Anda di halaman 1dari 22

Structural Unemployment in Indonesia: Evidence from an SVAR Analysis within a Hysteresis Framework

Dharendra Wardhana 1 and Dhanie Nugroho 2

Abstract: This paper is mainly aimed to measure labor supply shocks and its effect to national economy through theory-guided view mechanism by using such indicators as unemployment rate, real Gross Domestic Product, and real wages. By implementing structural VAR methodological framework, it makes possible to trace and to identify how an economy works through imposing restrictions in order to conform to theory. Our results suggest that long-term unemployment does affect the process of policymaking of both monetary and real sector in achieving objectives set in national development planning.

Keywords: Structural unemployment, hysteresis framework, structural VAR

1 2

Staf Perencana Bappenas Asisten Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM
1

1. Pendahuluan Krisis ekonomi pada tahun 1998 menyebabkan kenaikan jumlah pengangguran terbuka pada tahun tersebut hingga mencapai 5 juta orang. Jumlah ini kian bertambah pada tahun 1999. Pada akhir tahun 2005, jumlah pengangguran terbuka (definisi mengikuti BPS 3 ) di Indonesia telah mencapai 10.220.000 orang. Fenomena pengangguran terbuka sejak lama sudah masuk dalam rencana kerja pemerintah dalam rangka melaksanakan rencana pembangunan nasional baik dalam jangka panjang, menengah maupun tahunan. Sasaran pembangunan nasional yaitu: (1) Pertumbuhan ekonomi; (2) Pengangguran terbuka; (3) Penduduk miskin. Prioritas pembangunan nasional tahun 2006 yang terkait untuk mencapai sasaran tersebut adalah dengan melakukan peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor 4 . Strategi dan kebijakan meningkatkan kesempatan kerja oleh pemerintah sampai sejauh ini terdiri sebagai berikut: (1) Penyempurnaan peraturan perundangan ketenagakerjaan; (2) Penciptaan lapangan kerja melalui investasi; (3) Peningkatan kualitas sumber daya manusia; (4) Program perluasan kesempatan kerja yang dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah seperti pekerjaan umum (public works), pemberdayaan usaha kecil menengah (UKM), lembaga keuangan mikro, dan pekerjaan yang dijamin (guaranteed employment); (5) Kebijakan yang terkait dengan migrasi tenaga kerja; (6) Program pendukung pasar kerja. Dalam tabel 1, jumlah orang yang tidak bekerja memiliki tren meningkat. Kecenderungan peningkatan ini terus terjadi walau tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah berada pada level di atas 5 persen per tahun.
3

Pengangguran terbuka menurut BPS adalah terdiri atas orang usia kerja (15 tahun keatas) yang: (a) mencari pekerjaan; (b) mempersiapkan usaha; (c) tidak mencari pekerjaan; (d) belum mulai bekerja 4 Tema dan Prioritas Pembangunan Nasional 2006 terlampir

Berdasarkan teori Okun (Okuns Law), jumlah pengangguran di sebuah negara akan berbanding terbalik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Namun bagaimana dengan Indonesia? Kenapa tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan namun pada saat bersamaan jumlah pengangguran juga mengalami peningkatan? Pertanyaan di atas tidak mampu dijawab dengan hanya mendasarkan pada hubungan peningkatan jumlah pengangguran sebagai fungsi dari tingkat pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Hal ini terjadi karena

Okuns law cenderung mengabaikan

pertumbuhan jumlah angkatan kerja di sebuah negara.


Tabel 1 Tahun Pertumbuhan Output Inflasi Jumlah Pengangguran 1995 8.22 8.53 3,956,170 1996 7.82 6.27 4,275,410 1997 4.70 8.89 4,183,970 1998 -13.13 63.01 5,045,260 1999 0.79 1.78 6,030,320 2000 5.35 8.55 5,870,000 2001 3.83 12.09 8,000,000 2002 4.38 9.94 9,140,000 2003 4.88 5.45 9,820,000 2004 5.13 6.24 10,250,000 2005 5.48 16.95 10,220,000 Sumber: IFS IMF dan Sakernas BPS berbagai terbitan M1 (milyar rupiah) 49,572.00 54,534.00 72,431.00 90,768.00 116,880.00 160,923.00 175,110.00 188,008.00 220,552.00 251,243.00 278,059.00

