Anda di halaman 1dari 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Peneliti Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat dipakai sebagai bahan kajian yang berkaitan dengan faktor sosial dan personal terhadap niat beli konsumen baju bekas adalah : a. Dwi Agung Wibowo (2001) Penelitian yang berjudul Analisis Minat Beli Barang Bekas Di Toko Barkas Yogyakarta Penelitian ini untuk mengidentifikasikan pengaruh atribut produk yaitu kualitas produk, harga,dan pelayanan terhadap minat beli barang bekas dikalangan mahasiswa. Selain itu juga menjelaskan pengaruh yang dominan antara kualitas produk, harga, dan pelayanan terhadap minat beli barang bekas. Untuk mengetahui pengaruh variabel kualitas produk, harga dan pelayanan terhadap minat beli barang bekas maka digunakan alat analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian dengan analisis regresi menunjukkan ada pengaruh positif dan signifikan kualitas produk, harga dan pelayanan terhadap minat beli. Secara parsial variabel kualitas produk dan pelayanan berpengaruh pada variabel minat beli barang bekas, hanya variabel harga yang tidak berpengaruh terhadap minat beli. Variabel yang dominan mempengaruhi minat beli adalah variabel kualitas produk. Secara keseluruhan dilihat dari jawaban kuisioner responden menyatakan berminat membeli barang bekas.

Persamaan peneliti terdahulu dengan yang akan penulis lakukan adalah meneliti niat beli konsumen dengan menggunakan alat analisis yang sama yaitu regresi linear berganda. Perbedaan peneliti terdahulu dengan yang akan penulis lakukan yaitu, peneliti terdahulu lebih bersifat umum yaitu barang bekas, sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih spesifik pada baju bekas b. Tommy Hendro Trisdiarto (2012) Penelitian yang berjudul Pengaruh Faktor Sosial Dan Personal Terhadap Sikap Dan Niat Beli Konsumen Untuk Barang Fashion Palsu Di Kota Denpasar Dan Kabupaten Badung. Jenis penelitian ini adalah deskriptif, dengan desain kuesioner yang dirancang menggunakan skala numerik dengan skala 1-5, dan dilakukan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung melalui metode "mal mencegat". Teknik statistik SEM digunakan untuk menganalisis data. Penelitian ini hanya merujuk pada barang fashion palsu, dan temuan dalam penelitian ini adalah bahwa Faktor Sosial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap sikap konsumen dan juga terhadap niat beli konsumen, begitu juga dengan Faktor Personal yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap sikap konsumen dan niat beli konsumen. Terakhir adalah sikap konsumen juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli konsumen. Keterbatasan Penelitian hanya terbatas untuk konsumen di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung yang tidak dapat digeneralisir di seluruh Indonesia atau pasar internasional lainnya. Konteks budaya lain

dan kategori produk harus diselidiki di masa depan. Implikasi Praktis penelitian ini memberikan pemahaman mendalam tentang sikap konsumen di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung terhadap pemalsuan barang fashion. Temuan penelitian dapat digunakan untuk merumuskan strategi untuk akademisi, praktisi, dan lebih penting, para pembuat kebijakan untuk membantu memberantas kegiatan pemalsuan. Studi sebelumnya banyak dibuat pada pemalsuan dan pembajakan musik, media, dan lainnya, sedangkan penelitian ini difokuskan secara eksklusif pada barang fashion. Persamaan peneliti terdahulu dengan yang akan penulis lakukan adalah meneliti faktor sosial dan faktor personal konsumen. Perbedaan peneliti terdahulu dengan yang akan penulis lakukan yaitu, peneliti terdahulu objeknya adalah konsumen fashion palsu sedangkan objek yang peneliti teliti adalah konsumen baju bekas. 2.2. Faktor Sosial Perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor sosial. Beberapa contoh faktor sosial adalah kelompok kecil, keluarga serta peranan dan status sosial konsumen. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak kelompok kecil. Definisi kelompok adalah dua orang atau lebih yang berhubungan untuk mencapai tujuan bersama. Keluarga dapat pempengaruhi perilaku pembelian. Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat. Faktor sosial merujuk kepada efek yang diberikan dari seseorang kepada sikap konsumen individu lainnya (Ang et al., 2001). Dua bentuk yang

