Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain-lain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Dengan makin tuanya kehamilan, maka perhatian dan pikiran ibu hamil mulai tertuju pada sesuatu yang dianggap klimaks, sehingga kegelisahan dan ketakutan yang dialami ibu hamil akan semakin intensif saat menjelang persalinan. Rasa takut menjelang persalinan menduduki peringkat teratas yang paling sering dialami ibu selama hamil (Lestaringsih, 2006) Merujuk pada teori Buffering Hipothesis yang berpandangan bahwa dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi individu dari efek negatif stress. Perlindungan ini akan efektif hanya ketika individu menghadapi stressor yang berat. Dukungan keluarga terutama dukungan yang didapatkan dari suami akan meimbulkan ketenangan batin dan perasaan senang dalam diri isteri (Dagun, 1991). Berdasarkan paparan diatas, dukungan keluarga yang diberikan kepada wanita hamil yang akan menghadapi proses persalinan dapat menumbuhkan perasaan tenang, aman, dan nyaman sehingga dapat mempengaruhi tingkat kecemasan yang dirasakan. Terlebih jika dalam prosesnya terdapat hal yang terjadi diluar perkiraan, yang mengharuskan ibu menjalani tindakan operasi SC. Pasti akan menimbulkan kecemasan yang bersumber dari ketakutan akan tindakan operatif ini. Apalagi jika disertai kurangnya informasi dan pengetahuan tentang tindakan operasi serta pasca tindakan operasi. Maka dibutuhkan kesiapan mental dan spiritual klien dalam waktu singkat untuk bisa beradaptasi dengan kecemasan di saat menunggu persiapan tindakan.
A. KONSEP DASAR KECEMASAN 1. Konsep Kecemasan Manusia merupakan organisme yang tentu saja tidak bisa lepas dari lingkungan. Dari lingkungan, individu dapat memenuhi berbagai kebutuhannya. Dan dari lingkungan pula individu dapat mengalami kecemasan (anxiety). Kecemasan merupakan salah satu emosi yang paling menimbulkan stress yang dirasakan oleh banyak orang. Kadang-kadang kecemasan juga disebut dengan ketakutan atau perasaan gugup. Setiap orang pasti pernah mengalami kecemasan pada saat-saat tertentu, dan dengan tingkat yang berbeda-beda. hal tersebut mungkin saja terjadi karena individu merasa tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi hal yang mungkin menimpanya dikemudian hari. Dalam teori Behavior dijelaskan bahwa kecemasan muncul melalui clasical conditioning, artinya seseorang mengembangkan reaksi kecemasan terhadap hal-hal yang telah pernah dialami sebelumnya dan reaksi-reaksi yang telah dipelajari dari pengalamannya (Bellack & Hersen, 1988:284). Cemas merupakan suatu keadaan yang wajar, karena seseorang pasti menginginkan segala sesuatu dalam kehidupannya dapat berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala marabahaya atau kegagalan serta sesuai dengan harapannya. Banyak hal yang harus dicemaskan, salah satunya adalah kesehatan, yaitu pada saat dirawat di rumah sakit. Misalnya pada saat anak sakit dan harus dirawat di rumah sakit akan menimbulkan dampak bagi orang tua maupun anak tersebut. Hal yang paling umum yang dirasakan orang tua adalah kecemasan 2. Tanda dan Gejala Kecemasan Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang dirasakan oleh idividu tersebut (Hawari, 2004). Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum menurut Hawari (2004), antara lain adalah sebagai berikut:
a. Gejala psikologis : pernyataan cemas/ khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut. b. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan. c. Gangguan konsentrasi dan daya ingat. d. Gejala somatic : rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan, tangan terasa dingin dan lembab, dan lain sebagainya. 3. Macam-macam kecemasan Freud membedakan kecemasan menjadi tiga macam, yaitu kecemasan realistis, kecemasan neurotis, dan kecemasan moral (Surya-brata, Koeswara, 1991 : 45). a. Kecemasan realistis Kecemasan realistis adalah kecemasan atau ketakutan individu terhadap bahaya-bahaya nyata yang ada di lingkungannya, misalnya binatang buas, orang jahat, dan seterusnya. b. Kecemasan neurotis Kecemasan neurotis adalah kecemasan yang timbul karena tidak terkendalinya dorongan-dorongan primitif (Das Es) oleh Das Ich yang nantinya bisa mendatangkan hukuman. c. Kecemasan moral Kecemasan moral merupakan kecemasan yang terjadi akibat tekanan das Ueber Ich pada das Ich. Tekanan tersebut muncul karena individu telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. 