Anda di halaman 1dari 5

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG Terry Pakki1), Muhammad Taufik1),dan A.M. Adnan2) 1). Jurusan Agroteknologi, Konsentrasi Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara 2). Balai Penelitian Tanaman Serealia
Abstrak. Salah satu jenis hama yang cukup penting dan menjadi kendala dalam pembudidayaan tanaman termasuk jagung adalah tikus. Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan oleh masyarakat petani seperti kultur teknis, sanitasi, maupun secara fisik dan biologis namun teknik-teknik pengendalian tersebut tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap menurunnya populasi dari hama tersebut. Begitu pula halnya dengan pengendalian kimiawi yang menggunakan bahan-bahan kimia baik berupa umpan beracun, bahan fumigant, penolak dan penarik maupun pemandul. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh cairan biji jengkol (Pithecolobium lobatum) sebagai rodentisida nabati terhadap lama hidup mencit putih. Penelitian disusun dalam tabulasi sederhana dengan 5 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 15 unit perlakuan. Setiap unit menggunakan 1 ekor mencit putih sebagai hewan uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rodentisida nabati berbahan aktif biji jengkol berpengaruh terhadap lama hidup mencit putih yang berarti bahwa rodentisida nabati ini berpeluang untuk dijadikan pengendalian hayati tikus pada jagung. Kata Kunci : Potensi, rodentisida, biji jengkol, hama jagung

PENDAHULUAN Salah satu jenis hama yang cukup penting dan menjadi kendala dalam pembudidayaan tanaman termasuk jagung adalah tikus. Tikus adalah satwa liar yang seringkali berasosiasi dengan kehidupan manusia. Sebagai hama, tikus mampu merusak tanaman budidaya dalam waktu singkat dan menimbulkan kehilangan hasil dalam jumlah besar sejak di persemaian, pertanaman sampai di tempat penyimpanan/gudang (hama pasca panen), walaupun hal tersebut dilakukan oleh beberapa ekor tikus saja. Dengan demikian, kerugian yang dialami oleh petani seringkali tidak terduga dan mengakibatkan kerugian yang besar (Priyambodo, 1995; Rukmana dan Sugandi, 1997). Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan oleh masyarakat petani seperti kultur teknis, sanitasi, maupun secara fisik dan biologis. Namun teknik-teknik pengendalian tersebut tidak selalu memberikan pengaruh yang besar terhadap menurunnya populasi dari hama tersebut. Begitu pula halnya dengan pengendalian kimiawi yang menggunakan bahan-bahan kimia baik berupa umpan beracun, bahan fumigan, penolak dan penarik maupun pemandul. Pengendalian kimiawi nampaknya dapat memberikan hasil yang lebih baik dibanding teknik lain, namun bahan-bahan kimia yang digunakan membahayakan bagi makhluk hidup lain yang bukan sasaran seperti manusia atau hewan piaraan. Untuk menghadapi hama tikus petani sering menggunakan metode yang tidak tepat untuk mereduksi dampak kerusakan tikus dengan mengunakan bahan kimia yang berbahaya yang dapat menyebabkan resiko pada spesies non target dan lingkungan dan secara umum pengembalian investasi pengendalian yang rendah (Singleton 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencari alternatif pengendalian yang relatif aman. Menurut Pitojo (1992), bau jengkol dapat digunakan untuk menghalau tikus. Air bekas rendaman