biasanya

muncul

adalah

information

susceptibility

dan

normative

susceptibility (Bearden et al., 1989; Wang et al., 2005). Information susceptibility terjadi ketika sebuah keputusan pembelian terjadi berdasarkan opini seseorang yang ahli (experts opinion) (Ang et al., 2001; Wang et al., 2005). Opini dari orang lain tentunya menjadi sangat berguna bagi seorang konsumen yang memiliki pengetahuan sangat terbatas mengenai suatu produk. Sedangkan normative susceptibility adalah sebuah keputusan pembelian berdasarkan harapan untuk dapat memikat orang lain (Ang et al., 2001; Wang et al., 2005; Penz and Stottinger, 2005). Ada juga dalam penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa derajat dari collectivism berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, tergantung pada lokasinya (Koch and Koch, 2007). Lebih jauh dikatakan bahwa collectivism adalah target-specifik (Hui et al., 1991). Bisa dikatakan bahwa seorang individu merasa lebih terkumpul pada satu group tertentu dan menjadi lebih individualistik terhadap group lainnya. Hofstede (1991) juga mengatakan bahwa negara yang banyak memiliki collectivism adalah negara yang memiliki pembangunan ekonomi yang cukup lambat. 2.3.Faktor Personal Keputusan pembelian juga dipengaruhi oleh faktor pribadi seperti umur dan tahapan daur hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri pembeli. Umur sangat mempengaruhi keputusan seorang konsumen dalam melakukan pembelian barang atau jasa. Tentunya seorang anak yang belum bekerja tidak akan melakukan pembelian secara

berlebihan. Sebaliknya, seorang yang sudah bekerja dan mempunyai penghasilan lebih berpotensi untuk melakukan pembelian yang lebih besar. Selain umur, pekerjaan juga mempengaruhi pembelian seorang konsumen. Uang adalah sebuah alat untuk melakukan pembelian. Seseorang yang bekerja dengan penghasilan lebih besar tentunya lebih berpotensi untuk melakukan pembelian yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang bekerja dengan penghasilan yang lebih kecil. Situasi ekonomi juga mempengaruhi tingkat pembelian di sebuah negara. Negara yang sedang mengalami krisis akan berdampak pada menurunnya tingkat ekonomi masyarakatnya. Uang akan menjadi barang langka yang tentunya tidak akan digunakan untuk keperluan yang tidak mendesak. Hal ini menyebabkan tingkat pembelian akan cenderung menurun. Pengaruh gaya hidup konsumen sangat tergantung pada konsumen itu sendiri. Kebanyakan pembeli barang mewah mencari nilai untuk merek, prestige, dan juga image namun tidak bersedia untuk membayar harga yang mahal (Bloch et al., 1993). Pencarian novelty adalah sebuah rasa penasaran dari konsumen untuk mencari varian dan perbedaan (Hawkins et al., 1980; Wang et al., 2005). Konsumen yang mencari Novelty tentunya sangat tertarik kepada produk yang memiliki resiko pembelian yang kecil (low purchase risk). Berdasarkan teori Kohlberg akan moral competency theory (1976) perilaku konsumen akan dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi mereka. Nilainilai seperti integrity akan mempengaruhi mereka dalam melakukan kegiatan yang tidak beretika dan tidak legal (Steenhaut and Van Kenhove, 2006).

10

Integrity ditentukan oleh standar etika pribadi dan kepatuhan terhadap hukum. Personal gratification adalah kebutuhan seseorang untuk merasa sukses dan berhasil, mendapatkan pengakuan dari masyarakat, dan keinginan untuk menikmati yang terbaik dalam hidup (Ang et al., 2001; Wang et al., 2005). Konsumen yang meiliki personal gratification yang tinggi akan menjadi lebih sadar untuk memiliki penampilan yang sangat bailk Oleh karena itu, ada kemungkinan besar kalau mereka sangat tidak suka untuk membeli barang dengan standar rendah dan tentunya memiliki pandangan yang negatif dalam melakukan pembelian baju bekas. Status consumption telah lama didefinisikan sebagai pembelian, penggunaan, dan konsumsi dari barang dan jasa untuk meningkatkan status (Mason, 1981; Scitovsky 1992; Eastman et al., 1997). Status memerlukan adanya rasa menghargai dan rasa iri yang datang dari orang lain, dan mewakili tujuan dari sebuah budaya. Lebih lanjut, hal ini meliputi adanya ranking sosial atau pengakuan sebuah komunitas terhadap individu (Dawson and Cavell, 1986; Scitovsky, 1992; Eastman, 1997). Adalah sangat tidak akurat untuk mengatakan bahwa hanya mereka yang kaya yang melakukan status consumption (Freedman, 1991; Miller, 1991; Eastman et al., 1997; Shipman, 2004). Status consumption dilakukan oleh konsumen yang mencari kepuasan pribadi dan ingin memperlihatkan prestige dan status mereka kepada lingkungan sekitar, biasanya lewat bukti-bukti yang terlihat (Eastmen et al., 1997). Status consumers mencari merek-merek yang memiliki simbol yang dapat menaikkan status mereka. Oleh karena itulah konstruk dari status

