Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat). 1 Kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil. 2 Hal tersebut mengandung arti bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945), menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Penegakan keadilan berdasarkan hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan setiap lembaga kemasyarakatan. Secara kelembagaan, sejak tanggal 1 April 1999, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Polri telah dipisahkan sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Awaloedin Djamin, mengatakan, tanpa semangat perubahan yang demikian, kepercayaan publik atas perubahan fungsi dan peran kedua institusi dimaksud akan terus merosot. Sehingga dengan pemisahan
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.
2 1

Universitas Sumatera Utara

itu semakin dapat memperjelas peran dan fungsi TNI dan Polri dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. 3 Kondisi yang demikian, berimplikasi pada pandangan selama ini yang mengatakan TNI sebagai institusi atau pihak yang tidak bisa disentuh, tidak ada lagi pihak yang bisa diistimewakan, semua menjadi sama akan kedudukan, hak dan juga tanggung jawabnya. Salah satu cara TNI memperbaiki citranya adalah dengan mendekatkan diri terhadap masyarakat secara lebih terbuka dan membiarkan TNI untuk bisa dikontrol oleh masyarakat. Hal yang tidak kalah penting dilakukan TNI adalah membangun komunikasi dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi dimana proses check and balance merupakan suatu yang tidak bisa dihindari. 4 Pemisahan itu juga berimplikasi kepada diundangkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat UU TNI) pada tanggal 16 Oktober 2004 yang didalamnya ditegaskan berlakunya Peradilan Umum bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran tindak pidana yang tercantum dalam KUH Pidana seperti yang diamanatkan dalam Tap MPR No: VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri. Reformasi nasional Indonesia yang didorong oleh semangat bangsa Indonesia untuk menata kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik telah menghasilkan
Awaloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta: PTIK Press, 2006), hal. 493. Sebelum tahun 1999 ABRI terdiri dari TNI dan Polri, tetapi setelah tahun 1999 TNI dan Polri telah dipisahkan dari ABRI. Sebutan untuk Polri tetap digunakan akan tetapi untuk ABRI diganti dengan TNI. 4 http://www.pandusakti97.com/content/penyidik-bagi-anggota-tni-dalam-peradilan-umum, diakses tanggal 24 Mei 2011.
3

Universitas Sumatera Utara

perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan. Perubahan tersebut telah ditindaklanjuti antara lain melalui penataan kelembagaan sesuai dengan perkembangan lingkungan dan tuntutan tugas ke depan. Perubahan pada sistem kenegaraan berimplikasi terhadap TNI, yaitu pemisahan TNI dan Polri, yang menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-masing institusi sekaligus menjadi referensi yuridis dalam mengembangkan suatu undang-undang yang mengatur tentang TNI. 5 Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat TNI) dibangun dan dikembangkan dengan membentuk tentara yang profesional sesuai dengan kepentingan politik negara Indonesia. 6 TNI merupakan bagian dari masyarakat yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara terhadap ancaman dari negara lain. Ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. 6 Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UUTNI). Tentara profesional adalah tentara yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir bergerak, dan mahir menggunakan alat tempur, serta mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas. Untuk itu, tentara perlu dilatih dalam menggunakan senjata dan peralatan militer lainnya dengan baik, dilatih manuver taktik secara baik, dididik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi secara baik, dipersenjatai dan dilengkapi dengan baik, serta kesejahteraan prajuritnya dijamin oleh negara sehingga diharapkan mahir bertempur. Tentara tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Universitas Sumatera Utara

keputusan politik negara. Selain itu, TNI merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. TNI dididik dan dilatih untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang berat dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). TNI wajib mematuhi perintah atau komando dari atasan tanpa membantah dan wajib melaksanakan perintah tersebut. TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Peran, fungsi, dan tugas TNI dinyatakan secara tegas dan sebagai dasar pelaksanaannya dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. TNI sebagai manusia biasa sama dengan masyarakat umumnya, tidak luput dari bentuk pelanggaran dan kejahatan atau tindak pidana. Perbuatan atau tindakan dengan dalih atau bentuk apapun yang dilakukan oleh anggota TNI baik secara perorangan maupun kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan, bertentangan dengan undang-undang, peraturan kedinasan, disiplin, tata tertib di lingkungan TNI pada hakikatnya merupakan perbuatan atau tindakan yang merusak wibawa, martabat dan nama baik