Bila kita melihat beberapa landasan fundamental perekonomian Indonesia pada beberapa tahun ke belakang, akan kita dapati bahwa fondasi perekonomian Indonesia masih lemah. Hal ini terlihat dari rendahnya money multiplier yang dicapai oleh lembaga keuangan di Indonesia di mana sejak tahun 1995, angka pengganda uang tertinggi di Indonesia hanya mencapai 1,92. Kondisi ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan jumlah uang primer tidak dibarengi dengan pertumbuhan jumlah uang beredar pada level yang sama. Dengan kata lain, lembaga keuangan di Indonesia gagal dalam menyalurkan dana yang dimilikinya ke sektor riil (sektor produksi). Namun yang menarik di sini adalah, meskipun

angka pengganda uang cenderung menurun dari waktu ke waktu tetapi pada saat yang sama tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami peningkatan. Premis yang muncul kemudian adalah tingginya tingkat

pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih dipengaruhi oleh sisi permintaan dibandingkan dari sisi produksi. Kondisi ini berlawanan dengan yang terjadi di Amerika Serikat ketika terjadi Great Depression pada tahun 1929. Pada masa itu, tingkat pengangguran di Amerika mengalami peningkatan seiring dengan turunnya tingkat pertumbuhan PDB (Blanchard, 1997).
Tabel 2 M0 (milyar rupiah) 25,852.00 34,405.00 46,085.90 75,120.30 101,790.00 125,615.00 127,796.00 138,250.00 166,474.00 206,180.00 269,971.00 M1 (milyar rupiah) 49,572.00 54,534.00 72,431.00 90,768.00 116,880.00 160,923.00 175,110.00 188,008.00 220,552.00 251,243.00 278,059.00 Money Multiplier 1.92 1.59 1.57 1.21 1.15 1.28 1.37 1.36 1.32 1.22 1.03

Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: IFS IMF

Blanchard (1997) mengatakan bahwa setidaknya terdapat dua alasan kenapa

hysteresis pada suatu perekonomian harus mendapatkan perhatian yang lebih. Pertama, kerugian yang harus diterima dapat dilihat dari sisi pekerja. Dari sisi ini,
seorang tenaga kerja yang telah mengalami masa menganggur dalam jangka waktu lama akan kehilangan keahliannya dan ritme kerja yang dimilikinya.

Kedua, kerugian yang muncul akibat tingkat pengangguran dalam jangka


panjang dapat ditinjau dari sisi makroekonomi. Hal ini terkait dengan hilangnya keahlian tenaga kerja sehingga menyebabkan perusahaan-perusahaan tidak akan mau menanggung resiko untuk mempekerjakan mereka yang telah lama

tidak bekerja. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan perusahaan menaikkan tingkat upah setiap pekerjanya daripada harus menggunakan tenaga kerja yang telah lama menganggur dan menanggung biaya pendidikan. Kerangka Hysteresis Kerangka hysteresis (hysteresis framework) muncul pertama kali untuk menjawab tingginya angka pengangguran yang terjadi di Negara-negara Eropa sejak terjadinya Great Depression. Hysteresis sendiri dapat diartikan sebagai perkembangan angka pengangguran yang terus meningkat. Blanchard dan Katz dalam Gambetti dan Barbara (2004), mengatakan bahwa tingginya angka pengangguran dalam jangka panjang disebabkan oleh sejumlah faktor yang memiliki pengaruh tetap terhadap kondisi naturalnya, seperti kekakuan upah maupun perbedaan keahlian yang dimiliki dengan teknologi yang dipergunakan. Dengan menggunakan bahasa statistik, perubahan yang terjadi pada periode sebelumnya akan memiliki efek tetap terhadap angka pengangguran. Kerangka hysteresis merupakan model yang berusaha menjelaskan berbagai perubahan yang terjadi pada teknologi, permintaan dan kejutan lain terhadap perilaku penentuan upah riil, tingkat pengangguran serta produktifitas tenaga kerja. Guna menjelaskan kerangka ini, kedua penulis akan menggunakan istilah

insider untuk jumlah angkatan kerja yang telah bekerja serta outsider yang
mewakili mereka yang belum bekerja namun telah dikategorikan ke dalam angkatan kerja. Kerangka ini pun dapat dijelaskan dengan menggunakan dua kelompok model. Kelompok pertama adalah model struktural yang mencakup

aggregate demand, fungsi produksi serta persamaan struktural dalam penentuan


tingkat harga. Kelompok ini dapat dituliskan ke dalam persamaan berikut.

