Anda di halaman 1dari 119

PP 24-2003Direktorat Jenderal

Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan HAM
Teks tidak dalam format asli.
Kembali

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 52, 2003(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia


Nomor 4290)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG
TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK,
PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA TERORISME

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34


Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang, perlu membentuk Peraturan Pemerintah tentang
Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
Perkara Tindak Pidana Terorisme;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN


TERHADAP
SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
TERORISME.

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Perlindungan adalah jaminan rasa aman yang diberikan oleh negara kepada
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dari kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme.
2. Saksi adalah orang yang memberi keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
perkara tindak pidana terorisme yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami
sendiri.
3. Keluarga adalah keluarga inti yang terdiri dari suami/istri dan anak dari
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim.

Pasal 2
Setiap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang memeriksa beserta
keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh
negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan atau hartanya,
baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

Pasal 3
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh aparat hukum dan
aparat keamanan berupa:
a. perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b. kerahasiaan identitas saksi;

c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa


bertatap muka dengan tersangka.

Pasal 4
(1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat
terjadinya tindak pidana terorisme.
(2) Dalam hal Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan atau Hakim bertempat tinggal
di luar wilayah kerja kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
perlindungan diberikan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, atau
Hakim.

(3) Dalam hal persidangan dilaksanakan di luar tempat terjadinya tindak pidana
terorisme maka perlindungan diberikan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat sidang pengadilan dilaksanakan.
Pasal 5
Perlindungan terhadap Saksi wajib diberikan oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau
Hakim dalam semua tingkat pemeriksaan perkara.

Pasal 6
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib diberitahukan kepada
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim, dalam waktu 1 (satu) hari sebelum
perlindungan diberikan.

Pasal 7
(1) Dalam hal perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 belum diberikan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Saksi, Penyidik, Penuntut Umum atau
Hakim dapat mengajukan permohonan perlindungan.
(2) Permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim.
(3) Dalam hal permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diajukan oleh Saksi, tembusan permohonan tersebut disampaikan kepada Penyidik,
Penuntut Umum dan Hakim dalam semua tingkat pemeriksaan perkara.
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam
sejak permohonan perlindungan diterima, Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan klarifikasi atas kebenaran permohonan dan identifikasi bentuk
perlindungan yang diperlukan.

Pasal 8
Teknis pelaksanaan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diatur lebih
lanjut oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 9
(1) Pemberian perlindungan dihentikan:

a. Berdasarkan penilaian Kepolisian Negara Republik Indonesia perlindungan tidak


diperlukan lagi; atau
b. Atas permohonan yang bersangkutan.

(2) Penghentian pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a, harus diberitahukan secara tertulis kepada Saksi, Penyidik, Penuntut Umum
dan/atau Hakim dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
perlindungan dihentikan.

Pasal 10
Dalam hal saksi didatangkan dari luar wilayah negara Republik Indonesia,
perlindungan Saksi tersebut dilakukan dengan bekerjasama dengan pejabat
kepolisian yang berwenang di negara tersebut.

Pasal 11
(1) Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim tidak dikenakan biaya atas
perlindungan yang diberikan kepadanya.
(2) Segala biaya berkaitan dengan perlindungan terhadap Saksi, Penyidik,
Penuntut Umum dan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibebankan pada
anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 12
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah


ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Mei 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Mei 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 4290(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 52)

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG
TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK,
PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA TERORISME

I. UMUM

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan


salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara. Terorisme sudah
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap
keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang, ditegaskan bahwa
mengenai tata cara perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim dalam perkara tindak pidana terorisme perlu diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Pemberian perlindungan tersebut sangat penting untuk menjamin
kelancaran jalannya proses peradilan dan sekaligus agar dalam memberikan
kesaksian dan dalam melaksanakan tugas penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, dan hakim merasa aman dari ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya.
Perlindungan tersebut dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di
samping itu perlindungan terhadap saksi diberikan dalam bentuk kerahasiaan
identitas saksi dan pemberian keterangan pada saat pemeriksaan tanpa tatap muka
dengan tersangka.
Bertitik tolak pada pemikiran tersebut untuk menjamin kepastian dan ketertiban
hukum serta keadilan dalam proses peradilan tindak pidana terorisme perlu
ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi,
Penyidik, Penuntut, dan Hakim.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Yang dimaksud dengan "pemeriksaan di sidang pengadilan"adalah proses pemeriksaan


pada sidang Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung.

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Permohonan perlindungan yang diajukan Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berlaku juga kepada keluarga. Perlindungan
yang diajukan pada tahap penyidikan berlaku sampai berakhirnya pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup Jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas
LDj © 2004 ditjen pp

UU 21-2007Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan HAM
Teks tidak dalam format asli.
Kembali
lihat: UU 1-1946::UU 27-1999::UU 14-2009

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 58, 2007POLHUKAM. HUKUM. Perdagangan Orang. Pidana. Pemberantasan.


(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki
hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi
oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan
yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi
manusia, sehingga harus diberantas;
c. bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang
terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam
negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta
terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi
manusia;
d. bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan
orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional
untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku,
perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang
belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The
Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3277);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4235);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA


PERDAGANGAN
ORANG.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,


pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian
tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini.
3. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik,
seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan
orang.
4. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak
pidana perdagangan orang.
5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
6. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
7. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan
fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil.
8. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau
organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak
terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
9. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa,
atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.
10. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari
satu tempat ke tempat lain.
11. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa
menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa,
badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
12. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa
ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa
menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki
seseorang.
13. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian
materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
14. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis,
dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat.
15. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau
keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk
pelunasan utang.

BAB II
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 2
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah
negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp120.000.000, 00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan
maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau
dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp120.000.000, 00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 4
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik
Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,
00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000, 00 (enam
ratus juta rupiah).

Pasal 5
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp120.000.000, 00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 6
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan
cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000, 00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 7
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat,
gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya,
kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2),
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur
hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp5.000.000.000, 00 (lima milyar rupiah).

Pasal 8
(1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang
mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6.
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat
dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari
jabatannya.
(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus
dalam amar putusan pengadilan.

Pasal 9
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak
pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp40.000.000, 00 (empat puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp240.000.000, 00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

Pasal 10
Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak
pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 11
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 12
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan
orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan
korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana
perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil
keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6.

Pasal 13
(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau
atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan
kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
(2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan
dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Pasal 14
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus
berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

Pasal 15
(1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha;
b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c. pencabutan status badan hukum;
d. pemecatan pengurus; dan/atau

e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang


usaha yang sama.

Pasal 16
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang
terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok
yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 17
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4
dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 18
Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana
perdagangan orang, tidak dipidana.

BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 19
Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen
negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk
mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp40.000.000, 00 (empat puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp280.000.000, 00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 20
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau
barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang
pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp40.000.000, 00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp280.000.000, 00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 21
(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di
persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp40.000.000, 00 (empat puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau
petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp80.000.000, 00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000, 00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau
petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp120.000.000, 00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan
orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000, 00 (empat
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 23
Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari
proses peradilan pidana dengan:

a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada
pelaku;
b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
c. menyembunyikan pelaku; atau

d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara


paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp40.000.000, 00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 24
Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya
telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus
dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000, 00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000, 00 (dua ratus
delapan puluh juta rupiah).

Pasal 25
Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi
pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 26
Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak
pidana perdagangan orang.

Pasal 27
Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang atau
perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut
digunakan untuk mengeksploitasi korban.

BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 28
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 29
Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
dapat pula berupa:

a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara


elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam
secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makan atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Pasal 30
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan
satu alat bukti yang sah lainnya.

Pasal 31
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap telepon
atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,
merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang.
(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan atas
izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 32
Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa
keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang
disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 33
(1) Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor
berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban merahasiakan identitas tersebut
diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana
perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan
pemeriksaan.

Pasal 34
Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui
alat komunikasi audio visual.

Pasal 35
Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya
yang dibutuhkan.

Pasal 36
(1) Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang
pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang
melibatkan dirinya.
(2) Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.

Pasal 37
(1) Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk
memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran
terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk ke luar ruang sidang.
(3) Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan
setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi
dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan.

Pasal 38
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi
dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik
bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.

Pasal 39
(1) Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban
anak dilakukan dalam sidang tertutup.
(2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi dan/atau
korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau
pendamping lainnya.
(3) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.

Pasal 40
(1) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim,
dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat
yang berwenang.

Pasal 41
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan,
maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang
dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan
dengan kehadiran terdakwa.

Pasal 42
Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum
pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan
kepada keluarga atau kuasanya.

BAB V
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Pasal 43
Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana
perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.

Pasal 44
(1) Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh
kerahasiaan identitas.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada keluarga saksi
dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau
korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan
dengan keterangan saksi dan/atau korban.

Pasal 45
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan
kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian
setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata
cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

Pasal 46
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat
dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 47
Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia
wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses
pemeriksaan perkara.

Pasal 48
(1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi.
(2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:

a. kehilangan kekayaan atau penghasilan;


b. penderitaan;
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan
pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak
dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
(5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih
dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak
diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi,
maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan
dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Pasal 49
(1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang
memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi
tersebut.
(2) Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman
pengadilan yang bersangkutan.
(3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.

Pasal 50
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi
sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6),
korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan
secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban
memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
(3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan
penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut
untuk pembayaran restitusi.
(4) Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana
kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 51
(1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan
mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan
orang.
(2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau
keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja
sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain
melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah
melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan
sosial di daerah.

Pasal 52
(1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
diajukan permohonan.
(2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau
pusat trauma.
(3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula membentuk
rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
Pasal 53
Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat
tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka
menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di
daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
permohonan diajukan.

Pasal 54
(1) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat
tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui
perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban,
dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara.
(2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka
Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara
asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.
(3) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum
internasional, atau kebiasaan internasional.

Pasal 55
Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN

Pasal 56
Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin
terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 57
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah
terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan,
dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah
perdagangan orang.

Pasal 58
(1) Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan
penanganan tindak pidana perdagangan orang.
(2) Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan
wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.
(3) Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari
pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.
(4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan
lembaga koordinatif yang bertugas:
a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan
orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama;

c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi,


pemulangan, dan reintegrasi sosial;
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
(5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat setingkat
menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden.
(6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan
anggaran yang diperlukan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi,
keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur
dengan Peraturan Presiden.

BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL DAN
PERAN SERTA MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Kerja Sama Internasional

Pasal 59
(1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja
sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk
perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 60
(1) Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban
tindak pidana perdagangan orang.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan
tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana
perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut
serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 61
Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang,
Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, baik
nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.

Pasal 62
Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61,
masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum.

Pasal 63
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perkara tindak pidana perdagangan orang
yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang
mengaturnya.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 65
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, maka Pasal 297 dan Pasal 324 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik
Indonesia lI Nomor 9) jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan
Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk
Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan
ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap
Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 66
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini harus diterbitkan
selambat-lambatnya dalam 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 67
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

HAMID AWALUDIN

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 4720(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

I. UMUM

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan


orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran
harkat dan martabat manusia.
Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk
Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi
perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota
organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak
menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak
hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi
juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan
paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana
perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian,
atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan
orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan,
dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah
kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar
seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau
orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis.
Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik
serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang
lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara
melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang
tersebut tidak menghendakinya.
Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas
dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi.
Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi
juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan
kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan
operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai
larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan
mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak
merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Di samping itu,
Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan
dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu,
diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang
mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan
tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis
tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi
dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri
maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.
Undang-Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting
dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar
kepada korban dan saksi. Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian
yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan
orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana
perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak
korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang
harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan
fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.
Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung
jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga. Untuk mewujudkan
langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan
penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang
merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan
juga antarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional
dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja
sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk
melaksanakan Protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum
Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo)
yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini, kata "untuk tujuan" sebelum frasa "mengeskploitasi orang
tersebut" menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik
formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.
Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 3

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa wilayah negara Republik Indonesia adalah sebagai
negara tujuan atau transit.

