dijelaskan pada sebelumnya. Dari kajian referensi yang telah dilakukan, diketahui bahwa ancaman bencana utama yang ada pada lokasi studi yaitu Gempa bumi serta bencana ikutannya berupa tsunami. Setalah diketahui ancaman bencana utama yang mengancam dilokasi studi, tahap selanjutnya adalah melakukan penaksiran dari tingkat ancaman tersebut. Dari hasil pengolahan diketahui bahwa ancaman bencana khusus yang menjadi perhatian adalah bencana ikutannya, yaitu tsunami. Dimana analisis ini didekati dengan menggunakan data model matematis untuk mengetahui tinggi tsunami didaratan (genangan air) serta jangkauan penetrasi dari tsunami tersebut. Dari data model tersebut diketahui bahwa lokasi yang mengalami hantaman terbesar karena tsunami terdapat di sekitar Kecamatan Ciwandan dan

Citangkil, khususnya di kawasan Industri Zona 1. Potensi ancaman bencana ini selanjutnya dijadikan sebagai dasar penyusunan kerentanan wilayah melalui penentuan elemen ancaman bencana untuk masing-masing faktor kerentanan wilayah
Tabel 31 Elemen Ancaman Bencana

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Elemen Ancaman Bencana Demografi Vulnerable Group Penurunan mutu lingkungan Economic Vulnerable Group Genangan Likuifaksi Penggunaan Lahan Infrastruktur sosial Kerusakan Fisik Longsor / Erosi

Faktor Kerentanan Sosial Demografi Lingkungan Ekonomi Fisis Fisis Ekonomi Sosial Demografi Lingkungan Fisis

Bobot 0,833 0,833 0,750 0,589 0,252 0,250 0,167 0,167 0,159

Normalisasi 0,208 0,208 0,188 0,147 0,063 0,063 0,042 0,042 0,040

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dalam studi ini elemen ancaman yang paling mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah adalah vulnerable group demografi, seperti pada tujuan dari manajemen bencana dimana hal utama yang menjadi tujuan adalah untuk menekan jumlah korban jiwa, oleh karena itu kelompok masyarakat rentan berbobot tinggi dibandingkan dengan elemen bencana lainnya. Elemen ancaman lainnya yang memiliki bobot paling tinggi adalah penurunan mutu lingkungan dan kelompok masyarakat dengan tingkat resilience yang rendah. Mutu lingkungan merupakan salah satu modal utama dalam peningkatan pengembangan wilayah, dengan mutu lingkungan yang tinggi dapat diasumsikan sektor ekonomi masyarakat, terutama yang berbasis sumberdaya alam akan dapat berkembang. Oleh karena itu mutu lingkungan menjadi perhatian utama lainnya dalam menilai kerentanan wilayah. Khusus untuk lokasi studi hal yang berkaitan dengan mutu lingkungan adalah adanya zat-zat berbahaya yang ada disekitar kawasan industri yang siap mengancam sewaktu-waktu pada kondisi ekstrim, dan hal ini harus diantisipasi dan dipertimbangkan dalam proses perencanaan pembangunan. Seperti halnya pada faktor sosial demografi, kelompok masyarakat rentan kembali mempunyai bobot penting dalam penilaian kerentanan wilayah, kelompok ini berkaitan dengan tingkat resilience atau kemampuan pulih kembali apabila terjadi bencana terutama yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi.

5.1.2. Kerentanan wilayah Pada proses pengolahan data untuk mendapatkan nilai kerentanan, semua faktor kerentanan (fisis, sosial demografi, ekonomi dan lingkungan) dianggap mempunyai bobot faktor kerentanan yang sama, sehingga persamaan matematis yang dipergunakan untuk mendapatkan nilai kerentanan wilayah seperti tertulis pada persamaan 1. Sedangkan bobot atau kontribusi kerentanan bergantung pada komponen kerentanan pembangun masingmasing faktor serta bobot dari elemen ancaman bencana seperti telah dijelaskan diatas. Sebagian besar area di lokasi studi yang memiliki kerentanan tinggi adalah area sempadan pantai dan sungai, hal ini disebabkan selain karena akumulasi komponen kerentanan, hal ini juga disebabkan karena sempadan pantai merupakan area yang pertama kali berinteraksi dengan tsunami yang datang dari arah laut, selain itu sempadan pantai juga memiliki tingkat kerentanan yang relatif tinggi, hal ini disebabkan karena sungai merupakan jalan masuknya tsunami ke arah daratan. Selain itu kawasan rentan dengan tingkatan yang lebih rendah dari area sempadan pantai dan sungai hampir terdapat di seluruh wilayah administrasi kelurahan yang berbatasan langsung dengan pantai, hanya Kelurahan Gerem dan Gunung Sugih yang memiliki tingkat kerentanan relatif rendah dibandingkan dengan wilayah kelurahan pesisir lainnya. Kelurahan Dringo dan Banjarnegara memiliki tingkat kerentanan yang sangat rentan, hal ini dikarenakan wilayah administrasinya bukan merupakan wilayah kelurahan pesisir, selain itu akumulasi nilai dari komponen kerentanannya juga relatif rendah dibandingkan dengan wilayah administrasi lainnya.
Tabel 32 Matrik Analisa Kerentanan

Kelurahan / Kecamatan Gerem

1. Fisis a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai c. Kemiringan Landai d. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan

2. Sosial Demografi a. Vulnerable group yang rendah b.Infrastruktur sosial relatif rendah, permukiman serta jalan raya

3. Ekonomi a. Kerentanan kelompok masyarakat rentan rendah dimana komposisi anakanak dan lansia relatif rendah, sedangkan komposisi perempuan relatif sedang

4. Lingkungan a. Vegetasi didominasi oleh tanaman perkebunan b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya

Kelurahan / Kecamatan

1. Fisis

2. Sosial Demografi

3. Ekonomi b.Wilayah pesisir terdapat kawasan industri dan kearah daratan didominasi oleh perkebunan

4. Lingkungan

Rawa Arum

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai c. Kemiringan Landai d. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan, juga sebagian diwilayah pesisir

a. Vulnerable group yang Sangat Tinggi b.Infrastruktur sosial rendah, terdapat jalan dan permukiman

a. Kerentanan rentan untuk kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Wilayah pantai digunakan sebagai kawasan industri, ke arah darat sebagian dimanfaatkan untuk persawahan dan kebanyakan digunakan sebagai perkebunan

a. Vegetasi didominasi oleh sawah dan hutan b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya

Warnasari

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai c. Kemiringan Landai d. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan, juga sebagian diwilayah pesisir

a. Vulnerable group yang Tinggi b.Infrastruktur sosial rendah, terdapat jalan dan permukiman

a. Kerentanan sedang untuk kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Area pantai didominasi oleh hutan, ke arah darat terdapat kawasan industri

a. Vegetasi didominasi oleh hutan b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya

Samangraya

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai

a. Vulnerable group yang Tinggi

a. Kerentanan rentan untuk

a. Vegetasi didominasi oleh hutan dan

Kelurahan / Kecamatan

1. Fisis c. Kemiringan Landai e. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan, juga sebagian diwilayah pesisir

2. Sosial Demografi b.Infrastruktur sosial pada tingkat sedang, terdapat permukiman, jalan, pendidikan (SD, SMP) dan perkantoran Kerentanan

3. Ekonomi kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Area pantai dipergunakan variatif hutan, industri dan sawah

4. Lingkungan pertanian b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya, ring 2 jauh berada di arah daratan

Kubangsari

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai c. Kemiringan Landai f. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan, juga sebagian diwilayah pesisir

a. Vulnerable group yang Tinggi b.Rentan untuk infrastruktur sosial, banyak terdapat utilitas selain jalan dan permukiman seperti pasar dan pendidikan (SD, SMP dan SMA)

a. Kerentanan rentan untuk kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Area pantai didominasi oleh lahan kosong dan pertanian / sawah

a. Vegetasi didominasi oleh rumpun dan lahan pertanian b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya, sebagian area pantai berada pada ring 2

Tegal Ratu

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai c. Kemiringan Landai g. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan, juga sebagian diwilayah pesisir

a. Vulnerable group yang Tinggi b.Rentan untuk infrastruktur sosial, banyak terdapat utilitas selain jalan dan permukiman seperti pendidikan (SD, SMP dan SMA)

a. Kerentanan rentan untuk kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Area pantai didominasi oleh lahan kosong dan pertanian

a. Vegetasi didominasi oleh rumpun dan lahan pertanian b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya, ring 2 jauh berada di arah daratan, begitu juga ring 3 lebih jauh lagi ke arah daratan

Randa Kari

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai

a. Vulnerable group yang Tinggi

a. Kerentanan rentan untuk

a. Vegetasi didominasi oleh hutan dan lahan

Kelurahan / Kecamatan

1. Fisis c. Kemiringan Landai, sebagian ada ada kemiringan tidak landai d. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan

2. Sosial Demografi b. Infrastruktur sosial pada tingkat sedang, terdapat permukiman, jalan, pendidikan (SD, SMP, dan SMA)

3. Ekonomi kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Area pantai digunakan sebagai kawasan industri, kearah darat didomonasi oleh perkebunan

4. Lingkungan pertanian b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya, ring 2 jauh berada di arah daratan, begitu juga ring 3 lebih jauh lagi ke arah daratan