11

consumptin akan menggunakan scale yang dipakai oleh Eastmen et al. (1997).
2.4.Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (Engel, Blackwell, & Miniard 1994). Hawkins, Best, dan Coney (2001) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai studi terkait individu, kelompok, atau organisasi dan proses yang digunakan mereka dalam menyeleksi, menggunakan, dan menempatkan produk, jasa, pengalaman, atau ide menjadi alat pemuas kebutuhan dan dampaknya bagi konsumen dan masyarakat. Menurut Schiffman dan Kanuk (1983), perilaku konsumen adalah perilaku yang ditunjukkan oleh konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan membuang sisa-sisa produk, jasa, dan ide, dimana mereka mengharapkan kebutuhannya terpenuhi melalui perilaku tersebut. Lebih lanjut oleh Solomon (2002), perilaku konsumen dapat diartikan sebagai kajian tentang proses-proses yang meliputi pemilihan, pembelian, penggunaan, atau pembuangan sisa-sisa produk, jasa, ide, atau pengalaman untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan yang dilakukan secara individu atau kelompok. Studi mengenai perilaku konsumen tidak hanya berfokus kepada apa yang dibeli oleh kosumen, tetapi juga alasan mereka membeli, kapan, dimana, bgaimana mereka membelinya, dan sesering apa mereka melakukan

12

pembelian (Schiffman dan Kanuk 1983). Penelitian mengenai perilaku konsumen dapat dilakukan dalam setiap fase proses konsumsi (sebelum pembelian, ketika membeli, dan setelah pembelian). Terdapat dua tipe konsumen, yaitu: 1. Konsumen pribadi. Membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri, atau untuk penggunaan di dalam rumah tangga. 2. Konsumen organisasi. Membeli barang dan jasa untuk menjalankan organisasinya. Sumarwan (2004) menyatakan bahwa perilaku konsumen merupakan semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan evaluasi. 2.5.Model Sikap Konsumen Menurut Sumarwan (2004), sikap konsumen merupakan faktor

penting yang akan mempengaruhi keputusan konsumen. Loudon dan Bitta (1984) mendefinisikan sikap sebagai perasaan seseorang terhadap objek (positif atau negatif, baik atau buruk, dan pro atau kontra). Sikap memiliki beberapa karakteristik penting, yaitu: (1) memiliki objek, (2) memiliki arah, intensitas, dan derajat, (3) memiliki struktur, dan (4) dapat dipelajari. Sumarwan (2004) mendefinisikan sikap sebagai ungkapan perasaan seorang konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari objek tersebut. Kepercayaan konsumen adalah pengetahuan

13

konsumen mengenai suatu objek, atributnya, dan manfaatnya. Menurut allport, sikap adalah mempelajari kecenderungan memberikan tanggapan pada suatu objek atau kelompok objek baik disenangi atau tidak disenangi secara konsisten (Sutisna 2001). Engel, Blackwell, dan Miniard (1995b) menyatakan bahwa sikap memiliki tiga komponen, yaitu: (1) kognitif (pengetahuan), (2) afektif (perasaan), dan (3) konatif (tindakan). Katz (1960), diacu dalam Sumarwan (2004), mengemukakan empat fungsi dari sikap, yaitu utilitarian, mempertahankan ego, ekspresi nilai, dan pengetahuan. 1. Fungsi utilitarian (The Utilitarian Function) Seseorang menyatakan sikapnya terhadap suatu objek atau produk karena ingin memperoleh manfaat dari produk (rewards) tersebut atau menghindari produk (punishment) 2. Fungsi mempertahankan ego (The Ego-defensive Function) Sikap berfungsi untuk melindungi seseorang (citra diri) dari keraguan yang muncul dari dalam dirinya sendiri atau dari faktor luar yang mungkin menjadi ancaman bagi dirinya. 3. Fungsi ekspresi nilai (The Value-Expressive Function) Sikap berfungsi untuk menyatakan nilai-nilai, gaya hidup, dan identitas social seseorang. Sikap akan menggambarkan minat, hobi, kegiatan, dan opini dari seorang konsumen. 4. Fungsi pengetahuan (The Knowledge Function) Seringkali konsumen perlu tahu terlebih dahulu mengenai sebuah produk, sebelum ia menyukai kemudian membeli produk tersebut.