Pasal 4

Cukup jelas.
Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Yang dimaksud dengan frasa "pengiriman anak ke dalam negeri" dalam ketentuan ini
adalah pengiriman anak antardaerah dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "luka berat" dalam ketentuan ini adalah:

a. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut;
b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencaharian;
c. kehilangan salah satu pancaindera;
d. mendapat cacat berat;
e. menderita sakit lumpuh;

f. mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4


(empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut; atau
g. gugur atau matinya janin dalam kandungan seorang perempuan atau mengakibatkan
tidak berfungsinya alat reproduksi.
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam ketentuan ini adalah pejabat
pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang
menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana
perdagangan orang.
Yang dimaksud dengan "menyalahgunakan kekuasaan" dalam ketentuan ini adalah
menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian
kekuasaan tersebut atau menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)

Cukup jelas
Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak
pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus, dan/atau pelarangan
pengurus tersebut mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama" dalam
ketentuan ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kelompok yang terorganisasi" adalah
kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang
eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu
atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan
memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak
langsung.

Pasal 17

Cukup jelas
Pasal 18

Yang dimaksud dengan "dipaksa" dalam ketentuan ini adalah suatu keadaan di mana
seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu
melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.

Pasal 19

Yang dimaksud dengan "dokumen negara" dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak
terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte
kelahiran, dan surat nikah.
Yang dimaksud dengan "dokumen lain" dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak
terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja
Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait.

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "petugas di persidangan" adalah hakim, penuntut umum,


panitera, pendamping korban, advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam
persidangan tindak pidana perdagangan orang.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ketentuan ini berlaku juga bagi pemberitahuan identitas korban atau saksi kepada
media massa.

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Dalam ketentuan ini, korban tetap memiliki hak tagih atas utang atau perjanjian
jika pelaku memiliki kewajiban atas utang atau perjanjian lainnya terhadap
korban.

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Yang dimaksud dengan "data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas,
atau yang terekam secara elektronik" dalam ketentuan ini misalnya: data yang
tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan
lainnya seperti:

a. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit atau
utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang
diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;
b. catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau
organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang
ini; atau
c. dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari
negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak
berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang
berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Yang dimaksud dengan "penyedia jasa keuangan" antara lain, bank, perusahaan
efek, reksa dana, kustodian, dan pedagang valuta asing.
Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Yang dimaksud dengan "pendamping lainnya" antara lain psikolog, psikiater, ahli
kesehatan, rohaniwan, dan anggota keluarga.

Pasal 36

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan


kasus yang melibatkan dirinya" dalam ketentuan ini adalah korban yang menjadi
saksi dalam proses peradilan tindak pidana perdagangan orang.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "informasi tentang perkembangan kasus setiap tahap


pemeriksaan" dalam ketentuan ini antara lain, berupa salinan berita acara
pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan
tuntutan, serta putusan pengadilan.

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Ayat (1)

Yang dimaksud "perekaman" dalam ayat ini dapat dilakukan dengan alat rekam
audio, dan/atau audio visual.
Ayat (2)

Yang dimaksud "pejabat yang berwenang" adalah penyidik atau penuntut umum.
Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Ketentuan ini dimaksudkan untuk:

a. memungkinkan bahwa terdakwa yang melarikan diri mengetahui putusan tersebut;


atau
b. memberikan tambahan hukuman kepada terdakwa berupa "pencideraan nama baiknya"
atas perilaku terdakwa yang tidak kooperatif dengan proses hukum.

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini, mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban


melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana
yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk
mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian
yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan
tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri
gugatan atas kerugiannya.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kerugian lain" dalam ketentuan ini misalnya:


a. kehilangan harta milik;
b. biaya transportasi dasar;
c. biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; atau
d. kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku.
Ayat (3)

Cukup jelas.
Ayat (4)

Cukup jelas.
Ayat (5)

Dalam ketentuan ini, penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan


dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini disamakan
dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi.
Ayat (6)

Restitusi dalam ketentuan ini merupakan pembayaran riil (faktual) dari jumlah
restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat
pertama.
Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "rehabilitasi kesehatan" dalam ketentuan ini adalah


pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis.
Yang dimaksud dengan "rehabilitasi sosial" dalam ketentuan ini adalah pemulihan
dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian
sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
Yang dimaksud dengan "reintegrasi sosial" dalam ketentuan ini adalah penyatuan
kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau
pengganti keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan
bagi korban.
Hak atas "pemulangan" harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban
benar-benar menginginkan pulang, dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi
korban tersebut.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini permohonan rehabilitasi dapat dimintakan oleh korban atau
kuasa hukumnya dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian.
Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "pemerintah" dalam ketentuan ini adalah instansi yang
bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan
masalah-masalah sosial, dan dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara
penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota khususnya
dari mana korban berasal atau bertempat tinggal.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)

Dalam ketentuan ini, pembentukan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma
dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dengan memperhatikan
asas prioritas. Dalam hal daerah telah mempunyai rumah perlindungan sosial atau
pusat trauma, maka pemanfaatan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma perlu
dioptimalkan sesuai dengan Undang-Undang ini.
Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "perwakilannya di luar negeri" dalam ketentuan ini adalah
kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua
kantor diplomatik atau kekonsuleran lainnya yang sesuai peraturan
perundang-undangan menjalankan mandat Pemerintah Republik Indonesia untuk
melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi
permasalahan hukum di luar negeri.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 55
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan lain" dalam ketentuan ini
mengacu pula pada undang-undang yang mengatur perlindungan saksi dan/atau
korban.

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Pemerintah" dalam ketentuan ini adalah instansi yang
menjalankan urusan antara lain, di bidang pendidikan, pemberdayaan perempuan,
dan ketenagakerjaan, hukum dan hak asasi manusia, komunikasi dan informasi.
Yang dimaksud dengan "Pemerintah Daerah" dalam ketentuan ini meliputi provinsi
dan kabupaten/kota.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "penanganan" meliputi antara lain, kegiatan pemantauan,


penguatan, dan peningkatan kemampuan penegak hukum dan para pemangku kepentingan
lain.

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Pemerintah Republik Indonesia" dalam ketentuan ini adalah
pejabat yang oleh Presiden diberikan kewenangan penyelenggaraan hubungan luar
negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "bantuan timbal balik dalam masalah pidana" dalam ketentuan
ini misalnya:
a. pengambilan alat/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang;
b. pemberian dokumen resmi dan catatan hukum lain yang terkait;
c. pengidentifikasian orang dan lokasi;

d. pelaksanaan permintaan untuk penyelidikan dan penyitaan dan pemindahan barang


bukti berupa dokumen dan barang;
e. upaya pemindahan hasil kejahatan;

f. upaya persetujuan dari orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu
penyidikan oleh pihak peminta dan jika orang itu berada dalam tahanan mengatur
pemindahan sementara ke pihak peminta;
g. penyampaian dokumen;
h. penilaian ahli dan pemberitahuan hasil dari proses acara pidana; dan

i. bantuan lain sesuai dengan tujuan bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Yang dimaksud dengan "perlindungan hukum" dalam ketentuan ini dapat berupa
perlindungan atas:
a. keamanan pribadi;
b. kerahasiaan identitas diri; atau

c. penuntutan hukum sebagai akibat melaporkan secara bertanggung jawab tindak


pidana perdagangan orang.

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Cukup jelas

Pasal 66

Cukup jelas

Pasal 67

Cukup jelas
LDj © 2004 ditjen pp
UU 25-2007 - Penanaman ModalDirektorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan HAM
Teks tidak dalam format asli.
Kembali
mencabut: UU 1-1967::UU 11-1970::UU 6-1968::UU 12-1970

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 67, 2007Ekonomi. KEUANGAN. PMDN.PMA. Penanaman Modal.Kebijakan.


(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 25 TAHUN 2007
TENTANG
PENANAMAN MODAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu
dilaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan
demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara;
b. bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik
Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya
selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi;
c. bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan
kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal
untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan
modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;
d. bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan
Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim
penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan,
dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan
perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang
penanaman modal;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanaman
Modal;

Mengingat: Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (5), Pasal 20, serta Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANAMAN MODAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh
penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia.
2. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal
dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
3. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik
yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam
modal dalam negeri.
4. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman
modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
5. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan
usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman
modal di wilayah negara Republik Indonesia.
6. Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha
asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah
negara Republik Indonesia.
7. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang
dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.
8. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga
negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum
Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.
9. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia,
perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum
atau tidak berbadan hukum.
10. Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan
dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari
lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang
proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap
terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
11. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
12. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
13. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor
di wilayah negara Republik Indonesia.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3
(1) Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:

a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
e. kebersamaan;
f. efisiensi berkeadilan;
g. berkelanjutan;
h. berwawasan lingkungan;
i. kemandirian; dan
j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(2) Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:

a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;


b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan


dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

BAB III
KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL

Pasal 4
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:

a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal
untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan
b. mempercepat peningkatan penanaman modal.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah:
a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal
asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi
penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya
kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(3) Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan
dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.

BAB IV
BENTUK BADAN USAHA DAN KEDUDUKAN

Pasal 5
(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang
berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
(3) Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam
bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan:
a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. membeli saham; dan
c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PERLAKUAN TERHADAP PENANAMAN MODAL

Pasal 6
(1) Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang
berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam
modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian
dengan Indonesia.

Pasal 7
(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan
hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
(2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan
hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan
kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3) Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang
kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya
dilakukan melalui arbitrase.

Pasal 8
(1) Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang
diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara.
(3) Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam
valuta asing, antara lain terhadap:
a. modal;
b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;
c. dana yang diperlukan untuk:

1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi;
atau
2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman
modal;
d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;
e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman;
f. royalti atau biaya yang harus dibayar;
g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan
penanaman modal;
h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;
i. kompensasi atas kerugian;
j. kompensasi atas pengambilalihan;

k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus
dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah
kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan
l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi:

a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan


perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana;
b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan
Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan
d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara.

Pasal 9
(1) Dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam
modal:
a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk
menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan
b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer
dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan.
(2) Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan
penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga
selesainya seluruh tanggung jawab penanam modal.

BAB VI
KETENAGAKERJAAN

Pasal 10
(1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus
mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia.
(2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing
untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga
negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan
menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja
warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan untuk
diselesaikan secara musyawarah antara perusahaan penanaman modal dan tenaga
kerja.
(2) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai hasil,
penyelesaiannya dilakukan melalui upaya mekanisme tripartit.
(3) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai hasil,
perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui pengadilan hubungan industrial.

BAB VII
BIDANG USAHA

Pasal 12
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal,
kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka
dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:

a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan

b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan


undang-undang.
(3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang
tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan
berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan
dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
(4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.
(5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan
berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam,
perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,
pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi
modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk
Pemerintah.

BAB VIII
PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL
BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH,
DAN KOPERASI

Pasal 13
(1) Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar
dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing,
pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang
seluas-luasnya.

BAB IX
HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB
PENANAM MODAL

Pasal 14
Setiap penanam modal berhak mendapat:
a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
c. hak pelayanan; dan

d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan.

Pasal 15
Setiap penanam modal berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada


Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman
modal; dan
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16
Setiap penanam modal bertanggung jawab:

a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal
menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara
sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan
hal lain yang merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;

e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja;


dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib
mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar
kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB X
FASILITAS PENANAMAN MODAL

Pasal 18
(1) Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan
penanaman modal.
(2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
kepada penanaman modal yang:
a. melakukan peluasan usaha; atau
b. melakukan penanaman modal baru.
(3) Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
a. menyerap banyak tenaga kerja;
b. termasuk skala prioritas tinggi;
c. termasuk pembangunan infrastruktur;
d. melakukan alih teknologi;
e. melakukan industri pionir;

f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah


lain yang dianggap perlu;
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau

ii.
j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang
diproduksi di dalam negeri.
(4) Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa:
a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat
tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;
b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau
peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk
keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal
atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi
di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan

f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu,
pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
(5) Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu
tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan
industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi
nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
(6) Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian
mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa keringanan
atau pembebasan bea masuk.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 19
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) diberikan
berdasarkan kebijakan industri nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 20
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak berlaku bagi penanaman modal
asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas.
SOLO INDONESIA
Pasal 21
Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan
kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk
memperoleh:
a. hak atas tanah;
b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan
c. fasilitas perizinan impor.

Pasal 22
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan
dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima)
tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan
persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan
perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan
pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman
modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan

e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak
merugikan kepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya
masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan
tujuan pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka
dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal
menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan
tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Pasal 23
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dapat diberikan untuk:
a. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan
penanaman modal;
b. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara
dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, dan pelayanan
purnajual; dan
c. calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan penanaman modal.
(2) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang
diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
(3) Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu:

a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua)
tahun;
b. pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin
tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun
berturut-turut;
c. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang
izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk
jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal
terbatas diberikan;
d. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang
izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal
terbatas diberikan; dan
e. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang
izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan.
(4) Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Pasal 24
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dapat diberikan untuk impor:

a. barang yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang;
b. barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan,
kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa;
c. barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia; dan
d. barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri.

BAB XI
PENGESAHAN DAN PERIZINAN PERUSAHAAN

Pasal 25
(1) Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus sesuai
dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang ini.
(2) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk
badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk
perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib
memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari
instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan terpadu
satu pintu.

Pasal 26
(1) Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam
memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai
penanaman modal.
(2) Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang
berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan
wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan
nonperizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang
mengeluarkan perizinan dan nonperizinan di provinsi atau kabupaten/kota.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XII
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN
KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL

Pasal 27
(1) Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi
antarinstansi Pemerintah, antarinstansi Pemerintah dengan Bank Indonesia,
antarinstansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antarpemerintah
daerah.
(2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(3) Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin
oleh seorang kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(4) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 28
(1) Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal,
Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman
modal;
b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;

c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan


penanaman modal;
d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan
memberdayakan badan usaha;
e. membuat peta penanaman modal Indonesia;
f. mempromosikan penanaman modal;

g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal,


antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan
persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam
lingkup penyelenggaraan penanaman modal;
h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang
dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;
i. mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman
modalnya di luar wilayah Indonesia; dan
j. mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu.
(2) Selain tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Badan
Koordinasi Penanaman Modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan terpadu satu pintu, Badan
Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan perwakilan secara langsung dari
setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan
kewenangan.

BAB XIII
PENYELENGGARAAN URUSAN
PENANAMAN MODAL

Pasal 30
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan
berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.
(2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi
urusan Pemerintah.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan
urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
(4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi
menjadi urusan Pemerintah.
(5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota
menjadi urusan pemerintah provinsi.
(6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu
kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.
(7) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan
Pemerintah adalah:
a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan
tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;
b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada
skala nasional;
c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung
antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan
keamanan nasional;
e. penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang
berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh
Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut
undang-undang.
(8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya
sendiri, melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi
pemerintah kabupaten/kota.
(9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV
KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Pasal 31
(1) Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat
strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan
kemajuan suatu daerah, dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.
(2) Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri di
kawasan ekonomi khusus.
(3) Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan undang-undang.

BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 32
(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut
melalui musyawarah dan mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa
tersebut akan dilakukan di pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut
melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

BAB XVI
SANKSI

Pasal 33
(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman
modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau
pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas
untuk dan atas nama orang lain.
(2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat
perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian
dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
(3) Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan
korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan
bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang
mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak
pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan
penanam modal yang bersangkutan.

Pasal 34
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan
dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 35
Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam
bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum
Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian
tersebut.

Pasal 36
Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun
multilateral, dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah
Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan
Undang-Undang ini.

Pasal 37
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang
baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan yang telah diberikan oleh
Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanamana Modal Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya persetujuan
penanaman modal dan izin pelaksanaan tersebut.
(3) Permohonan penanaman modal dan permohonan lainnya yang berkaitan dengan
penanaman modal yang telah disampaikan kepada instansi yang berwenang dan pada
tanggal disahkannya Undang-Undang ini belum memperoleh persetujuan Pemerintah
wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(4) Perusahaan penanaman modal yang telah diberi izin usaha oleh Pemerintah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri dan, apabila izin usaha tetapnya telah berakhir, dapat diperpanjang
berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 38
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2943); dan
b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2944),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 39
Semua Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung
dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada
Undang-Undang ini.

Pasal 40
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

HAMID AWALUDIN

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 4724(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN 2007
TENTANG
PENANAMAN MODAL
I. UMUM

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan


kesejahteraan umum. Amanat tersebut, antara lain, telah dijabarkan dalam Pasal
33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat
konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di
bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional
harus berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya
kedaulatan ekonomi Indonesia. Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku
ekonomi kerakyatan dimantapkan lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi sebagai sumber hukum materiil. Dengan demikian,
pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
menjadi bagian dari kebijakan dasar penanaman modal.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari
penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya
saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor
penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain
melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan daerah,
penciptaan birokrasi yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal,
biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di
bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor
penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara
signifikan.
Suasana kebatinan pembentukan Undang-Undang tentang Penanaman Modal didasarkan
pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif sehingga
Undang-Undang tentang Penanaman Modal mengatur hal-hal yang dinilai penting,
antara lain yang terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman
modal, bentuk badan usaha, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha,
serta keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan yang
diwujudkan dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam
modal, serta fasilitas penanaman modal, pengesahan dan perizinan, koordinasi dan
pelaksanaan kebijakan penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai
kelembagaan, penyelenggaraan urusan penanaman modal, dan ketentuan yang mengatur
tentang penyelesaian sengketa.
Undang-Undang ini mencakupi semua kegiatan penanaman modal langsung di semua
sektor. Undang-Undang ini juga memberikan jaminan perlakuan yang sama dalam
rangka penanaman modal. Selain itu, Undang-Undang ini memerintahkan agar
Pemerintah meningkatkan koordinasi antarinstansi Pemerintah, antarinstansi
Pemerintah dengan Bank Indonesia, dan antarinstansi Pemerintah dengan pemerintah
daerah. Koordinasi dengan pemerintah daerah harus sejalan dengan semangat
otonomi daerah. Pemerintah daerah bersama-sama dengan instansi atau lembaga,
baik swasta maupun Pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam
pengembangan peluang potensi daerah maupun dalam koordinasi promosi dan
pelayanan penanaman modal. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal
berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan atau dekonsentrasi. Oleh
karena itu, peningkatan koordinasi kelembagaan tersebut harus dapat diukur dari
kecepatan pemberian perizinan dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang
berdaya saing. Agar memenuhi prinsip demokrasi ekonomi, Undang-Undang ini juga
memerintahkan penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai bidang usaha yang
tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan, termasuk bidang usaha yang harus
dimitrakan atau dicadangkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
Permasalahan pokok yang dihadapi penanam modal dalam memulai usaha di Indonesia
diperhatikan oleh Undang-Undang ini sehingga terdapat pengaturan mengenai
pengesahan dan perizinan yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelayanan
terpadu satu pintu. Dengan sistem itu, sangat diharapkan bahwa pelayanan terpadu
di pusat dan di daerah dapat menciptakan penyederhanaan perizinan dan percepatan
penyelesaiannya. Selain pelayanan penanaman modal di daerah, Badan Koordinasi
Penanaman Modal diberi tugas mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan penanam
modal. Badan Koordinasi Penanaman Modal dipimpin oleh seorang kepala yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jabaran tugas pokok dan fungsi Badan
Koordinasi Penanaman Modal pada dasarnya memperkuat peran badan tersebut guna
mengatasi hambatan penanaman modal, meningkatkan kepastian pemberian fasilitas
kepada penanam modal, dan memperkuat peran penanam modal. Peningkatan peran
penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor kebijakan pembangunan
nasional yang direncanakan dengan tahap memperhatian kestabilan makroekonomi dan
keseimbangan ekonomi antarwilayah, sektor, pelaku usaha, dan kelompok
masyarakat, mendukung peran usaha nasional, serta memenuhi kaidah tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance).
Fasilitas penanaman modal diberikan dengan mempertimbangkan tingkat daya saing
perekonomian dan kondisi keuangan negara dan harus promotif dibandingkan dengan
fasilitas yang diberikan negara lain. Pentingnya kepastian fasilitas penanaman
modal ini mendorong pengaturan secara lebih detail terhadap bentuk fasilitas
fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi, dan fasilitas perizinan impor.
Meskipun demikian, pemberian fasilitas penanaman modal tersebut juga diberikan
sebagai upaya mendorong penyerapan tenaga kerja, keterkaitan pembangunan ekonomi
dengan pelaku ekonomi kerakyatan, orientasi ekspor dan insentif yang lebih
menguntungkan kepada penanam modal yang menggunakan barang modal atau mesin atau
peralatan produksi dalam negeri, serta fasilitas terkait dengan lokasi penanaman
modal di daerah tertinggal dan di daerah dengan infrastruktur terbatas yang akan
diatur lebih terperinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan memperhatikan hal tersebut, Undang-Undang ini juga memberikan ruang
kepada Pemerintah untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai
perjanjian internasional yang terjadi dan sekaligus untuk mendorong kerja sama
internasional lainnya guna memperbesar peluang pasar regional dan internasional
bagi produk barang dan jasa dari Indonesia. Kebijakan pengembangan ekonomi di
wilayah tertentu ditempatkan sebagai bagian untuk menarik potensi pasar
internasional dan sebagai daya dorong guna meningkatkan daya tarik pertumbuhan
suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis bagi
pengembangan perekonomian nasional. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur
hak pengalihan aset dan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dengan tetap
memperhatikan tanggung jawab hukum, kewajiban fiskal, dan kewajiban sosial yang
harus diselesaikan oleh penanam modal. Kemungkinan timbulnya sengketa antara
penanam modal dan Pemerintah juga diantisipasi Undang-Undang ini dengan
pengaturan mengenai penyelesaian sengketa.
Hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal diatur secara khusus guna
memberikan kepastian hukum, mempertegas kewajiban penanam modal terhadap
penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang sehat, memberikan penghormatan
atas tradisi budaya masyarakat, dan melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan. Pengaturan tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong
iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan
pemenuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong ketaatan penanam
modal terhadap peraturan perundang-undangan.
Perekonomian dunia ditandai oleh kompetisi antarbangsa yang semakin ketat
sehingga kebijakan penanaman modal harus didorong untuk menciptakan daya saing
perekonomian nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju
perekonomian global. Perekonomian dunia juga diwarnai oleh adanya blok
perdagangan, pasar bersama, dan perjanjian perdagangan bebas yang didasarkan
atas sinergi kepentingan antarpihak atau antarnegara yang mengadakan perjanjian.
Hal itu juga terjadi dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerja sama
internasional yang terkait dengan penanaman modal, baik secara bilateral,
regional maupun multilateral (World Trade Organization/WTO), menimbulkan
berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan ditaati.
Berbagai pertimbangan di atas dan mengingat hukum penanaman modal yang telah
berlaku selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun semakin mendesak kebutuhan
Undang-Undang tentang Penanaman Modal sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang selama ini
merupakan dasar hukum bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia perlu diganti
karena tidak sesuai lagi dengan tantangan dan kebutuhan untuk mempercepat
perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi pembangunan hukum nasional
di bidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak kepada kepentingan
nasional.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Yang dimaksud dengan "penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik
Indonesia" adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal
tidak langsung atau portofolio.

Pasal 3

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "asas kepastian hukum" adalah asas dalam negara hukum yang
meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam
setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.
Huruf b

Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah asas yang terbuka terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang kegiatan penanaman modal.
Huruf c

Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penananam modal harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d

Yang dimaksud dengan "asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara"
adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal
asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari
negara asing lainnya.
Huruf e

Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan" adalah asas yang mendorong peran seluruh
penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Huruf f

Yang dimaksud dengan "asas efisiensi berkeadilan" adalah asas yang mendasari
pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam
usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.
Huruf g

Yang dimaksud dengan "asas berkelanjutan" adalah asas yang secara terencana
mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk
menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk
masa kini maupun yang akan datang.
Huruf h

Yang dimaksud dengan "asas berwawasan lingkungan" adalah asas penanaman modal
yang dilakukan dengan tetap memerhatikan dan mengutamakan perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan hidup.
Huruf i

Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah asas penanaman modal yang
dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak
menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.
Huruf j

Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional"
adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam
kesatuan ekonomi nasional.
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "perlakuan yang sama" adalah bahwa Pemerintah tidak
membedakan perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di
Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b

Cukup Jelas.
Huruf c

Cukup Jelas
Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "hak istimewa" adalah antara lain hak istimewa yang
berkaitan dengan kesatuan kepabeanan, wilayah perdagangan bebas, pasar bersama
(common market), kesatuan moneter, kelembagaan yang sejenis, dan perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah asing yang bersifat bilateral,
regional, atau multilateral yang berkaitan dengan hak istimewa tertentu dalam
penyelenggaraan penanaman modal.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "harga pasar" adalah harga yang ditentukan menurut cara
yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh
para pihak.
Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "arbitrase" adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas.
Ayat (5)