yt = (dt pt ) + at
5

yt = nt

pt = wt t

Dimana yt merupakan tingkat output, dt merupakan pengeluaran nominal, pt adalah tingkat harga, nt adalah jumlah tenaga kerja (dalam kondisi natural), wt adalah tingkat upah riil, serta menunjukkan produktifitas tenaga kerja. Seluruh variabel selain tingkat harga dinyatakan dalam bentuk logaritma. Di sisi lain, penyediaan tenaga kerja serta penentuan upah dilakukan dengan didasarkan pada persamaan berikut.
lt = ( wt pt ) but wt : nte = (1 ) nt 1 + lt 1

Dimana lt menunjukkan jumlah tenaga kerja yang tersedia, (wt-pt) menunjukkan tingkat upah riil, ut merupakan jumlah pengangguran. Seluruh variabel di atas dinyatakan dalam bentuk logaritma. Teori Insider-Outsider Teori ini pada prinsipnya merupakan bentuk pengembangan dari proses menuju keseimbangan antara penawaran jumlah tenaga kerja (labor supply) dengan permintaannya yang diindikasikan dengan variabel tingkat upah, jumlah pekerja dan jumlah penganggur. Teori ini mengasumsikan adanya hubungan pekerjaan (employment relationship) antara sebuah perusahaan dengan para karyawannya (incumbent employees) atau insidernya. Elemen kunci sekaligus dasar ekonomi dari teori insider-outsider ini ada pada proses penentuan tingkat upah yang tidak mengikutsertakan penganggur atau outsider. Asumsi lainnya adalah para insider memiliki daya tawar (bargaining power) dalam meningkatkan upahnya yang lebih besar daripada outsider Hal ini akan

menyebabkan pasar tenaga kerja tidak mampu melakukan penyeimbangan (clearing) dalam proses menuju ekuilibrium karena tingkat upah tidak dimungkinkan untuk menurun dengan kata lain tingkat upah menjadi kaku. Sehingga mekanisme penyesuaian a la teori Neoklasik menjadi tidak berlaku lagi. Pengangguran Struktural Berbeda dengan karakteristik jenis pengangguran lainnya (pengangguran friksional, pengangguran

demand-deficient,

pengangguran

musiman)

pengangguran struktural muncul ketika penganggur tidak memiliki segala keahlian, pelatihan, pengalaman atau preferensi geografis yang sesuai dengan segala pekerjaan yang ditawarkan dalam suatu perekonomian. 2. Metodologi SVAR Pendekatan VAR muncul ketika Sims (1980) mengkritik pendekatan tradisional atas permodelan struktural makro-ekonometrik karena memberikan restriksi yang berlebihan dan menghiraukan umpan-balik (feedback) yang terjadi diantara variabel-variabel yang digunakan. Sims mengusulkan penggunaan pendekatan VAR yang memasukkan pengaruh dan mengakomodasi seluruh interaksi dinamis yang terjadi antar variabel. Pada model VAR, seluruh variabel akan diperlakukan sebagai variabel endogen (variabel yang nilainya ditentukan di dalam model). Model VAR ini tak lain merupakan suatu bentuk pendekatan penyederhanaan yang tidak akan menjelaskan hubungan struktural jika sejumlah asumsi identifikasi tidak dimasukkan, hal tersebut juga membantu memecahkan masalah kerumitan proses estimasi dan inferensi yang terjadi ketika terdapat variabel endogen di kedua sisi persamaan (dependen dan independen). Penggunaan model VAR juga memiliki kelebihan-kelebihan antara lain ialah; (1) sebagai alat peramalan melalui forecasting dengan ekstrapolasi nilai saat ini dan

masa depan seluruh variabel dengan mamanfaatkan seluruh informasi masa lalu pada suatu variabel; (2) deskripsi data dengan impulse response function yang melacak respon saat ini dan respon masa depan setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu; (3) inferensi struktural dengan adanya

forecast error variance decomposition (FEVD) yang memprediksi kontribusi


persentase varians setiap variabel terhadap suatu perubahan tertentu; (4) sebagai alat kebijakan dengan bantuan granger causality test, yang dapat mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel. Analisis SVAR (structural VAR) adalah upaya mengatasi masalah identifikasi model struktural pada umumnya, seperti berikut:

BXt = 0 + 1 Xt 1 + t , N (0, ) dimana B adalah sebuah matriks berorde n x


n yang berisi informasi mengenai hubungan contemporanous antara variabelvariabel endogen di dalam vektor X (orde n x 1). 1 adalah matriks orde n x n yang berisi informasi hubungan kelambatan (lagged). Bentuk sederhana model tersebut belum teridentifikasi dan tidak dapat diestimasikan secara langsung, estimasi bentuk sederhana dari model tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan estimasi VAR secara umum:
X t = A0 + A1 X t 1 + et , e N ( 0, e ) dengan A0 = B -1 0 , A1 = B -11 dan et = B -1 t

Untuk mengetahui parameter struktural dari bentuk sederhana tersebut, dibutuhkan restriksi setidaknya sebanyak n2. Hal ini dapat dijelaskan dengan tabel berikut.

