Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

BUDAYA LOKAL JAWA DAN STRUKTUR SOSIAL KEAGAMAAN JAWA

Oleh : Adika Fitri Ningsih Meli Apriyanti Kuncoro Tri Pamungkas Seyawati Dwi Kusumaningrum Mizanul Arifin

Dosen pengampu : M. Sauki, M.A.

Pendidikan Biologi 2013 UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, yang telah memberi rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada kami kelompok 10 sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di yaumul qiyamah. Kami membuat makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Sejarah Kebudayaan Islam dengan membuat makalah tentang Budaya Lokal Jawa dan Struktur Sosial Keagamaan Masyarakat Jawa. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak dosen pembimbing M. Sauki, M.A. 2. Staf dan pegawai perpustakaan yang memberikan referensi buku sehingga mempermudah kami untuk menyusun makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami dengan terbuka akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Yogyakarta, 15 Desember 2013

Penyusun

DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR .......................................................................................................... SAMPUL DALAM ...................................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................................. i DAFTAR ISI................................................................................................................. ii BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2 C. Tujuan ................................................................................................ 2 BAB II : PEMBAHASAN ...................................................................................... 3 A. Budaya Lokal Jawa dari pandangan Teologis .................................... 3 B. Budaya Lokal Jawa dari Pandangan Kosmologis ............................... 3 C. Budaya Lokal Jawa dari Pandangan Etis ............................................ 4 D. Struktur Social Keagamaan Jawa ....................................................... 4 BAB III : PENUTUP ................................................................................................ 9 A. Kesimpulan ............................................................................................ 9 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 10

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Agama termasuk didalam nya islam, dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Ketika seorang ahli kebudayaan menjelaskan seluk beluk kebudayaan maka ia tidak akan dapat melepaskan diri dari unsur agama di dalamnya. Demikian pula ketika kehidupan beragama di jelaskan maka tidak mungkin dapat terlepas dari unsur kebudayaan.1 Hubunagn agama dan kebudayaan dapat digambarkan sebagai hubugan yang berlangsung secara timbal balik. Agama secara praktis merupakan produk dari pemahaman dan pengamalan masyarakat berdasarkan kebudayaan yang dimiliknya. Sedangkan kebudayaan selalu berubah mmengikuti agama yang diyakini oleh masyarakat. Jadi hubungan anatara agama dan budaya adaah dialogis.2 Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Nama-nama jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu juga jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegangan ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Fenomena ini terus berjalan hingga sekarang.

1 2

Pokja Akadmik, Islam dan Budaya Lokal YogyakartaPokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 13 Pokja Akadmik, Islam dan Budaya Lokal YogyakartaPokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 13

B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini adalah : 1. Bagaimana Budaya Lokal Jawa dan Struktur Sosial Keagamaan masyarakat Jawa dilihat dari
pandangan Teologis?

2. Bagaimana Budaya Lokal Jawa dan Struktur Sosial Keagamaan masyarakat Jawa dilihat dari
pandangan Kosmologis?

3. Bagaimana Budaya Lokal Jawa dan Struktur Sosial Keagamaan masyarakat Jawa dilihat dari
pandangan Etis?

4. Apa yang di maksud dengan Islam Abangan? 5. Apa yang di maksud dengan Islam Santri? 6. Apa yang di maksud dengan Islam Priyayi C. Tujuan Tujuan di buatnya makalah ini adalah untuk : 1. Mengetahui tentang Budaya Lokal Jawa dan Struktur Sosial Keagamaan masyarakat Jawa
dilihat dari pandangan Teologis

2. Mengetahui tentang Budaya Lokal Jawa dan Struktur Sosial Keagamaan masyarakat Jawa
dilihat dari pandangan Kosmologis

3. Mengetahui tentang Budaya Lokal Jawa dan Struktur Sosial Keagamaan masyarakat Jawa
dilihat dari pandangan Etis

4. Untuk mengetahui tentang islam Abangan 5. Untuk mengetahui tentang islam Santri 6. Untuk mengetahui tentang islam Priyayi