Huruf a

Cukup jelas.
Huruf b

Cukup jelas.
Huruf c

Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal terjadi kerugian negara, Pemerintah dapat melakukan tindakan hukum,
antara lain berupa peringatan, pembekuan, pencabutan izin usaha, tuntutan ganti
rugi, dan sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan
ditetapkan melalui Peraturan Presiden disusun dalam suatu daftar yang
berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha atau jenis usaha yang
berlaku di Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau Internasional Standard for Industrial
Classification (ISIC).
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "alat peledak" adalah alat yang digunakan untuk kepentingan
pertahanan dan keamanan.
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "bidang usaha yang dicadangkan" adalah bidang usaha yang
khusus diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi agar mampu
dan sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14

Huruf a

Yang dimaksud dengan "kepastian hak" adalah jaminan Pemerintah bagi penanam
modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban
yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan "kepastian hukum" adalah jaminan Pemerintah untuk
menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan
utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal.
Yang dimaksud dengan "kepastian perlindungan" adalah jaminan Pemerintah bagi
penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan
penanaman modal.
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Cukup jelas
Huruf d

Cukup jelas

Pasal 15

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan" adalah tanggung jawab
yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan
hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan
budaya masyarakat setempat.
Huruf c

Laporan kegiatan penanam modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan
kendala yang dihadapi penanam modal disampaikan secara berkala kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di
bidang penanaman modal.
Huruf d

Cukup jelas
Huruf e

Cukup jelas
Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang


disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.
Huruf b

Cukup jelas.
Huruf c

Cukup jelas.
Huruf d

Cukup jelas.
Huruf e

Yang dimaksud dengan "industri pionir" adalah industri yang memiliki keterkaitan
yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan
teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Huruf f

Cukup jelas.
Huruf g

Cukup jelas.
Huruf h

Cukup jelas.
Huruf i

Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas.
Ayat (6)

Cukup jelas
Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Huruf a

Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga
puluh lima) tahun.
Huruf b

Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang
di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30
(tiga puluh) tahun.
Huruf c

Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua
puluh lima) tahun.
Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b

Cukup jelas.
Huruf c

Yang dimaksud dengan "area yang luas" adalah luas tanah yang diperlukan untuk
kegiatan penanaman modal dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk, bidang
usaha, atau jenis usaha yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf d

Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Rekomendasi diberikan setelah penanaman modal memenuhi ketentuan penggunaan


tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Yang dimaksud dengan bertanggung jawab langsung kepada Presiden adalah bahwa
Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam melaksanakan tugas, menjalankan fungsi,
dan menyampaikan tanggung jawabnya langsung kepada Presiden.

Pasal 28

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.
Huruf b

Cukup jelas.
Huruf c

Dalam rangka penetapan norma, standar, dan prosedur Badan Koordinasi Penanaman
Modal berkoordinasi dengan departemen/instansi terkait.
Huruf d

Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas.
Huruf f

Cukup jelas
Huruf g

Cukup jelas.
Huruf h

Cukup jelas.
Huruf i

Cukup jelas.
Huruf j

Cukup jelas.
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)

Tujuan pengaturan ayat ini adalah menghindari terjadinya perseroan yang secara
normatif dimiliki seseorang, tetapi secara materi atau substansi pemilik
perseroan tersebut adalah orang lain.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "tindak pidana perpajakan" adalah informasi yang tidak
benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan
surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau
melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur
perpajakan.
Yang dimaksud dengan "penggelembungan biaya pemulihan" adalah biaya yang
dikeluarkan di muka oleh penanam modal yang jumlahnya tidak wajar dan kemudian
diperhitungkan sebagai biaya pengeluaran kegiatan penanaman modal pada saat
penentuan bagi hasil dengan Pemerintah Yang dimaksud dengan "temuan oleh pihak
pejabat yang berwenang" adalah temuan dengan indikasi unsur pidana berdasarkan
hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK atau pihak lainnya yang memiliki
kewenangan untuk memeriksa, yang selanjutnya ditindaklanjuti sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

LDj © 2004 ditjen pp

PP 23-2007Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan HAM
Teks tidak dalam format asli.
Kembali
file PDF: [1]

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 49, 2007KEPOLISIAN. Daerah Hukum. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4714)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
DAERAH HUKUM KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (3)


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara
Republik Indonesia;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4168);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DAERAH HUKUM KEPOLISIAN


NEGARA
REPUBLIK INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Polri, adalah


Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2. Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut
daerah hukum kepolisian adalah wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, wilayah perairan dan wilayah udara dengan
batas-batas tertentu dalam rangka melaksanakan fungsi dan peran kepolisian
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Kapolri
adalah Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab
penyelenggaraan fungsi kepolisian.

BAB II
PEMBAGIAN DAN PERUBAHAN DAERAH HUKUM KEPOLISIAN

Pasal 2
(1) Daerah hukum kepolisian dibagi berdasarkan kepentingan penyelenggaraan
fungsi dan peran kepolisian.
(2) Pembagian daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan daerah dan
perangkat sistem peradilan pidana terpadu.

Pasal 3
(1) Pembagian dan perubahan daerah hukum kepolisian ditetapkan dengan
mempertimbangkan kepentingan, kemampuan, fungsi dan peran kepolisian, luas
wilayah, serta keadaan penduduk.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan pembagian
daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kapolri.

Pasal 4
(1) Daerah hukum kepolisian meliputi:

a. daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah provinsi;
c. daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah kabupaten/kota;
d. daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah kecamatan;
(2) Berdasarkan pertimbangan kepentingan, kemampuan, fungsi dan peran
kepolisian, luas wilayah serta keadaan penduduk, Kapolri dapat menentukan daerah
hukum kepolisian di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c dan huruf d.
(3) Selain dari daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), daerah hukum kepolisian meliputi pula kawasan diplomatik, yaitu
Kedutaan Besar Indonesia serta kapal laut dan pesawat udara berbendera Indonesia
di luar negeri.
Pasal 5
Tidak termasuk ke dalam daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 adalah kawasan diplomatik, kedutaan besar asing, kantor perwakilan badan
internasional, kapal laut dan pesawat udara berbendera asing, serta tempat lain
sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 6
Pembagian daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
tidak membatasi setiap pejabat Polri dalam melaksanakan tugas, fungsi, peran dan
kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB III
PENANGGUNG JAWAB DAERAH HUKUM KEPOLISIAN

Pasal 7
Penanggung jawab daerah hukum kepolisian adalah:

a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk wilayah Negara Kesatuan


Republik Indonesia;
b. Kepala Kepolisian Daerah untuk wilayah provinsi;
c. Kepala Kepolisian Resort untuk wilayah kabupaten/kota;
d. Kepala Kepolisian Sektor untuk wilayah kecamatan.

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 8
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, daerah hukum Kepolisian Wilayah,
Kepolisian Wilayah Kota Besar, Kepolisian Kota Besar, Kepolisian Resort Metro,
Kepolisian Resort Kota, Kepolisian Sektor Metro, Kepolisian Sektor Kota masih
tetap berlaku sampai diadakan perubahan.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 9
Daerah hukum kepolisian Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kepolisian Daerah, Kepolisian Resort, Kepolisian Sektor di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ada pada saat ini ditetapkan sebagai
daerah hukum kepolisian menurut Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 10
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

HAMID AWALUDIN

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 4714(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 23)

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
DAERAH HUKUM KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. Umum

Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Pasal 6 ayat (2) menyatakan, dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi
kepolisian wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut
kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan menurut
Pasal 6 ayat (3) dinyatakan ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan dimaksud, dan optimalisasi pencapaian
sasaran fungsi dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta kepentingan
pelaksanan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka disusun Peraturan
Pemerintah tentang Pembagian Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pembagian daerah hukum kepolisian tersebut diusahakan harmonis, sesuai dan
serasi dengan pembagian wilayah administrasi Pemerintahan Daerah dan perangkat
sistem peradilan pidana terpadu, namun demikian untuk daerah tertentu
berdasarkan pertimbangan kepentingan pelaksanaan fungsi dan peran kepolisian,
kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia, luas wilayah serta keadaan
penduduk, daerah hukum kepolisian berbeda dari wilayah administrasi Pemerintahan
Daerah.
Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah serta meningkatnya perkembangan
pembangunan, yang mendorong pembentukan provinsi, kabupaten, kota, kecamatan,
desa dan/atau kelurahan baru, maka untuk kepentingan keamanan dan ketertiban
masyarakat (Kamtibmas) diperlukan pembentukan kesatuan kepolisian baru, sehingga
harus dilakukan perubahan daerah hukum kepolisian di wilayah yang bersangkutan.
Wewenang untuk melakukan perubahan daerah hukum berada pada Kapolri, dan tata
cara pelaksanaan perubahannya ditetapkan dengan Keputusan Kapolri.
Mengingat sistem perundang-undangan nasional memperhatikan serta mengakui bahkan
meratifikasi hukum internasional tertentu, maka berdasarkan asas teritorialiteit
terdapat pengecualian terhadap wilayah hukum kepolisian yaitu di wilayah
Indonesia ada yang tidak termasuk ke dalam daerah hukum Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan di Luar Negeri terdapat wilayah yang masuk ke dalam
wilayah hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Pembagian daerah hukum kepolisian bertujuan untuk mengoptimalkan pencapaian


sasaran fungsi, dan peran Polri, serta kepentingan pelaksanaan tugas dan
kepastian hukum.
Ayat (2)

Pembagian daerah hukum kepolisian diusahakan serasi dengan wilayah administrasi


pemerintahan di daerah, dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu.

Pasal 3

Ayat (1)

Dalam melakukan perubahan daerah hukum kepolisian, Kapolri berkoordinasi dengan


instansi terkait antara lain menteri yang membidangi pendayagunaan aparatur
negara, menteri yang membidangi keuangan, badan yang membidangi perencanaan dan
pembangunan nasional, dan pemerintah daerah setempat.
Ayat (2)

Cukup jelas.
Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)

Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan memberikan kewenangan kepada Kapolri untuk
menambah atau mengurangi lingkup daerah hukum kepolisian yang berbeda dengan
wilayah administrasi pemerintahan di daerah guna memudahkan pelaksanaan fungsi
kepolisian.
Sebagai contoh, daerah hukum Kepolisian Daerah Metro Jaya mencakup juga sebagian
wilayah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Sebaliknya daerah hukum
Kepolisian Resort Kota Bandung Barat hanya mencakup sebagian dari wilayah
administrasi pemerintahan Kota Bandung.
Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan "ketentuan yang berlaku" misalnya dalam menjalankan tugas
harus dengan Surat Perintah Tugas dan melapor kepada penanggung jawab daerah
hukum kepolisian setempat.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas
LDj © 2004 ditjen ppPP 23-2007Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan HAM
Teks tidak dalam format asli.
Kembali
file PDF: [1]

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 49, 2007KEPOLISIAN. Daerah Hukum. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 4714)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
DAERAH HUKUM KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (3)


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara
Republik Indonesia;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4168);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DAERAH HUKUM KEPOLISIAN
NEGARA
REPUBLIK INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Polri, adalah


Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2. Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut
daerah hukum kepolisian adalah wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, wilayah perairan dan wilayah udara dengan
batas-batas tertentu dalam rangka melaksanakan fungsi dan peran kepolisian
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Kapolri
adalah Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab
penyelenggaraan fungsi kepolisian.

BAB II
PEMBAGIAN DAN PERUBAHAN DAERAH HUKUM KEPOLISIAN

Pasal 2
(1) Daerah hukum kepolisian dibagi berdasarkan kepentingan penyelenggaraan
fungsi dan peran kepolisian.
(2) Pembagian daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan daerah dan
perangkat sistem peradilan pidana terpadu.

Pasal 3
(1) Pembagian dan perubahan daerah hukum kepolisian ditetapkan dengan
mempertimbangkan kepentingan, kemampuan, fungsi dan peran kepolisian, luas
wilayah, serta keadaan penduduk.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan pembagian
daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kapolri.

Pasal 4
(1) Daerah hukum kepolisian meliputi:
a. daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah provinsi;
c. daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah kabupaten/kota;
d. daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah kecamatan;
(2) Berdasarkan pertimbangan kepentingan, kemampuan, fungsi dan peran
kepolisian, luas wilayah serta keadaan penduduk, Kapolri dapat menentukan daerah
hukum kepolisian di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c dan huruf d.
(3) Selain dari daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), daerah hukum kepolisian meliputi pula kawasan diplomatik, yaitu
Kedutaan Besar Indonesia serta kapal laut dan pesawat udara berbendera Indonesia
di luar negeri.

Pasal 5
Tidak termasuk ke dalam daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 adalah kawasan diplomatik, kedutaan besar asing, kantor perwakilan badan
internasional, kapal laut dan pesawat udara berbendera asing, serta tempat lain
sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 6
Pembagian daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
tidak membatasi setiap pejabat Polri dalam melaksanakan tugas, fungsi, peran dan
kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB III
PENANGGUNG JAWAB DAERAH HUKUM KEPOLISIAN

Pasal 7
Penanggung jawab daerah hukum kepolisian adalah:

a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk wilayah Negara Kesatuan


Republik Indonesia;
b. Kepala Kepolisian Daerah untuk wilayah provinsi;
c. Kepala Kepolisian Resort untuk wilayah kabupaten/kota;
d. Kepala Kepolisian Sektor untuk wilayah kecamatan.