Kepuh

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai c. Kemiringan Landai, ada sebagian lahan dengan kemiringan yang tidak landai d. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan, juga sebagian diwilayah pesisir

a. Vulnerable group yang Tinggi b. Infrastruktur sosial pada tingkat sedang, terdapat permukiman, jalan, pendidikan (SD, SMP, dan SMA)

a. Kerentanan rentan untuk kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Area pantai didominasi oleh kawasan industri, kearah darat penggunaan lahan didominasi oleh perkebunan

a. Vegetasi didominasi oleh hutan dan lahan pertanian b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya, ring 2 jauh berada di arah daratan

Gunung Sugih

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai c. Kemiringan Landai, sebagian ada yang tidak landai d. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat

a. Vulnerable group yang Sedang b. Kerentanan Infrastruktur sosial rendah, kuantitas dan utilitas relatif rendah

a. Kerentanan sedang untuk kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Area pantai didominasi oleh

a. Vegetasi didominasi oleh hutan dan lahan pertanian b.Ring 1 zona kontaminasi zat berbahaya, ring 2 jauh berada di arah daratan

Kelurahan / Kecamatan

1. Fisis peka kearah daratan, juga sebagian diwilayah pesisir

2. Sosial Demografi

3. Ekonomi kawasan industri, kearah darat penggunaan lahan didominasi oleh perkebunan

4. Lingkungan

Banjarnegara

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai c. Kemiringan Landai, sebagian ada ada kemiringan tidak landai c. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan

a. Vulnerable group yang Sangat Tinggi b.Kerentanan sedang untuk infrastruktur sosial karena utilitas relatif lengkap

a. Kerentanan rentan untuk kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Penggunaan lahan didominasi oleh pertanian dan perkebunan

a. Vegetasi didominasi oleh hutan dan lahan pertanian b.Ring 2 zona kontaminasi zat berbahaya, lebih jauh ke arah darat termasuk kedalam zona kontaminasi ring 3

Dringo

a. Sempadan Pantai b. Sempadan Sungai d. Kemiringan Landai, sebagian ada ada kemiringan tidak landai c. Geologi terdiri dari lapisan tidak peka diwilayah pesisir dan sangat peka kearah daratan

a. Vulnerable group yang Sangat Tinggi b.Kerentanan infrastrutur sosial relatif rendah karena kuatitas dari utilitas relatif rendah

a. Kerentanan rentan untuk kelompok masyarakat rentan dimana komposisi perempuan sedang, lansia rendah dan anak-anak sedang b.Penggunaan lahan didominasi oleh pertanian dan perkebunan

a. Vegetasi didominasi oleh hutan dan lahan pertanian b.Ring 2 zona kontaminasi zat berbahaya, lebih jauh ke arah darat termasuk kedalam zona kontaminasi ring 3

Tabel diatas memperlihatkan kondisi eksisting dari masing-masing faktor kerentanan untuk masing-masing wilayah administratif, dan dari matrik diatas juga dapat diketahui kontribusi kerentanan wilayah yang paling signifikan dalam menentukan kerentanan.

5.1.3. Resiko Bencana Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa resiko bencana yaitu secara umum dapat diartikan sebagai kondisi kemungkinan kerugian atau kehilangan dikarenakan oleh suatu fenomena yang dapat merusak atau menghancurkan, atau yang dapat dikenal sebagai ancaman bencana. Adapun kondisis resiko bencana alam, khususnya yang diakibatkan oleh tsunami untuk lokasi studi telah diperlihatkan dalam Lampiran 20. Dalam studi ini metoda penilaian tingkat resiko menggunakan pendekatan cruch (Gambar 20), dimana nilai resiko bencana alam merupakan interaksi dari adanya kerentanan wilayah dengan ancaman bencana. Secara matematis definisi tersebut diekspresikan seperti tertera pada persamaan 3. Untuk membahas kondisi resiko bencana dilokasi studi, maka sebelumnya harus dipahami dahulu mengenai kondisi kerentanan wilayah seperti yang telah ditunjukkan dibagian sebelumnya.

Ancaman

BENCANA

Kerentanan

Gambar 20 Konsep Resiko Bencana Model Crunch

Dari hasil pengolahan data area pada lokasi studi yang memiliki nilai resiko paling tinggi terdapat pada wilayah sempadan pantai di Kelurahan Warnasari, Kubangsari, dan Tegalratu, serta sebagian pantai di kelurahan Rawa Arum dan Kepuh

5.2. Dampak Bencana Perhitungan kerugian atau kehilangan berdasarkan kajian resiko yang telah dilakukan diantaranya adalah menentukan apa saja rusak atau hilang yang disebabkan oleh rendaman tsunami. Berdasarkan teori kerusakan dari bencana dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kerusakan langsung (Direct damages) dan kerusakan tidak langsung (Indirect

damages). Kerugian langsung dapat diartikan sebagai kerusakan atau kehilangan fisikal yang dapat dihitung kuantitasnya, misalnya korban jiwa, kerusakan bangunan, lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan tidak langsung bersifat kualitatif, misalnya perekonomian, penurunan mata pencaharian dan sebagainya. 5.2.1. Kerusakan Langsung (Direct Damages) Kerusakan langsung yang berdasarkan pemetaan resiko yang telah dilakukan diantaranya menghitung luasan area yang rusak akibat tergenang berdasarkan unit pemanfaatan lahan. Dari informasi tersebut dapat diketahui aset apa saja yang mengalami kerusakan atau kehilangan dari wilayah yang tergenangi. Pada Tabel 36 diperlihatkan luasan untuk masing-masing unit penggunaan lahan ditiaptiap wilayah administrasi lokasi studi, serta luasan yang tergenang oleh tsunami. Untuk Kelurahan Gerem, area yang banyak tergenang adalah kawasan industri, sebesar 92,5% dari luasan yang ada tergenang oleh tsunami, 26,3% area permukiman yang terdapat di kelurahan ini tergenang disamping lahan produktif seperti pertanaian sebesar 32,97%. Selengkapnya persentase kerusakan untuk Kelurahan Gerem dapat dilihat pada grafik di Gambar 21.

21%

57%

3% 3% 16%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 21 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Gere m

Kawasan Industri di Kelurahan Rawa Arum hampir semuanya beresiko tergenang, hal ini disebabkan hampir seluruh kawasan industri berada di area pantai. Selain itu sekitar 72,74% lahan pertanian berpotensi mengalami kerusakan, hal ini dikarenakan penetrasi tsunami ke darat hampir sejauh 2,6 km, sedangkan area permukiman yang terancam tergenang

berkisar 20,39%. Persentase kerusakan di Kelurahan Rawa arum selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 22. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kerusakan terbesar pada kawasan Industri, sedangkan kerusakan pada kawasan permukiman relatif sedikit dibandingkan dengan unit penggunaan lahan lainnya.

42% 31% 9% 18%

0%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 22 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Rawa Arum

Untuk wilayah Kelurahan Warnasari genangan banyak melanda pada kawasan hutan sebesar 81,41%, sedangkan lahan produktif yang mengalami kerusakan agak luas adalah untuk area pertanian sebesar 59,48%. Kemampuan penentrasi tsunami dikawasan ini menjangkau kurang lebih 2,5 km, sehingga masih dapat menjangkau kawasan industri walaupun berada jauh di daratan, sehingga sekitar 39,68% kawasan industri terendan. Kondisi ini dapat disebabkan karena pemodelan rendaman tsunami (PPKPL ITB, 2007) yang dipergunakan tidak memasukkan suku gesekan dari objek yang dilalui, sehingga kemempuan vegetasi dalam mengurangi energi gelombang yang masuk tidak terlihat. Berdasarkan Gambar 23 dapat dilihat bahwa kerusakan terbesar terjadi pada penggunaan lahan hutan, pertanian dan industri, sedangkan area permukiman berada pada tempat yang aman terjauh dari jangkauan rendaman tsunami. Area lahan kosong atau rumput yang berada di sekitar pantai wilayah Kelurahan Samangraya menjadi sasaran utama tsunami, disamping itu lahan pertanian dan kawasan industri menjadi objek yang banyak tergenang sekitar 66% dari total lahan pertanaian dan kawasan industri yang ada di wilayah ini. Area permukiman yang berpotensi tergenang hanya sekitar 0,87%, karena energi tsunami tidak sampai menjangkau pada kawasan permukiman

yang berada jauh ke arah daratan. Selengkapnya mengenai potensi kerusakan unit penggunaan lahan di Kelurahan Samangraya dapat dilihat pada Gambar 24.

22%

0%

33% 45%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 23 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Warnasari

Wilayah Kubangsari dan sekitarnya merupakan akumulasi energi tsunami yang melanjda daratan Kota Cilegon, jangkauan penetrasi tsunami di sekitar wialyah ini mencapai kurang lebih 2 3 km ke arah daratan, sehingga semua kawasan industri yang berlokasi disekitar sempadan pantai habis tergenang selain lahan pertanian sekitar 76,41% berpotensi tergenang juga. Karena akumulasi energi tsunami yang besar di wilayah ini, area permukiman yang jauh di arah daratan pun sekitar 37,59 juga berpotensi terendam.

21%

57%

3% 3% 16%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 24 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Samangraya

Berdasarkan Gambar 25 dapat dilihat bahwa kerusakan terbesar berpotensi pada kawasan industri dan lahan pertanian, sedangkan untuk kawasan permukiman relatif kecil dengan jumlah persentase kurang lebih sebesar 13%.

34% 24% 13%

26% 3%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 25 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Kubangsari

Layah Kelurahan Tegal Ratu yang berdampingan dengan Kelurahan Kubangsari berpotensi juga mengalami genangan dengan jangkauan yang jauh karena akumulasi energi tsunami juga terpusat disekitar sini. Kawasan industri yang berada disekitar pantai 100% berpotensi tergenang, selain lahan produktif lainnya berupa lahan pertanian sekitar 65% dan kawasan permukiman sekitar 35%. Kuantitas kerusakan untuk masing-masing unit penggunaan lahan di Kelurahan Tegal Ratu dapat dilihat pada Gambar 26. Dari gambar itu juga dapat dilihat bahwa kerusakan sebagian besar menimpa pada penggunaan lahan di sektor industri dan pertanian, sedangkan area permukiman relatif kecil untuk kawasan ini.

34% 27% 12% 5% 22%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 26 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Tegal Ratu

Kelurahan Randakari bukan merupakan wilayah administrasi pesisir secara geografis, akan tetapi tetap berpotensi tergenang oleh tsunami, selain dikarenakan memiliki unit lahan yang relatif landai, wilayah ini juga masih terimbas oleh energi tsunami, disamping itu batas wilayah bagian baratnya relatif berjarak pendek dari garis pantai. Potensi kerusakan akibat genangan tsunami ini hampir 100% kawasan industri yang ada di administrasi bagian barat tergenang oleh tsunami. Selain itu 26,8% lahan pertanian berpotensi rusak akibat genangan air, sedangkan untuk area permukiman sekitar 15,97% juga berpotensi tergenang. Distribusi kerusakan lahan di Kelurahan Randakari dapat dilihat pada Gambar 27.

38% 38% 10% 6% 8%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 27 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Randakari

Energi tsunami di sekitar wilayah Kelurahan Kepuh semakin mengecil, jangkauan rendaman relatif lebih pendek dibandingkan rendaman di wilayah lain yang telah disebutkan tadi. Penentrasi rendaman tsunami di wilayah Kelurahan Kepuh rata-rata kurang lebih 1 km. Potensi kerusakan akibat rendaman tsunami sebagian menimpa pada kawasan Industri (96,18%) dan lahan pertanian (42,66%). Kawasan permukiman yang tergenang (25,77%) sebagian besar permukiman yang berada di sekitar sempadan sungai, dimana gelombang tsunami masuk melaluinya. Komposisi kerusakan wilayah di Kelurahan Kepuh dapat dilihat pada Gambar 28 berikut ini:

56% 25%

15% 4%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 28 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Kepuh

Rendaman tsunami di Kelurahan Gunung Sugih relatif tidak terlalu besar, akan tetapi potensi kerugian, dimana 45,24% kawasan industri terancaman akan terendam, kawasan permukiman hanya berpotensi terendam sebesar 2,73%, begitupun dengan unit penggunaan lahan lainnya relatif kecil. Selengkapnya mengenai komposisi kerusakan aktibat tsunami dapat dilihat pada Gambar 29.

Formatted: Centered

20% 1% 5%

74%

Industri

Permukiman

Hutan

Perkebunan

Pertanian

Kosong

Gambar 29 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kel urahan Gunung Sugih

5.2.2. Kerusakan Tidak Langsung (Indirect Damages) Kerugian atau kerusakan tidak langsung merupakan kerugian yang disebabkan oleh adanya kerusakan langsung, misalnya penurunan tingkat ekonomi wilayah, kehilangan mata pencaharian, terhambatnya pendidikan karena kerusakan fasilitas, terhambatnya aliran barang dan jasa karena rusak atau terhambatnya fasilatas transportasi, dan banyak hal lainnya yang dapat dikatagorikan sebagai kerusakan atau kerugian tidak langsung. Dari pemetaan resiko serta analisis resiko yang telah dilakukan diketahui bahwa hampir sebagian besar kawasan industri di Kota Cilegon terkena dampak langsung akibat adanya tsunami. Oleh karena itu kontribusi sektor industri terhadap perekonomian wilayah otomatis akan terganggu. Seperti telah diperlihatkan pada Tabel 14, sektor industri memberikan kontribusi PDRB rata-rata tiap tahun berkisar sebesar 63%. Selain berpengaruh pada ekonomi makro, gangguan terhadap industri ini juga berpengaruh langsung kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang mata pencahariannya pada sektor industri secara langsung sebagai karyawan. Jumlah masyarakat yang bekerja disektor industri dimana berpotensi kehilangan pekerjaan ketika terjadi bencana dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33 Persentase Penduduk Dengan Mata Pencaharian di Sektor Industri

No 1 2 3

Desa / Kelurahan Gerem Rawa Arum Warnasari

Total Penduduk 11189 12729 8068

Pekerja Industri 899 1146 685

Persentase 8,03 9,00 8,49

No 4 5 6 7 8 9

Desa / Kelurahan Samangraya Kubang Sari Tegal Ratu Randa Kari Kepuh Gunung Sugih

Total Penduduk 9824 6819 9361 7440 7772 8891

Pekerja Industri 787 350 522 349 1059 2113

Persentase 8,01 5,13 5,58 4,69 13,63 23,77

Dari tabel diatas jumlah penduduk yang bekerja disektor industri terbesar terdapat di Kelurahan Gunung Sugih (2.113 jiwa) dengan porsi persentase dari total penduduk sebesar 23,77%. Selain itu jumlah penduduk yang bekerja di sektor industri terbesar lainnya adalah di Kelurahan Rawa Arum sebanyak 1.146 jiwa, akan tetapi porsi persentase dari total penduduk relatif kecil, hanya 9%. Apabila ditinjau ulang dari peta resiko bencana yang telah dihasilkan wilayah yang paling beresiko adalah di Kelurahan Rawa Arum, dimana hampir seluruh kawasan industri di Kelurahan Rawa Arum berpotensi terendam tsunami, dibandingkan dengan kawasan industri di Kelurahan Gunung sugih yang hanya sekitara 45% saja kawasan industri berpotensi terendam tsunami. Untuk lebih jelas mengenai potensi kerugian tidak langsung berupa hilangnya lapangan kerja, investasi dan potensi kontribusi PDRB dapat dilihat dari Lampiran 21. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah tenaga kerja untuk masing-masing industri yang berpotensi kehilangan pekerjaan apabila terjadi bencana. Dari sektor industri, kerugian tidak langsung yang mungkin terjadi selain berkaitan dengan lapangan kerja, hal lainnya yang dapat merasakan dampak dari potensi bencana ini adalah multiplayer effect yang selama ini berlangsung karena keberadaan kawasan industri. Kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan keberadaan industri-industri ini misalnya bisnis rumah makan, penginapan, dan lainnya. Selain itu, industri utama yang rata-rata merupakan industri besar juga dapat menciptakan backward dan forward linkage yang berupa industriindustri kecil atau bahkan industri rumahan, yang mana sektor ini juga akan mendapatkan dampak tidak langsung apabila industri besar yang merupakan induknya collaps akibat terjadinya bencana. Dari data yang diperoleh, diketahui diantaranya ada beberapa industri kelas menengah kecil yang dapat dikatagorikan sebagai industri ikutan dari industri utama dengan modal investasi besar, industri menengah-kecil yang dimaksud diantaranya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 34 Industri Multiplayer Effect Kelas Menengah - Kecil (sumber: Bappeda Kota Cilegon, 2007)

No 1 2

Nama Perusahaan Wastex International , PT Jasa Inti Cigading, CV

Jenis Perusahaan Jasa pengolahan Limbah Jasa Kontruksi Barak

Kelas Menengah Kecil

No 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Nama Perusahaan Purnatama , CV Amigos Restaurant & Bar Blanca Nusa Perdana , PT Catering Dua Saudara Catur Insan Pertiwi , PT Gunung Mas Group , CV Dharma Lautan Nusantara , PT Gemar perkasa Biru samudra , PT Djakarta Lloyd , PT Gesuri Lloyd , PT Babcock & Wilcox Asia , PT Blastindo Dharma Engg. Koperasi Karyawan Estika Baja

Jenis Perusahaan Jasa Pengadaan Barang Rumah Makan Catering Catering Maintenance Labour Supply Bongkar muat Bongkar muat Pelayaran Pelayaran Jasa perbaikan dan pemeliharaan mesin Jasa perbaikan dan pemeliharaan mesin Jasa Cleaning Service

Kelas Kecil Kecil Kecil Kecil Menengah Menengah Kecil Menengah Kecil Kecil Kecil Menengah Kecil

Tabel diatas menunjukkan sebagian efek ikutan dari adanya industri di Cilegon yang berupa industri-industri kelas menengah-kecil yang mensupport aktivitas industri utama. Kegiatan ekonomi dari industri menengah-kecil tersebut bergantung dengan keberadaan industri utama yang ada dilokasi studi, oleh sebab itu apabila terjadi bencana yang menimpa pada industri utama, maka industri ikutan ini juga akan mengalami kerugian karena terhentinya aktivitas industri yang disokongnya. Misalnya perusahaan kelas menengah-kecil yang bergerak di bidang jasa cleaning service, dimana aktivitas ekonomi dari perusahaan ini adalah untuk menyokong industri besar atau utama dalam bidang kebersihan gedung, maka apabila industri yang disokong tadi mengalami bencana otomatis perusahaan cleaning service ini akan kehilangan pekerjaannya. Begitu juga dengan dengan jenis industri lainnya seperti ditunjukkan dalam Tabel 34. Selain sektor industri, potensi kerugian lainnya adalah pada sektor pertanian dan perkebunan, dimana secara fisis lingkungan, hampir disetiap wilayah administrasi pesisir mengalami kerusakan pada lahan pertanian dan perkebunan akibat tsunami. Kontribusi terhadap PDRB tidak menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan, akan tetapi sektor pertanian ini banyak menyerap tenaga kerja dari golongan masyarakat bawah, dan kondisi ini sangat berarti dalam perekonomian rumah tangga sebagai unit terkecil dari perekonomian wilayah. Penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian dan perkebunan yang berpotensi mengalami kerugian tidak langsung akibat bencana dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35 Persentase Penduduk Dengan Mata Pencaharian di Sektor Pertanian dan Perkebunan