BAB II PEMBAHASAN

Budaya Lokal Jawa dari pandangan Teologis Kebudayaan lokal jawa yang kental dengan gelar gelar kebangsawanan menyebabkan orang jawa memanggil Tuhan dengan sebutan Gusti Allah. Memanggil nabi dengan sebutan Kanjeng Nabi Muhammad. Demikian juga dalam praktek-praktek keagamaan, nuansa jawanya sampai sekarang masih sangat kuat maka ketika terjadi proses islamisasi kebudayaaan jawa, pada saat yang sama terjadi pula Jawanisasi Islam, Sehingga terjadi ap ayang di sinkretisme agama.1 Dalam hal ini terjadi pula proses akulturasi yaitu penerimaan satu atau bebeapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Contohnya yaitu tradisi slametan yang di miliki oleh masyarakat jawa ketika islam datang tradisi tersebut masih tetap jalan dengan mengambil unsur usur islam terutama dalam doa - doa yang dibaca. 2 Terjadi pula proses asimilasi yaitu perpaduan dua atau lebih dari kebudayaan , kemudian menjadi satu kebudayaan tanpa adanya unsur unsur paksaan .contoh nya yaitu sunan kalijaga tokoh jawa yang berhasil mmembangun budaya baru di tanah jawa dengan memadukan unsur islam dan unsur jawa dalam menyebaran agama islam di jawa yaitu melalui wayang. 3

Budaya Lokal Jawa dari pandangan Kosmologis Pandangan kosmologis adalah Suatu pandangan yang merupakan upaya pemetaan dan positioning dirinya dalam lingkup ruang-waktu yang mengitarinya. Dalam teorema van Peursen, pandangan kosmologis ini merupakan keputusan yang diambil masyartakat sebagai strategi dalam memahami untuk menjalani kehidupan di bawah tekanan-tekanan fenomena dan kondisi yang melingkupinya. Strategi untuk memahami kondisi keterhimpitan yang tidak dimengertinya menjadi sesuatu yang sungguh dimengerti, yang melahirkan nalar budaya tertentu. Nalar budaya pun, pada akhirnya harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki hubungan interdepedensi dengan pandangan kosmologis yang hidup dalam masyarakat.

1 2

Pokja Akadmik, Islam dan Budaya Lokal YogyakartaPokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 14 Pokja Akadmik, Islam dan Budaya Lokal YogyakartaPokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 16 3 Pokja Akadmik, Islam dan Budaya Lokal YogyakartaPokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 17

Pandangan kosmologis, sebagai merupakan kristalisasi yang bersifat konseptual dari pengalaman masyarakat dalam memahami dan merespon penampakan dunia luar dirinya (alam), menentukan wujud prilaku dalam merespon alam dan lingkungannya. Seni, sebagai strategi kebudayaan, merupakan wujud respon terhadap alam dan lingkungannya. Seni merupakan prilaku simbolik masyarakat untuk menyelaraskan antara struktur prilaku alam dan lingkungannya dengan struktur pengalaman bathinnya. Dengan demikian, seni dan tradisi-tradisi lainnya dalam suatu masyarakat tidak bisa hanya dipahami dalam paradigma empirik, tanpa memandangnya sebagai dunia ketiga kehidupan manusia. Yaitu, dunia simbolik, dunia yang hidup dalam pikiran manusia. Dunia yang dianggap nyata oleh suatu masyarakat, secara apriori, akan tetapi bisa dianggap sebagai khayalan atau prilaku neurosis oleh masyarakat lain. Ekspresi kebudayaan, khususnya dalam dunia seni, bukan masalah benar atau salah, akan tetapi persoalan pemaknaan. Realibilitas suatu seni budaya tidak bisa dilihat dalam nalar rasional dan nalar empirik belaka, akan tetapi pada sejauh mana suatu masyarakat memberi makna dan menghayati-nya.

Budaya Lokal Jawa dari pandangan Etika Etika erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan oleh manusia sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan kehidupan social apa yang kita jalani

Struktur Sosial Keagamaan Masyarakat Jawa Ketika ditanya tentang keberagaman mereka, sebagian besar masyarakat Jawa secara otomatis akan menjawab, mereka adalah pengaut Agama Islam (koentjaraningra, 1984;31). Meskipun menuruut Ricklefs Masyarakat Jawa kadan di anggap muslim yang buruk namun dalam pandangan Ricklefs pernyataan ini tidak akan membantu kita dalam memahami bagaimana perkembangan agama di Jawa , apa saja alasan keunikan, atau dimana posisinya dalam sejarah islam atau agama secara umum ( rickfles 1979 :1000)1
1

Azyumardi Azra, Memahami Islam jawa Jakarta, (Pustaka Alfabet, 2011), hlm. 7

Sebagaimana yang dapat kita lihat

bersama, Geertz dalam Religion of Java

mendeskripsikan identitas muslim jawa dengan merumuskan trikotomi abangan, santri dan priyayi. Menurut greetz tradisi agama abangan, terdiri dari ritual ritual yang di namai slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap roh - roh, dan teori - teori serta praktik - praktik pengobatan tenung dan sihir.1 Kelompok santri di asosiasikan dengan islam yang murni. Ciri tradisi beragama kaum santri adalah pelaksanaan ajaran dan perintah perintah dasar agama islam secara hati - hati, teratur, dan juga oleh organisai sosial dan amal, serta islam politik yang begitu kompleks (Geertz, 190: 5-6). Namun dalam pandangan Geertz monotoisme murni moralisme yang ketat, perhatian yang ketat terhadap doktrin , dan eksklusivisme yang tidak toleran dari kelompok santri merupakan hal yang asing bagi masyarakat jawa ( Geertz, 1960 : 160). Hal ini menjelaskan mengapa santri tetap menjadi minoritas dalam masyarakat jawa.2 Priyayi mrupakan keturunan aristocrat ( kaum ningrat ) dan pegawai sipil kontemporer. Tradisi keberagaman mereka di cirikan oleh kehadiran unsur - unsur hindu dan Buddha yang berperan penting dalam membentuk pandangan dunia, etika serta tindakan sosial pegawai pegawai kearh putih yang berpendidikn barat sekaliun. 3 Hasil temuan Geerstz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagaman masyarakat Jawa, khususnya masyarakat muslimnya, meskipun dalam perkembangan selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang agama semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme yang merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik, bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa ikut mempengaruhi sikap keberagaman masyarakatnya. Sikap keberagaman seperti ini tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga di kalangan masyarakat kota, terutama di kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan Yogayakarta, Solo (Surakarta), dan kota-kota lainnya. Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep HinduBudha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama
1 2

Pokja Akadmik, Islam dan Budaya Lokal YogyakartaPokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 17 Pokja Akadmik, Islam dan Budaya Lokal YogyakartaPokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 17 3 Pokja Akadmik, Islam dan Budaya Lokal YogyakartaPokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 17

Islam.1 Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti percaya terhadap adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah SWT. Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh, yang dianggap dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang. Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sintekrisme) adalah percampuran agama Hindu-BudhaIslam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi kejawen adalah Manunggaling Kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam santri dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syariat dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.2 Mengenai sistem keyakinan Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainnya, yaitu percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, makhluk halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.3 Dalam tradisi orang Kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan istilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu

1 2

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 312. M.B. Rohimsyah. AR, Siti Jenar Cikal Bakal Paham Kejawen Pergumulan Tasawuf Versi Jawa, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006), hlm. 163. dalam Ridwan, Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, P3M STAIN Purwokerto Ibda, Vol.6 No. 1 (Jan-Jun, 2008), hlm. 91-109. 3 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 113-119.

yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat Kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.1 Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kebesaranNya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.2 Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: sedaya agami niku sae (semua agama itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji.3 Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para tokoh
1 2

Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 57-59. Suyanto, Pandangan Hidup Jawa, (Semarang: Dahana Prize, 1990), hlm. 144. 3 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 313.

yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut. Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara. Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya.1

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 347.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Agama termasuk didalam nya islam, dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Ketika seorang ahli kebudayaan menjelaskan seluk beluk kebudayaan maka ia tidak akan dapat melepaskan diri dari unsur agama di dalamnya. Demikian pula ketika kehidupan beragama di jelaskan maka tidak mungkin dapat terlepas dari unsur kebudayaan Dalam penelitiannya Clifford Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama: santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; abangan, masyarakat desa pemeluk animisme. Sikap Islam yang akomodatif dalam menerima unsur budaya lokal di Jawa telah mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Jawa. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Jawa akan terasakan begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak geografis, iklim, dan kesejukan udara Jawa yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Islam di Jawa akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Jawa akan menjauh jika terjadi kekerasan dan disharmoni. Dengan demikian sikap akomodatif dalam artinya yang positif menjadi prasyarat untuk memajukan Islam di Jawa.

Daftar Pustaka

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta: LESFI, 2002.

Suyanto, Pandangan Hidup Jawa, Semarang: Dahana Prize, 1990. Pokja Akademik, Islam dan Budaya Lokal, Yogyakarta : Pokja Akademik Uin Sunan Kalikaga: 2005

Pranowo, Bambang. Memahami Islam Jawa, Jakarta : Pustaka Alvabet : 2011 Islam dan Nilai Nilai Budaya okal oleh wahyudi

Anda mungkin juga menyukai