Universitas Sumatera Utara

TNI yang apabila perbuatan tersebut dibiarkan, dapat menimbulkan ketidaktentraman dalam masyarakat dan menghambat pelaksanaan pembangunan. Setiap anggota TNI wajib tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu UU) No.39 Tahun 1947 tentang Hukum Pidana Tentara menyesuaikan Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934, No. 167) dengan keadaan sekarang (selanjutnya disingkat KUHPM), UU No.26 Tahun 1997 tentang Disiplin Militer Prajurit TNI, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan hukum Militer diterapkan kepada anggota TNI yang melakukan suatu tindak pidana yang merugikan kesatuan, masyarakat umum, dan negara yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi anggota TNI termasuk UU No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Tindak pidana dalam hal ini adalah tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan. Desersi merupakan salah satu tindak pidana militer murni. Dikatakan sebagai tindak pidana murni militer karena tindak pidana tersebut hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab KUHPM dan tindak pidana insubordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain. Tindak pidana insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan kekerasan yang ditujukan kepada atasannya atau komandannya. Tindakan nyata itu

Universitas Sumatera Utara

dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM. 7 Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak pidana desersi diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu: 1) Diancam karena desersi, militer: Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. Ke-3 yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2. 2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. 3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan. Rumusan pasal tersebut larangan bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas. Hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada diri anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa anggota TNI tersebut tidak berkeinginan lagi menjadi anggota militer. Seorang anggota militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan tanpa ada suatu alasan untuk menghindari bahaya perang dan
7

S.R. Siantury, Hukum Pidana Militer Indonesia, (Jakarta: Alumini AHM PTHM, 1985), hal.

337.

Universitas Sumatera Utara

menyeberang ke wilayah musuh atau dalam keadaan damai tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Desersi dilakukan terhadap perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk selama-lamanya. Sementara dalam kehidupan seharihari, seorang anggota militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana seharusnya berada menjalankan tugasnya. Ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat untuk menjalankan tugas dinas ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal yang sangat urgen dari kehidupan militer karena disiplin merupakan tulang punggung dalam kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai pelanggaran disiplin organisasi. 8 TNI AL pada hakikatnya sebagai lembaga yang bertugas untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, maka hukum harus ditegakkan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana desersi dalam lingkup militer.
Agita Kartika Ayuningtyas, Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Desersi Studi Kasus Putusan Pengadilan Militer III-12 Surabaya NOMOR: PUT/29K/PM.III-12/AD/II/2009, Tesis, (Surabaya: Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Surabaya, 2010), hal. 20.
8

Universitas Sumatera Utara

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai perkataan tindak pidana (strafbaar feit). 9 Dirujuk kepada Pasal 1 KUH Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu menyangkut segala sesuatu yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undangundang. Istilah strafbaar feit diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana. 10 Norma-norma yang dilanggar anggota TNI tersebut jelas diatur dalam berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu: Wetboek van Militair Strafrecht (Staatsblad 1934 Nomor 167 jo UU No.39 Tahun 1947) yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya ditulis KUHPM), Wetboek van Krijgstucht (Staatsblad 1934 Nomor 168 jo UU No.40 Tahun 1947) yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (selanjutnya ditulis KUHDM), UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesa (UU TNI), Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya. Pelanggaran terhadap berbagai peraturan terkait yang pelakunya anggota TNI dapat

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal), (Bogor: Politeia, 1988), hal. 28-29. 10 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.

Universitas Sumatera Utara

diselesaikan melalui sistem peradilan pidana militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tenang Peradilan Militer. 11 Penegakan hukum terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana desersi merupakan implikasi dari eksistensi negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Maka, diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas, dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Sebab, hal perbuatan desersi dapat merusak citra atau nama baik TNI pada umumnya dan khususnya TNI AL, dan perbuatan tersangka bertentangan dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI, serta Tri Sila TNI AL. Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dapat berupa tindak pidana murni militer yang didasarkan kepada peraturan terkait militer dan tindak pidana campuran yakni mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara pihak sipil dan pihak militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUHAP. Perkara koneksitas sebagaimana diatur dalam Pasal 198 s/d Pasal 203 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan Pasal 89 s/d Pasal 94 KUHAP. Pasal 198 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menegaskan bahwa:

Toetik Rahayuningsih, Peradilan Militer Di Indonesia Dan Penegakan Hukum Terhadap Pelakunya, (Surabaya: LPPM Universitas Airlangga, 2002), hal. 3-5.