No 1 2

Desa / Kelurahan Gerem Rawa Arum

Total Penduduk 11189 12729

Petani 1019 197

Persentase 9,11 1,55

No 3 4 5 6 7 8 9

Desa / Kelurahan Warnasari Samangraya Kubang Sari Tegal Ratu Randa Kari Kepuh Gunung Sugih

Total Penduduk 8068 9824 6819 9361 7440 7772 8891

Petani 40 172 119 46 222 466 326

Persentase 0,50 1,75 1,75 0,49 2,98 6,00 3,67

Kerugian tidak langsung disektor pertanian dan perkebunan yang berpotensi dialami akibat terjadinya bencana yaitu arus pergerakan produk pertanian dari sentra pertanian dan perkebunan yang terhambat akibat rusaknya jalur transportasi yang menghubungkan sentra produksi dengan konsumen. Dari peta resiko hasil pengolahan dapat dilihat bahwa ruas jalan utama Serang Cilegon berpotensi terendam tsunami. Selain itu, ruas jalan ini memotong beberapa ruas sungai besar yang beresiko tinggi, sehingga potensi kerusakan jembatan dan memutus ruas jalur ini sangat besar.

Gambar 30 Ruas Jalan Serang - Cilegon

Dari Gambar 30 terlihat sekurangnya terdapat tiga perpotongan ruas jalan Serang Cilegon dengan Sungai yang berpotensi memutus ruas jalan ini karena kerusakan jembatan apabila terjadi bencana. Kondisi ini akan menghambat arus produksi pertanian dan perkebunan dari sentra produksi dalam hal ini Kabupaten Serang ke Kota Cilegon sebagai pusat pemasaran dari produksi pertanian dan perkebunan tersebut.

Tabel 36 Perbandingan Luas Unit Penggunaan Lahan Eksisting terhadap Resiko Tsunami Luas unit penggunaan lahan (meter persegi) Industri 1234835,94 Kel. Gerem Kec. Grogol 1203,00 1142231,42 3101676,78 Kel. Gunungsugih Kec. Ciwandan 1712,00 1403130,24 1158503,84 Kel. Kepuh Kec. Ciwandan 1878,00 1114211,89 409930,26 Kel. Kotasari Kec. Grogol 237,00 1259,81 1130,44 Kel. Kubangsari Kec. Ciwandan 396,00 1130,44 9303,03 Kel. Randakari Kec. Ciwandan 461,00 9303,03 688737,91 Kel. Rawaarum Kec. Grogol 419,00 688737,91 2785464,91 Kel. Samangraya Kec. Citangkil 417,00 1791745,32 530537,39 Kel. Tegalratu Kec. Ciwandan 507,00 530537,39 2335929,17 Kel. Warnasari Kec. Citangkil 551,00 926901,92 39,68 100,00 64,32 100,00 100,00 100,00 0,31 294551,48 110734,19 251442,11 40145,91 807641,75 164716,17 419011,28 3646,42 290388,86 100488,88 180656,63 0,00 34,60 0,87 20,39 15,97 37,59 96,18 45,24 92,50 % Permukiman 665753,99 175082,64 266472,29 7283,37 214057,62 55161,22 200804,21 0,00 25,77 2,73 26,30 % Hutan 1377926,28 72657,11 1711523,62 14184,60 4185539,10 293819,05 2142505,91 49232,07 217450,80 18318,31 2134176,13 432113,92 1605825,56 697356,16 1105655,75 263107,25 1519111,03 234660,55 2319590,12 1888278,86 81,41 15,45 23,80 43,43 20,25 957175,77 0,00 8,42 2,30 1440414,16 1100558,49 586881,32 157334,08 1523278,00 1107990,25 1347260,75 900012,18 1744403,93 1135667,54 394634,14 234723,76 59,48 65,10 66,80 72,74 62419,29 62419,29 2211741,55 1744337,60 78,87 100,00 26,81 76,41 7,02 0,83 5,27 % Perkebunan 6293778,04 278928,47 4,43 % Pertanian 549823,11 181301,74 342989,81 42141,05 1193387,77 509053,97 110009,48 0,00 1905413,80 1369082,97 805,92 805,92 100,00 71,85 42,66 12,29 32,97 % Kosong %

Kelurahan

Kecamatan

Luas (km2)

5.3. Analisis Ambang Batas (threshold analysis) Keterkaitan antara pemetaan resiko atau secara umum kajian mengenai kondisi resiko wilayah termasuk didalamnya identifikasi kerentanan wilayah serta ancaman bencana dengan rencana pemanfaatan lahan secara khsus atau kebijakan perencanaan pembangunan wilayah secara umum adalah mensinkronisasi resiko yang dapat diposisikan sebagai hambatan dari pelaksanaan perencanaan pembangunan. Sebaliknya dengan proses perencanaan yang tidak tepat akan meningkatkan resiko terhadap bencana. Permasalahan yang timbul sehubungan dengan tsunami sebagai ancaman bencana, pemanfaatan lahan merupakan alat mitigasi pada tingkat perencanaan, akan tetapi apabila dalam menyusun perencanaan pemafaatan lahan tidak mengakomodir kondisi ancaman serta kerentanan yang ada, maka fungsi mitigasi tidak berfungsi dan menempatkan wilayah pada resiko yang tinggi. Penataan pemanfaatan lahan dalam upaya mitigasi diantaranya melalui pengaturan area sensitif, penerapan building code yang sesuai dengan kondisi lahan bangunan, pemintakan wilayah pesisir berdasarkan pemanfaatan sumberdaya alam serta ancaman bencana, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, kajian yang membahas mengenai perencanaan yang berkaitan dengan kondisi kebencanaan terdapat pada analisis ambang batas, kajian ini terdapat pada Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Ciwandan dan Kecamatan Citangkil yang berkaitan dengan lokasi studi. Analisis ambang batas (threshold analysis) untuk Kecamatan Ciwandan dan Citangkil dapat dilihat pada Gambar 31. Dari peta tersebut terlihat bahwa sebagian besar area pantai dimasukkan kedalam wilayah limitasi yang diwakili oleh warna abu-abu, area dengan warna kuning merupakan zona kendala, sedangkan area dengan warna hijau merupakan area yang mungkin dilakukan pengembangan. Untuk lebih jelas penjelasan masing-masing zona pada analisis ambang batas tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 37 Faktor Penilaian Ambang-Batas dan Konsekuensi Pengembangan Kawasan (Dinas Tata Ruang Kota Cilegon, 2007)

Zonasi Ambang Batas Limitasi

Faktor Penilaian Bencana industri Pencemaran industri (udara dan air) Rawan bencana tinggi (gelombang pasang, tsunami,

Konsekuensi Biaya pembangunan (development cost) akan sangat tinggi karena memerlukan peralatan dan teknologi tambahan

Zonasi Ambang Batas

Faktor Penilaian genangan limbah industri, banjir, intrusi, abrasi, dsb) Sempadan pantai, sungai, SUTET, dan pipa gas. Alokasi ruang untuk kawasan lindung dan RTH (dalam RTRW Kota Cilegon)

Konsekuensi sebagai upaya menginternalisasi faktor limitasi karakteristik kawasan. Perlu adanya upaya mitigasi terhadap bahaya bencana dan pencemaran. Diperlukan pula kajian yang cukup detail dan teliti dalam pengembangan kawasan sekitar. Biaya pembangunan akan tinggi, meskipun tidak setinggi pembangunan di zone Limitasi. Diperlukan kajian dalam pengembangan lahannya.

Kendala

Kemungkinan

Rawan bencana sedangrendah (kawasan terkena dampak) Lokasi masih dalam jangkauan dampak aktivitas industri Alokasi ruang dalam RTRW adalah industri. Hal ini tentunya menjadi pertimbangan tersendiri dalam pengembangan lahan mengingat efek dari aktivitas industri. Jauh dari aktivitas industri Tidak pada sempadan pantai, sungai, SUTET, dan pantai. Penetapan alokasi ruang dalam RTRW untuk kawasan perkotaan Tingkat rawan bencana yang rendah.

Biaya pembangunan relatif rendah.

Dari tabel diatas diketahui bahwa salah satu pertimbangan dalam melakukan analisis ambang batas tersebut adalah penilaian terhadap kerentanan bencana, dimana bencana yang menjadi bahan pertimbangan adalah multi bencana (banjir, industri, tsunami, gelombang pasang, dll), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 31. Akan tetapi yang menjadi kelemahan dari analisis ambang batas yang menjadi bagian dari dokumen RDTR Kecamatan Ciwandan dan Citangkil tahun 2007 adalah kurangnya uraian teknis mengenai analisis kerentanan bencana yang mendukung analisis tersebut. Mengingat hal tersebut, kajian resiko yang telah dilakukan, kemudian dijadikan sebagai salah satu pertimbangan analisis ambang batas. Analisis ambang batas yang dilakukan berdasarkan kajian resiko bencana tsunami.