378

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

biji jengkol yang direbus atau sebelum direbus, mempunyai bau ureum yang sangat menusuk. Air tersebut dapat digunakan sebagai penghalau tikus, dengan cara dimasukkan ke dalam lubang aktif tikus. Lubang tikus itu ternyata kemudian ditinggalkan dan tidak dihuni lagi. Hal ini diduga karena selain kandungan ureum, terdapat pula unsur belerang (sulfur) yang diikat oleh asam jengkolat yang terlarut di air rendaman tersebut. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh cairan biji jengkol (Pithecolobium lobatum) sebagai rodentisida nabati terhadap lama hidup mencit putih. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan pembanding bagi peneliti selanjutnya. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium IHPT Jurusan Agroteknologi, Faperta Unhalu, dari bulan November sampai Desember 2005. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kurungan uji (berukuran 27,4 cm x 16,5 cm x 13,2 cm), plastik transparan, wadah tempat cairan biji jengkol (berdiameter 5,8 cm dan tinggi 11,4 cm), blender, gelas kimia 500 ml, kertas label, lakban, jarum pentul dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan adalah mencit putih berjenis kelamin betina, biji jengkol, serta air. Tahapan Penelitian Penelitian disusun dalam tabulasi sederhana dengan 5 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 15 unit perlakuan. Setiap unit menggunakan 1 ekor mencit putih sebagai hewan uji. Perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut: J0 = Tanpa pemberian cairan biji jengkol J1 = Pemberian cairan 200 g biji jengkol/liter air J2 = Pemberian cairan 400 g biji jengkol/liter air J3 = Pemberian cairan 600 g biji jengkol/liter air J4 = Pemberian cairan 800 g biji jengkol/liter air a. Penyiapan Kurungan Uji.

Kurungan yang digunakan sebagai tempat dilakukan pengujian (baik untuk perlakuan pemberian cairan biji jengkol maupun untuk kontrol) terbuat dari kawat berbentuk kotak yang berukuran 27,4 cm x 16,5 cm x 13,2 cm. Kurungan uji tersebut ditutup rapat dengan plastik transparan agar tidak menghilangkan bau jengkol yang diaplikasikan. b. Pembuatan Cairan Biji Jengkol

Pembuatan cairan dilakukan dengan cara menimbang biji jengkol yang telah tua sesuai dengan perlakuan, kemudian ditambahkan 1 liter air lalu diblender. Setelah itu cairan biji jengkol siap untuk diaplikasikan. c. Aplikasi Cairan Biji Jengkol

Cairan biji jengkol dimasukkan ke dalam wadah terbuka yang berdiameter 5,8 cm dan tinggi 11,4 cm masing-masing sebanyak 200 ml kemudian disimpan dalam kurungan

379

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

tertutup bersama dengan mencit. Mencit yang digunakan adalah mencit betina yang telah dewasa (matang seksual) yaitu berumur 3 bulan. Selama dalam penelitian, mencit tersebut diberi pakan roti. Pengamatan dan Analisis Data Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah perilaku (behavior) mencit putih selama aplikasi dan waktu yang dibutuhkan sejak aplikasi sampai mencit mati. Data disusun ke dalam tabulasi sederhana dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan terhadap perilaku mencit putih yang diberi perlakuan cairan biji jengkol secara rinci pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengamatan perilaku (behavior) mencit putih yang diberi perlakuan cairan biji jengkol Perlakuan Tanpa pemberian cairan biji jengkol (J0) Perilaku (Behavior) Mencit Putih Hari pertama, mencit terlihat bergerak ke sana kemari seolah-olah berusaha untuk mengenali lingkungan barunya dan belum berani untuk makan dalam jumlah yang banyak. Hari kedua, mencit terlihat sudah bisa beradaptasi dan nafsu makannya sudah kembali normal. Hari pertama, mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi sumber bau. Rata-rata mulai hari kedua setelah aplikasi pergerakan mencit terlihat menjadi lambat, lebih banyak diam dan sedikit makan hingga mencit mati (rata-rata 10,67 hari setelah aplikasi). Hari pertama, mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi sumber bau. Rata-rata mulai hari ketiga setelah aplikasi mencit terlihat menjadi malas bergerak, lebih banyak diam dan sedikit makan hingga mencit mati (rata-rata 13,00 hari setelah aplikasi). Hari pertama, mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi sumber bau. Rata-rata mulai hari ketiga setelah aplikasi mencit menjadi terlihat malas bergerak, lebih banyak diam dan sedikit makan sehingga tampak kurus. Rata-rata pada hari ketujuh setelah aplikasi mencit terlihat mengalami pembengkakan pada perut dan leher.Hal ini terjadi hingga mencit putih mati (rata-rata 18,00 hari setelah aplikasi). Hari pertama, mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi sumber bau. Rata-rata mulai hari ketiga setelah aplikasi mencit terlihat menjadi malas bergerak, lebih banyak diam dan sedikit makan sehingga tampak kurus. Rata-rata pada hari kesembilan setelah aplikasi mencit terlihat mengalami pembengkakan pada perut dan leher.Hal ini terjadi hingga mencit putih mati (rata-rata 18,67 hari setelah aplikasi).

Pemberian cairan 200 g biji jengkol/liter air (J1)

Pemberian cairan 400 g biji jengkol/liter air (J2)

Pemberian cairan 600 g biji jengkol/liter air (J3)

Pemberian cairan 800 g biji jengkol/liter air (J4)

380

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Rata-rata lama hidup mencit putih yang diberi perlakuan cairan biji jengkol menunjukkan bahwa rata-rata lama hidup mencit putih terpendek terdapat pada perlakuan J1 selama 10,67 HSA yang diikuti dengan perlakuan J2 selama 13,00 HSA, perlakuan J3 selama 18,00 HSA dan perlakuan J4 selama 18,67 HSA. Rata-rata lama hidup mencit putih terpanjang terdapat pada perlakuan J0, dan pada perlakuan J0 tesebut tidak ada mencit yang mati sampai akhir penelitian (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata lama hidup mencit putih yang diberi perlakuan cairan biji jengkol (Hari Setelah Aplikasi) Perlakuan Tanpa pemberian cairan biji jengkol (J0) Pemberian cairan 200 g biji jengkol/liter air (J1) Pemberian cairan 400 g biji jengkol/liter air (J2) Pemberian cairan 600 g biji jengkol/liter air (J3) Pemberian cairan 800 g biji jengkol/liter air (J4) Pembahasan Mencit yang digunakan sebagai hewan uji menunjukkan perilaku yang berbeda pada setiap perlakuan. Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa mencit yang diberi perlakuan J3 dan J4 menunjukkan perilaku yang hampir sama yaitu hari pertama mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi sumber bau, bahkan berusaha keluar dari dalam kurungan (Gambar 3). Selain itu, mencit terlihat menjadi malas bergerak, lebih banyak diam dan sedikit makan sehingga tampak kurus. Rata-rata 7 HSA (J3) dan 9 HSA (J4) mencit mengalami pembengkakan pada perut dan leher. Akhirnya mencit tersebut mati yaitu rata-rata 18,00 HSA (J3) dan 18,67 HSA (J4). Pada perlakuan J1 dan J2 terdapat sedikit perbedaan yaitu mencit terlihat tidak mengalami pembengkakan pada tubuhnya dan mencit menjadi lebih cepat mati yaitu ratarata 10,67 HSA (J1) dan 13,00 HSA (J2), sedangkan pada perlakuan J0 mencit awalnya tampak bergerak ke sana kemari seolah-olah berusaha untuk mengenali lingkungan barunya dan belum berani untuk makan dalam jumlah yang banyak. Namun pada hari berikutnya, mencit terlihat sudah bisa beradaptasi dan nafsu makannya sudah kembali normal hingga akhir penelitian. Lebih cepatnya mencit mati pada perlakuan J1 dan J2 dibanding dengan perlakuan J3 dan J4 seperti yang terlihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil terbaik tidak terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi tertinggi tetapi sebaliknya terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi terendah. Hal ini diduga karena adanya hubungan erat antara biji jengkol yang digunakan (200, 400, 600 dan 800 gram) dengan 1 liter air yang berfungsi sebagai pelarut zat-zat kimia yang terdapat dalam biji jengkol tersebut dimana zat-zat racun tersebut kemudian menguap dan menghasilkan bau yang dapat membunuh mencit jika terhirup. Pitojo (1992) mengemukakan bahwa asam jengkolat dapat mengikat unsur belerang (sulfur) yang terlarut di air rendaman. Selain asam jengkolat, biji jengkol juga mengandung zat-zat kimia seperti minyak atsiri, saponin, alkaloid, terpenoid, steroid, tannin, dan glikosida. Namun pengaruh zat-zat kimia tersebut terhadap mencit belum diketahui secara pasti. Penggunaan 1 l air untuk 200 g biji jengkol (J 1) menghasilkan cairan yang lebih cair sehingga lebih mudah dan lebih banyak menguap memenuhi ruang dalam kurungan dan akhirnya meracuni mencit yang menghirupnya, sedangkan penggunaan 1 liter air Rata-rata lama hidup Mencit Putih (HSA) Tidak ada mencit yang mati 10,67 13,00 18,00 18,67

