Anda di halaman 1dari 12

HUKUM-HUKUM HAID

Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:
1. SHALAT. Diharamkan bagi wanita yang sedang haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunnat, dan jika ternyata mengerjakan shalat, maka shalatnya tidak sah. Tidak wajib baginya mengerjakan shalat kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk mengerjakan satu rakaat sempurna, baik pada awal atau akhir waktunya. Contoh pada awal waktu, seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan waktu sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat maghrib tersebut setelah suci, karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum datangnya haid. Adapun contoh pada akhir waktu: seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat subuh tersebut setelah bersuci, karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat. Namun jika wanita yang haid mendapatkan sabagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; seperti kedatangan haid -pada contoh pertama sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid pada contoh kedua sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:


Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu (Muttafaq alaih).

2.

PUASA

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunnat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha puasa yang wajib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha:

- -
Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat (Muttafaq alaih).

Jika seorang wanita kedatangan haid ketika berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang Maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu, jika puasa tersebut puasa wajib. Namun jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelumnya, tetapi darah baru keluar setelah Maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempurna dan tidak batal, alasannya, darah yang masih dalam rahim belum ada hukumnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika ditanya tentang wanita yang

bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? beliaupun menjawab:

"Ya, jika wanita itu melihat adanya air.

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan air, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya, sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu anha:


Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berada dalam keadaan junub karena jima, bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Muttafaq alaih).

3.

THAWAF.

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid melakukan thawaf di Kabah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidak sah thawafnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Aisyah:

Lakukanlah apa saja yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Kabah sebelum kamu suci.

Adapun kewajiban lainnya seperti sai antara Shafa dan marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji dan umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid langsung setelah thawaf atau di tengah-tengah melakukan sai, maka tidak apa-apa hukumnya.
4. THAWAF WADA

Jika seorang wanita mengerjakan seluruh manasik haji dan umrah, lalu datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai batas waktu pulang, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada. Dasarnya hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma:

Diperintahkan kepada jamaah haji saat-saat terakhir bagi mereka berada di baitullah (melakukan thawaf wada), hanya saja hal ini tidak dibebankan kepada wanita yang sedang haid. (Muttafaq alaih). Dan tidak disunnatkan bagi wanita yang sedang haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdoa. karena hal ini tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan, menurut ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah Radhiyallahu anha ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya: kalau demikian, hendaklah ia berangkat (hadits muttafaq alaih ) . Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.

Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita yang sedang haid, dan dilakukan setelah suci.

5.

BERDIAM DALAM MASJID

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

:
Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid tetapi wanita yang sedang haid menjahui tempat shalat (Muttafaq alaih).

6. JIMA ( SENGGAMA)
Diharamkan bagi suami melakukan jima dengan istrinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi istri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta'ala:


Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: haid itu suatu kotoran: oleh sebab itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci" (QS. Al Baqarah [2]: 222). Yang dimaksud dengan " dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluarnya darah haid, yaitu: farji (vagina).

7. TALAK
Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:


Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya ( yang wajar)". (QS. Ath Thalaq [65]: 1).

Maksudnya, istri-istri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli. Sebab jika seorang istri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut apakah tidak hamil, jika ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan jika tidak hamil maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi suami mentalak istrinya sehingga jelas permasalah tersebut.
Jadi mentalak istri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Maka Nabipun marah dan bersabda:


Suruh ia merujuk istrinya kemudian mempertahankan-nya sampai ia suci, lalu haid, lalu suci lagi, setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli, karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak istri.

7. 'IDDAH TALAK DIHITUNG DENGAN HAID


Jika seorang suami menceraikan istri yang telah digauli atau berkumpul dengannya, maka si istri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil, hal ini berdasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta'ala:


Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru" (QS.Al Baqarah [2]: 228).

Tiga kali quru artinya tiga kali haid. Tetapi jika istri dalam keadaan hamil maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:


Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya... (QS. Ath Thalaq *65+: 4). 8. KEPUTUSAN BEBASNYA RAHIM.

Yakni bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan, selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah. Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (istri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang baru itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati. Namun jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan, karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.
10 . KEWAJIBAN MANDI

Wanita yang lagi haid, jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat" (HR. Al Bukhari).

Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membasuh seluruh anggota badan dengan air sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. Yang lebih utama, adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi shallallahu alaihi wa sallam tatkala ditanya oleh Asma' binti sahl tentang mandi haid, beliau bersabda:

: - : :
Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air ke bagian atas kepala dan menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada

anggota badannya, setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. Asma bertanya: bagaimana bersuci dengannya? Nabi menjawab: Subhanallah. Maka Aisyah menerangkan dengan berkata: Ikutilah bekas-bekas darah. (HR. Muslim). Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam shahih Muslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

: :
Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepasnya untuk mandi junub? menurut riwayat lain: untuk (mandi) haid dan junub? Nabi bersabda: Tidak, cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu) lalu kau guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci.

TARIF/PENGERTIAN ISTIHADHAH Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah-nya terhadap Shahih Muslim mengatakan : Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17. Lihat pula Fathul Bari 1/511)

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat yang terputus (Lihat Jami li Ahkamil Quran 3/57) As Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memberikan definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus selamalamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Aisyah radhiallahu anha, ia berkata :

Berkata Fathimah bintu Abi Hubaisy kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci . (HR. Bukhari no. 306, 328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain : Aku istihadlah tidak pernah suci . Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya : Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras . (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya) (Lihat Kitab Asy Syaikh Al Utsaimin rahimahullah : Risalah fid Dimaith Thabiiyyah Lin Nisa halaman 40)

HUKUM-HUKUM ISTIHADLAH Hukum wanita yang istihadlah sebagaimana hukum wanita yang suci, tidak ada bedanya kecuali pada hal berikut ini :

Pertama : Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah. Kedua : Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah Taala berfirman :

Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid. (Al Baqarah : 222) Dalam ayat di atas, Allah Taala hanya menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa halaman 50)

Apakah Darah Nifas itu?? Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi, maka itu bukan darah nifas. Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya. Perlu ukhty ketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai dari hari pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari. Sebagaimana hadits dari Ibnu Masud sradhiyallahu anhu , bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. (HR. Bukhari dan Muslim) Menurut Ibnu Taimiyah, Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen), tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban. (kitab Syarhul Iqna) Secara ringkas dapat disimpulkan beberapa hal untuk mengenali darah nifas: 1. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum, bersamaan atau sesudah melahirkan 2. Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti dengan proses kelahiran 3. Bayi yang dilahirkan/ dikeluarkan sudah berbentuk manusia (terdapat kepala, badan dan anggota tubuh lain seperti tangan dan kaki, meskipun belum sempurna benar) Lama Keluarnya Darah Nifas Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima Ath-Thabiiyah lin Nisa mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.

Adapun Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya, yaitu empat puluh hari. Pendapat beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu anha. Ummu Salamah radhiyallahu anha berkata, Kaum wanita yang nifas tidak shalat pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selama empat puluh hari. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih). Waktu empat puluh hari dihitung sejak keluarnya darah, baik darahnya itu keluar bersamaan, sebelum atau sesudah melahirkan. Pendapat yang kuat, insyaa Allah, pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal lama waktu nifas. Waktu empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum wanita. Akan tetapi apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah suci, maka ia wajib mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi. Mengenai banyaknya darah, juga tidak ada batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah nifas masih keluar maka sang wanita belum wajib mandi (bersuci). Secara ringkas, ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas: 1. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari dan tidak keluar lagi setelah itu. Maka sang wanita wajib mandi (bersuci) dan kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti shalat dan puasa, dll. 2. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, akan tetapi kemudian darah keluar lagi sebelum hari ke-40. Maka, jika darah berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan puasa. Jika darah keluar, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, bila berhentinya darah kurang dari sehari, maka tidak dihukumi suci. 3. Darah nifas terus keluar dan baru berhenti setelah hari ke-40. Maka sang wanita harus mandi (bersuci). 4. Darah terus keluar hingga melebihi waktu 40 hari. Ada beberapa kondisi: 1. Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid (berhentinya darah nifas bertepatan waktu haid), maka sang wanita tetap meninggalkan shalat dan puasa. Darah yang keluar setelah 40 hari dihukumi sebagai darah haid. Sang wanita baru wajib mandi (bersuci) setelah darah haid tidak keluar lagi. 2. Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak bertepatan dengan kebiasaan masa haid, ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut ulama yang berpendapat bahwa lama maksimal nifas adalah 40 hari, menilai darah yang keluar setelah 40 hari sebagai darah fasadh (penyakit) yang statusnya adalah sebagaimana istihadhah. Sedangkan menurut ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal lama nifas, mereka menilai darah yang keluar setelah 40 hari tetap sebagai darah nifas. Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah. Akan tetapi, jika ingin berhati-hati, setelah 40 hari dinilai suci. Sehingga sang wanita bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa, meski darah tetap keluar. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada 2 keadaan:

Ada tanda bahwa darah akan berhenti/ makin sedikit. Maka sang wanita menunggu darah berhenti keluar, baru kemudian mandi (bersuci) Ada kebiasaan dari kelahiran sebelumnya, maka itu yang dipakai. Misal, sang wanita telah mengalami beberapa kali nifas yang lamanya 50 hari. Maka batasan ini yang dipakai.

Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja yang diharamkan bagi wanita yang haid. Antara lain, 1. Sholat. Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan mereka tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya alMuhalla) 2. Puasa. Wanita yang sedang nifas tidak boleh melakukan puasa wajib maupun sunnah. Akan tetapi ia wajib mengqadha puasa wajib yang ia tinggalkan pada masa nifas. Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha, Ketika kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat. (Muttafaq alaih) 3. Thawaf. Wanita haid dan nifas diharamkan melakukan thawaf keliling kabah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidah sah thawafnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu anha, Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di kabah sampai kamu suci. (HR. Bukhari dan Muslim) 4. Jima. (lihat sub judul Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas) 5. Tidak bleh diceraikan. Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas. Allah Taala berfirman, yang artinya, Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (dengan wajar). (Qs. ath-Thalaq: 1) Hukum-hukum Seputar Nifas Tidak ada perbedaan hukum antara haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini: 1. Iddah Apabila wanita tidak sedang hamil, masa iddah dihitung dengan haid, bukan dengan nifas. Sebagaimana firman Allah Taala, Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (Qs. al-Baqarah: 228) Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dimaksud quru adalah haid, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung berdasarkan haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan, masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami menceraikan istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang istri mendapat 3 kali haid. 2. Masa Ila Ila adalah sumpah seorang laki-laki untuk tidak melakukan jima terhadap istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta untuk berhubungan, maka sang suami harus memilih antara jima atau bercerai. Masa haid termasuk hitungan masa ila, sedangkan masa nifas tidak. Jadi, apabila seorang suami bersumpah untuk tidak berjima dengan istrinya, sedangkan istrinya sedang dalam keadaan nifas, maka masa ila ditetapkan empat bulan ditambah masa nifas. Setelah masa itu,

bila sang istri meminta untuk melakukan jima, sang suami harus memilih apakah jima atau bercerai. 3. Balighnya seorang wanita dihitung dari saat haid pertama kali, bukan nifas.

Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, Menggauli wanita nifas sama halnya dengan wanita haid, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama. (Lihat Majmu Fatawa) Allah Taala berfirman, yang artinya, Mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid, maka katakanlah, Bahwa haid adalah suatu kotoran, maka janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. (Qs. al-Baqarah: 222) Seorang suami boleh sekedar bercumbu dengan istri yang sedang nifas asal tidak sampai jima. Akan tetapi bila sampai terjadi jima, para ulama berselisih pendapat apakah wajib membayar kaffarah (denda) ataukah tidak (Lihat al-Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah). Pendapat yang lebih kuat, insya Allah, wajib membayar kaffarah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas sradhiyallahu anhu . Dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam , ketika berbicara tentang seorang suami yang mencampuri istrinya di waktu haid, Rasulullah bersabda, Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh dinar. (Shahih Ibnu Majah no:523, Aunul Mabud 1:445 no:261, Nasaai I:153, Ibnu Majah 1:210 no:640. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani) Adapun apabila seorang wanita telah suci dari nifas sebelum 40 hari, kebanyakan ulama berpendapat bahwa suami tidak dilarang untuk menggaulinya. Dan inilah pendapat yang kuat. Karena tidak ada dalil syari yang melarangnya. Riwayat yang ada hanyalah dari Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata, Jangan engkau dekati aku! Akan tetapi, ucapan Utsman tersebut bukan berarti seorang suami terlarang menggauli istrinya. Sikap Utsman tersebut mungkin timbul karena kehati-hatiannya, yaitu khawatir istrinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau hal lain. (Lihat al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz) Karena itu, apabila pada diri seorang suami atau istri timbul keragu-raguan, maka hendaklah memastikan dahulu, apakah sang istri benar-benar telah suci dari darah nifasnya. Karena secara medis, jima aman dilakukan bila sang istri telah melewati masa nifas, kecuali bila saat itu sang istri langsung mengalami haid, terjadi perdarahan, atau sedang menjalani terapi tertentu. Apabila masih ragu, hendaklah berkonsultasi dengan dokter. Apakah kondisi sang istri telah normal dan benar-benar pulih secara medis sehingga bisa dicampuri oleh suaminya. Karena dalam hal ini kondisi setiap wanita berbeda-beda. Tidak selayaknya seorang muslim melakukan hal yang berbahaya dan membahayakan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai