Anda di halaman 1dari 1

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

KAMIS, 23 SEPTEMBER 2010

I
Budi Handrianto Mahasiswa S-3 Pendidikan Islam Univ Ibn Khaldun Bogor

Lima Konsep Islamisasi Sains


Kelima, konsep Islamisasi sains yang paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah Islamisasi yang berlandaskan paradigma Islam. Ide ini yang disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membonkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti. Itu sebabnya al-Attas mengartikan Islamisasi sebagai, Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya ... Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya... (Islam dan Sekularisme, 2010). Oleh karena dalam hal ini ada dua cara metode Islamisasi yang saling berhubungan dan sesuai urutan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dengan demikian Islamisasi sains akan membuat umat Islam terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah wujudnya keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya (fitrah). Islamisasi melindungi umat Islam dari sains yang menimbulkan kekeliruan dan mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya. Oleh karena itu islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempeli (melabelisasi) sains dengan prinsip Islam. Hal ini hanya akan memperburuk keadaan selama virusnya masih berada dalam tubuh sains itu sendiri. Jadi, Islamisasi sains tidak sesederhana, misalnya, tidak sekedar menyalakan lampu dengan terlebih dahulu membaca basmalah. Islamisasi sains adalah sebuah konsep dasar yang berkaitan dengan worldview seorang muslim untuk mengembalikan Islam menuju peradaban dunia yang berjaya.

stilah Islamisasi sains sudah pernah nyaring bergema di Indonesia pada era 1980an. Tapi, kemudian redup, sejalan dengan ketidakjelasan konsep dan pengembangannya. Bahkan, sering timbul kesalahpahaman. Apa sebenarnya Islamisasi sains? Secara umum, ada lima arus utama wacana Islamisasi sains. Pertama, Islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat (instrumen). Artinya, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri selama ia bermanfaat bagi pemakainya. Pendekatan ini muncul dengan asumsi bahwa Barat maju dan berhasil menguasai dunia Islam dengan kekuatan sains dan teknologinya. Karena itu, untuk mengimbangi Barat, kaum Muslim harus juga menguasai sains dan teknologi. Jadi, Islamisasi di sini adalah bagaimana umat Islam menguasai kemajuan yang telah dikuasai Barat. Islamisasi sains dengan pendekatan ini sebenarnya tidak termasuk dalam islamisasi sains yang hakiki. Banyak muslim yang ahli sains, bahkan meraih penghargaan dunia, namun tidak jarang dia makin jauh dari Islam. Meski demikian, pendekatan ini menyadarkan umat untuk bangkit melawan ketertinggalan dan mengambil langkah mengembangkan sains dan teknologi. Kedua, Islamisasi sains yang paling menarik bagi sebagian ilmuwan dan kebanyakan kalangan awam adalah konsep justifikasi. Maksud justifikasi adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat Alquran maupun Al-Hadits. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran Alquran dengan fakta-fakta objektif dalam sains modern. Tokoh paling populer dalam hal ini adalah Maurice Bucaille. Menurut dokter asal Perancis ini, penemuan sains modern sesuai dengan Alquran. Hal ini membuktikan bahwa Alquran, kitab yang tertulis 14 abad yang lalu, adalah wahyu Tuhan, bukan karangan Muhammad. Ilmuwan lain yang mengembangkan Islamisasi dengan pendekatan justifikasi ini adalah Harun Yahya, Zaghlul An-Najjar, Afzalur Rahman dll. Namun, konsep ini menuai banyak kritik, misalnya dari Ziauddin Sardar yang mengatakan bahwa legitimasi kepada Alquran dalam kerangka sains modern tidak diperlukan oleh Kitab suci.