14

Pengetahuan yang baik mengenai sebuah produk seringkali mendorong seseorang untuk menyukai produk tersebut. Setiadi (2008) menyatakan bahwa kepercayaan sikap, evaluasi merek, dan maksud untuk membeli merupakan tiga komponen sikap. Setiadi (2008) pun kemudian menjelaskan hubungan antara ketiga komponen sikap tersebut, dimana kepercayaan dan persepsi merupakan komponen kognitif dari sikap, komponen afektif berupa perasaan yang berhubungan dengan objek, dan konatif yang berkaitan dengan tindakan yang berupa keinginan untuk membeli (maksud beli). 2.6.Persepsi Konsumen Pengambilan keputusan dalam pembelian sebuah produk seringkali didasari oleh persepsi (Sumarwan 2004). Kotler (2000) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memilih, Komponen Kognitif, Komponen Afektif, Komponen Konatif. Menurut Schiffman dan Kanuk (1994), persepsi dapat digambarkan sebagai bagaimana kita melihat dunia disekitar kita. Dua individu mungkin menjadi subjek dalam menerima stimulus yang sama dan dalam kondisi yang sama pula, namun individu tersebut memiliki proses masing-masing dalam menyeleksi, mengorganisasi, dan menginterpretasi stimulus yang diterima bergantung pada kebutuhan, nilai, dan harapan dari masing-masing individu tersebut. Persepsi didefinisikan sebagai proses individu dalam menyeleksi, mengorganisasi, dan menginterpretasikan stimulus menjadi gambaran yang berarti dan koheren. Menurut Assael (1992), stimulus yang mempengaruhi

15

respon individu dapat berupa aspek fisik, visual, atau komunikasi verbal. Terdapat dua tipe stimulus penting yang mempengaruhi perilaku konsumen, yaitu stimulus lingkungan dan pemasaran. Stimulus pemasaran merupakan stimulus fisik yang didesain untuk mempengaruhi konsumen dan terdiri dari produk dan atribut dari produk itu sendiri. Stimulus lingkungan berupa pengaruh sosial dan budaya. Menurut Solomon (2002), persepsi didefinisikan sebagai proses dimana sebuah sensasi diseleksi, diorganisasi, dan diinterpretasi. Sensasi mengacu pada respon segera dari sensor penerima (mata, telinga, hidung, mulut, jari-jari) terhadap stimulus dasar, seperti cahaya, warna, suara, bau, tekstur. Dengan kata lain, input yang diterima oleh panca indera merupakan data mentah yang akan memulai proses persepsi. Menurut Kotler dan Keller (2008), persepsi lebih penting

dibandingkan dengan realitas, karena persepsi berpengaruh terhadap perilaku actual konsumen. Terdapat tiga proses persepsi yang mempengaruhi perbedaan persepsi atas objek yang sama, yaitu: Perhatian selektif : proses menyaring stimulus. Paparan Perhatian Interpretasi Distorsi selektif : kecenderungan menafsirkan informasi sehingga sesuai dengan pra-konsepsi individu.

Ingatan selektif : kecenderungan individu untuk mengingat informasi yang mendukung pandangan dan keyakinan pribadi.

16

Menurut Hawkins, Best, dan Coney (2001), paparan terjadi ketika suatu stimulus datang ke dalam rangkaian syaraf sensor penerima individu. Perhatian terjadi ketika stimulus mengaktivasi satu atau lebih syaraf sensor penerima dan menghasilkan suatu sensasi yang dibawa ke otak untuk diproses. Sedangkan interpretasi adalah pengujian arti menjadi sensasi. Persepsi konsumen dapat digambarkan dengan kepercayaan konsumen terhadap suatu produk, atribut, dan manfaat produk ( Sumarwan 2004). Kepercayaan konsumen menyangkut kepercayaan bahwa suatu produk memiliki berbagai atribut, serta manfaat dari berbagai atribut tersebut. Oleh karena itu, kepercayaan terhadap produk akan berbeda di antara konsumen. 2.7.Afektif Loudon dan Bitta (1993) yang diacu dalam Hapsari (2010) menyatakan bahwa afektif terkait dengan perasaan emosional seseorang. Konsumen memilih tujuan menurut kriteria subyektif individu seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggan, status, dan keamanan. Kecenderungan afektif menunjukkan delapan pengaruh utama pada perilaku konsumen, yaitu: 1. Tension reduction (Pengurangan ketegangan) Konsumen yang memiliki kebutuhan akan menghasilkan ketegangan jika mereka merasa tidak puas. Pada konteks ini, afektif digunakan untuk menghindari atau mengurangi keresahan atau tekanan yang disebabkan kebutuhan yang belum terpuaskan.