11

Universitas Sumatera Utara

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ketentuan bunyi Pasal 198 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer di atas, substansinya sama dengan ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 89 ayat (1) KUHAP kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Berbeda dengan tindak pidana desersi yang hanya melibatkan anggota militer secara pribadi tanpa ada kaitannya dengan sipil. Tidaklah mungkin seorang sipil melakukan desersi karena tidak ada hubungannya dengan jabatan dalam militer. 12 Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk pula kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap keamanan negara; kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (desersi); kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang. 13
12

Munir, Rachland Nashidik, Fajrul Falaakh, Bambang Widjojanto, Riefqi Muna, Rudy Satriyo, Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, dan Edy Prasetyono, Nasakah Akademik Perubahan HUHAP Mengenai Koneksitas, (Jakarta: Indonesian Working Group on Security Sector Reform, 2002), hal. 3. 13 SR. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, 2010), hal. 3-4.

Universitas Sumatera Utara

Hukum harus ditegakkan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana desersi. Sebagaimana jumlah kasus tindak pidana Desersi pada tahun 2010 sebanyak 15 kasus yang umumnya melanggar Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana Pasal 87 ayat (2) karena desersi yang dilakukan dalam waktu damai. Jumlah kasus yang sudah diputus oleh Pengadilan Militer Medan sebanyak 9 (sembilan) kasus dan 4 (empat) kasus masih dalam proses Otmil I-02 Medan. 14 Tabel : 1 Nominatif Perkara Tindak Pidana Desersi di Pomal Lantamal I Belawan Periode Triwulan III Tahun 2010 Nama/Pangkat/ Korps/NRP/ Jabatan/Kesatuan/ Alamat Agus Hermari Samosir Rajawali Purba Tempat dan Tanggal Kejadian P. Brandan 07/03/2008 Belawan 03/03/2008 Belawan 01/12//2008 Sabang 01/09/2008 Belawan 11/05/2009 Dumai

No

Pasal yang Dilanggar Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM Pasal 87 ayat

Keterangan

Penjara 2 (dua) tahun Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer Penjara 2 (dua) bulan 15 (lima belas hari) Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer Penjara 1 (satu)

Singgih Wibowo

Ono Sutrisno

5 6

Fadli Dafid Juanda


14

Lampiran Daftar Nominatif Perkara Kejahatan/Pelanggaran Pidana di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut I tertanggal 30 September 2010.

Universitas Sumatera Utara

Syamsul Bahri

Anangsyah Mochammad Samlawi Teguh Margono

10

11

Olga Mardiat

12

Erwin Sahputra Tri Buana Sakti Sinaga

13

(1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM Pasal 87 ayat P. Brandan (1) ke 2 jo ayat 27/10/2008 (2) KUHPM Pasal 87 ayat Belawan (1) ke 2 jo ayat 22/07/2009 (2) KUHPM Pasal 87 ayat Lhokeumawe (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM Pasal 87 ayat Belawan (1) ke 2 jo ayat 21/04/2009 (2) KUHPM Pasal 87 ayat P. Brandan (1) ke 2 jo ayat 09/11/2009 (2) KUHPM Pasal 87 ayat Belawan (1) ke 2 jo ayat 22/03/2010 (2) KUHPM Pasal 87 ayat Belawan (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

24/11/2008

tahun dan dipecat dari Dinas Militer Penjara 5 (lima) bulan Penjara 1 (satu) tahun Penjara 1 (satu) bulan 20 (dua puluh) hari Dalam Proses Otmil I-02 Medan Dalam Proses Otmil I-02 Medan Dalam Proses Otmil I-02 Medan Dalam Proses Otmil I-02 Medan

Penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, dilakukan oleh Polisi Militer (Pom), khususnya kepada anggota TNI AL Lantamal I Belawan yang melakukan tindak pidana desersi yang menyangkut tindak pidana militer murni. 15 Penyidik dalam tindak pidana desersi terdiri dari Atasan yang Berhak Menghukum (selanjutnya disingkat Ankum), Polisi Militer Angkatan Laut (selanjutnya disingkat Pomal), dan Oditur Militer (selanjutnya disingkat Otmil).