Meskipun bukan termasuk dalam kategori Islamisasi sains yang hakiki, pendekatan konsep ini sangat efektif mudah diterima oleh banyak Muslim serta meningkatkan kebanggaan mereka terhadap Islam. Namun demikian proses tersebut tidak cukup dan harus dikembangkan ke dalam konsep yang lebih mendasar dan menyentuh akar masalah kemunduran umat. Ketiga, konsep Islamisasi sains berikutnya menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi. Nasr mengritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri. Ia bagaikan mesin jam yang bekerja sendiri. Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi

sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama. Sedangkan islamisasi sains menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Oleh karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai Islam. Keempat, Islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu mengintegrasikan sains Barat dengan ilmuilmu Islam. Ide ini dikemukakan oleh Ismail Al-Faruqi. Menurutnya, akar dari kemunduran umat Islam di berbagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan. Di satu sisi, sistem pendidikan Islam mengala-

mi penyempitan makna dalam berbagai dimensi, sedangkan di sisi yang lain, pendidikan sekular sangat mewarnai pemikiran kaum Muslimin. Mengatasi dualisme sistem pendidikan ini merupakan tugas terbesar kaum Muslimin pada abad ke-15 H. Al-Faruqi menyimpulkan solusi dualisme dalam pendidikan dengan islamisasi ilmu sains. Sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai bagian yang integral dari paradigmanya. Al-Faruqi menjelaskan pengertian Islamisasi sains sebagai usaha yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita Islam.

Menyatukan Fisika dan Metafisika

M
Wendi Zarman
Dosen Fisika, Mhs S3 Pendidikan Islam UIKA Bogor

enurut Prof SM Naquib al-Attas, masalah kekeliruan ilmu (corruption of knowledge) adalah merupakan masalah yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat modern. (al-Attas, Islam dan Sekularisme, 2010). Kekeliruan ini muncul akibat menyusupnya paham sekuler yang dibawa oleh peradaban Barat ke dalam ilmu-ilmu kontemporer. Ilmu yang keliru melahirkan tindakan manusia yang keliru pula. Inilah yang disebut oleh alAttas, pakar Filsafat Sains, sebagai loss of adab, yaitu hilangnya kemampuan manusia melakukan tindakan yang benar karena bersandar pada ilmu yang keliru. Tindakan yang keliru ini pada akhirnya bukanlah memberikan kebahagiaan, melainkan kesengsaraan kepada manusia. Buktinya, disaat sains dan teknologi sedemikian maju saat ini, umat manusia bukannya berhasil meraih kebahagiaan. Sebaliknya, berbagai keresahan dan kekeringan jiwa serta kerusakan alam terus meruyak. Kerusakan lingkungan, wabah penyakit yang tiada henti, bencana alam, degradasi moral, kriminalitas, dan peperangan, dating silih berganti. Ironisnya, paham sekuler inilah yang banyak dijadikan landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan masa kini yang kemudian diajarkan di sekolah-sekolah. Hampir tidak ada disiplin ilmu alam atau sosial yang tidak terpengaruh oleh ideologi sekular. Salah satu buktinya adalah ditolaknya wahyu sebagai sumber ilmu, sehingga semua ilmu ini dibangun dalam kerangka rasionalisme dan empirisisme. Ilmu Fisika sebagai ilmu yang sangat penting di era modern juga tidak lepas dari pengaruh paham sekular ini. Oleh karena itu, Ilmu Fisika perlu diislamkan. Apanya yang diislamkan? Saat bicara Islamisasi Fisika, maka harus