17

2. Self expression (Ekspresi diri) Afektif digunakan untuk menunjukkan identitas diri kepada orang lain. Afektif muncul untuk menggambarkan ekspresi terhadap produk. 3. Ego defensive (Pertahanan diri) Kebanyakan orang merasa bahwa berbagai situasi kehidupan yang muncul dapat mengancam ego mereka. Situasi ini menghasilkan rasa malu sosial, tantangan untuk perasaan harga diri, atau bentuk lain dari bahaya psikologis. 4. Reinforcement (Menguatkan) Konsumen yang dipengaruhi oleh motif penguatan memiliki kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan situasi yang telah terbukti menguntungkan, dimana pengalaman dapat ikut mempengaruhi. 5. Assertion (Penegasan) Fokus dari penegasan ini, konsumen lebih berorientasi ke arah prestasi dan melebihi orang lain. Produk dan jasa layanan yang diperoleh merupakan suatu symbol kepuasan akan keberhasilan. 6. Affiliation (Keanggotaan) Terkait dengan motif yang menjadi dasar untuk berhubungan sosial dengan orang lain. 7. Identification (Pembentukan identitas) Afektif untuk membangun pengembangan identitas dan peran baru untuk meningkatkan konsep pribadi seseorang.

18

8. Modelling (Model) Berfokus pada kecenderungan untuk mengidentifikasi dan berempati dengan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan perilaku yang meniru individu-individu tertentu. 2.8.Preferensi Kotler (2000), diacu dalam Anindita (2010), mendefinisikan preferensi sebagai pilihan suka atau tidak suka seseorang terhadap produk (barang dan jasa). Preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen terhadap berbagai pilihan produk yang ada. Menurut Assael (1992), diacu dalam Syifa (2010), preferensi terbentuk dari persepsi individu terhadap suatu produk. Konsumen memiliki kecenderungan untuk membentuk penetapan yang berbeda ketika melihat iklan, serta mengevaluasi produk dan jasa. Menurut Kardes (2002), preferensi didefinisikan sebagai penetapan evaluasi kepada objek yang beragam (dua objek atau lebih). Membandingkan dua objek yang berbeda merupakan hal yang selalu dilibatkan dalam preferensi. Terkadang sikap menjadi sebuah pondasi bagi preferensi, dan preferensi terkadang menjadi dasar perbandingan antara atribut atau fitur dari dua atau lebih produk. Lebih lanjut Kardes menyatakan bahwa preferensi terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Attitude-based preference. Preferensi terbentuk atas dasar sikap konsumen secara keseluruhan terhadap dua atau lebih produk. 2. Attribute-based preferences. Preferensi terbentuk atas dasar

perbandingan antara satu atau lebih atribut dari dua merek atau lebih.

19

Hasil penelitian Sanbonmatsu et al. (1991), diacu dalam Kardes (2002), menyatakan bahwa atribut dari sebuah produk sedikit berpengaruh terhadap penentuan preferensi. Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa atribut unik dari sebuah produk memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap preferensi. Tindak lanjut hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kepribadian dan kebutuhan juga mempengaruhi konsumen dalam membentuk preferensi berdasarkan atribut, dibandingkan dengan preferensi yang dibentuk oleh sikap (Mantel dan Kardes !999, diacu dalam Kardes 2002). Pengambilan keputusan yang diperluas dengan melibatkan penentuan merek merupakan strategi preferensi. Strategi sederhana tidak cukup ketika pengambilan keputusan diperluas dengan melibatkan beberapa merek, sejumlah atribut, dan sumber informasi. Sebagai gantinya, dibutuhkan sebuah struktur informasi yang akan memberikan hasil mengenai merek yang disukai oleh konsumen. Langkah pertama dalam strategi preferensi adalah posisi yang kuat dari atribut penting sebuah produk. Kemudian, informasi merupakan hal penting yang harus dimiliki (Hawkins, Best, dan Coney 2001). 2.9.Niat Beli - Theory of Planned Behaviour Menurut Theory of Planned Behaviour (TPB), perilaku membeli ditentukan oleh niat pembelian, di mana hal tersebut ditentukan oleh sikap (Fishbein and Ajzen, 1975). Sikap terhadap perilaku dibanding sikap terhadap produk dianggap sebagai indikator yang yang lebih baik dibanding perilaku (Yi, 1990). Walau demikian TPB juga mengatakan bahwa opportunities dan resources seperti misalnya akses terhadap baju bekas, harus sudah ada