4. Fungsi kecemasan Freud menyatakan bahwa kecemasan tidak selalu berarti negatif tetapi dapat berfungsi positif, yaitu sebagai peringatan akan datangnya bahaya atau sesuatu yang tak diharapkan. Dengan adanya peringatan tersebut maka akan muncul tindakan-tindakan tertentu untuk mengatasinya. 5. Dampak negatif kecemasan Kecemasan atau ketakutan yang tidak dapat dikuasai dengan tindakantindakan yang efektif disebut ketakutan traumatis (Suryabrata, 2000 : 162). Ketakutan yang demikian itu, menurut Freud, akan membawa individu yang
bersangkutan kepada ketidakberdayaan yang infantile. Sebenarnya, demikian menurut Freud (Suryabrata, 2000: 162), prototipe dari semua ketakutan manusia adalah trauma kelahiran. Bayi yang baru lahir, kata Freud, sudah dihadapkan dengan berbagai stimuli-stimuli yang yang sangat berat bagi dirinya. 6. Tingkat Kecemasan Peplau (1963) dikutip oleh Stuart (2001), mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan. a. Cemas Ringan Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya, seperti melihat, mendengar dan gerakan menggenggam lebih kuat. Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. b. Cemas Sedang Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal lain, sehingga mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Kecemasan ini mempersempit lapang presepsi individu, seperti penglihatan, pendengaran, dan gerakan menggenggam berkurang. c. Cemas Berat Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. d. Panik Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan hal itu dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Individu yang
mengalami panik juga tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika terjadi lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian Menurut Hawari (2004), tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala, antara lain adalah sebagai berikut : 1) Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah tersinggung. 2) Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah. 3) Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan orang banyak. 4) Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi buruk dan mimpi yang menakutkan 5) Gangguan kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun dan daya ingat buruk. 6) Perasaan depresi (murung) : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan perasaan berubah-ubah sepanjang hari. 7) Gejala somatik/ fisik (otot) : sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil. 8) Gejala somatik/ fisik (sensorik) : tinnitus (telinga berdenging), penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan perasaan ditusuk-tusuk. 9) Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) : takikardi (denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa lesu/ lemas seperti mau pingsan dan detak jantung menghilang/ berhenti sekejap. 10) Gejala respiratori (pernafasan) : rasa tertekan atau sepit di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas dan nafas pendek/ sesak. 11) Gejala gastrointestinal (pencernaan) : sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut,
rasa penuh atau kembung, mual, muntah, BAB konsistensinya lembek, sukar BAB (konstipasi) dan kehilangan berat badan. 12) Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) : sering buang air kecil, tidak dapat menahan BAK, tidak datang bulan (tidak dapat haid), darah haid berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi dingin (frigid). 13) Gejala autonom : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing kepala terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu berdiri. 14) Tingkah laku/ sikap : gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kening/ dahi berkerut, wajah tegang, otot tegang/ mengeras, nafas pendek dan cepar serta wajah merah. Masing-masing kelompok gejala diberi peilaian angka (score) antara 0-4, dengan penilaian sebagai berikut : Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan) Nilai 1 =gejala ringan Nilai 2 = gejala sedang Nilai 3 = gejala berat Nilai 4 = gejala berat sekali/ panic