Tindak pidana militer bersifat murni yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh anggota militer. Tindak pidana militer bersifat campuran yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang sudah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan lain (misalnya dalam KUH Pidana) kemudian diatur lagi dalam kitab undang-undang pidana militer terkait dengan adanya tindak pidana pidana.

15

Universitas Sumatera Utara

Hakikat pertahanan negara dan TNI sebagaimana Pasal 30 ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa usaha pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yaitu bahwa TNI merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. TNI sebagai kekuatan utama menurut UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara dimana bahwa TNI merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, dirasa penting untuk diteliti tentang Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Desersi yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Studi Kasus Desersi di Pomal Lantamal I Belawan).

B. Perumusan Masalah Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang diteliti adalah: 1. Apa faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi? 2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan? 3. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan?

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini sebagaimana permasalahan di atas adalah: 1. Untuk mengkaji faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi. 2. Untuk mengkaji pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan. 3. Untuk mengakji hambatan-hambatan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun secara praktis, manfaat tersebut adalah: 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum mengenai proses penyidikan, aturan pemberian sanksi, dan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI AL Lantamal I Belawan. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya, dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai TNI dan Peradilan Militer;

Universitas Sumatera Utara

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum khususnya aparat penegak hukum yakni Polisi Militer (Pom), Oditur (Jaksa Militer), dan Hakim Militer serta bermanfaat pula bagi Hakim Pengawas dan Pengamat (Wasmat) terhadap pola pembinaan narapidana TNI di Masmil.

E. Keaslian Penulisan Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Berdasarkan hasil penelusuran, ditemukan judul penelitian/tesis yang berjudul Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, oleh: Paul Sihombing, NIM: 067005037, permasalahan yang dibahas adalah: Pertama, menyangkut landasan Filosofis Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer? Kedua, menyangkut ketentuan perundang-undangan yang mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum? dan Ketiga, mengenai kewenangan Peradilan Militer dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negera. Sementara permasalahan di dalam penelitian ini dibahas adalah: Pertama, faktor-faktor yang menyebabkan Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi, Kedua, penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi, dan

Universitas Sumatera Utara

Ketiga, hambatan-hambatan apa yang ditemukan dalam penegakan hukum tindak pidana desersi di Lantamal I Belawan. Berdasarkan fokus pembahasan dalam penelitian ini, judul dan permasalahan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Salah satu upaya untuk menegakkan hukum bagi Angota TNI AL yang melakukan tindak pidana desersi adalah dengan mengoptimalkan Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) dan Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagaimana dimaksud dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia junto UU No.1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia menentukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara. Penegakan hukum militer dalam SPP dan SPPM harus melibatkan peran struktur hukum masing-masing institusi terkait dalam sistem hukum (legal system). Perlu dikaji dalam hal ini teori yang mendasarinya adalah teori legal sistem (legal system theory). Sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun

Universitas Sumatera Utara

menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. 16 Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. 17 Sistem hukum lebih jauh diartikan oleh Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, yang pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya. 18 Tiga komponen legal system menurut Lawrence M. Friedman, yaitu: 19 1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain; 2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan; 3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinankeyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. Hukum akan mampu dan efektif di tengah masyarakat, apabila instrumeninstrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang
R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169. 17 Ibid. 18 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151. 19 Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.
16

Universitas Sumatera Utara

penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistem sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya. 20 Ketiga elemen dalam sistem hukum di atas, teorinya berbeda dalam mencapai tujuan hukum antara hukum timur dan hukum barat. 21 Teori legal sistem berguna dalam menganalisis peran aparat penegak hukum di lingkungan militer. Sebagaimana dalam perspektif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU No.31 Tahun 1997), menegaskan bahwa Polisi Militer 22 (penyidik), Oditur 23 (penuntut), dan Hakim

Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204. 21 Ibid., hal. 212-213. Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan kepastian tetapi hanya menekankan pada tujuan yakni, Keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki kepastian. Tujuan hukum negara timur misalnya Jepang, tetap menggunakan kultur hukum aslinya. Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistem hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang pasti. Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni kepastian. 22 Pasal 1 ayat 11 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan.