Gambar 31 Peta analisis Ambang Batas Kecamatan Ciwandan dan Citangkil (RDTR Kec. Ciwandan dan Citangkil, 2007)

Analisis ambang batas berdasarkan kajian resiko bencana tsunami hasilnya agak berbeda dengan apa yang telah dilakukan dalam RDTR, akan tetapi ada beberapa persamaan dari hasil tersebut diantaranya zona limitasi atau kawasan pengembangan terbatas, dimana deliniasi area limitasi ini hampir diseluruh area pantai, hal ini berdasarkan pemetaan resiko yang telah dilakukan, dimana area dengan tingkat resiko tinggi yaitu untuk kawasan yang diberi warna merah seperti terlihat pada Gambar 32, untuk lebih jelas mengenai analisis ambang batas berdasarkan kajian resiko bencana tsunami dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 38 Faktor Penilaian Ambang-Batas Berdasarkan Kajian Resiko Bencana Tsunami

Zonasi Ambang Batas Limitasi Zona limitasi ini hampir terdapat diseluruh wilayah pantai di lokasi studi, terutama untuk area pantai di Kelurahan Rawa Arum, Warnasari, Samangraya, Kubangsari, Tegal Ratu dan Kepuh, dimana pada wilayah ini energi gelombang tsunami sangat besar disertai kemiringan lereng yang landai, sehingga penetrasi rendaman jauh ke daratan.

Faktor Penilaian Rawan genangan tsunami dengan tingkat genangan dan energi gelombang yang tinggi Lokasi industri besar rawan penggunaan zat-zat berbahaya Berada pada jangkauan kontaminasi zat berbahaya pada bencana ikutan, bencana industri Area sempadan pantai dan sempadan sungai , dimana ruas sungainya merupakan celah masuknya air tsunami ke arah darat Dalam RTRW Kota Cilegon, sebagian besar area pantai

Upaya Mitigasi Penertiban Gedung / Bangunan sehubungan dengan building code di area rawan bencana Identifiasi infrastruktur bangunan yang dapat dijadikan sebagai vertical evacuation shelter. Menentukan jalur evakuasi Mendirikan escape building dilokasi strategis yang dilengkapi dengan survival kit termasuk untuk kondisi bencana industri Peningkatan kapasistas komunitas yang

Zonasi Ambang Batas

Faktor Penilaian diperuntukkan sebagai kawasan Industri, untuk sebagian wilayah Kelurahan Samangraya, Kubangsari dan Tegal Ratu diperuntukkan sebagai Kawasan Permukiman perkotaan, dan untuk kelurahan Tegal Ratu, Randakari dan Kepuh untuk area pantainya diperuntukkan sebagai kawasan pelabuhan dan pergudangan Zona kendala merupakan zona rentan bencana tsunami Masih berada pada jangkauan kontaminasi apabila terjadi bencana ikutan dari zat berbahaya industri Selain zona rentan bahaya industri, juga terdapat pada area sempadan sungai, dengan pertimbangan sebagai jalan masuk tsunami ke daratan. Kemiringan dan topografi lahan lebih tinggi dibandingkan dengan zona limitas Dalam Rencana pemanfaatan lahan RTRW Kota Cilegon dimana Kelurahan Samangraya merupakan kawasan industri. Kawasan Kelurahan Kubangsari, Tegal Ratu, Randakari dan Kepuh sebagian besar merupakan kawasan perumahan perkotaan.

Upaya Mitigasi beraktivitas dan hidup di zona ini terhadap resiko bencana, misalnya dengan sosialisasi, evacuation drill, Pengenalah resiko bencana, dll. Pemberian insentif kepada pihak industri besar untuk melakukan perlindungan pantai serta upaya mitigasi lainnya Penertiban gedung / bangunan sehubungan dengan building code Identifikasi evacuation zone, misalnya lokasi dengan topografi yang tinggi Sosialisasi jalur evakuasi Sosialisi Survivor kit di tingkat rumah tangga Penataan permukiman ramah bencana Vitalisasi kawasan lindung Penertiban pemanfaatan lahan kosong melalui IMB dan Rencana Pemanfaatan lahan Raising awareness kebencanaan ditingkat masyarakat, misalnya pengenalan resiko bencana Pemberian insentif kepada masyarakat untuk melakukan penataan pemanfaatan lahan dan permukiman Masih memungkinkan penataan dan perencanaan pemanfaatan lahan yang baik Sinkronisasi pemanfaatan lahan dengan resiko bencana yang ada Peningkatan kapasitas wilayah dengan menekan kerentanan wilayah terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan

Kendala Zona kendala ini meliputi bagian darat dari wilayah Kelurahan Samangraya, Kubangsari, Tegal Ratu, Kepuh dan Gunung Sugih. Liputan zona kendala ini lebih kecil dibandingkan dengan zona limitasi. Zona ini kemiringannya lebih besar daripada zona limitasi sehingga potensi tergenang relatif lebih kecil.

Kemungkinan Meliputi wilayah Kelurahan Banjarnegara, Dringo dan sebagian Gunung Sugih yang kearah daratan. Slope dan topografi lahan sebagian mempunyai nilai yang tinggi

Meliputi area dengan tingkat kerentanan yang rendah Jangkauan kontaminasi zat berbahaya dari industri cukup rendah Kemiringan dan topografi lahan yang aman dari jangkauan tsunami Pengalokasian lahan untuk kawasan permukiman perkotaan

Dari matrik analisis ambang batas diatas selanjutnya dijadikan panduan atau masukan dalam melakukan perencanaan selanjutnya. Dari penilaian ambang batas tersebut terdapat faktorfaktor yang menjadi penilaian serta upaya-upaya yang dapat dilakukan sehubungan dengan

kondisi-kondisi batasan serta potensi dari masing-masing zona. Selain berupa matrik uraian, analisis ambang batas ini dapat dilihat secara spasial deliniasi dari masing-masing zona tersebut. Dari kedua hasil analisis ambang batas terlihat ada perbedaan, diantaranya deliniasi dari masing-masing zona. Perbedaan ini disebabkan dasar pertimbangan yang berbeda dari kedua analisis tersebut. Akan tetapi selain dari perbedaan yang ada, terdapat beberapa persamaan, diantaranya adalah pola deliniasi dari zona limitasi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa zona limitasi yang ditunjukkan oleh kedua hasil analisis tersebut memiliki tingkat kerentanan bencana yang sama yang ditunjukkan pada area yang sama, yaitu disepanjang area pantai dan sekitarnya seperti terlihat pada Gambar 31 dan Gambar 32. Apabila kembali melihat penggunaan lahan baik yang eksisting maupun dalam tahap rencana, alokasi ruang di kawasan pesisir khususnya tidak sesuai dengan arahan penataan ruang kawasan pesisir sebagaimana mestinya. Dengan kondisi ini selain tingkat ancaman yang relatif tinggi dari alam, faktor kelalaian manusia dalam hal ini berupa perencanaan serta proses pembangunan yang menempatkan wilayah ini secara umum memiliki tingkat resiko bencana alam yang tinggi dengan tingkat kerentanan wilayah yang tinggi.

Gambar 32 Peta analisis Ambang Batas Berdasarkan Kajian Resiko Bencana Tsunami

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan Dari kajian yang telah dilakukan mengenai analisis resiko bencana alam, dapat ditarik beberapa point kesimpulan, diantaranya sebagai berikut: Faktor yang signifikan berpengaruh atau berkontribusi dalam menentukan tingkat resiko adalah tingkat ancaman serta faktor dari parameter kerentanan. Tingkat ancaman (hazard) sebagai salah satu suku pengali untuk menentukan nilai resiko disamping suku kerentanan berperan penting dalam menentukan deliniasi kawasan beresiko disamping berperan dalam menentukan tingkat resiko. Tingkat kerentanan yang dibangun dari pembobotan kriteria dari komponen serta elemen ancaman faktor kerentanan berperan penting dalam menentukan tingkat resiko. Untuk elemen ancaman faktor kerentanan yang berkontribusi lebih dalam menentukan nilai resiko adalah ancaman bahaya tsunami terhadap kelompok masyarakat rentan untuk faktor kerentanan sosial demografi dan ancaman terhadap penurunan mutu lingkungan berupa bahaya industri sebagai collateral damage atau bencana ikutan untuk faktor kerentanan lingkungan. Sedangkan untuk komponen faktor kerentanan tingkat kontribusi terhadap nilai resiko bergantung pada bobot elemen ancaman kerentanan. Untuk elemen ancaman kelompok masyarakat rentan pada faktor kerentanan sosial demografi, komponen faktor kerentanan yang paling berkontribusi adalah kelompok masyarakat dengan tingkat usia anak-anak. Sedangkan komponen faktor kerentanan lingkungan untuk elemen ancaman penurunan mutu adalah jangkauan kontaminasi dari zat berbahaya yang ada di kawasan industri. Pada nilai tingkat resiko yang diperlihatkan dalam bentuk informasi spasial, terlihat bahwa area dengan resiko paling tinggi adalah area sempadan pantai dan sempadan sungai untuk wilayah administrasi tertentu. Hal ini disebabkan diarea tersebut mengalami tinggi rendaman paling tinggi dengan kondisi akumulasi tingkat kerentanan yang tinggi juga, berbeda dengan area sempadan pantai di kawasan Kelurahan Gunung Sugih dengan

tingkat resiko yang relatif rendah. Secara akumulasi nilai kerentanan wilayah, area sempadan pantai di wilayah Kelurahan Gunung Sugih relatif sama dengan area sempadan pantai di wilayah lain, tetapi tinggi rendaman diarea ini sebagai suku ancaman relatif lebih rendah, sehingga resultan perkalian nilai resiko nya menjadi relatif lebih rendah. Penyusunan zona terbatas, kendala, dan berpeluang disusun berdasarkan deliniasi yang terdapat pada peta resiko dan pe kerentanan. Dimana deliniasi areal terendam pada peta resiko merupakan zona limitasi, deliniasi pada peta kerentanan dengan tingkatan rentan menjadi zona kendala, dan zona peluang dideliniasi dari area pada peta kerentanan dengan tingakatan tidak rentan.

6.2. Saran Saran yang diajukan untuk pengembangan studi ini diantaranya adalah: Pemodelan matematis penjalaran serta rendaman tsunami memasukkan faktor koefisien gesekan dari penggunaan unit lahan, untuk mendapatkan informasi tambahan sehubungan dengan respon penggunaan lahan dalam mengurangi tingkat ancaman sebagai salah satu upaya mitigasi. Penyusunan kriteria kerentanan untuk masing-masing faktor dilakukan berdasarkan isu perencanaan serta ancaman yang ada. Melakukan analisis spasial untuk mengetahui distribusi penduduk pada area permukiman, sehingga dapat melakukan estimasi potensi jumlah korban Pengembangan analisis ekonomi untuk dapat mengetahui dampak kerugian langsung dan tidak langsung pada perekonomian wilayah Untuk mendapatkan hasil yang baik diperlukan data yang lebih akurat dengan skala tinggi Diperlukan penilaian dari seorang ahli terkait untuk mendapatkan penilaian yang objektif. Kedalaman data menentukan akurasi penilaian tingkat resiko.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Tingkat Ancaman Tsunami

Lampiran 2 Kerentanan Fisis Komponen Kemiringan Lahan

Lampiran 3 Kerentanan Fisis Komponen Geologi

Lampiran 4 Kerentanan Fisis Komponen Sempadan Pantai dan Sungai

Lampiran 5 Kerentanan Total Faktor Fisis

Lampiran 6 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Kepadatan Penduduk

Lampiran 7 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Persentase Usia Anak

Lampiran 8 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Persentase Lansia

Lampiran 9 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Persentase Perempuan

Lampiran 10 Kerentanan Sosial Demografi Total Komponen Vulnerable Group

Lampiran 11 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Infrastruktur Sosial

Lampiran 12 Kerentanan Total Faktor Sosial Demografi

Lampiran 13 Kerentanan Ekonomi Komponen Demografi

Lampiran 14 Kerentanan Ekonomi Komponen Penggunaan Lahan

Lampiran 15 Kerentanan Total Faktor Ekonomi

Lampiran 16 Kerentanan Lingkungan Komponen Vegetasi

Lampiran 17 Kerentanan Lingkungan Komponen Limbah Industri

Lampiran 18 Kerentanan Lingkungan

Lampiran 19 Kerentanan Wilayah Total

Lampiran 20 Peta Resiko bencana Tsunami

Lampiran 21 Tabel Industri Disekitar Lokasi Studi

NO.

NAMA PERUSAHAAN

JENIS INDUSTRI

NILAI INVESTASI (Ribu) PMA (US$) PMDN (Rp.) 4.743.662.800 6.225.000 22.314 4.876.212 14.500.000 -

JUMLAH TENAGA KERJA 8.679 1.520 382 754 168 2.610 246 84 109 244 402 195 760 123 124 300

1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9

PT. KRAKATAU STEEL PT.KRAKATAU HOOGOVENTS INT. PT. HOECHST CILEGON KIMIA PT. PELAT TIMAH NUSANTARA PT. INDUSTRI MESIN PERKAKAS IND. PT. COLD ROLLING MILL IND. UTAMA PT. GARUDA MAHAKAM PRAHASTA PT. ANEKA GAS INDUSTRI PT. KUSUMA WIRYA PERDANA PT. CIGADING HABEAM CENTRE PT. MULTI FABRINDO GEMILANG PT. KRATAMA BELINDO INT. PT. SEAMLESS PIPE INDONESIA JAYA PT. GARUDA MAHAKAM PUTRA PT. CBI INDONESIA PT. TJOKRO PUTRA PERSADA PT. SAMUDERA FERRO ENGINEERING

Industri Besi Baja Pipa Besi Spiral Zat Warna Org. Sintetik Pelat Timah Mesin Perkakas Lembaran Baja Tipis Pabrik Tanki Bertekanan Pembotolan Gas Pabrik Tanki Bertekanan. Pipa. Profil Baja Ukuran Besar Rakayasa dan Fabrikasi Fabrikasi Baja & Galvanized Pipa Baja Industri Pompa Fabrikasi Tanki Workshop Maintenance Shop

NO.

NAMA PERUSAHAAN

JENIS INDUSTRI

NILAI INVESTASI (Ribu) PMA (US$) PMDN (Rp.) 18.558.264 44.222.060 90.000.000 699.460 4.520 67.017.911 98.817 -

JUMLAH TENAGA KERJA 45 477 204 204 62 136 64 62 243 140 296 503 120 86 2.310 85 816 201

10 10 11 11 12 12 13 13 14 14 15 15 16 16 17 17 18

PT. PURNA BAJA HECKETT PT. BHARATA INDONESIA PT. WERKUDARA JAYA SAKTI PT. LIMA KENCANA UTAMA PT. INDO SENGKAWANG FABRICASI PT. DISTINCT INDONESIA CEMENT ENG. PT. INDONESIA ASRI REFRACTORIES PT. KHI PIPE INDUSTRIES PT. SIEMEN INDONESIA PT. SUMIMAGNE UTAMA PT. DELA TIMAH NUSANTARA PT. DAYA SWAHASTA CIPTA PT. CABOT CHEMICAL INDONESIA PT. SATYA RAYA WOODBASE IND. PT. SANKYU PT. BROWN AND ROOT PT. INDO SEMBAWANG FABRIKASI

Pengolahan Kerak Baja Konstruksi Besi Pemotongan Logam Tua Grinding & Remilling Jasa Konstruksi, Maintenance Industri Beton Industri Kimia Pipa dan Buluh Baja Mesin dan Perlengkapan Elektr. Industri Freit Dragnet Pelat Timah Jasa Konstruksi Industri Black Carbon Inustri Kayu Lapis Jasa Angkutan Alat Berat Sarana Pengeboran Minyak Rekayasa dan Fabrikasi

NO.

NAMA PERUSAHAAN

JENIS INDUSTRI

NILAI INVESTASI (Ribu) PMA (US$) PMDN (Rp.) 10.940 7.926 35.715 1.862.631 47.888 740.640.000 19.500 79.500 -

JUMLAH TENAGA KERJA 197 161 113 980 1.458 447 158 510 128 259 198

18 19 19 20 20 21 21 22 22 23 23 24 24 25 25 26 26 27

PT. DONGJIN INDONESIA PT. LAUTAN OTSUKA CHEMICAL PT. GEMA POLYTAMA KIMIA PT. KARYAMAS HARDA NUSA PT. CHANDRA ASRI P.C. PT. POLITAMADARSA AGUNG PT. BUKIT SUGIH SETIA JAMAN PT. INDOTARA PT. ASAHIMAS SUBENTRA CHEMICAL PT. POLYPRIMA PT. TRYPOLITA INDONESIA PT. PANCAPURI INDO PERKASA PT. KARYA POLYTSTEEL PT. STANDARD TOYO POLIMERS PT. SARI SARANA KIMIA PT. POLYCHEM LINDO INC. PT. BAKRIE KASEI CORP. PT. BAKRIE DIAFOIL

Industri Kimia Industri Kimia Industri Polyiol Glyood Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Batcihing Plant Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Kawasan Industri Rakayasa dan Fabrikasi Industri Polyvinyl Penyimpanan Bahan Kimia Industri Polystirena Industri Kimia Pergudangan

NO.

NAMA PERUSAHAAN

JENIS INDUSTRI

NILAI INVESTASI (Ribu) PMA (US$) PMDN (Rp.) 26.250 39.750 17.436.000 800.000 20.076 356.000 -

JUMLAH TENAGA KERJA 98 183 202 324 62 -

27 28 28 29 29 30 30 31 31 32 32 33 33 34 34 35 35

PT. PETRO CARRY INDONESIA PT. KERTA ANUGRAH UTAMA PT. TRANS BAKRIE PT. PACIFIC INDOMAS PLASTIK IND. PT. UNGGUL INDAH CORP. PT. MULYA ADI PRAMITRA PT. PANDAN WANGI SEKARTADJI PT. DOVER CHEMICAL PT. DOW POLYMERS PT. BUANA SULFINDO PT. MITSUI ETERINDO PT. GLOBECHAM PACIFIC PERKASA PT. ANUGRAH GEMANUSA PT. BAKRIE DIAFOIL PT. PETROKIMIA NUSANTARA INT. PT. UNITED AIR PRODUCT PT. AMOCO MITSUI PTA INDONESIA

Industri Carbon Carbon Black Jasa Angkutan Industri Kimia Industri Alkilbenzena Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Industri Kimia Pembotolan O2, NO2,H, Ag. Industri Kimia

NO.