B. KONSEP DASAR SECTIO CAESAREA Sectio caesarea adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi. Lebih dari 85% indikasi sectio caesarea dilakukan karena riwayat sectio caesarea, distosia persalinan, gawat janin dan letak sungsang (Cunningham, 2006). Sectio caesarea umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak memungkinkan, karena beresiko kepada komplikasi medis lainnya. Oleh karena itu,pasien lebih disarankan untuk melakukan tindakan sectio caesarea ketika proses kelahiran melalui vagina kemungkinan akan menyebabkan resiko kepada sang ibu atau si bayi (Cunningham, 2006). Tindakan operasi atau pembedahan walaupun minor/mayor merupakan pengalaman yang sulit dan bisa menimbulkan kecemasan bagi hampir semua pasien dan keluarganya. Kecemasan yang dialami pasien dan keluarga biasanya terkait
dengan segala macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan (Carpenito, 2001). Kecemasan terhadap tindakan operasi disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang tindakan yang dilakukan. Selain itu juga dapat disebabkan karena kurangnya sikap perawat, dalam mengaplikasikan pencegahan kecemasan pada klien dan keluarga yang berhubungan dengan tindakan yang dilakukan (Yani, 2008). Menurut Kasdu (2003) setiap orang mempunyai kemampuan adaptasi yang berbeda. Demikian pula dalam hal menghadapi operasi untuk melahirkan buah hati. Sebagian mungkin dapat cepat mempersiapkan mentalnya untuk menerima keputusan dokter saat harus melahirkan dengan operasi caesar. Namun, sebagian lagi mungkin sangat sulit menerima keadaan itu. Hal ini mungkin karena ibu hamil merasa sudah mempersiapkan dirinya untuk melahirkan normal, tetapi
kenyataannya harus melahirkan dengan operasi. Menurut Pitt (1978) beberapa wanita merasa agak senang karena terhindar dari nyeri persalinan, khususnya jikalau mereka mengetahui sebelumnya bahwa bedah caesar itu dilakukan dengan alasan yang baik. Tetapi ada wanita yang merasa kecewa, tertipu, bukan wanita yang pantas, cemas karena telah dibedah, cemas akan bekas irisan pada perut dan kemungkinan rahim menjadi lemah, dan khususnya karena kehilangan getaran hati untuk mendorong bayinya keluar dari rahimnya ke dunia. Juga mereka tidak suka dengan perasaan tidak enak pada bekas luka dan bekas jahitan selama beberapa hari setelah operasi. Akan tetapi bedah caesar tidak pernah dilakukan kecuali karena alasan-alasan kebidanan yang sangat kuat dan apapun sikap atau reaksi emosional sang ibu, dia dihadapkan dengan kebutuhan nyata, bukan hanya karena bertingkah mengikuti mode atau menyenangkan diri. Cemas dapat disebabkan oleh adanya ancaman terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang-orang yang dicintai, dikasihi dan disayangi. Setiap individu akan mengalami tingkat kecemasan yang berbeda-beda terhadap stimulus yang sama. Tingkat kecemasan tergantung pada jenis perlakuan yang diterima dan kemampuan dalam menghadapi diri (Kusuma, 1997). Menurut Lazarus (1976) kecemasan ialah suatu kondisi psikologis yang mengancam keberadaan diri individu, dimana hal yang menyebabkan ancaman itu
bersifat tidak jelas sehingga individu merasa tidak tidak tahu, bingung, dan takut untuk dapat menghadapi masa yang akan datang. Maramis (1980) mengatakan bahwa kecemasan adalah suatu ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran, yang timbul karena dirasakan akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Menghadapi kelahiran bayi merupakan suatu situasi atau kondisi konkrit yang mengancam diri yang menyebabkan perasaan tegang, kuatir, takut, pada wanita hamil pertama (Zanden, 1985). Dukungan keluarga didefinisikan dari dukungan sosial. Definisi dukungan sosial sampai saat ini masih diperdebatkan bahkan menimbulkan kontradiksi (Yanuasti, 2001). Dukungan sosial sering dikenal dengan istilah lain yaitu dukungan emosi yang berupa simpati, yang merupakan bukti kasih sayang, perhatian, dan keinginan untuk mendengarkan keluh kesah orang lain. Sejumlah orang lain yang potensial memberikan dukungan tersebut disebut sebagai significant