20

sebelum perilaku membeli dapat terjadi. Tanpa situasi tersebut, terlepas dari adanya sikap yang sangat positif, maka akan sangat sulit untuk terjadi pembelian (Chang, 1998). Keputusan yang tidak beretika seperti misalnya membeli baju bekas dapat dijelaskan lewat sikap, terlepas dari kelas produk (product class) tersebut (Wee et al., 1995; Chang, 1998; Ang et al., 2001). Adanya sikap yang lebih positif dari konsumen terhadap baju bekas maka akan meningkatkan pembelian akan baju bekas tersebut. Sama halnya dengan semakin negatifnya sikap konsumen terhadap baju bekas, maka akan kecil kemungkinan bagi konsumen tersebut untuk melakukan pembelian (Wee et al., 1995). Sebagai tambahan, faktor sosial dan personal telah lama dianggap sebagai pengaruh kepada konsumen dalam mengambil keputusan (Miniard and Cohen, 1983) terhadap niat pembelian. Minat beli (intention to buy) atau yang lebih dikenal dengan niat beli berhubungan dengan rencana dan keinginan konsumen untuk membeli produk tertentu, serta jumlah unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Niat beli merefleksikan pernyataan mental konsumen terkait dengan rencana pembelian sejumlah produk dengan merek tertentu. Durianto (2003), diacu dalam Sari (2010), menyatakan bahwa niat beli terbentuk dari sikap konsumen terhadap produk dan keyakinan konsumen terhadap kualitas produk. Semakin rendah keyakinan konsumen terhadap suatu produk akan berpengaruh terhadap turunnya niat beli konsumen. Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995a), terdapat dua kategori niat pembelian konsumen, yaitu: (1) produk dan merek, dan (2) kelas

21

produk. Kategori pertama dirujuk sebagai pembelian yang terencana sepenuhnya, karena pada kategori ini konsumen lebih bersedia

menginvestasikan waktu dan energi dalam berbelanja dan membeli. Alhasil keterlibatan terhadap terhadap produk pun tergolong tinggi. Kategori kedua dirujuk sebagai pembelian yang terencana walaupun pilihan merek dibuat di tempat penjualan. Penting untuk memperhatikan bahwa suatu pembelian dapat direncanakan walaupun niat untuk membeli tidak dinyatakan secara verbal atau secara tertulis pada daftar belanja. Hal tersebut dikarenakan produk dipajang di atas rak di tempat jual barang sebagai daftar belanja pengganti. Adanya peragaan produk yang dipajang, mendorong konsumen untuk mengingat kebutuhan, pembelian pun kemudian dicetuskan. Ini kerap dirujuk sebagai pembelian berdasar impuls. Beberapa pembelian berdasar impuls tidak didasarkan pada

pemecahan masalah konsumen dan paling baik dipandang dari perspektif hedonik atau pengalaman. Menurut penelitian Rook (Engel, Blackwell, dan Miniard 1995a), pembelian berdasar impuls mungkin memiliki satu atau lebih karakteristik berikut ini: 1. Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi visual yang langsung di tempat penjualan. 2. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.

