Anda di halaman 1dari 13

Kejang Demam Sederhana

Roykedona Lisa Triksi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta

Pendahuluan Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2, yaitu kejang demam sederhana dan kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang demam fokal, lebih dari 15 menit, atau berulang dalam 24 jam. Pada kejang demam sederhana kejang bersifat umum, singkat, dan hanya sekali dalam 24 jam. Kejang demam merupakan masalah yang paling lazim pada anak, dengan prognosis yang baik secara seragam. Namun, kejang demam dapat menandakan infeksi akut serius yang mendasari seperti sepsis aatau meningitis bakteria sehingga setiap anak harus diperiksa secara cermat dan secara tepat diamati mengenai penyebab demam yang menyertai.1 Sesuai dengan skenario, seorang anak perempuan 3 tahun dengan kejang-kejang di seluruh tubuhnya 30 menit yang lau. Maka dari itu, untuk mengetahui secara lengkap dan jelas, penulis akan membahas tentang kejang demam sederhana mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis dan lain sebagainya.

Alamat korespondensi: Roykedona Lisa Triksi (102011207) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email : roykedona@gmail.com
1

Anamnesa Menanyakan riwayat penyakit disebut Anamnesa. Anamnesa berarti tahu lagi, kenangan. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis. Mencatat (merekam) riwayat penyakit, sejak gejala pertama dan kemudian perkembangan gejala serta keluhan, sangatlah penting. Perjalanan penyakit hampir selalu khas untuk penyakit bersangkutan.2 Anamnesis dilakukan biasanya dengan alloanamnesis, yaitu dengan menanyakan kepada orangtua atau pengasuh yang membawanya datang ke dokter atau kepada si anak tersebut jika dia mengerti apa yang dimaksud.3 1. Waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang 2. Sifat kejang (fokal atau umum) 3. Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik) 4. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis) 5. Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik turun) 6. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE) 7. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam atau epilepsi) 8. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi) 9. Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan 10. Trauma kepala

Pemeriksaan Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik. Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan fisik namun, bagi penyakit yang tidak memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan pemeriksaan laboratorium (diagnosis laboratorium). 1. Pemeriksaan Fisik Dari pemeriksaan umum dan fisik sering didapat keterangan keterangan yang menuju ke arah tertentu dalam usaha membuat diagnosis. Pemeriksaan fisik

dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran, tanda-tanda vital (TTV), pemeriksaan mulai dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak yaitu kaki. Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa hal berikut:3 Tanda Vital Pemeriksaan Fokus Infeksi Melihat apa tonsil memerah atau tidak. Apakah gendang telinga hipereremi atau tidak. Apakah ada ruam kulit atau tidak

Tanda Rangsang Meningeal Kaku kuduk (Nuchal rigidity) Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menepel pada dada. Brudzinski I (Brudzinskis neck sign) Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan lainnya di dada pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien difleksikan ke dada secara pasif. Bila terdapat rangsang meningeal maka kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan lutut. Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign) Fleksi tungkai pasien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya ada sendi panggul dan sendi lutut. Kernig Penderita dalam posisi terlentang dilakukan fleksi tungkai atas tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.

Gambar 1. Kernig dan Brudzinski I


Hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut: KU aktif, compos mentis, lain-lain dalam batas normal Kaku kuduk -, brudzinski I&II -, babinsky -, kernig -, saraf kranial dalam batas normal

2. Pemeriksaan Penunjang Kegunaan dari pemeriksaan penunjang adalah untuk keakuratan diagnosis suatu penyakit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak yang mengalami demam dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang perlu dilakukan jika didapatkan karakteristik khusus pada anak yaitu:4 Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk menyingkirkan meningitis terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Berdasarkan penelitian yang telah diterbitkan, cairan cerebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang: -Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk). -mengalami complex partial seizure. -Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya). -Kejang saat tiba di IGD. -Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal. -kejang pertama setelah usia 3 tahun. Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem sarap pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotikk sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk dilakukan. EEG
4

Pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.

Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis.4 Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.3 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit., kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin. Pemeriksaan Imaging

Pemeriksaan imaging (CT Scan atau MRI) dapat dindikasikan pada keadaan: a. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala. b. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik). c. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior membonjol, paresis saraf otak VI, edema papil). Diagnosis Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk menangani suatu penyakit. Proses diagnosa adalah proses yang dilakukan seorang ahli kesehatan untuk menentukan jenis penyakit yang diderita oleh pasien, kemudian menentukan diagnosis penyakit pasien tersebut sehingga dapat memberi pengobatan yang tepat dengan jenis penyakit (etiologik) maupun gejalanya (simptomatik).5 Diagnosa dilakukan berdasarkan prinsip bahwa suatu penyakit dapat dikenali dengan memperhatikan ciri gejala klinis pada tubuh pasien yang ditimbulkan penyakit tersebut. Keadaan penyakit yang diderita dapat juga di ukur dengan memperhatikan gejala klinis. I. Differential Diagnosis Differential diagnosis atau diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang dilakukan dengan membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda klinis penyakit lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami pasien, pasien bias dicurigai menderita beberapa penyakit seperti: a. Kejang Demam Kompleks Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004), membagi kejang demam menjadi dua: a. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut) Berlangsung singkat
5

Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal Tidak berulang dalam waktu 24 jam b. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang parsial Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara bangkitan kejang b. Epilepsi Merupakan kompleks gejala yang timbul akibat akibat gangguan fungsi otak yang gangguan fungsinya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai proses patologik. Epilepsi adalah gangguan kronik, dengan tanda utama adalah kejang spontan yang berulang. Gejala-gejala atau tanda-tanda penyakit ayan ini adalah apabila penyakit ini akan kambuh, penderita biasanya merasa pusing, pandangan berkunang-kunang, alat pendengaran kurang sempurna. Selain itu, keluar keringat berlebihan dan mulut keluar busa. Sesaat kemudian, penderita jatuh pingsan diiringi dengan jeritan. Semua uraturat mengejang, lengan dan tungkai menjulur kaku, tangan menggenggam dengan eratnya, acapkali lidah luka tergigit karena rahang terkatup rapat, si penderita sulit bernafas dan muka merah atau kebiru-biruan. Selama terserang ayan, biasanya mata tertutup dan akhirnya tertidur pulas lebih dari 45 menit. Apabila telah bangun dan ditanya, tidak lagi ingat apa-apa yang telah terjadi atas dirinya. Serangan ayan yang demikian itu senantiasa datang berulang-ulang. c. Meningitis Bakterialis Meningitis adalah infeksi ruang subarachnoid dan leptomeningen yang disebabkan oleh berbagai organism pathogen. Aspek penting yang harus dipertimbangkan mencakup usia, etnik, musim, factor pejamu, dan pola resistensi antibiotic regional di antara pathogen yang mungkin. Trias klasik gejala meningitis adalah demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Namun, pada anak di bawah dua tahun, kaku kuduk atau tanda iritasi meningen lain mungkin tidak ditemui. Perubahan tingkat kesadaran lazim terjadi, sebagian besar penderita mengalami letargi, iritabilitas, atau delirium. Pemeriksaan fisik mungkin memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningen kaku kuduk, tanda krenig dan Brudzinski yang positif. Pleositosis sering dijumpai pada
6

meningitis bakterialis, sel polimorfonuklear mendominasi dan biasanya melebihi 90% total. Hipoglikorakia biasanya ditemukan dengan kadar glukosa CSS biasnya kurang dari 30-50% kadar glukosa serum. Konsentrasi protein biasanya meningkat dalam 100-500mg/dL. Perwarnaan gram akan positif pada lebih dari 90% pasien.5

Tabel 1. Differential diagnosis

II.

Working Diagnosis Working Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Berdasarkan gejalagejala yang timbul dan hasil dari pemeriksaan fisik serta penunjang, dapat ditarik kesimpulan kalau pasien tersebut menderita kejang demam sederhana. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Mengenai definisi kejang demam ini masing-masing peneliti membuat batasanbatasan sendiri, tetapi pada garis besarnya hampir sama. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk
7

diagnosis kejang demam ialah 38C atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang tidak diketahui.3 Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi usia kurang dari 1 bulan tidak termasuk kejang demam.1

Etiologi Hingga kini belum diketahui dengan pasti penyebab kejang demam. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.6 Faktor risiko kejang demam adalah sebagai berikut:7 Demam Riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung Perkembangan terlambat Problem pada masa neonatus Anak dalam perawatan khusus Kadar natrium rendah Epidemiologi Diperkirakan 3% anak-anak dibawah usia 6 tahun pernah menderita kejang demam. Anak laki-laki lebih sering pada anak perempuan dengan perbandingan 1.4:1.0. Menurut ras maka kulit putih lebih banyak daripada kulit berwarna.6 Patofisiologi Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.3
8

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 C sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi , kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.3

Gambar 2. Patofisiologi Kejang Demam

Manifestasi Klinik Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengn kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis, dan lainlain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.6 Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti:8 1. Anak hilang kesadaran 2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
9

3. Sulit bernapas 4. Busa di mulut 5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan 6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat Komplikasi Kejang Berulang Epilepsi Hemiparesis (Kelumpuhan) Retardasi Mental, gangguan belajar dan perilaku, defisit koordiansi dan motorik dll.

Penatalaksanaan Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu: pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.7 1. Pengobatan fase akut Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik.7 Obat yang paling cepat untuk menghilangkan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Diazepam intrarektal dengan dosis 0,5-0,75mg/kgBB atau sebanyak 5 mg pada anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Bila kejang tidak berhenti diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahanlahan dengan kecpatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/kg/menit. 2. Mencari dan Mengobati Penyebab Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk meyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai mengalami meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbar harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.4

10

Gambar 3: Penatalaksanaan kejang demam sederhana Pencegahan Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu: 1. Profilaksis intermittent pada waktu demam: Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,50 C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam.7 2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan): Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus dengan fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40
11

mg/kgBB/hari.1 Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria ( termasuk poin 1 atau 2) yaitu: 1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan 2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti oleh kelainan neurologis sementara atau menetap. 3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung. 4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam. Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermittent yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.7 Prognosis Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian 0,46% dan 0,74%. 8 Kesimpulan Penyakit kejang demam merupakan penyakit yang paling sering menyerang pada bayi dan balita dan lebih banyak menyerang pada anak laki-laki. Yang jika tidak diobati dengan cepat dan baik akan meyebabkan gangguan pada syaraf dan berakibat pada terganggunya pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan balita. Maka berdasarkan keluhan utama, pemeriksaan fisik dan penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien menderita kejang demam sederhana.

12

DAFTAR PUSTAKA 1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku kuliah 2 ilmu kesehatan anak. Jakarta: Infomedika; 2007.h.847-54. 2. 3. Jong WD. Kanker, apakah itu? Jakarta: Arcan; 2005.h.104. Rudolf M, Levene M. Pediatric and child health. 2nd edition. United States: Blackwell Publishing; 2006.h.72-90. 4. Soetomenggolo S, Taslim IS. Buku ajar neurologis anak. Jakarta: BP. IDAI; 2003.h. 244-251. 5. Nelson WE, Behrman ER, Kliegman R, Arvin MA. Nelson ilmu kesehatan anak. Volume 2. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2012.h.1658-63, 1455-8. 6. Behrman. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-15. Jakarta : Kedokteran EGC; 2008.h 2053-67. 7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhan WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius FK UI; 2006.h.434-7. 8. Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali M, Putra TS. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-9. Jakarta: Infomedika Jakarta; 2005.h.850-4.

13

Anda mungkin juga menyukai