381

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

untuk 800 g biji jengkol (J4) menghasilkan cairan yang lebih kental seperti bubur sehingga cenderung tidak mudah dan lebih sedikit menguap, akibatnya tidak cepat memberikan reaksi pada mencit yang menghirupnya yang ditandai dengan mampunya mencit bertahan hidup lebih lama walaupun pada akhirnya juga akan mengalami kematian. Mencit yang dapat bertahan hidup lebih lama terlihat mengalami pertumbuhan yang abnormal yaitu terjadi pembengkakan pada bagian perut dan leher. Pertumbuhan yang abnormal tersebut dialami oleh mencit-mencit yang diberi perlakuan J3 dan J4, sedangkan pada perlakuan J1 dan J2 mencit mengalami kematian yang lebih cepat. Diduga hal ini berhubungan erat dengan banyaknya bau yang dihirup oleh mencit, dimana semakin banyak bau yang terhirup oleh mencit maka akan semakin cepat pula mencit tersebut mati, sedangkan mencit yang sedikit menghirup bau tersebut umumnya dapat bertahan lebih lama tetapi pertumbuhannya menjadi abnormal dan hal tersebut sangat dipengaruhi oleh mudah tidaknya cairan biji jengkol tersebut menguap di dalam kurungan. KESIMPULAN Bau dari cairan biji jengkol berpengaruh terhadap lama hidup mencit putih. Kematian tercepat diperoleh pada perlakuan 200 g biji jengkol/liter air yaitu rata-rata 10,67 hari kemudian diikuti perlakuan 400 g biji jengkol/liter air (13,00 hari), 600 g biji jengkol/liter air (18,00 hari) dan 800 g biji jengkol/liter air (18,67). Pada perlakuan 600 g biji jengkol/liter air dan 800 g biji jengkol/liter air memperlihatkan pertumbuhan mencit yang abnormal yaitu terjadi pembengkakan pada perut dan leher. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih disampaikan kepada saudari Suci Ayu Primaningsi atas bantuannya mengumpulkan data di lapang DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Tikus Sawah Musuh Utama Petani Padi. http://www.tanindo.com/ abdi8/hal2601.htm, Akses terakhir tanggal 31 Mei 2005. Kusnaedi, 1999. Pengendalian Hama Tanpa Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. Oka, I.N., 1993. Penggunaan, Permasalahan serta Prospek Pestisida Nabati dalam Pengendalian Hama Terpadu. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor 1-2 Desember 1993. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Pitojo, S., 1992. Jengkol, Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta. Priyambodo, S., 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya. Jakarta. Rukmana, R., dan U. Sugandi, 1997. Hama Tanaman dan Teknik Pengendalian. Kanisius. Yogyakarta. Rosmini, 2003. Pengendalian Hama Tikus. Sriwijaya Pos (Selasa, 5 Agustus 2003). http://www.indomedia.com/sripo/2003/08/05/0508kot6.htm. Akses terakhir tanggal 31 Mei 2005. Setianingsih, E., 1995. Petai dan Jengkol. Penebar Swadaya. Jakarta. Singleton, G.R., 2003. Impacts of rodents on rice production in Asia. IRRI Discussion Paper Series No. 45, Los Banos, Philippines, 30 pp. Untung, K., 1992. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

382

Anda mungkin juga menyukai