Perbandingan Dimensi Model Struktural Variabel Dimensi n B


0 1

Model VAR Sederhana Variabel Dimensi


A0

n n n(n+1)/2 (5n+3n)/2

n n
e

A1

Jumlah

n(n+1)/2 3/2 (n+n)

Jumlah

Dari tabel tersebut kita dapat mengetahui bahwa dibutuhkan restriksi sebanyak (5n+3n)/2 - 3/2 (n+n) = n untuk mengidentifikasi suatu model, untuk mengaplikasikannya bentuk sederhana tersebut harus ditulis-ulang kedalam bentuk moving-average sebagai berikut:
X t = + C ( L ) t dengan
1 1 = I ( B 1 ) L B 0 dan 1
1 1 C ( L) = A1i B 1 Li = C ( k ) Lk I ( B 1 ) L B = i =0 k =0 1

untuk melengkapi persamaan tersebut dengan sejumlah restriksi dapat dilakukan sesuai dengan yang dilakukan oleh Blanchard dan Quah (1989) dengan memberikan restriksi sebanyak n = ( n + 1) / 2 dengan asumsi orthonormalitas inovasi struktural yang akan menjadi:

= I dan

restriksi jangka panjang

menjadi n = ( n 1) / 2 . Restriksi jangka panjang membutuhkan persyaratan C(1) berupa sebuah matriks multiplier jangka panjang, dalam restriksi ini dimasukkan multiplier jangka panjang pada goncangan (shock) tertentu dalam variabel tertentu pula dalam bentuk angka nol. Dalam paper ini kita memiliki variabel dependen sebanyak tiga dan memasukkan restriksi sebanyak tiga buah (3*(39

1)/2=3). Solusi jangka panjang dari model di dalam paper ini akan dilengkapi dengan 3 variabel dependen dan tiga restriksi nol yang dapat direpresentasikan menjadi:

0 0 1 x1 C11 (1) x = C 1 C 1 0 22 ( ) 2 21 ( ) 2 x3 C31 (1) C32 (1) C33 (1) 3


Dalam menganalisis bentuk-bentuk struktural dari model di dalam paper ini dilakukan melihat pada fungsi impulse-response. Karena C (1) = C ( k ) adalah
k =0

multiplier

jangka

panjang,

plot

dari

elemen-elemen

di

dalam

C(L)

menggambarkan pola penyesuaian setelah terjadinya goncangan struktural (structural shock). Ringkasnya, metodologi SVAR mampu menciptakan suatu pandangan yang dipandu teori pada sejumlah data tersedia. Untuk mengidentifikasikan suatu model menjadi persis seperti dengan landasan teori dapat memanfaatkan sejumlah restriksi yang dapat diambil dan diterjemahkan dari teori. 3. Model Teoretis Paper ini menggunakan model yang telah dirumuskan dan digunakan oleh Balmaseda, Dolado dan Lopez-Salido (2000) yang juga merupakan perluasan dari model yang dirumuskan oleh Blanchard dan Quah (1989). Berbeda dengan model sebelumnya model dari Balmasda et.al. ini memasukkan dua macam tipe supply shock di dalam model. 1. y = ( d p ) + a 2. y = n + 3. p = w Persamaan permintaan agregat Fungsi produksi Persamaan penentuan harga

10

4. l = ( w p ) u + 5. w = arg ne = l1 + (1 ) n1 6. u = l n 7. d = d 8. = s 9. = l

Persamaan suplai tenaga kerja

Penentuan upah (kerangka insider-outsider) Pengangguran (persamaan definisi) Demand shocks Productivity (supply) shocks Labor supply shocks

Dengan menggunakan metode SVAR paper ini secara garis besar akan mengestimasi tiga variabel yaitu: (1) output riil, (2) tingkat upah riil dan (3) tingkat pengangguran. Analisis impulse-response digunakan untuk mengetahui efek dinamis dari structural shocks di dalam pasar tenaga kerja di Indonesia. Identifikasi dilakukan dengan memberikan restriksi recursive (berulang) dalam bentuk matriks untuk multiplier jangka panjang dalam model tersebut. 4. Data yang Digunakan Dalam proses estimasi paper ini menggunakan data tahunan 1970 2005. Beberapa variabel yang kurang jumlah observasinya dilengkapi dengan menggunakan peramalan ke belakang (backcasting). Output direpresentasikan oleh tingkat PDB riil tahun dasar 2000, tingkat harga ditentukan oleh Indeks Harga Konsumen dengan tahun dasar 2000, tingkat upah ditentukan dengan Upah Minimum Provinsi rata-rata tahunan, beberapa data seperti PDB riil, pengeluaran pemerintah dan tingkat harga diambil dari International Financial Statistics IMF. Sedangkan data-data lainnya (jumlah angkatan kerja, jumlah pekerja, jumlah penganggur, upah minimum provinsi dan produktivitas pekerja) diambil dari Sakernas BPS. Dari keseluruhan data tersebut akan menghasilkan sebanyak tiga variabel dalam bentuk log kecuali variabel tingkat pengangguran

11

yaitu (1) lw3 adalah tingkat upah rata-rata nasional tahunan; (2) lpdb adalah PDB riil; dan (3) unemp_rate adalah tingkat pengangguran nasional tahunan yang selanjutnya akan digunakan dalam proses estimasi SVAR. Peramalan ke belakang (backcasting) dilakukan dengan menggunakan sejumlah metode sesuai dengan karakteristik data. Dua metode yang dipergunakan adalah linear trend serta weigthed moving average. Backcasting dilakukan dengan mempertimbangkan rasio data tersebut terhadap data lain seperti PDB. Pertimbangan ini diberlakukan dengan dasar bahwa variabel yang dipergunakan umumnya memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan perilaku PDB. Sebagai contoh, kenaikan tingkat upah akan berbanding lurus dengan kenaikan nilai PDB Indonesia. 5. Hasil Estimasi Analisis integrasi dengan memakai uji Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP) menunjukkan tingkat pengangguran di Indonesia tidak bersifat mean-reverting pada berbagai tingkat waktu, melainkan terintegrasi pada derajat pertama I(1). Hal ini mengindikasikan terdapat karakteristik full

hysteresis pada variabel (Gambetti dan Pistoresi, 2004). Berdasarkan tampilan


grafik berikut terlihat adanya evolusi tingkat pengangguran di Indonesia. Tingkat pengangguran pada periode 1970an hingga pertengahan 1980an mengalami peningkatan dengan tren yang stabil hingga peningkatan yang drastis pada kurun 1990 2005, dari keterangan ini dapat dilihat adanya kecenderungan nonstasioner.

12

.10 .09 .08 .07 .06 .05 .04 .03 .02 1970

1975

1980

1985

1990

1995

2000

2005

UNEMP_RATE

Sesuai keterangan pada bagian sebelumnya, kejadian full hysteresis pada kasus pengangguran menggambarkan adanya situasi dimana seluruh shocks baik yang bersifat sementara (transitory) seperti aggregate demand shock maupun yang bersifat permanen seperti technology shocks akan memiliki efek yang permanen pada serangkaian waktu tertentu. Dalam konsep model linier dinamik, full

hysteresis memiliki ketentuan adanya akar-akar unit (unit roots) dalam rangkaian
(series) data jumlah penganggur. Tabel berikut ini akan menunjukkan ringkasan hasil uji akar-akar unit untuk seluruh variabel. Variabel lpdb lpdb lpb lpb lw3 lw3 lw3 lw3 unemp_rate unemp_rate unemp_rate unemp_rate Uji ADF PP ADF PP ADF PP ADF PP ADF PP ADF PP t-statistik
-3.357686 -7.201326 -4.940674 -4.891919 -1.890470 -1.280625 -4.126792 -2.440335 1.792686 1.789216 -4.680907 -4.779132

5% cv
-2.960411 -2.948404 -2.951125 -2.951125 -2.981038 -2.948404 -2.981038 -2.951125 -2.948404 -2.948404 -2.951125 -2.951125

10% cv
-2.619160 -2.612874 -2.614300 -2.614300 -2.629906 -2.612874 -2.629906 -2.614300 -2.612874 -2.612874 -2.614300 -2.614300

Kesimpulan I(1) I(0) I(0) I(0) I(1) I(1) I(0) I(1) I(1) I(1) I(0) I(0)