22

3. Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai menggairahkan, menggetarkan, atau liar. 4. Ketidak pedulian akan akibat. Desakan untuk membeli menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negative diabaikan. Menurut Kotler (2000), niat pembelian seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain dapat mengurangi alternatif yang disukai oleh individu bergantung kepada dua hal: (1) intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternative yang disukai konsumen dan (2) motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Semakin besar sikap negatif orang lain terhadap suatu produk dan semakin dekat orang tersebut dengan konsumen, maka semakin besar konsumen mengubah niat belinya. Lebih lanjut Kotler menjelaskan bahwa dalam melaksanakan niat pembelian, konsumen dapat membuat lima sub-keputusan pembelian, yaitu: (1) keputusan merek, (2) keputusan pemasok, (3) keputusan kuantitas, (4) keputusan waktu, dan (5) keputusan metode pembayaran. Berhubungan dengan rencana dan keinginan konsumen untuk membeli produk tertentu, serta jumlah unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Niat beli merefleksikan pernyataan mental konsumen terkait dengan rencana pembelian sejumlah produk dengan merek tertentu. Durianto (2003), diacu dalam Sari (2010), menyatakan bahwa niat beli terbentuk dari sikap konsumen terhadap produk dan keyakinan konsumen terhadap kualitas produk. Semakin rendah keyakinan konsumen terhadap suatu produk akan

23

berpengaruh terhadap turunnya niat beli konsumen. Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995a), terdapat dua kategori niat pembelian konsumen, yaitu: (1) produk dan merek, dan (2) kelas produk. Kategori pertama dirujuk sebagai pembelian yang terencana sepenuhnya, karena pada kategori ini konsumen lebih bersedia

menginvestasikan waktu dan energy alam berbelanja dan membeli. Alhasil keterlibatan terhadap terhadap produk pun tergolong tinggi. Kategori kedua dirujuk sebagai pembelian yang terencana walaupun pilihan merek dibuat di tempat penjualan. Penting untuk memperhatikan bahwa suatu pembelian dapat direncanakan walaupun niat untuk membeli tidak dinyatakan secara verbal atau secara tertulis pada daftar belanja. Hal tersebut dikarenakan produk dipajang di atas rak di tempat jual barang sebagai daftar belanja pengganti. Adanya peragaan produk yang dipajang, mendorong konsumen untuk mengingat kebutuhan, pembelian pun kemudian dicetuskan. Ini kerap dirujuk sebagai pembelian berdasar impuls. Beberapa pembelian berdasar impuls tidak didasarkan pada

pemecahan masalah konsumen dan paling baik dipandang dari perspektif hedonik atau pengalaman. Menurut penelitian Rook (Engel, Blackwell, dan Miniard 1995), pembelian berdasar impuls mungkin memiliki satu atau lebih karakteristik berikut ini: 1. Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi visual yang langsung di tempat penjualan.

24

2. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika. 3. Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai menggairahkan, menggetarkan,atau liar. 4. Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negative diabaikan. Menurut Kotler (2000), niat pembelian seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain dapat mengurangi alternatif yang disukai oleh individu bergantung kepada dua hal: (1) intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternative yang disukai konsumen dan (2) motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Semakin besar sikap negatif orang lain terhadap suatu produk dan semakin dekat orang tersebut dengan konsumen, maka semakin besar konsumen mengubah niat belinya. Lebih lanjut Kotler menjelaskan bahwa dalam melaksanakan niat pembelian, konsumen dapat membuat lima sub-keputusan pembelian, yaitu: (1) keputusan merek, (2) keputusan pemasok, (3) keputusan kuantitas, (4) keputusan waktu, dan (5) keputusan metode pembayaran. 2.10.Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pemikiran digunakan untuk menunjukkan arah bagi suatu penelitian agar dapat berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan atau sebagai gambaran untuk memperoleh kesatuan jawaban kerangka pemikiran. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Faktor Sosial (X1) dan

25

Faktor Personal (X2), Sedangkan Variabel dependen dalam penelitian ini Niat beli konsumen (Y). Berdasarkan teori-teori diatas dapat dikemukakan bahwa terdapat hubungan faktor sosial dan personal terhadap niat beli konsumen baju bekas pada pasar moderen Wawotobi Kabupaten Konawe, dimana dapat

digambarkan model kerangka pikir penelitian sebagai berikut: Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian S SFaktor Sosial ( X1)
H1

Niat Beli Konsumen Baju Bekas (Y)

H2

Faktor Personal (X2)

2.11. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2004:51).

26

Berdasarkan penelitian ini, maka peneliti mengajukan hipotesis yaitu : 1. Ada pengaruh faktor sosial terhadap niat beli konsumen baju bekas pada pasar moderen Wawotobi Kabupaten Konawe. 2. Ada pengaruh faktor personal terhadap niat beli konsumen baju bekas pada pasar moderen Wawotobi Kabupaten Konawe.

27

Anda mungkin juga menyukai