other, misalnya sebagai seorang istri significant other nya adalah suami, anak, orang tua, mertua, dansaudara-saudara. Sarafino (1990) mengatakan bahwa kebutuhan, kemampuan, dan sumber dukungan mengalami perubahan sepanjang kehidupan seseorang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal oleh individu dalam proses sosialisasinya. Dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat diberikan kepada keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang mana membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai, dan tentram (Taylor, 1995). Rodi dan Salovey (Smet, 1994) mengungkapkan bahwa keluarga dan perkawinan adalah sumber dukungan sosial yang paling penting. Dari definisi yang disebutkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan keluarga sangat bermanfaat dalam pengendalian seseorang terhadap tingkat kecemasan dan dapat pula mengurangi tekanan-tekanan yang ada pada konflik yang terjadi pada dirinya. Dukungan tersebut berupa dorongan, motivasi, empati, ataupun bantuan yang dapat membuat individu yang lainnya merasa lebih tenang dan aman. Dukungan didapatkan dari keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, ataupun keluarga dekat lainnya. Dukungan keluarga dapat mendatangkan rasa senang, rasa aman, rasa puas, rasa nyaman dan membuat orang yang bersangkutan merasa mendapat dukungan emosional yang akan mempengaruhi kesejahteraan
jiwa manusia. Dukungan keluarga berkaitan dengan pembentukan keseimbangan mental dan kepuasan psikologis. Beberapa peneliti mengisyaratkan adanya peningkatan ketergantungan baik fisik dan psikologis pada perempuan hamil. Penelitian Werner (2000) menyimpulkan bahwa perubahan fisik dan psikologis yang terjadi pada wanita hamil meningkatkan dependency need. Penelitian tersebut juga menunjukan kebutuhan akan perhatian yang lebih besar, keinginan memastikan bahwa bantuan yang dibutuhkan telah tersedia, dan keinginan akan keterlibatan teman dan keluarga. Hal ini diperkuat dengan penelitian Marks & Kumar (Oktavia, 2001) yang menunjukan bahwa kecemasan yang dialami oleh wanita hamil lebih banyak terdapat pada mereka yang kurang mendapat dukungan sosial. Faktor yang dapat mengurangi kecemasan yang terjadi pada wanita yang akan melahirkan adalah adanya dukungan keluarga yang dapat berupa dari suami, keluarga atau saudara lainnya, orang tua, dan mertua. Dukungan keluarga yang didapatkan ibu akan menimbulkan perasaan tenang, sikap positif terhadap diri sendiri dan kehamilannya, maka diharapkan ibu dapat menjaga kehamilannya dengan baik sampai saat persalinan. Dengan memiliki dukungan keluarga diharapkan wanita hamil dapat mempertahankan kondisi kesehatan psikologisnya dan lebih mudah menerima perubahan fisik serta mengontrol gejolak emosi yang timbul. Dukungan keluarga terutama dukungan yang didapatkan dari suami akan menimbulkan ketenangan batin dan perasaan senang dalam diri isteri (Dagun, 1991). Kecemasan timbul akibat reaksi psikologis individu. Kecemasan dapat timbul secara otomatis akibat dari stimulus internal dan eksternal yang berlebihan. Akibat stimulus (internal dan eksternal) yang berlebihan sehingga melampaui kemampuan untuk menanganinya (Kusumawati & Yudi, 2010). Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi akibat berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan misalnya seorang pasien yang ingin sembuh dari penyakit dengan menjalani operasi, maka dari hal tersebut akan memicu timbulnya kecemasan (Stuart, 2007). Menurut Barbara (1996) tindakan operasi seperti sectio caesarea merupakan salah satu bentuk intervensi medis terencana yang biasanya berlangsung
lama, dan memerlukan pengendalian pernafasan, sehingga sangat beresiko terhadap keselamatan jiwa seseorang dan dapat membuat pasien maupun keluarga cemas. Dalam situasi cemas kemampuan seseorang dalam mempersepsikan stimulus yang berasal dari individu akan mengalami penyempitan bahkan terjadi penyimpangan pada tingkat kecemasan panik (Sundeen,1995). Akibat dari kondisi kecemasan berat dan panik, hal-hal yang harus dilakukan pasien sebelum dilakukan operasi dipersepsikan dengan tidak baik oleh pasien bahkan terjadi penyimpangan. Hal ini dapat mengakibatkan terhambatnya rencana proses persalinan ataupun proses pemulihan pasca operasi persalinan. Menurut Kasdu (2003) masalah keperawatan yang sering timbul pada pasien pre operasi cesarea adalah kecemasan. Hal ini didukung oleh pendapat Keliat (1996),bahwa respon psikologis pasien yang akan menjalani tindakan operasi adalah reaksi cemas terhadap proses yang akan dijalani, hal ini dipengaruhi oleh beberapa sebab seperti pengetahuan tentang penyakit, pengalaman masa lalu tentang penyakit, harapan pemulihan atau suksesnya tindakan operasi yang akan dijalani serta persepsi dan pandangan terhadap diri nantinya setelah dilakukan operasi.Pasien yang akan menjalani operasi sectio caesarea tentunya juga memiliki tingkat kecemasan yang besarannya berbeda dan mekanisme koping yang relative berbeda pula pada setiap orang, sesuai dengan tingkat pengetahuan, besaran informasi yang diperoleh dan pemahaman akan sesuatu yang diperoleh baik dari tenaga kesehatan dll (Kozier dan Erb,1998). Menurut Ramaiah (2003) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani operasi sectio caesarea adalah umur, pendidikan, emosi yang ditahan, herediter, tempat tinggal dan informasi operasi. Kecemasan tersebut dikaitkan dengan apakah operasi caesarea tersebut berhasil atau tidak dan apakah bayi mereka akan lahir dengan sempurna atau tidak sehingga seringkali kecemasan yang berlebihan akan menghambat proses persalinan cesarea. Kecemasan tersebut dapat diintervensi atau dikurangi salah satunya dengan pemberian informed consent sebelum pre operasi. Kurangnya informasi yang diberikan oleh tenaga medis saat informed consent atau saat dilakukan pendidikan kesehatan sebelum operasi tentang kenapa harus dilakukan operasi sectio caesarea menambah kecemasan pasien dalam menjalani operasi pembedahan sehingga dapat memperburuk proses tindakan dan pemulihan setelah menjalani persalinan. (Ingram,2001).
C. PERSIAPAN MENTAL / PSIKIS MENGHADAPI SC Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integeritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis (Barbara C. Long)
Contoh perubahan fisiologis yang muncul akibat kecemasan/ketakutan antara lain: 1. Pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan. 2. Pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi terpaksa harus ditunda. Setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi pengalaman operasi sehingga akan memberikan respon yang berbeda pula, akan tetapi sesungguhnya perasaan takut dan cemas selalu dialami setiap orang dalam menghadapi pembedahan. Berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan/kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain : a. Takut nyeri setelah pembedahan b. Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal c. Takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti) d. Takut/cemas mengalami kondisi yang dama dengan orang lan yang mempunyai penyakit yang sama. e. Takut/ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas. f. Takut mati saat dibius/tidak sadar lagi. g. Takut operasi gagal. Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti: meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menayakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, sering berkemih. Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan
kecemasan ini, seperti adanya orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung/support system. Untuk mengurangi dan mengatasi kecemasan pasien, perawat dapat menanyakan hal-hal yang terkait dengan persiapan operasi, antara lain : a. Pengalaman operasi sebelumnya b. Pengertian pasien tentang tujuan/alasan tindakan operasi c. Pengetahuan pasien tentang persiapan operasi baik fisik maupun penunjang. d. Pengetahuan pasien tentang situasi/kondisi kamar operasi dan petugas kamar operasi. e. Pengetahuan pasien tentang prosedur (pre, intra, post operasi) f. Pengetahuan tentang latihan-latihan yang harus dilakukan sebelum operasi dan harus dijalankan setalah operasi, seperti : latihan nafas dalam, batuk efektif, ROM, dll. Persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan keluarganya. Sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian datang lagi ke rumah sakit setalah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda operasi yang mestinya sudah dilakukan beberapa hari/minggu yang lalu. Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan didukung oleh keluarga/orang terdekat pasien. Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan bidan. Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien. Keluarga hanya perlu mendampingi pasien sebelum operasi, memberikan doa dan dukungan pasien dengan kata-kata yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien untuk menjalani operasi.
Peranan perawat dalam memberikan dukungan mental dapat dilakukan dengan berbagai cara: 1. Membantu pasien mengetahui tentang tindakan-tindakan yang dialami pasien sebelum operasi, memberikan informasi pada pasien tentang waktu operasi, hal-hal yang akan dialami oleh pasien selama proses operasi, menunjukkan tempat kamar operasi, dll. Dengan mengetahui berbagai informasi selama operasi maka diharapkan pasien mejadi lebih siap menghadapi operasi,
meskipun demikian ada keluarga yang tidak menghendaki pasien mengetahui tentang berbagai hal yang terkait dengan operasi yang akan dialami pasien. 2. Memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum setiap tindakan persiapan operasi sesuai dengan tingkat perkembangan. Gunakan bahasa yang sederhana dan jelas. Misalnya: jika pasien harus puasa, perawat akan menjelaskan kapan mulai puasa dan samapai kapan, manfaatnya untuk apa, dan jika diambil darahnya, pasien perlu diberikan penjelasan tujuan dari pemeriksaan darah yang dilakukan, dll. Diharapkan dengan pemberian informasi yang lengkap, kecemasan yang dialami oleh pasien akan dapat diturunkan dan mempersiapkan mental pasien dengan baik 3. Memberi kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk menanyakan tentang segala prosedur yang ada. Dan memberi kesempatan pada pasien dan keluarga untuk berdoa bersama-sama sebelum pasien di antar ke kamar operasi. 4. Mengoreksi pengertian yang saah tentang tindakan pembedahan dan hal-hal lain karena pengertian yang salah akan menimbulkan kecemasan pada pasien. 5. Kolaborasi dengan dokter terkait dengan pemberian obat pre medikasi, seperti valium dan diazepam tablet sebelum pasien tidur untuk menurunkan kecemasan dan pasien dapat tidur sehingga kebutuhan istirahatnya terpenuhi. Pada saat pasien telah berada di ruang serah terima pasien di kamar operasi, petugas kesehatan di situ akan memperkenalkan diri sehingga membuat pasien merasa lebih tenang. Untuk memberikan ketenangan pada pasien, keluarga juga diberikan kesempatn untuk mengantar pasien samapi ke batas kamar operasi dan diperkenankan untuk menunggu di ruang tunggu yang terletak di depan kamar operasi. D. OBAT-OBATAN PRE MEDIKASI Sebelum operasi dilakukan pada esok harinya. Pasien akan diberikan obatobatan permedikasi untuk memberikan kesempatan pasien mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Obat-obatan premedikasi yang diberikan biasanya adalah valium atau diazepam. Antibiotik profilaksis biasanya di berikan sebelum pasien di operasi. Antibiotik profilaksis yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi selama tindakan operasi, antibiotika profilaksis biasanya di berikan 1-2 jam sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan pasca beda 2- 3 kali. Antibiotik yang dapat diberikan adalah ceftriakson 1gram dan lain-lain sesuai indikasi pasien. E. PERSIAPAN PASIEN DI KAMAR OPERASI Persiapan operasi dilakukan terhadap pasien dimulai sejak pasien masuk ke ruang perawatan sampai saat pasien berada di kamar operasi sebelum tindakan bedah dilakukan. Persiapan di ruang serah terima diantaranya adalah prosedur administrasi, persiapan anastesi dan kemudian prosedur drapping. Di dalam kamar operasi persiapan yang harus dilakukan terhdap pasien yaitu berupa tindakan drapping yaitu penutupan pasien dengan menggunakan peralatan alat tenun (disebut : duk) steril dan hanya bagian yang akan di incisi saja yang dibiarkan terbuka dengan memberikan zat desinfektan seperti povide iodine 10% dan alkohol 70%. Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif. Persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta pemeriksaan mental sangat diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien berawal dari kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan.
Kesalahan yang dilakukan pada saat tindakan preoperatif apapun bentuknya dapat berdampak pada tahap-tahap selanjutnya, untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antara masing-masing komponen yang berkompeten untuk menghasilkan outcome yang optimal, yaitu kesembuhan pasien secara paripurna.