dimulai dari hal-hal yang paling asas dari Ilmu Fisika, bukan dari kulit luarnya. Islamisasi Ilmu Fisika bukanlah mengislamkan teori Newton atau teori relativitas Einstein sehingga menghasilkan suatu teori gerak baru yang Islami. Islamisasi juga bukan berarti mencocokkan Alquran dengan temuan fisika modern terkini. Misalnya, mengaitkan teori Big Bang dengan Alquran surat al-Anbiya ayat 30 yang berbicara tentang penciptaan alam semesta. Islamisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah Islamisasi filsafat sains yang melatarbelakangi lahirnya teori-teori fisika tersebut. Hal ini karena teori-teori fisika tidaklah lahir dari ruang kosong, tapi berangkat dari suatu sandaran metafisika mengenai hakikat alam semesta. Sebagaimana telah disebut di atas, sandaran metafisika sains modern yang paling utama adalah paham sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, salah satu dimensi dari sekularisasi adalah penghilangan pesona alam (disenchantment of nature). Artinya, alam hanyalah materi yang tidak memiliki makna spiritual. Oleh karena itu manusia berhak memperlakukannya sesuai dengan kemauan manusia. Dari sini kita dengan mudah mengidentifikasi mengapa masalah kerusakan lingkungan merupakan masalah paling pelik di abad modern. Sekularisasi juga telah menyebabkan penelitian fisika hanya menyibukkan diri dengan fenomena lahiriah (empiris) dan melepaskan kaitannya dengan Realitas Mutlak (Tuhan). Islamisasi tidak mempermasalahkan formulasi F=ma dalam teori gerak Newton, tetapi tafsiran filsafat sains yang menganggap dinamika alam sebagai sesuatu yang mekanistik. Layaknya mesin, alam bekerja sendiri berdasarkan mekanisme sebab dan akibat sehingga menegasikan kehadiran Tuhan. Sekiranya

Tuhan memang ada (sesuatu yang diragukan oleh banyak fisikawan dunia), Ia tidak punya peran dan kendali terhadap kejadian-kejadian di alam. Lalu manusialah yang kemudian menjadi tuhan yang mengendalikan alam. Di sinilah manusia mencabut unsur metafisika religius dari ilmu fisika.

Berbeda dengan paham sekular, semua konsep Islam dibangun dalam kaitannya dengan Tuhan. Oleh karena itu semua urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian juga pandangan-Islam mengenai alam. Di dalam Islam, alam bukanlah sekedar materi tanpa makna, melainkan tanda (ayat) dari kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika seseorang meneliti dan mempelajari fisika ia berarti sedang berusaha mengenal Tuhannya. Hal ini ditegaskan dalam Alquran surat Ali Imran 191 : Yaitu orangorang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Wahai Tuhan kami, tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka. Ayat di atas menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan dengan kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi). Sedangkan ujung dari kedua kegiatan ini adalah mengenal semakin dekat dan mengenal Allah SWT. Pada titik inilah fisika dan metafisika Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan (tauhid). Oleh karena itu di dalam Islam tidak dikenal istilah fisika untuk fisika, artinya penelitian fisika bukanlah untuk sekadar kesenangan memecahkan misteri alam. Itu sebabnya di sepanjang sejarah Islam kita tidak mengenal ada ilmuwan Muslim yang

menjadi anti Tuhan setelah menguasai ilmu fisika, atau ilmu apa pun, karena landasan mempelajarinya berangkat dari keimanan dan pengabdian kepada Allah. Bahkan, para ilmuwan di dunia Islam masa lalu biasanya juga dikenal sebagai orang yang faqih dalam ilmu agama. Sebaliknya di Barat, tidak sedikit ilmuwan yang semakin tahu tentang alam semakin meragukan keberadaan Tuhan, bahkan menjadi anti Tuhan. Laplace, seorang ahli astronomi Perancis abad ke-18, ketika ditanya Napoleon tentang pemeliharaan Tuhan terhadap alam semesta menjawab, Yang Mulia, saya tidak menemukan dimana tempat pemeliharaan Tuhan itu. Sementara Hawking, fisikawan yang dianggap paling tahu soal kosmologi, sampai sekarang pun masih saja bertanya apakah alam ini memiliki Pencipta, dan kalau ada apakah Ia juga mengatur alam semesta (Brief History of Time). Di negeri Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya dengan sains yang rasional dan empiris. Inilah perbedaan utama antara pandangan Islam dan sekular. Melalui sekularisasi, Ilmu Fisika diceraikan dari metafisika Islam. Sedangkan Islamisasi adalah mengembalikan metafisika Islam sebagai ruh Ilmu Fisika, sehingga ilmu ini menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan semata-mata memuaskan keingintahuan manusia terhadap alam.

Anda mungkin juga menyukai