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 8
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, daerah hukum Kepolisian Wilayah,
Kepolisian Wilayah Kota Besar, Kepolisian Kota Besar, Kepolisian Resort Metro,
Kepolisian Resort Kota, Kepolisian Sektor Metro, Kepolisian Sektor Kota masih
tetap berlaku sampai diadakan perubahan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 9
Daerah hukum kepolisian Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kepolisian Daerah, Kepolisian Resort, Kepolisian Sektor di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ada pada saat ini ditetapkan sebagai
daerah hukum kepolisian menurut Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 10
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah


ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

HAMID AWALUDIN

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 4714(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 23)

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
DAERAH HUKUM KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
I. Umum

Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Pasal 6 ayat (2) menyatakan, dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi
kepolisian wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut
kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan menurut
Pasal 6 ayat (3) dinyatakan ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan dimaksud, dan optimalisasi pencapaian
sasaran fungsi dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta kepentingan
pelaksanan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka disusun Peraturan
Pemerintah tentang Pembagian Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pembagian daerah hukum kepolisian tersebut diusahakan harmonis, sesuai dan
serasi dengan pembagian wilayah administrasi Pemerintahan Daerah dan perangkat
sistem peradilan pidana terpadu, namun demikian untuk daerah tertentu
berdasarkan pertimbangan kepentingan pelaksanaan fungsi dan peran kepolisian,
kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia, luas wilayah serta keadaan
penduduk, daerah hukum kepolisian berbeda dari wilayah administrasi Pemerintahan
Daerah.
Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah serta meningkatnya perkembangan
pembangunan, yang mendorong pembentukan provinsi, kabupaten, kota, kecamatan,
desa dan/atau kelurahan baru, maka untuk kepentingan keamanan dan ketertiban
masyarakat (Kamtibmas) diperlukan pembentukan kesatuan kepolisian baru, sehingga
harus dilakukan perubahan daerah hukum kepolisian di wilayah yang bersangkutan.
Wewenang untuk melakukan perubahan daerah hukum berada pada Kapolri, dan tata
cara pelaksanaan perubahannya ditetapkan dengan Keputusan Kapolri.
Mengingat sistem perundang-undangan nasional memperhatikan serta mengakui bahkan
meratifikasi hukum internasional tertentu, maka berdasarkan asas teritorialiteit
terdapat pengecualian terhadap wilayah hukum kepolisian yaitu di wilayah
Indonesia ada yang tidak termasuk ke dalam daerah hukum Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan di Luar Negeri terdapat wilayah yang masuk ke dalam
wilayah hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Pembagian daerah hukum kepolisian bertujuan untuk mengoptimalkan pencapaian


sasaran fungsi, dan peran Polri, serta kepentingan pelaksanaan tugas dan
kepastian hukum.
Ayat (2)
Pembagian daerah hukum kepolisian diusahakan serasi dengan wilayah administrasi
pemerintahan di daerah, dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu.

Pasal 3

Ayat (1)

Dalam melakukan perubahan daerah hukum kepolisian, Kapolri berkoordinasi dengan


instansi terkait antara lain menteri yang membidangi pendayagunaan aparatur
negara, menteri yang membidangi keuangan, badan yang membidangi perencanaan dan
pembangunan nasional, dan pemerintah daerah setempat.
Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)

Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan memberikan kewenangan kepada Kapolri untuk
menambah atau mengurangi lingkup daerah hukum kepolisian yang berbeda dengan
wilayah administrasi pemerintahan di daerah guna memudahkan pelaksanaan fungsi
kepolisian.
Sebagai contoh, daerah hukum Kepolisian Daerah Metro Jaya mencakup juga sebagian
wilayah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Sebaliknya daerah hukum
Kepolisian Resort Kota Bandung Barat hanya mencakup sebagian dari wilayah
administrasi pemerintahan Kota Bandung.
Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan "ketentuan yang berlaku" misalnya dalam menjalankan tugas
harus dengan Surat Perintah Tugas dan melapor kepada penanggung jawab daerah
hukum kepolisian setempat.

Pasal 7

Cukup jelas.
Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas

LDj © 2004 ditjen pp

PP 28-2004Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan HAM
Teks tidak dalam format asli.
Kembali

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 107, 2004(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia


Nomor 4424)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 28 TAHUN 2004
TENTANG
KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa pangan yang aman, bermutu dan bergizi sangat penting
peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan
serta peningkatan kecerdasan masyarakat;
b. bahwa masyarakat perlu dilindungi dari pangan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kesehatan;
c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan untuk melaksanakan ketentuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah


diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3102);
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3273);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
5. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3478);
7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Ikan, Hewan dan Tumbuhan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3482);
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing
The World Trade Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564);
10. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
12. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3676);
13. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821);
14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3839);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat
Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3253);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan,
Pembinaan dan Pengembangan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1986 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3330);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3867);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4020);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI


PANGAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan
dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatan makanan atau minuman.
2. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat
dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan.
3. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau
metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.
4. Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan untuk konsumsi bagi kelompok
tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok
tersebut.
5. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan,
pembinaan, dan/atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan
peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
6. Pangan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap
untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar
pesanan.
7. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
8. Persyaratan keamanan pangan adalah standar dan ketentuan-ketentuan lain yang
harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia.
9. Sanitasi pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh
dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman,
peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.
10. Persyaratan sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus
dipenuhi sebagai upaya mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen dan
mengurangi jumlah jasad renik lainnya agar pangan yang dihasilkan dan dikonsumsi
tidak membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.
11. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan,
mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah
bentuk pangan.
12. Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam
rangka penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun
tidak.
13. Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam
rangka penjualan dan/atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual
pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan
memperoleh imbalan.
14. Penyimpanan pangan adalah proses, cara dan/atau kegiatan menyimpan pangan
baik di sarana produksi maupun distribusi.
15. Pengangkutan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam
rangka memindahkan pangan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara atau
sarana angkutan apapun dalam rangka produksi, peredaran dan/atau perdagangan
pangan.
16. Industri rumah tangga pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat
usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi
otomatis.
17. Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
18. Pangan produk rekayasa genetika adalah pangan yang diproduksi atau
menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan lain yang
dihasilkan dari proses rekayasa genetika.
19. Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan
menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya
pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen.
20. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau
membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.
21. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan
pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan
dan minuman.
22. Standar adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan, termasuk
tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait
dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan
hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman
perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya.
23. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri
atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
24. Sertifikasi mutu pangan adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat
terhadap pangan yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
25. Sertifikat mutu pangan adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga
sertifikasi/laboratorium yang telah diakreditasi yang menyatakan bahwa pangan
tersebut telah memenuhi kriteria tertentu dalam standar mutu pangan yang
bersangkutan.
26. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun tidak.
27. Badan adalah badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan
makanan.

BAB II
KEAMANAN PANGAN

Bagian Pertama
Sanitasi

Pasal 2
(1) Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan pada
rantai pangan yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan
peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Persyaratan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan yang meliputi antara
lain:
a. sarana dan/atau prasarana;
b. penyelenggaraan kegiatan; dan
c. orang perseorangan.

Pasal 3
Pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan dilakukan
dengan cara menerapkan pedoman cara yang baik yang meliputi:
a. Cara Budidaya yang Baik;
b. Cara Produksi Pangan Segar yang Baik;
c. Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik;
d. Cara Distribusi Pangan yang Baik;
e. Cara Ritel Pangan yang Baik; dan
f. Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik.

Pasal 4
(1) Pedoman Cara Budidaya yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
adalah cara budidaya yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain
dengan cara:
a. mencegah penggunaan lahan di mana lingkungannya mempunyai potensi mengancam
keamanan pangan;
b. mengendalikan cemaran biologis, hama dan penyakit hewan dan tanaman yang
mengancam keamanan pangan; dan
c. menekan seminimal mungkin, residu kimia yang terdapat dalam bahan pangan
sebagai akibat dari penggunaan pupuk, obat pengendali hama dan penyakit, bahan
pemacu pertumbuhan dan obat hewan yang tidak tepat guna.
(2) Pedoman Cara Budidaya yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan
atau kehutanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

Pasal 5
(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Segar yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b adalah cara penanganan yang memperhatikan aspek-aspek keamanan
pangan, antara lain dengan cara:
a. mencegah tercemarnya pangan segar oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan dari udara, tanah, air,
pakan, pupuk, pestisida, obat hewan atau bahan lain yang digunakan dalam
produksi pangan segar; atau
b. mengendalikan kesehatan hewan dan tanaman agar tidak mengancam keamanan
pangan atau tidak berpengaruh negatif terhadap pangan segar.
(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Segar yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau
perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

Pasal 6
(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan,
antara lain dengan cara:
a. mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan;
b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta mengurangi jumlah
jasad renik lainnya; dan
c. mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan
tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan.
(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian atau
perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
(3) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk pangan olahan tertentu ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 7
(1) Pedoman Cara Distribusi Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf d adalah cara distribusi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara
lain dengan cara:
a. melakukan cara bongkar muat pangan yang tidak menyebabkan kerusakan pada
pangan;
b. mengendalikan kondisi lingkungan, distribusi dan penyimpanan pangan khususnya
yang berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara; dan
c. mengendalikan sistem pencatatan yang menjamin penelusuran kembali pangan yang
didistribusikan.
(2) Pedoman Cara Distribusi Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian,
pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan
masing-masing.

Pasal 8
(1) Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
e adalah cara ritel yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan
cara:
a. mengatur cara penempatan pangan dalam lemari gerai dan rak penyimpanan agar
tidak terjadi pencemaran silang;
b. mengendalikan stok penerimaan dan penjualan;
c. mengatur rotasi stok pangan sesuai dengan masa kedaluwarsanya; dan

d. mengendalikan kondisi lingkungan penyimpanan pangan khususnya yang berkaitan


dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara.
(2) Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 9
(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf f adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan,
antara lain dengan cara:
a. mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran biologis, kimia dan benda
lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan;
b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta mengurangi jumlah
jasad renik lainnya; dan
c. mengendalikan proses antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan
tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan serta cara
penyajian.
(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Pasal 10
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kehutanan,
perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing dapat menetapkan pedoman cara yang baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 untuk diterapkan secara wajib.

Bagian Kedua
Bahan Tambahan Pangan
Pasal 11
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang.
(2) Bahan yang dinyatakan terlarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 12
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan tambahan
pangan untuk diedarkan wajib menggunakan bahan tambahan pangan yang diizinkan.
(2) Nama dan golongan bahan tambahan pangan yang diizinkan, tujuan penggunaan
dan batas maksimal penggunaannya menurut jenis pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 13
(1) Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi belum
diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa
keamanannya, dan dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan
untuk diedarkan setelah memperoleh persetujuan Kepala Badan.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Bagian Ketiga
Pangan Produk Rekayasa Genetika

Pasal 14
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan
tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi
pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu
memeriksakan keamanan pangan tersebut sebelum diedarkan.
(2) Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. informasi genetika, antara lain deskripsi umum pangan produk rekayasa
genetika dan deskripsi inang serta penggunaanya sebagai pangan;
b. deskripsi organisme donor;
c. deskripsi modifikasi genetika;
d. karakterisasi modifikasi genetika; dan

e. informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan substansial, perubahan


nilai gizi, alergenitas dan toksisitas.
(3) Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi yang menangani keamanan pangan produk
rekayasa genetika.
(4) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa
genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh komisi yang
menangani keamanan pangan produk rekayasa genetika.
(5) Kepala Badan menetapkan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan
bantu lain hasil proses rekayasa genetika yang dinyatakan aman sebagai pangan
dengan memperhatikan rekomendasi dari komisi yang menangani keamanan pangan
produk rekayasa genetika.

Bagian Keempat
Iradiasi Pangan

Pasal 15
(1) Fasilitas iradiasi yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan
untuk diedarkan harus mendapatkan izin pemanfaatan tenaga nuklir dan didaftarkan
kepada Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan tenaga nuklir.
(2) Setiap pangan yang diproduksi dengan menggunakan teknik dan/atau metode
iradiasi untuk diedarkan harus memenuhi ketentuan tentang pangan iradiasi yang
ditetapkan oleh Kepala Badan.

Bagian Kelima
Kemasan Pangan

Pasal 16
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apapun sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan/atau yang
dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.
(2) Bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 17
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan wajib menggunakan bahan
kemasan yang diizinkan.
(2) Bahan kemasan yang diizinkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala Badan.

Pasal 18
(1) Bahan selain yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2)
hanya boleh digunakan sebagai bahan kemasan pangan setelah diperiksa keamanannya
dan mendapat persetujuan dari Kepala Badan.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 19
(1) Setiap orang yang melakukan produksi pangan yang akan diedarkan wajib
melakukan pengemasan pangan secara benar untuk menghindari terjadinya pencemaran
terhadap pangan.
(2) Tata cara pengemasan pangan secara benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 20
(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan
diperdagangkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pangan
yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah
kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.
(3) Setiap orang yang mengemas kembali pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib melakukan pengemasan pangan secara benar untuk menghindari terjadinya
pencemaran terhadap pangan.

Bagian Keenam
Jaminan Mutu Pangan dan Pemeriksaan Laboratorium

Pasal 21
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab
menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kehutanan,
perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan berwenang mewajibkan penerapan
standar atau persyaratan lain yang berkenaan dengan sistem jaminan mutu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
(3) Penetapan standar atau persyaratan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan
sistem pangan.
(4) Dalam menetapkan standar dan persyaratan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kehutanan,
perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan wajib memperhatikan perjanjian
TBT/SPS WTO atau perjanjian yang telah diratifikasi Pemerintah.

Pasal 22
(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai
dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing, berwenang menetapkan jenis
pangan segar yang wajib diuji secara laboratoris sebelum diedarkan.
(2) Kepala Badan berwenang menetapkan jenis pangan olahan yang wajib diuji
secara laboratoris sebelum diedarkan.
(3) Pengujian secara laboratoris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan di laboratorium pemerintah atau laboratorium lain yang telah
diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional atau Lembaga Akreditasi lain yang
diakui oleh Komite Akreditasi Nasional.
(4) Penetapan dan penerapan persyaratan pengujian secara laboratoris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan
kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.

Bagian Ketujuh
Pangan Tercemar
Pasal 23
Setiap orang dilarang mengedarkan:

a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan
atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;
b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang
ditetapkan;
c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau
proses produksi pangan;
d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau
mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai
sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia; atau
e. pangan yang sudah kedaluwarsa.

Pasal 24
(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau Kepala
Badan:
a. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi
pangan;
b. menetapkan ambang batas maksimal cemaran yang diperbolehkan;

c. mengatur dan/atau menetapkan persyaratan bagi penggunaan cara, metode,


dan/atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi, pengolahan,
penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan yang dapat memiliki risiko
merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia;
d. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi peralatan
pengolahan, penyiapan, pemasaran dan/atau penyajian pangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pangan segar ditetapkan
oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pangan olahan ditetapkan
oleh Kepala Badan.

Pasal 25
(1) Setiap orang yang mengetahui adanya keracunan pangan akibat pangan tercemar
wajib melaporkan kepada unit pelayanan kesehatan terdekat.
(2) Unit pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera
melakukan tindakan pertolongan kepada korban.
(3) Dalam hal menurut unit pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdapat indikasi Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan, unit pelayanan
kesehatan tersebut wajib segera mengambil contoh pangan yang dicurigai sebagai
penyebab keracunan dan memberikan laporan kepada dinas Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan dan Badan.
(4) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan
melakukan pemeriksaan/penyelidikan dan pengujian laboratorium terhadap contoh
pangan untuk menentukan penyebab keracunan pangan.
(5) Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang kesehatan yang
menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melakukan pengkajian
terhadap laporan dan menetapkan kasus keracunan pangan merupakan KLB keracunan
pangan.
(6) Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) wajib melakukan pemeriksaan dan penanggulangan KLB
keracunan pangan serta melaporkan kepada dinas Propinsi yang bertanggung jawab
di bidang kesehatan dan Badan.

Pasal 26
(1) Dalam hal KLB keracunan pangan terjadi pada lintas Kabupaten/Kota atau ada
permintaan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Propinsi
wajib melaksanakan pemeriksaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan.
(2) Dalam hal KLB keracunan pangan terjadi pada lintas Propinsi, atau ada
permintaan dari Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Pusat wajib melaksanakan
pemeriksaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan.

Pasal 27
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap KLB keracunan pangan patut
diduga merupakan tindak pidana, segera dilakukan tindakan penyidikan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan dan/atau penyidik lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pertolongan kepada korban,
pengambilan contoh spesimen dan pengujian spesimen serta pelaporan KLB keracunan
pangan ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(2) Tata cara pengambilan contoh pangan, pengujian laboratorium dan pelaporan
penyebab keracunan ditetapkan oleh Kepala Badan.

BAB III
MUTU DAN GIZI PANGAN

Bagian Pertama
Mutu Pangan

Pasal 29
Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang standardisasi nasional menetapkan
standar mutu pangan yang dinyatakan sebagai Standar Nasional Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30
(1) Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dapat
diberlakukan secara wajib dengan mempertimbangkan keselamatan, keamanan,
kesehatan masyarakat atau pelestarian lingkungan hidup dan/atau pertimbangan
ekonomis harus memenuhi standar mutu tertentu.
(2) Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
perindustrian, pertanian, perikanan, atau Kepala Badan sesuai dengan bidang
tugas dan kewenangan masing-masing berkoordinasi dengan Kepala badan yang
bertanggung jawab di bidang standardisasi nasional.
(3) Hal-hal yang berkaitan dengan penerapan dan penilaian kesesuaian terhadap
Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(4) Setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan jenis pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 31
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala Badan
sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan ketentuan mutu
pangan di luar Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
bagi pangan yang mempunyai tingkat risiko keamanan pangan yang tinggi.

Bagian Kedua
Sertifikasi Mutu Pangan

Pasal 32
(1) Sertifikasi dan penandaan yang menyatakan kesesuaian pangan terhadap Standar
Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala
Badan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing menetapkan persyaratan
dan tata cara sertifikasi mutu pangan yang mempunyai tingkat risiko keamanan
pangan yang tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
(3) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Standar Nasional
Indonesia yang diberlakukan wajib atau terhadap persyaratan ketentuan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 merupakan bagian dari pengawasan pangan
sebelum diedarkan.

Bagian Ketiga
Gizi Pangan

Pasal 33
(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan standar status
gizi masyarakat dan melakukan pemantauan dan evaluasi status gizi masyarakat.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, pertanian, perikanan,
perindustrian atau Kepala Badan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing
mengupayakan terpenuhinya kecukupan gizi, melindungi masyarakat dari gangguan
gizi dan membina masyarakat dalam upaya perbaikan status gizi.
(3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, pertanian, perikanan,
perindustrian atau Kepala Badan bersama-sama Pemerintah Daerah Propinsi,
Kabupaten/Kota serta masyarakat melakukan penanganan terhadap terjadinya
gangguan gizi masyarakat yang tidak sesuai dengan standar status gizi masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 34
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan Angka Kecukupan
Gizi yang ditinjau secara berkala.

Pasal 35
(1) Dalam hal terjadi kekurangan dan/atau penurunan status gizi masyarakat perlu
dilakukan upaya perbaikan gizi melalui pengayaan dan/atau fortifikasi gizi
pangan tertentu yang diedarkan.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan jenis dan
jumlah zat gizi yang akan ditambahkan serta jenis-jenis pangan yang dapat
ditingkatkan nilai gizinya melalui pengayaan dan/atau fortifikasi.
(3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian menetapkan
jenis-jenis pangan yang wajib diperkaya dan/atau difortifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengayaan dan/atau fortifikasi gizi pangan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Setiap orang yang memproduksi pangan yang harus diperkaya dan/atau
difortifikasi untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan dan tata cara pengayaan
dan/atau fortifikasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki surat persetujuan
pendaftaran dari Kepala Badan.

BAB IV
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN KE DALAM DAN
DARI WILAYAH INDONESIA

Bagian Pertama
Pemasukan Pangan ke Dalam Wilayah Indonesia

Pasal 36
Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keamanan, mutu dan
gizi pangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Pasal 37
(1) Terhadap pangan segar yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan
sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan
persyaratan bahwa:
a. Pangan telah diuji, diperiksa dan/atau dinyatakan lulus dari segi keamanan,
mutu dan/atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal;
b. Pangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;

c. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau pemeriksaan


sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
d. Pangan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa di Indonesia dari segi
keamanan, mutu dan/atau gizi sebelum peredarannya.
(2) Terhadap pangan olahan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan, Kepala Badan dapat menetapkan persyaratan bahwa:
a. Pangan telah diuji dan/atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi
keamanan, mutu dan/atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal;
b. Pangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;

c. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau pemeriksaan


sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
d. Pangan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa di Indonesia dari segi
keamanan, mutu dan/atau gizi sebelum peredarannya.
(3) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Menteri atau Kepala Badan memperhatikan perjanjian TBT/SPS WTO atau
perjanjian yang telah diratifikasi Pemerintah.

Pasal 38
(1) Dalam hal pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia terlebih dahulu
harus diuji dan/atau diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf c, maka pengeluarannya dari pabean hanya dapat dilakukan setelah
mendapatkan persetujuan pemasukan pangan yang dikeluarkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas
dan kewenangan masing-masing.
(2) Dalam hal pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia terlebih dahulu
diuji dan/atau diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c,
maka pengeluarannya dari pabean hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan pemasukan pangan yang dikeluarkan Kepala Badan.

Pasal 39
Setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan
bertanggung jawab atas keamanan, mutu dan gizi pangan.

Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diedarkan diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian,
perikanan, perdagangan atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing.

Bagian Kedua
Pengeluaran Pangan dari Wilayah Indonesia
Pasal 41
(1) Setiap pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia wajib memenuhi
persyaratan keamanan pangan.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala
Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan
persyaratan agar pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan
terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa dari segi keamanan, mutu, persyaratan
label dan/atau gizi pangan.
(3) Setiap orang yang mengeluarkan pangan dari wilayah Indonesia bertanggung
jawab atas keamanan, mutu dan gizi pangan.
(4) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala
Badan berkoordinasi dengan Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang
standardisasi nasional untuk mengupayakan saling pengakuan pelaksanaan penilaian
kesesuaian dalam memenuhi persyaratan negara tujuan.

BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN

Bagian Pertama
Pengawasan

Pasal 42
(1) Dalam rangka pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan, setiap pangan olahan
baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib
memiliki surat persetujuan pendaftaran.
(2) Pangan olahan yang wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
(3) Surat persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
oleh Kepala Badan berdasarkan hasil penilaian keamanan, mutu dan gizi pangan
olahan.
(4) Penilaian keamanan, mutu dan gizi pangan olahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan oleh Kepala Badan sesuai dengan kriteria dan tatalaksana.
(5) Kriteria dan tatalaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh
Kepala Badan dengan mengacu kepada persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan.
(6) Persyaratan dan tata cara memperoleh surat persetujuan pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 43
(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
untuk pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga.
(2) Pangan olahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat
produksi pangan industri rumah tangga.
(3) Sertifikat produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
(4) Kepala Badan menetapkan pedoman pemberian sertifikat produksi pangan
industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang meliputi antara
lain:
a. jenis pangan;
b. tata cara penilaian; dan
c. tata cara pemberian sertifikat produksi pangan.

Pasal 44
Pangan olahan yang dibebaskan dari kewajiban memiliki surat persetujuan
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 atau sertifikat produksi pangan
industri rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, yaitu pangan yang:
a. mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar; dan/atau
b. dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan:

1. permohonan surat persetujuan pendaftaran;


2. penelitian; atau
3. konsumsi sendiri.

Pasal 45
(1) Badan berwenang melakukan pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan yang
beredar.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Badan berwenang untuk:
a. mengambil contoh pangan yang beredar; dan/atau

b. melakukan pengujian terhadap contoh pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
butir a.
(3) Hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir b:

a. untuk pangan segar disampaikan kepada dan ditindaklanjuti oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau kehutanan sesuai dengan
bidang tugas dan kewenangan masing-masing;
b. untuk pangan olahan disampaikan dan ditindaklanjuti oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang perikanan, perindustrian atau Badan sesuai dengan
bidang tugas dan kewenangan masing-masing;
c. untuk pangan olahan tertentu ditindaklanjuti oleh Badan;

d. untuk pangan olahan hasil industri rumah tangga pangan dan pangan siap saji
disampaikan kepada dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 46
(1) Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal
terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan segar.
(2) Kepala Badan berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan
terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan olahan.
(3) Bupati/Walikota berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan
terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan siap saji dan pangan olahan hasil
industri rumah tangga.
(4) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan berwenang:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan untuk memeriksa,
meneliti, dan mengambil contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan
dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau perdagangan pangan;
b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau
patut diduga digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa
contoh pangan;
c. membuka dan meneliti setiap kemasan pangan;

d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat
keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
perdagangan pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
dan/atau
e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dan/atau dokumen lain sejenis.
(5) Dalam rangka melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3), Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan sesuai dengan
bidang tugas dan kewenangan masing-masing menunjuk pejabat untuk melakukan
pemeriksaan.
(6) Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), dilengkapi dengan surat perintah.