13

Dari tampilan tabel ringkasan hasil uji akar-akar unit diketahui bahwa dengan menggunakan uji akar-akar unit ADF seluruh variabel terintegrasi pada derajat pertama atau I(1) sedangkan hasil uji akar-akar unit PP juga menunjukkan kecenderungan sama hanya variabel lpdb yang terintegrasi pada derajat nol saja atau I(0). Hasil uji akar-akar unit tersebut dapat menginterpretasikan adanya dugaan terdapat gejala patahan struktural (structural break), apalagi dengan didukung fakta kejadian krisis moneter pada tahun 1997. Jumlah kelambanan (lag) yang digunakan dalam paper ini sebanyak tiga dengan data tahunan sesuai dengan uji lag-length criteria parameter Likelihood Ratio, Full Prediction Error, Akaike Information Criterion dan Hannan-Quinn Criteria. Uji lag exclusion (dengan uji Wald) mengindikasikan bahwa signifikan. Model Estimasi Estimasi terhadap model VAR dilakukan dengan memasukkan 3 tingkat kelambanan (lag). Hal ini dilakukan sesuai dengan uji lag length criteria yang dilakukan sebelumnya. Selanjutnya, reduced form VAR yang telah diestimasi direstriksi sesuai dengan teori model sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya. Restriksi yang diberikan berupa kejutan yang terjadi pada variabel lag 1 sampai dengan 3 adalah

aggregate demand, tingkat unemployment serta produktifitas tenaga kerja.


Dengan memasukkan restriksi pada dua matriks jangka pendek, akan diperoleh matriks-matriks restriksi sebagai berikut:
Estimated A matrix: 1.000000 -0.284294 -0.019014 Estimated B matrix: 0.023359 0.000000 0.000000

0.000000 1.000000 0.006541 0.000000 0.137968 0.000000

0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.004030

14

Adapun keterangan koefisien-koefisien untuk seluruh variabel diestimasikan sebagai berikut:


Restriction Type: short-run pattern matrix A= 1 0 0 C(1) 1 0 C(2) C(3) 1 B= C(4) 0 0 0 C(5) 0 0 0 C(6) Nilai log likelihood sebesar 223.8290 Keterangan koefisien Coefficient -0.284294 -0.019014 0.006541 0.023359 0.137968 0.004030 Std. Error 1.044100 0.030533 0.005164 0.002920 0.017246 0.000504 z-Statistic -0.272286 -0.622725 1.266794 8.000000 8.000000 8.000000 Prob. 0.7854 0.5335 0.2052 0.0000 0.0000 0.0000

C(1) C(2) C(3) C(4) C(5) C(6)

Fungsi Impulse Response Bagian ini menunjukkan hasil fungsi impulse response pada estimasi SVAR merupakan akumulasi keseluruhan respon dari variabel jangka pendek terhadap variabel jangka panjang. Guna menghitung impulse response dari setiap variabel diberlakukan asumsi confidence bands sebesar dua standar kesalahan dan dihitung menggunakan prosedur bootstrapping dengan repetisi sebanyak 5000 kali. Hasil perhitungan impulse response disajikan ke dalam bentuk grafik sebagai berikut:

15

Response to Structural One S.D. Innovations 2 S.E.


Response of DLW3 to Shock1
.04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 -.04 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 -.04 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DLW3 to Shock2


.04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 -.04 1 2

Response of DLW3 to Shock3

10

Response of DLPDB to Shock1


.20 .15 .10 .05 .00 -.05 -.10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 .20 .15 .10 .05 .00 -.05 -.10 1 2

Response of DLPDB to Shock2


.20 .15 .10 .05 .00 -.05 -.10 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2

Response of DLPDB to Shock3

10

Response of DUNEMP_RATE to Shock1


.006 .006

Response of DUNEMP_RATE to Shock2


.006

Response of DUNEMP_RATE to Shock3

.004

.004

.004

.002

.002

.002

.000

.000

.000

-.002

-.002

-.002

-.004 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

-.004 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

-.004 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar di atas menggambarkan respon yang diberikan oleh setiap variabel atas perubahan yang terjadi pada masing-masing shock yang terdiri atas: (1) supply

shock; (2) demand shock dan (3) labor supply shock . Sebagaimana terlihat pada
gambar di atas, tingkat upah riil akan berfluktuasi selama tiga periode pertama karena adanya shock ketiga. Lamanya dampak yang terjadi pada variabel upah riil ini justru terjadi ketika dipengaruhi oleh supply shock (shock pertama). Sedangkan variabel yang berpengaruh kuat terhadap perubahan aggregate

demand adalah demand shock. Perubahan yang terjadi pada tingkat


pengangguran lebih disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada aggregate

demand. Hal ini terlihat jelas dari gambar di atas dimana perubahan yang terjadi
pada kejutan di sisi PDB Indonesia (shock kedua). Kejutan yang bersifat positif akan menurunkan jumlah pengangguran selama lima periode ke depan. Namun
16

pada periode berikutnya, dampak yang diberikan oleh perubahan pada variabel ini akan berkurang dan menghilang secara perlahan-lahan. 6. Kesimpulan Hasil estimasi menunjukkan bahwa untuk kasus di Indonesia nampaknya tingkat pengangguran amat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya aggregate demand. Hal ini mencerminkan perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Temuan ini juga menjadi penguat hipotesis awal dimana perekonomian Indonesia ditopang oleh aggregate demand. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, hipotesis aggregate demand sebagai faktor penting dalam mempengaruhi perekonomian didasarkan pada rendahnya multiplier

effect dari uang primer. Terkait dengan permasalahan tersebut, temuan di atas
yang membuktikan tingkat pengangguran yang sangat dipengaruhi oleh perubahan PDB tampaknya memang benar-benar terjadi. Sebagai rekomendasi atas permasalahan tersebut, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal perlu dikoordinasikan lebih baik. Hal ini terkait dengan latar belakang masalah ketika gejala hysteresis muncul pertama kali, hysteresis diduga muncul akibat adanya kebijakan moneter ketat guna menekan tingginya laju inflasi. Namun demikian, kebijakan ini tidak diiringi dengan ekspansi fiskal guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun merangsang sisi produksi untuk menopang perekonomian. Ekspansi fiskal dapat ditempuh dengan sejumlah cara. Program padat karya yang dilakukan semasa orde baru nampaknya cukup efisien dalam mengurangi jumlah pengangguran. Namun demikian, program yang sama tidak lagi dapat diterapkan di Indonesia. Untuk itu, ekspansi fiskal pun perlu dilakukan di beberapa sektor perekonomian yang mampu menyerap tenaga kerja berlimpah namun memiliki tingkat kemiskinan yang sangat tinggi.

17

Daftar Pustaka Blanchard, Olivier Jean dan Danny Quah (1989), The Dynamic Effects of

Aggregate Demand and Supply Disturbances, American Economic Review, Vol.


29 No. 4: 655-673 Blanchard, Olivier Jean dan Katz L (1996), What we know and do not know

about the natural rate of unemployment. NBER working paper series, No. 5822
Fritsche, Ulrich dan Camille Logeay (2002), Structural Unemployment and the

Output Gap in Germany: Evidence from an SVAR Analysis within a Hysteresis Framework, DIW Berlin
Gambetti, Luca dan Barbara Pistoresi (2004), Policy matters. The long run effects

of aggregate demand and mark-up shocks on the Italian unemployment rate.


Empirical Economics 29:209-226 Gujarati, Damodar N. (2003), Basic Econometrics 4th edition, McGraw-Hill Co. New York. Iryanti, Rahma (2006), Menggunakan Decent Work Indicator dalam Perencanaan

Pembangunan Nasional, tidak dipublikasikan


Quantitative Micro Software (2002), Eviews 4.1 Users Guide, Quantitative Micro Software LLC, California

18

Lampiran Tema dan Prioritas Pembangunan Nasional 2006


RPJMN 2004-2009: Indonesia aman dan damai Indonesia adil dan demokratis Meningkatkan kesejahteraan rakyat

Masalah: Kemiskinan tinggi: 16,7% di tahun 2004 Pengangguran tinggi: 10,8 juta atau 10,3% di tahun 2005 Akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan masih rendah Iklim investasi tidak kondusif, daya saing ekspor melemah Struktur industri lemah, produktivitas pertanian rendah Jumlah dan mutu infrastruktur belum memadai Potensi kejadian gangguan keamanan yang tinggi Kepastian penegakan hukum yang lemah

RKP 2006: Tema: Reformasi menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat berlandaskan Indonesia lebih aman, damai dan demokratis

Tantangan: Pesatnya globalisasi Desentralisasi belum berjalan sesuai harapan Sumber dana terbatas, SDA menurun

Prioritas Pembangunan Nasional 2006: 1. Penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan 2. Peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor 3. Rebvitalisasi pertanian dan pedesaan 4. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan 5. Penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi 6. Pemantapan keamanan dan ketertiban serta penyelesaian konflik 7. Rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias

19

Strategi dan Kebijakan Kesempatan Kerja di Indonesia


Peraturan-peraturan: UU 13/2003 UU 2/2004 UU 39/2004 UU 1/2000 UU 20/1999 UU 3/1992, dsb

Isu-isu berkembang: Penganggur terbuka, setengah penganggur, penganggur usia muda, pekerja anak, TKI, unjuk rasa pekerja, pemogokan, free

movement,
diskriminasi dsb.

Kebijakan RPJM: Menyempurnakan peraturan ketenagakerjaan Kebijakan dari sisi permintaan (melalui investasi) Meningkatkan kualitas SDM Memperbarui program-program perluasan kesempatan kerja Memperbarui kebijakan migrasi tenaga kerja Menyempurnakan kebijakan program pendukung pasar kerja

Yang direncanakan: 1. Menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya 2. Memudahkan pekerja berpindah ke pekerjaan yang produktivitasnya lebih tinggi 3. Meningkatkan kesejahteraan peklerja informal

Tantangan: 8. Globalisasi 9. Desentralisasi

Dukungan: Pasar kerja yang luwes

20

Output Estimasi SVAR


DLW3(-1) DLW3 0.777217 (0.18046) [ 4.30682] -0.657124 (0.25175) [-2.61018] -0.336603 (0.24511) [-1.37328] -0.003613 (0.03433) [-0.10522] -0.017174 (0.03400) [-0.50506] -0.006790 (0.03461) [-0.19616] -2.440967 (1.18120) [-2.06651] 3.976995 (1.20011) [ 3.31385] -1.946991 (1.35988) [-1.43173] 0.217173 (0.05083) [ 4.27231] 0.686487 0.558232 0.012005 0.023359 5.352516 80.80521 -4.425326 -3.967283 0.173265 0.035145 DLPDB 0.036664 (1.06710) [ 0.03436] 0.534504 (1.48866) [ 0.35905] 1.055408 (1.44936) [ 0.72819] 0.006989 (0.20303) [ 0.03442] -0.195376 (0.20107) [-0.97171] -0.304052 (0.20467) [-1.48558] -1.892443 (6.98464) [-0.27094] -7.762241 (7.09645) [-1.09382] -5.360016 (8.04121) [-0.66657] -0.143709 (0.30058) [-0.47810] 0.168013 -0.172345 0.419745 0.138128 0.493636 23.93545 -0.870966 -0.412923 0.073195 0.127572 1.69E-10 5.48E-11 241.8143 -13.23840 -11.86427 DUNEMP_RATE 0.102674 (0.03205) [ 3.20311] -0.050132 (0.04472) [-1.12108] -0.034701 (0.04354) [-0.79703] -0.007062 (0.00610) [-1.15803] 0.001137 (0.00604) [ 0.18831] -0.005024 (0.00615) [-0.81721] -0.152370 (0.20981) [-0.72623] 0.539994 (0.21317) [ 2.53316] 0.167469 (0.24155) [ 0.69331] -0.000976 (0.00903) [-0.10812] 0.522572 0.327260 0.000379 0.004149 2.675579 136.1038 -7.881487 -7.423445 0.002169 0.005059

DLW3(-2)

DLW3(-3)

DLPDB(-1)

DLPDB(-2)

DLPDB(-3)

DUNEMP_RATE(-1)

DUNEMP_RATE(-2)

DUNEMP_RATE(-3)

R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent

Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion

21

Stasioneritas Data yang Digunakan


14 13 12 11

.32 .28 .24 .20

10 9 8 7 1970

.16 .12 .08 1970

1975

1980

1985

1990 LW3

1995

2000

2005

1975

1980

1985

1990 DLW3

1995

2000

2005

14.4 14.0 13.6 13.2 12.8 12.4 12.0 11.6 11.2 1970

.6 .5 .4 .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 1970

1975

1980

1985

1990 LPDB

1995

2000

2005

1975

1980

1985

1990 DLPDB

1995

2000

2005

.10 .09 .08

.020 .016 .012

.07 .06 .05 .04

.008 .004 .000

.03 .02 1970

1975

1980

1985

1990

1995

2000

2005

-.004 1970

1975

1980

1985

1990

1995

2000

2005

UNEMP_RATE

DUNEMP_RATE

22

Anda mungkin juga menyukai