20

Universitas Sumatera Utara

Militer 24 (melaksanakan kekuasaan kehakiman militer) adalah institusi yang berhak melakukan penegakan hukum terhadap anggota TNI khususnya anggota TNI AL Lantamal I Belawan yang melakukan tindak pidana. Peran ketiga institusi tersebut bekerja dalam sebuah sistem yang tidak sapat terpisahkan antara satu sama lainnya untuk mencapai tujuan tegaknya hukum militer. 25 Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemenelemen penting dalam penegakan hukum khususnya penegakan hukum militer, jika salah satu elemen dari tiga kompenen sistem hukum di atas, tidak bekerja dengan baik, berimplikasi kepada terganggunya elemen yang lain dalam sistem hukum tersebut, hingga pada gilirannya mengakibatkan hukum yang tidak efektif. Komponen-komponen sistem hukum di atas dipertegas oleh Soerjono Soekanto 26, yang merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.
Pasal 1 ayat 7 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. 24 Pasal 1 ayat (4) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan. 25 Mataramnews.com, Tanggal 20 Januari 2011. Dalam amanat tertulis yang dibacakan Kepala Staf Umum Panglima TNI Marsekal Madya TNI Eddy Hardjoko, mengatakan, sebagai salah satu unsur penegak hukum, Polisi Militer harus menampilkan dan mampu membangun citra positif demi mendukung proses transformasi dan reformasi hukum yang progresif di negeri ini. Proses penegakan hukum yang dilakukan dapat menggerakkan masyarakat untuk bertingkah laku sesuai hukum berlaku, dan sebaliknya penegak hukum dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi masyarakat dan seluruh personel TNI khususnya. Terkait itu, diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki sifat ksatria, bermental baik, bijaksana, dan jujur. 26 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.
23

Universitas Sumatera Utara

Terkait dengan bekerjanya ketiga elemen dalam sistem hukum peradilan militer, khususnya Polisi Militer sebagaimana Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 menegaskan bahwa: Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Dalam SPP terdiri dari Polisi Militer, Oditurat Militer, Peradilan, dan Masyarakat. Tugas Polisi Militer ditegaskan dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer, melakukan penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempatnya diperiksa. Polisi Militer atau Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal) harus berkoordinasi dengan intansi yang bertugas melakukan penuntutan di lingkungan TNI sebagaimana penegasannya diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.31 Tahun 1997 yaitu Oditurat (lembaga oditur) merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Setelah diteliti oleh oditur militer, apabila berkas perkara menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, telah memenuhi syarat, maka oditur

Universitas Sumatera Utara

militer menyerahkan kepada ketua pengadilan militer untuk dilakukan proses persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.31 Tahun 1997 menegasakan bahwa Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer Utama (selanjutnya disebut Hakim) adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan. Ketiga-tiga komponen/elemen di atas dalam legal system khusunya di lingkungan militer, menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat). Berarti dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem, 27 dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu penegakan hukum itu adalah Kepolisian sebagai penyidik. Tugas Polisi Militer dalam teori legal system, oleh UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengamanahkan tugas di bidang penyidikan sebagai penyidik atas tindak pidana. Secara yuridis, M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya tindak pidana yang

27

H. Ridwan Syahrani, Op. cit., hal. 169.

Universitas Sumatera Utara

terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak pidana. 28 Penyidikan sama dengan apsporing (Belanda), namun menyidik (apsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum. 29 Hubungan koordinasi ketiga institusi tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang secara organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait dalam sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka suatu sistem yang utuh terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu penyidik, penuntut, pengadilan (hakim) dan lembaga pemasyarakatan khususnya pemasayarakatan militer (Masmil). Tugas dan wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan bertalian satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu, maka hubungan koordinasi instansional dalam sub sitem tersebut dapat berupa: rapat kerja gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan penataran gabungan dan lain-lain. 30 Koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi saling mematuhi ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran proses penegakan hukum. Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur dalam sistem hukum yaitu: Pertama, Profesionalisme, yaitu merupakan unsur kemampuan dan
M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 109. 29 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 121. 30 M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 116.
28