NAMA PERUSAHAAN

JENIS INDUSTRI

NILAI INVESTASI (Ribu) PMA (US$) PMDN (Rp.) 36.411.809 2.104.000 402.077.000 37.516.503 140.000 143.766.420 6.045.097 60.331.700 4.362.250

JUMLAH TENAGA KERJA 85 62 55 262 275 140 406 213 97 -

36 36 37 37 38 38 39 39 40 40 41 41 42 42 43

PT. KEKAR PLASTINDO PT. KRAKATAU PRIMA DHARMA PT. KAPURINDO SENTANA BAJA PT. GURINDO MAHAKAM PRAKARSA PT. BUPOUT SARI AGRI CHEMICAL PT. POLYSINTETIC PT. SARANA PRIMA NUSANTARA PT. BARAMULTI SUKSES SARANA PT. POLYPET KARYA PERSADA PT. KRAKATAU WAJATAMA PT. NISSHOKU TRYPOLITA ACRILINDO PT. PANCA CITRA WIRA BROTHER PT. DAEKYUNG INDAH HEAVY INDUSTRIES PT. AIR LIQUIDE INDONESIA PT. BUMI MERAK TERMINALINDO

Industri Kemasan Plastik Industri Alumunium Industri Kapur Tanki Penyimpanan Bhn Kimia Bahan Aktif Pestisida Industri Kimia Pergudangan Stek File Batubara PET Pelat Baja Industri Kimia Pemintal Benang Tekstil Industri Logam O2, N2, H2 Penyimpanan Bahan Kimia

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.6.1. 1.6.2. Pendahuluan ................................................................................................................. 1 Perumusan Masalah ..................................................................................................... 2 Tujuan .......................................................................................................................... 2 Sasaran ......................................................................................................................... 3 Manfaat dan Relevansi Penelitian................................................................................ 3 Batasan Masalah .......................................................................................................... 3 Lokasi ....................................................................................................................... 3 Ruang Lingkup Kajian ............................................................................................. 4

BAB 2 KAJIAN LITERATUR ................................................................................................. 5 2.1. 2.2. 2.3. 2.3.1. 2.3.2. 2.4. 2.4.1. 2.4.2. 2.4.3. 2.4.4. 2.5. 2.6. Tsunami ....................................................................................................................... 5 Indonesia sebagai Kawasan Ancaman Tsunami .......................................................... 8 Potensi Bahaya Tsunami di Selat Sunda.................................................................... 10 Tatanan Tektonik.................................................................................................... 10 Sejarah Tsunami yang Berpotensi Menjangkau Kawasan Selat Sunda ................. 11 Mitigasi Bencana ....................................................................................................... 12 Resiko (risk) ........................................................................................................... 14 Ancaman / Bahaya (hazard)................................................................................... 15 Faktor Kerentanan (Vulnerability) ......................................................................... 15 Faktor Ketahanan/kemampuan (Capacity)............................................................. 18 Karakteristik Wilayah Pesisir .................................................................................... 19 Perencanaan Pembangunan dalam Kawasan Rawan Bencana .................................. 20

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................. 23 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. Kerangka Pikir Penelitian .......................................................................................... 23 Identifikasi Ancaman Bencana .................................................................................. 24 Kerentanan Wilayah .................................................................................................. 26 Resiko Bencana Alam ................................................................................................ 28 Analisis Keruangan (Spatial Analysis) ...................................................................... 28 Pengambilan Keputusan kriteria ................................................................................ 31

3.6.1. 3.6.2. 3.6.3. 3.7.

Metode Peringkat (Ranking methode) .................................................................... 31 Metode Perbandingan Berpasangan (Pairwise Comparison Methode) ................. 32 Teknik Analisis ...................................................................................................... 35 Data Pendukung ......................................................................................................... 35

BAB 4 PENGOLAHAN DATA ............................................................................................. 37 4.1. 4.2. 4.2.1. 4.2.2. 4.2.3. 4.2.4. 4.3. 4.3.1. 4.3.2. 4.3.3. 4.3.4. 4.4. 4.5. Ancaman Bencana Alam ........................................................................................... 37 Penyusunan Kriteria Kerentanan ............................................................................... 39 Kriteria Faktor Kerentanan Fisis ............................................................................ 39 Kriteria Faktor Kerentanan Sosial Demografi ....................................................... 42 Kriteria Faktor Kerentanan Ekonomi ..................................................................... 44 Kriteria Faktor Kerentanan Lingkungan ................................................................ 46 Pembobotan Kriteria .................................................................................................. 47 Bobot Kriteria Faktor Kerentanan Fisis ................................................................. 47 Bobot Kriteria Faktor Kerentanan Sosial Demografi............................................. 52 Bobot Kriteria Faktor Kerentanan Ekonomi .......................................................... 53 Bobot Kriteria Faktor Kerentanan Lingkungan ..................................................... 54 Penyusunan Kerentanan Wilayah .............................................................................. 55 Penyusunan Resiko Bencana Tsunami ...................................................................... 59

BAB 5 Analisis ........................................................................................................................ 60 5.1. 5.1.1. 5.1.2. 5.1.3. 5.2. 5.2.1. 5.2.2. 5.3. Kondisi Resiko Bencana Tsunami ............................................................................. 60 Ancaman Bencana .................................................................................................. 60 Kerentanan wilayah ................................................................................................ 62 Resiko Bencana ...................................................................................................... 67 Dampak Bencana ....................................................................................................... 67 Kerusakan Langsung (Direct Damages) ................................................................ 68 Kerusakan Tidak Langsung (Indirect Damages) ................................................... 74 Analisis Ambang Batas (threshold analysis) ............................................................. 79

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 84 6.1. 6.2. Kesimpulan ................................................................................................................ 84 Saran .......................................................................................................................... 85

DAFTAR TABEL
Tabel 1 List gempa-gempa subduksi utama di sepanjang sunda megathrust ......................... 11 Tabel 2 Matrik Hubungan Bencana dengan Pembangunan (Sumber: Living With Risk ISDR, 2003) ........................................................................................................................ 21 Tabel 3 Tingkat Penilaian Kelas pada Metoda Perbandingan Pairwise (Saaty, 1988) ........... 33 Tabel 4 Indeks Konsistensi Acak (Saaty, 1989) ..................................................................... 35 Tabel 5 Data yang dipergunakan.......................................................................................... 35 Tabel 6 Kriteria kerentanan fisis terhadap tsunami Berdasarkan Jenis Batuan /Susunan Geologi (Dita, 2004) .......................................................................................... 39 Tabel 7 Kriteria Kerentanan Kemiringan Lahan (SK. Mentan 1981) .................................... 40 Tabel 8 Kriteria Kerentanan Kawasan Sempadan Pantai Untuk Faktor Kerentanan Fisis ..... 41 Tabel 9 Kriteria Kerentanan Kawasan Sempadan Sungai ...................................................... 41 Tabel 10 Kriteria Kerentanan Kepadatan Penduduk .............................................................. 43 Tabel 11 Kriteria Kerentanan Kelompok Masyarakat Rentan (Vulnerable Group) ............... 43 Tabel 12 Kriteria Kerentanan Infrastruktur Utama Jaringan Sosial ....................................... 43 Tabel 13 Kontribusi sektor ekonomi pada PDRB ADH Konstan Kota Cilegon 2002 2005 (Kota Cilegon dalam angka Tahun 2006) ................................................................ 45 Tabel 14 Kriteria Kerentanan Komponen Penggunaan Lahan Untuk Faktor Ekonomi ......... 45 Tabel 15 Kriteria Kerentanan Vegetasi Untuk Faktor Lingkungan ........................................ 47 Tabel 16 Kriteria Kerentanan Industri Untuk Faktor Lingkungan ......................................... 47 Tabel 17 Pairwise Elemen Ancaman Faktor Kerentanan Fisis .............................................. 48 Tabel 18 Matrik Normalisasi dan Bobot Kriteria Elemen Ancaman Kerentanan Fisis.......... 48 Tabel 19 Tahap Perhitungan Faktor Konsistensi .................................................................... 49 Tabel 20 Matrik Pairwise Kriteria Kerentanan Faktor Fisis Terhadap Elemen ancaman Genangan Tsunami .................................................................................................. 50 Tabel 21 Matrik Pairwise Kriteria Kerentanan Faktor fisis Terhadap Elemen Ancaman Erosi / Longsor .................................................................................................................. 50 Tabel 22 Matrik Pairwise Kriteria Kerentanan Faktor fisis Terhadap Elemen Ancaman Likuifaksi ................................................................................................................. 51 Tabel 23 Rekapitulasi Perhitungan Bobot Kriteria Faktor Kerentanan fisis .......................... 51 Tabel 24 Perhitungan Total Bobot Kriteria Untuk Masing-masing Komponen ..................... 51 Tabel 25 Bobot Kriteria Elemen Ancaman Bencana Faktor Sosial Demografi ..................... 52 Tabel 26 Bobot Kriteria Faktor Sosial Demografi Komponen Kelompok Masyarakat Rentan .................................................................................................................................. 53 Tabel 27 Matrik pairwise Kriteria Kerentanan Elemen Ancaman Faktor Ekonomi .............. 53 Tabel 28 Bobot Kriteria Faktor Ekonomi untuk elemen ancaman Demografi ....................... 54 Tabel 29 Pairwise Elemen Ancaman Faktor Kerentanan Lingkungan .................................. 54 Tabel 30 Elemen Ancaman Bencana ...................................................................................... 61 Tabel 31 Matrik Analisa Kerentanan ...................................................................................... 62 Tabel 32 Persentase Penduduk Dengan Mata Pencaharian di Sektor Industri ....................... 74 Tabel 33 Industri Multiplayer Effect Kelas Menengah - Kecil (sumber: Bappeda Kota Cilegon, 2007).......................................................................................................... 75

Tabel 34 Persentase Penduduk Dengan Mata Pencaharian di Sektor Pertanian dan Perkebunan ............................................................................................................... 76 Tabel 35 Perbandingan Luas Unit Penggunaan Lahan Eksisting terhadap Resiko Tsunami . 78 Tabel 36 Faktor Penilaian Ambang-Batas dan Konsekuensi Pengembangan Kawasan (Dinas Tata Ruang Kota Cilegon, 2007) ............................................................................. 79 Tabel 37 Faktor Penilaian Ambang-Batas Berdasarkan Kajian Resiko Bencana Tsunami.... 81

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Tektonik Lempeng Asia Tenggara -termasuk Indonesia dan sekitarnya(Hall,1997) ............................................................................................................ 9 Gambar 2 Plot gempa yang terjadi di Indonesia dari 1960-2000 (Triyoso, 2002), dan Pembagian Zona seismotektonik di Indonesia (Latief dkk, 2002) ........................ 9 Gambar 3 Tatanan dan patahan-patahan dari gempa-gempa utama antar-lempeng yang terjadi di sepanjang Sunda megathrust (Subarya, dkk, 2006) ............................. 11 Gambar 4 Perioda ulang momen magnitude gempa subduksi di pantai Barat Sumatera ..... 12 Gambar 5 Interaksi Antara Faktor Kerentanan (ISDR, 2004) .............................................. 16 Gambar 6 Diagram Alir studi ............................................................................................... 24 Gambar 7 Diagram Alir Identifikasi Ancaman Bencana alam disekitar Lokasi Studi Pada diagram alir di ..................................................................................................... 26 Gambar 8 Proses Overlay pada Analisis Keruangan ........................................................... 29 Gambar 9 Operasi Identity (sumber ArcGis) ....................................................................... 29 Gambar 10 Operasi Intersect (sumber ArcGis)...................................................................... 30 Gambar 11 Operasi Union (sumber ArcGis) ......................................................................... 30 Gambar 12 Operasi Update (sumber ArcGis) ........................................................................ 30 Gambar 13 Operasi Erase (sumber ArcGis) .......................................................................... 30 Gambar 14 Operasi Symetrical Difference (sumber ArcGis) ................................................ 31 Gambar 15 Zona Subduksi disekitar Lokasi Studi................................................................. 37 Gambar 16 Source Tsunami Sumber 2, Mw=8.0 .................................................................. 38 Gambar 17 Distribusi Energi Tsunami, Sumber 2, Mw=8.0 ................................................ 38 Gambar 18 Tinggi maksimum Tsunami di, sepanjang pantai Sumber 2, Mw=8.0 ............... 38 Gambar 19 Waktu penjalaran tsunami, Sumber 2, Mw=8.0.................................................. 38 Gambar 20 Konsep Resiko Bencana Model Crunch ............................................................. 67 Gambar 21 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Gerem ........................................... 68 Gambar 22 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Rawa Arum ................................... 69 Gambar 23 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Warnasari ...................................... 70 Gambar 24 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Samangraya................................... 70 Gambar 25 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Kubangsari .................................... 71 Gambar 26 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Tegal Ratu ..................................... 72 Gambar 27 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Randakari ...................................... 72 Gambar 28 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Kepuh............................................ 73 Gambar 29 Grafik Kerusakan Unit Lahan di Kelurahan Gunung Sugih ............................... 74 Gambar 30 Ruas Jalan Serang - Cilegon ............................................................................... 77 Gambar 31 Peta analisis Ambang Batas Kecamatan Ciwandan dan Citangkil (RDTR Kec. Ciwandan dan Citangkil, 2007) ........................................................................... 81 Gambar 32 Peta analisis Ambang Batas Berdasarkan Kajian Resiko Bencana Tsunami...... 83

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tingkat Ancaman Tsunami Lampiran 2 Kerentanan Fisis Komponen Kemiringan Lahan Lampiran 3 Kerentanan Fisis Komponen Geologi Lampiran 4 Kerentanan Fisis Komponen Sempadan Pantai dan Sungai Lampiran 5 Kerentanan Total Faktor Fisis Lampiran 6 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Kepadatan Penduduk Lampiran 7 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Persentase Usia Anak Lampiran 8 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Persentase Lansia Lampiran 9 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Persentase Perempuan Lampiran 10 Kerentanan Sosial Demografi Total Komponen Vulnerable Group Lampiran 11 Kerentanan Sosial Demografi Komponen Infrastruktur Sosial Lampiran 12 Kerentanan Total Faktor Sosial Demografi Lampiran 13 Kerentanan Ekonomi Komponen Demografi Lampiran 14 Kerentanan Ekonomi Komponen Penggunaan Lahan Lampiran 15 Kerentanan Total Faktor Ekonomi Lampiran 16 Kerentanan Lingkungan Komponen Vegetasi Lampiran 17 Kerentanan Lingkungan Komponen Limbah Industri Lampiran 18 Kerentanan Lingkungan Lampiran 19 Kerentanan Wilayah Total Lampiran 20 Peta Resiko bencana Tsunami Lampiran 21 Tabel Industri Disekitar Lokasi Studi 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107

DAFTAR PUSTAKA
Marine and Coastal Zoning Plan Guide, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004 Reducing Disaster Risk, A Challenge for Development, United Nation Development Programme, 2004 Living with Risk, Towards Effective Disaster Reduction, Asian Disaster Reduction Center, 2004 Coastal Zona Management Handbook, John R. Clark, 1995 Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir di Indonesia, Subandono Diposapto, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005 Kajian Resiko Bencana Tsunami di Indonesia serta Upaya Mitigasinya, Hamzah Latief, Pusat Riset Tsunami, KPPKL ITB, 2005 Penyusunan Konsep Basis Data Sumber Tsunami dan Sistem Informasi Geografis Tsunami, Hamzah Latief, Pusat Riset Tsunami, KPPKL ITB, 2002

ABSTRAK
Kota Cilegon merupakan salah satu wilayah Indonesia yang memiliki tingkat ancaman bencana yang tinggi, hal ini dikarenakan posisi Kota Cilegon yang relatif berada diatas pertemuan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia yang relatif aktif. Selain ancaman bencana gempa bumi, zona subduksi ini juga berpotensi membangkitkan gempa yang disertai oleh tsunami. Disamping itu, Kota Cilegon sebagai kota industri dimana lokasi kawasan industrinya sebagian besar berada di area pantai sekligus menempatkan wilayah ini dengan tingkat kerentanan yang cukup tinggi. Penilaian tingkat resiko bencana merupakan upaya untuk dapat menentukan langkah perencanaan yang sesuai dengan kondisi kebencanaan. Hal ini dilakukan agar perencanaan dan pembangunan yang dijalankan dapat menekan tingkat kerentanan bencana. Salah satu metoda yang dilakukan untuk mengetahui tingkat resiko bencana (Risk, R) adalah dengan menggunakan metoda spasial, yaitu dengan melakukan teknik tumpang susun (overlay) dari data kerentanan (vulnerability, V) dengan ancaman bencana (hazard, H) wilayah. Adapun hubungan antara tingkat resiko dengan kerentanan dan ancaman di tulis dengan persamaan berikut R = H x V. Dari persamaan tersebut diketahui bahwa resiko merupakan resultan dari ancaman dengan kerentanan. Hasil yang diperoleh diketahui bahwa hampir sebagian besar area pantai di lokasi studi memiliki tingkat resiko yang tinggi, terutama untuk area sempadan pantai dan sempadan sungai. Untuk wilayah Kecamatan Rawa Arum, Warnasari, Samangraya, Kubangsari, Tegal Ratu dan Kepuh memiliki area beresiko lebih luas dibandingkan wilayah lainnya. Kerugian terbesar yang berpotensi dialami sebagian besar adalah sektor industri, pertanian dan perkebunan serta area permukiman untuk kerugian langsung (Direct damages), sedangkan untuk kerugian tidak langsung (indirect damages) sektor perekonomian mikro dan makro serta lapangan kerja merupakan sektor yang paling mengalami tekanan. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan berdasarkan tingkat resiko melalui analisis ambang batas (threshold analysis) dengan menentukan deliniasi zona limitasi, kendala serta zona yang dapat dikembangkan. Hasil dari analisis ambang batas ini kemudia menjadi bahan pertimbangan dalam proses perencanaan wilayah agar dapat mengakomodir kondisi kebencanaan.

IDENTIFIKASI TINGKAT RESIKO BENCANA TSUNAMI BERBASIS SPASIAL


STUDI KASUS: ZONA INDUSTRI KOTA CILEGON

Oleh: Dodi Julkarnaen 25405018

Pembimbing: Teti Armiati Argo, Ir., MES., Ph.d

PROGRAM MAGISTER
SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2008

Anda mungkin juga menyukai