Pasal 47
(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (3) dan/atau hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terjadi
pelanggaran, Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan, berwenang mengambil
tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. peringatan secara tertulis;

b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah menarik produk


pangan dari peredaran;
c. pemusnahan pangan, jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;

e. pengenaan denda paling tinggi sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah);
dan/atau
f. pencabutan izin produksi, izin usaha, persetujuan pendaftaran atau sertifikat
produksi pangan industri rumah tangga.
(3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan berdasarkan risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran yang
dilakukan.
(4) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
f dilakukan oleh pejabat penerbit izin produksi, izin usaha, persetujuan
pendaftaran atau sertifikat produksi pangan industri rumah tangga yang
bersangkutan sesuai dengan bidang tugas kewenangan masing-masing.

Pasal 48
(1) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dilaksanakan oleh setiap orang yang memproduksi atau yang memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan pedoman penarikan dan
pemusnahan pangan.
(2) Setiap pihak yang terlibat dalam peredaran pangan wajib membantu pelaksanaan
penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk pangan segar dilaksanakan atas perintah Gubernur, Bupati/Walikota sesuai
dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
(4) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk pangan olahan dilaksanakan atas perintah Kepala Badan.
(5) Pedoman penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 49
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,
patut diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segera dilakukan tindakan
penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 50
Badan dapat mengumumkan kepada masyarakat hasil pengujian dan/atau hasil
pemeriksaan produk pangan melalui media massa.

Bagian Kedua
Pembinaan

Pasal 51
(1) Pembinaan terhadap produsen pangan segar dilaksanakan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau kehutanan sesuai bidang
tugas dan kewenangan masing-masing.
(2) Pembinaan terhadap produsen pangan olahan dilaksanakan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang perindustrian, pertanian atau perikanan sesuai
bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
(3) Pembinaan terhadap produsen pangan olahan tertentu dilaksanakan oleh Kepala
Badan.
(4) Pembinaan terhadap produsen pangan siap saji dan industri rumah tangga
pangan dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.
(5) Pembinaan terhadap Pemerintah Daerah dan masyarakat di bidang pengawasan
pangan dilaksanakan oleh Kepala Badan.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 52
(1) Dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan keamanan, mutu dan gizi pangan,
masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan dan/atau cara pemecahan
mengenai hal-hal di bidang pangan.
(2) Penyampaian permasalahan, masukan dan/atau cara pemecahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung
kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kesehatan,
perindustrian, Kepala Badan, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan bidang
tugas dan kewenangan masing-masing.
(3) Tata cara penyampaian permasalahan, masukan dan/atau cara pemecahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan mengenai
keamanan, mutu dan gizi pangan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah


ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 4424(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107)

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2004
TENTANG
KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN

UMUM

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh


terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya, baik dipandang dari segi kuantitas
dan kualitasnya. Mengingat kadar kepentingan yang demikian tinggi, pada dasarnya
pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang sepenuhnya menjadi hak
asasi setiap rakyat Indonesia.
Tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi merupakan prasyarat
utama yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan
bermartabat serta sumber daya manusia yang berkualitas.
Sumber daya manusia merupakan unsur terpenting dan sekaligus tujuan utama
pembangunan nasional karena sumber daya manusia yang berkualitas merupakan
faktor penentu keberhasilan pembangunan yang pada akhirnya mampu meningkatkan
kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat serta dapat mengurangi atau
menghapuskan kemiskinan. Kualitas sumber daya manusia dimaksud antara lain
sangat ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya, sehingga segala daya
dan upaya perlu dikerahkan secara optimal agar pangan yang aman, bermutu dan
bergizi tersedia secara memadai serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Agar pangan yang aman tersedia secara memadai, perlu diupayakan terwujudnya
suatu sistem pangan yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang
mengkonsumsi pangan sehingga pangan yang diedarkan dan/atau diperdagangkan tidak
merugikan serta aman bagi kesehatan jiwa manusia. Dengan perkataan lain, pangan
tersebut harus memenuhi persyaratan keamanan pangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan serta makin maju dan
terbukanya dunia perdagangan baik domestik maupun antar negara akan membawa
dampak pada semakin beragamnya jenis pangan yang beredar dalam masyarakat baik
yang diproduksi di dalam negeri maupun yang berasal dari impor.
Pangan yang dikonsumsi masyarakat pada dasarnya melalui suatu mata rantai proses
yang meliputi produksi, penyimpanan, pengangkutan, peredaran hingga tiba di
tangan konsumen.
Agar keseluruhan mata rantai tersebut memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan
gizi pangan, maka perlu diwujudkan suatu sistem pengaturan, pembinaan dan
pengawasan yang efektif di bidang keamanan, mutu dan gizi pangan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1

Pengertian pangan termasuk permen karet atau sejenisnya tetapi tidak mencakup
kosmetik, tembakau, hasil olah tembakau atau bahan yang diperuntukkan sebagai
obat.
Yang dimaksud dengan bahan lain adalah bahan yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman di luar bahan
tambahan pangan dan bahan bantu pangan. Contoh bahan lain yaitu bahan-bahan
katalisator seperti enzim pencernaan.
Yang dimaksud dengan bahan baku adalah bahan dasar yang digunakan untuk
memproduksi makanan. Bahan baku dapat berupa pangan segar ataupun pangan olahan
setengah jadi.
Angka 2

Pengertian pangan segar dalam ketentuan ini mencakup pangan yang dapat
dikonsumsi langsung oleh manusia tanpa mengalami pengolahan, seperti buah-buahan
dan sebagian sayuran maupun yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan
seperti biji kedelai, biji jagung, daging, ikan, susu, telur dan sebagainya.
Angka 3

Pengertian pangan olahan dalam ketentuan ini mencakup baik pangan olahan yang
siap untuk dikonsumsi langsung maupun pangan olahan yang harus dimasak terlebih
dahulu, yang selanjutnya digunakan sebagai bahan baku pangan, misalnya antara
lain tapioka, terigu dan isolat protein kedelai.
Angka 4

Yang dimaksud dengan pangan olahan tertentu adalah pangan olahan untuk konsumsi
bagi kelompok tertentu, misalnya susu formula untuk bayi, pangan yang
diperuntukkan bagi ibu hamil atau menyusui, pangan khusus bagi penderita
penyakit tertentu, pangan lain sejenis yang mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan kualitas kesehatan manusia.
Angka 5

Cukup jelas
Angka 6

Yang dimaksud dengan tempat usaha dalam ketentuan ini meliputi jasa boga, hotel,
restoran, rumah makan, kafetaria, kaki lima, dan penjaja makanan keliling.
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8

Cukup jelas
Angka 9

Cukup jelas
Angka 10

Cukup jelas
Angka 11

Cukup jelas
Angka 12

Cukup jelas
Angka 13

Yang dimaksud dengan penawaran untuk menjual pangan adalah kegiatan yang lazim
dilakukan sebelum terjadinya tindakan pembelian dan/atau penjualan pangan,
misalnya pemberian secara cuma-cuma sampel produk pangan dalam rangka promosi.
Angka 14

Cukup jelas
Angka 15

Cukup jelas
Angka 16

Cukup jelas
Angka 17

Bahan tambahan pangan tidak biasa dikonsumsi sebagai makanan dan bukan merupakan
ingredien makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan,
penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan
makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau
mempengaruhi sifat makanan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.
Bahan tambahan pangan tidak mencakup cemaran atau bahan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi. Contoh vitamin C
dianggap sebagai bahan tambahan pangan jika tujuan penambahannya tidak untuk
memperbaiki nilai gizi tetapi sebagai antioksidan, misalnya dalam mempertahankan
warna merah pada kornet.
Yang termasuk bahan tambahan pangan antara lain pewarna, pengawet, pemanis,
penyedap rasa, anti kempal, pemucat dan pengental.
Angka 18

Cukup jelas
Angka 19
Radiasi pengion yang digunakan dapat berasal dari zat radio aktif yang dapat
memperlambat pertunasan misalnya pada kentang, bawang, menghambat pembusukan
misalnya pada paha kodok, udang beku, mencegah kerusakan pangan lainnya misalnya
pada rempah-rempah, biji-bijian.
Angka 20

Cukup jelas
Angka 21

Cukup jelas
Angka 22

Yang dimaksud dengan spesifikasi atau persyaratan teknis dalam ketentuan ini
mencakup antara lain bentuk, warna atau komposisi pangan yang disusun
berdasarkan kriteria tertentu yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta aspek lain yang terkait. Standar mutu pangan dalam ketentuan
ini mencakup baik pangan olahan maupun pangan yang tidak diolah. Dalam
pengertian yang lebih luas standar yang berlaku bagi pangan mencakup berbagai
persyaratan keamanan, gizi dan mutu pangan dan persyaratan lain dalam rangka
menciptakan perdagangan pangan yang jujur misalnya persyaratan label dan iklan.
Berbagai standar tersebut tidak bertentangan satu sama lain atau berdiri
sendiri, tetapi justru merupakan satu kesatuan yang bulat yang penjabarannya
lebih lanjut diatur oleh Pemerintah.
Angka 23

Cukup jelas
Angka 24

Cukup jelas
Angka 25

Sertifikat mutu pangan antara lain dapat berupa sertifikat kesehatan dan
sertifikat analisis.
Sertifikat analisis dikeluarkan oleh laboratorium yang terakreditasi. Sertifikat
kesehatan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Sertifikat mutu lainnya
dapat dikeluarkan oleh instansi yang berwenang atau lembaga sertifikasi yang
terakreditasi.
Angka 26

Cukup jelas
Angka 27

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan setiap orang yang bertanggung jawab dalam ketentuan ini
adalah setiap orang yang melakukan, berkepentingan, atau memperoleh manfaat dari
kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan/atau peredaran
pangan, misalnya produsen, penyedia tempat penyimpanan, pengangkut dan/atau
pengedar pangan, baik milik sendiri maupun menyewa sarana dan prasarana yang
diperlukan.
Dalam ketentuan ini, yang termasuk dalam peredaran pangan antara lain penyajian
pangan.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan sarana dan/atau prasarana dalam ketentuan ini meliputi
desain dan konstruksi bangunan, tata letak, peralatan dan instalasi, fasilitas
pembuangan limbah dan fasilitas lainnya yang secara langsung atau tidak langsung
digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,
dan/atau peredaran pangan.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Dalam ketentuan ini, Pedoman Cara Budidaya yang Baik mencakup Pedoman Cara
Budidaya Tanaman Pangan, Pedoman Cara Budidaya Peternakan dan Pedoman Cara
Budidaya Perikanan.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Dalam ketentuan ini, Pedoman Cara Produksi Pangan Segar yang Baik mencakup
Pedoman Cara Produksi Pangan Segar Hasil Pertanian yang Baik, Pedoman Cara
Produksi Pangan Segar Hasil Peternakan yang Baik dan Pedoman Cara Produksi
Pangan Segar Hasil Perikanan yang Baik.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang perindustrian atau perikanan disesuaikan dengan
bidang tugas masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan
Industri.
Ayat (3)

Pangan olahan tertentu merupakan pangan olahan yang ditujukan untuk kelompok
tertentu misalnya bayi, ibu hamil atau menyusui, penderita penyakit tertentu
serta pangan sejenis yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan
kualitas kesehatan manusia. Mengingat konsumen dari pangan olahan tertentu
meliputi kelompok masyarakat yang beresiko tinggi serta memperhatikan tujuan
penggunaan pangan tersebut, maka dalam proses produksinya diperlukan cara
penanganan tertentu yang lebih spesifik.

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Pedoman cara yang baik ditujukan untuk para pelaku usaha agar dalam melaksanakan
kegiatannya juga selalu memperhatikan keamanan pangan. Pedoman cara yang baik
diterapkan secara sukarela namun jika suatu kegiatan dianggap kritis maka
pedoman tersebut dapat ditetapkan secara wajib.
Kegiatan yang dianggap kritis adalah kegiatan dalam rantai pangan yang
membutuhkan penanganan ekstra hati-hati, sehingga tidak mungkin dilaksanakan
dengan baik jika hanya diserahkan secara sukarela kepada pelaku kegiatan
tersebut. Sebagai contoh, Pedoman Cara Penanganan Susu Segar yang Baik dapat
dijadikan wajib karena risiko pencemaran biologis yang tinggi sehingga
membutuhkan penanganan yang ekstra hati-hati.

Pasal 11

Masyarakat perlu dilindungi dari pangan yang menggunakan atau mengandung bahan
yang dinyatakan terlarang sebagai bahan tambahan pangan. Bahan-bahan tersebut
dapat membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.

Pasal 12
Pangan yang menggunakan atau mengandung bahan tambahan pangan yang tidak sesuai
dengan ketentuan mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan manusia. Oleh
karena itu penggunaan bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi
pangan diatur secara ketat dalam rangka mewujudkan keamanan pangan, sehingga
masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang dapat mengganggu, merugikan
dan membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Perkembangan penggunaan teknik atau metode iradiasi dalam kegiatan atau proses
produksi pangan semakin maju dan meluas, khususnya dalam pengawetan pangan.
Penggunaan teknik atau metode tersebut yang sudah mencapai tingkat komersial
harus tetap aman bagi masyarakat. Karena itu, untuk mencegah penggunaan teknik
atau metode iradiasi secara tidak terkendali, perlu diatur dan diawasi secara
ketat. Agar kegiatan tersebut tidak menimbulkan resiko yang dapat mengakibatkan
timbulnya dampak terhadap kesehatan dan keselamatan manusia, maka perlu
ditetapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh fasilitas penyedia jasa
iradiasi.
Ayat (2)

Ketentuan tentang pangan iradiasi meliputi jenis komoditi dan dosis yang
diizinkan, persyaratan umum yang menyangkut sumber radiasi, dosis serapan,
fasilitas iradiator dan pengawasan proses iradiasi, hygiene pangan iradiasi,
persyaratan teknologi dan iradiasi ulang.

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)

Pengemasan merupakan salah satu bagian dari cara produksi pangan yang baik.
Pengemasan pangan harus dilakukan secara benar agar pangan yang dikemas tidak
mudah rusak dan/atau tercemar, serta tidak menurun mutunya.
Ayat (2)

Tata cara pengemasan pangan secara benar terutama ditujukan untuk pangan
tertentu yang mempunyai sifat/karakteristik tertentu sehingga memerlukan
perlakuan khusus selama pengemasan, misalnya pangan dengan kadar lemak tinggi
atau pangan yang bersuhu tinggi, tidak boleh dikemas dengan plastik yang dapat
berpeluang melepaskan monomer yang bersifat karsinogenik ke dalam pangan.

Pasal 20

Ayat (1)

Ketentuan ini ditetapkan dalam rangka mencegah pencemaran produk pangan oleh
bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.
Yang dimaksud dengan kemasan akhir pangan adalah kemasan final terhadap produk
pangan yang lazim dilakukan pada tahap akhir proses atau kegiatan produksi
pangan yang siap diperdagangkan bagi konsumsi manusia.
Ayat (2)

Pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar yang lazimnya tidak dikemas secara
final adalah pangan yang mempunyai ukuran kemasan besar yang dimaksudkan untuk
diperdagangkan (diecer) lebih lanjut dalam kemasan yang lebih kecil, misalnya
beras, terigu, gula.
Kelaziman tersebut disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku bagi komoditas
pangan yang bersangkutan atau kebiasaan masyarakat setempat.
Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Sistem jaminan mutu merupakan upaya pencegahan yang perlu diperhatikan dan/atau
dilaksanakan dalam rangka menghasilkan pangan yang aman bagi kesehatan manusia
dan bermutu, yang lazimnya diselenggarakan sejak awal kegiatan produksi pangan
sampai dengan siap untuk diperdagangkan dan merupakan sistem pengawasan dan
pengendalian mutu yang selalu berkembang menyesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Sistem jaminan mutu diselenggarakan dengan menerapkan antara lain Cara Budidaya
yang Baik, Cara Produksi Pangan Segar yang Baik, Cara Produksi Pangan Olahan
yang Baik, Cara Distribusi Pangan yang Baik, Cara Ritel Pangan yang Baik atau
Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Dalam hal produk impor, pengakuan laboratorium Negara pengekspor didasarkan pada
perjanjian saling pengakuan baik secara bilateral ataupun multilateral.
Ayat (4)

Penetapan persyaratan pengujian secara laboratoris dilakukan oleh instansi


pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan kewenangannya serta dilakukan secara
bertahap dengan mempertimbangkan jenis pangan yang diproduksi serta spesifikasi
teknis dan/atau parameter yang dipersyaratkan.

Pasal 23

Huruf a

Bahan beracun atau bahan yang membahayakan kesehatan dan jiwa manusia meliputi
antara lain logam, metaloida, zat kimia beracun lainnya, jasad renik berbahaya,
mikotoksin, residu pestisida, hormon dan obat-obatan hewan yang melampaui batas
maksimal yang ditetapkan.
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Bahan yang dilarang meliputi antara lain boraks, formalin, rodamin B atau
metanil yellow.
Huruf d

Cukup jelas
Huruf e

Yang dimaksud dengan pangan yang sudah kedaluwarsa adalah pangan yang sudah
melewati batas akhir suatu pangan dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya
mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pihak yang memproduksi.

Pasal 24

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Ketentuan mengenai ambang batas cemaran meliputi:


1) persyaratan batas maksimum cemaran biologis;
2) persyaratan batas maksimum cemaran kimia; dan
3) persyaratan batas maksimum benda lain, yang dapat mengganggu, merugikan atau
membahayakan kesehatan manusia.
Huruf c

Cukup jelas
Huruf d

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)

Unit pelayanan kesehatan meliputi antara lain puskesmas, poliklinik, rumah sakit
pemerintah/swasta di tingkat Propinsi atau Kabupaten/Kota.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan adalah suatu kejadian di mana
terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau
hampir sama setelah mengkonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis epidemiologi,
pangan tersebut terbukti sebagai sumber penularan.
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat dalam ketentuan ini adalah kementerian
yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dan/atau Badan.

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia secara wajib dapat dilakukan baik


terhadap sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan/atau parameter yang
ada dalam Standar Nasional Indonesia tersebut.
Instansi yang berwenang memberlakukan Standar Nasional Indonesia secara wajib
adalah sebagai berikut:

a. Jenis pangan segar hasil pertanian oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang pertanian;
b. Jenis pangan segar hasil perikanan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang perikanan;
c. Jenis pangan olahan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang
perindustrian, pertanian atau perikanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d. Bahan Tambahan Pangan dan jenis pangan olahan tertentu oleh Kepala Badan.

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan standar status gizi menyangkut dua hal. Pertama adalah
standar status gizi individu yang diklasifikasikan menurut gangguan gizi yang
terjadi (malnutrition). Klasifikasi didasarkan atas hasil pemeriksaan dan
pengukuran fisik (antropometris dan medis-klinis) serta pemeriksaan biokimia
terhadap cairan tubuh seperti darah dan urin (biokemis). Klasifikasi dapat
dinyatakan secara kualitatif, yaitu gizi lebih, gizi kurang dan gizi buruk.
Kedua adalah standar status gizi masyarakat yang bermakna prevalensi atau
persentase kelompok masyarakat menurut tingkat gangguan gizi yang terjadi.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan gangguan gizi adalah gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh kekurangan dan/atau ketidakseimbangan zat-zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan, kecerdasan dan aktivitas/produktivitas.
Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 34

Perubahan secara berkala dilakukan berdasarkan hasil survei status gizi


masyarakat. Angka Kecukupan Gizi adalah kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari
bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan
aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Pasal 35

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pengayaan gizi pangan adalah penambahan zat gizi yang
kurang secara alami atau yang hilang akibat pengolahan dan/atau penyimpanan.
Fortifikasi gizi pangan adalah penambahan zat gizi esensial pada pangan tertentu
yang sebelumnya tidak mengandung zat gizi yang bersangkutan.
Yang dimaksud pengayaan dan/atau fortifikasi dalam ketentuan ini merupakan suatu
program nasional dalam rangka pencegahan timbulnya gangguan gizi, pemeliharaan
dan perbaikan status gizi masyarakat.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Yang dimaksud dengan tata cara pengayaan adalah teknik penambahan zat gizi
tertentu pada pangan yang diproduksi dengan tujuan untuk meningkatkan kandungan
zat gizi pada pangan yang bersangkutan.
Tata cara fortifikasi adalah teknik penambahan zat gizi tertentu pada pangan
yang sebelumnya tidak mengandung zat gizi tersebut dengan tujuan menambah jenis
zat gizi pangan. Contoh: penambahan iodium pada garam.
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 36

Dalam ketentuan ini, pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia termasuk
pangan sumbangan.
Peraturan perundang-undangan lain yang berlaku antara lain peraturan
perundang-undangan di bidang pelabelan, kepabeanan, dan di bidang karantina
hewan, ikan dan tumbuhan.

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut yang akan diatur antara lain, persyaratan dokumen
dan/atau sertifikat yang diperlukan, hasil pengujian laboratorium, penetapan
jangka waktu batas kadaluwarsa dan persetujuan pemasukan barang.

Pasal 41

Ayat (1)

Ketentuan ini merupakan persyaratan minimal yang wajib dipenuhi. Selain


persyaratan tersebut pangan yang akan dikeluarkan dari wilayah Indonesia wajib
memenuhi persyaratan yang berlaku di negara tujuan.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1)

Pangan olahan yang dimaksud dalam ketentuan ini mencakup juga pangan olahan
tertentu, bahan tambahan pangan, pangan produk rekayasa genetika atau pangan
iradiasi.
Pangan olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia sebagai sumbangan wajib
memenuhi ketentuan yang dimaksud dalam Pasal ini.
Yang dimaksud dengan kemasan eceran dalam ketentuan ini adalah kemasan akhir
pangan yang tidak boleh dibuka untuk dikemas kembali menjadi kemasan yang lebih
kecil untuk diperdagangkan.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Surat persetujuan pendaftaran yang diterbitkan memuat nomor pendaftaran. Nomor


pendaftaran tersebut harus dicantumkan pada label pangan yang bersangkutan dan
pencantumannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang label dan
iklan pangan.
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas
Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Pemberlakuan kewajiban untuk memiliki sertifikat produksi terhadap industri


rumah tangga dilakukan secara bertahap mengingat keterbatasan fasilitas dan
pengetahuan tentang keamanan, mutu dan gizi pangan yang dimiliki oleh pengelola
industri rumah tangga. Pentahapan ini memberikan kesempatan kepada industri
rumah tangga untuk meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan produk yang
memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan.
Ayat (3)

Sertifikat produksi diberikan kepada pangan olahan yang diproduksi oleh industri
rumah tangga yang sudah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.
Penerbitan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga oleh Bupati/Walikota
didasarkan atas dipenuhinya persyaratan cara produksi yang baik untuk industri
rumah tangga yang meliputi antara lain persyaratan sanitasi, penggunaan bahan
tambahan pangan dan label.
Cara Produksi Pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Ayat (4)

Mengingat keterbatasan industri rumah tangga dalam hal bangunan, fasilitas


sanitasi, peralatan serta karyawan sehingga jenis pangan yang diizinkan untuk
diproduksi oleh industri rumah tangga perlu dibatasi. Industri rumah tangga
hanya diijinkan untuk memproduksi pangan yang tidak berisiko tinggi terhadap
kesehatan.

Pasal 44

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan jumlah kecil adalah besaran jumlah
secukupnya yang dibutuhkan hanya untuk keperluan terkait.

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan dugaan dapat merupakan hasil
pengujian, berdasarkan laporan masyarakat atau hasil penelurusan terjadinya
kasus keracunan.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Pedoman penarikan dan pemusnahan yang dimaksud dalam ketentuan ini meliputi
antara lain cara penarikan, jangka waktu penarikan dan cara pemusnahan.

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Dalam rangka menghindarkan masyarakat dari gangguan akibat mengkonsumsi produk


pangan yang dapat membahayakan dan/atau mengganggu kesehatan, maka hasil
pemeriksaan terhadap produk pangan perlu diketahui oleh masyarakat.

Pasal 51

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)

Upaya pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dilaksanakan melalui


berbagai pendekatan dalam rangka meningkatkan kemampuan produsen pangan siap
saji dan industri rumah tangga.
Ayat (5)

Pembinaan yang dilakukan terhadap kegiatan instansi pemerintah daerah antara


lain berupa pelatihan inspektur pangan, penyediaan pedoman yang berkaitan dengan
pengawasan obat dan makanan di daerah.

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

LDj © 2004 ditjen pp

Anda mungkin juga menyukai