Universitas Sumatera Utara

keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan Kedua, Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum. 31 Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain

semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum dalam sistem hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani perkara yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab kelalaian dan kekeliruan tersebut dalam sidang praperadilan. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi dalam hal melakukan litigasi dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 32 Jauh sebelumnya Plato, menyebutkan, ada 3 (tiga) kekuatan sosial yang sangat mempengaruhi stabilitas suatu negara. Tiga kekuatan sosial itu adalah: militer (angkatan bersenjata); kaum intelektual; dan kaum interpreneur (pengusaha). 33 Pembangunan di Indonesia dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 beserta amandemennya, apabila ketiga-tiga

Achmad Ali, Op. cit., hal. 204. Soerjono Soekanto, Op. cit., hal. 2. 33 Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.
32

31

Universitas Sumatera Utara

kekuatan sosial di atas dapat dijalankan sesuai tugas masing-masing institusi terkait.34 Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ketiga elemen (Polisi Militer, Oditur, dan Hakim Militer) dalam penegakan hukum harus bekerja sama idealnya sebuah sistem yang bekerja dalam sistem peradilan militer untuk memberikan sanksi yang sesuai kepada anggota TNI khususnya TNI AL yang melakukan tindak pidana. 2. Landasan Konsepsional Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut: a. Penegakan hukum adalah upaya hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk berperan dalam melaksanakan hukum dengan baik meliputi peran masing-masing institusi dalam sistem peradilan pidana. b. Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Tindak pidana dirujuk kepada asas legalitas dalam Pasal 1 KUH Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu menyangkut segala sesuatu yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-undang. Strafbaar feit diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana. 35

Ibid. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.
35

34

Universitas Sumatera Utara

c. Desersi adalah suatu tindak pidana dengan tidak beradanya seorang atau lebih anggota militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin. 36 d. Anggota TNI AL adalah anggota Tentara Nasional Indonesia 37 yang bertugas: melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. 38 e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik TNI dan/atau penyidik pidana umum dalam hal dan menurut cara yang dalam undang-undang (baik KUHAPMIL maupun KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. 39 f. Sanksi yang dimaksud mencakup menetapkan jenis sanksi, tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi
SR. Sianturi, Op. cit., hal. 257. Pasal 1 angka 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 38 Pasal 9 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 39 Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Petunjuk Pelaksana Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Jukal 17/IV2006/Tanggal 7 April 2006, hal. 4.
37 36

Universitas Sumatera Utara

pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama pentingnya. 40

G. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja dalam memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 41 Penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 42 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. 43 Metode penelitian hukum adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah hukum berdasarkan metode tertentu.

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 91 dan hal 92. Lihat juga: M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 17. Sanksi tindakan lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan sedangkan sanksi pidana lebih menekankan stelsel sanksi dalam hukum pidana yang menyangkut pembuat undang-undang. 41 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 42 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1. 43 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

40

Universitas Sumatera Utara

1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. 44 Sedangkan sifat penelitiannya adalah kualitatif. Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif ini adalah didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Wawancara dilakukan sebagai data data pendukung untuk memperkuat argumentasiargumentasi dan pemikiran-pemikiran dalam penelitian ini. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dibagi dalam 3 (tiga) bahan hukum, yaitu: 45 1. Bahan hukum primer, yaitu KUH Pidana, KUHPM, KUHAP, KUHAPMIL, UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/01/P/I/1984, tanggal 20 Januari 1984 tentang Organisasi Babinkum TNI. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. Penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif. 45 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.
44

Universitas Sumatera Utara

bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia). 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) dengan melakukan identifikasi data yang ada. Selanjutnya sebagai bahan pendukung dilakukan wawancara kepada pihak-pihak dan instansi terkait melalui studi lapangan (field research). Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh peraturan dalam perundangundangan terkait dengan tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL. Data tersebut kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. 46 4. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, dan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan yang relevan dengan permasalahan. Data yang dianalisis secara kualitatif

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.

46

Universitas Sumatera Utara

tersebut kemudian disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dianalisis. Data yang dianalisis tersebut akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya dinyatakan secara deduktif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai