Anda di halaman 1dari 37

DISASTER NURSING

SGD 7

Thayakinta Pertiwi Kadek Dwi Pradnya Iswari Ni Made Dewi Ratnasari Ayu Ervyna Novita Sari Ni Luh Putu Devi Kusumayanti I Gede Ardi Suyasa Ni Wayan Yuliantari Ni Made Putri Karuniawati Kadek Ana Dwijayanti Ni Luh Putu Dian Yunita Sari Ni Putu Ayu Jayanti

1002105019 1002105040 1002105045 1002105051 1002105053 1002105057 1002105059 1002105065 1002105075 1002105083 1002105089

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2013

Learning task kamis, 5 Desember 2013


1. Sebutkan dan jelaskan jenis pendarahan dan jelaskan penanganannya

2. Sebutkan dan jelaskan fraktur dan jelaskan penanganannya 3. Jelaskan tentang syndrome kompartemen 4. Jelaskan tentang syok, jenis syok dan manifestasi klinis dari syok 5. Jelaskan tentang peningkatan tekanan intracranial, penyebab dan tanda klinisnya 6. Sebutkan dan jelaskan isi dari kotak P3K 7. Carilah gambar atau video tentang bandage dan splinting

Didemonstrasikan
Buatlah balutan pada cedera kepala Buatlah balutan pada trauma dada Buatlah balutan pada luka laserasi pada lengan \ ketiak Buatlah balutan pada luka amputasi Buatlah balutan mitela untuk menggantungkan lengan yang cedera Buatlah balutan pada fraktur klavikula Buatlah bidai pada fraktur femur sinistra

1. Jenis perdarahan dan penanganannya: A. Perdarahan Luar (terbuka) Jenis perdarahan ini terjadi akibat kerusakan dinding pembuluh darah disertai dengan kerusakan jaringan kulit, yang memungkinkan darah keluar dari tubuh dan terlihat jelas dari luka. Bila kita menjumpai perdarahan terbuka, makakita sebagai penolong harus berhati-hati karena darah korban bisa saja menular pada kita.

Berdasarkan rusaknya pembuluh darah yang mengalami gangguan, perdarahan luar diklasifikasikan menjadi: a) Perdarahan nadi (arteri) Plasma darah yang berasal dari pembuluh nadi keluar menyembur sesuai dengan denyut nadi dan berwarna merah terang karena masih kaya oksigen (O2). Banyaknya plasma darah yang keluar dipengaruhi tekanan sistoloik, bila tekanan menurun maka pancaran darah berkurang. Hal inilah yang membuat perdarahan arteri sulit dikendalikan, sehingga perlu pemantauan dan pengendalian ekstra sepanjang perjalanan menuju fasilitas kesehatan. b) Perdarahan balik (vena) Plasma darah yang berasal dari pembuluh balik keluar mengalir dan berwarna merah gelap. Pendarahan jenis ini mudah untuk dikendalikan karena tekanan dalam pembuluh balik lebih rendah dari pada tekanan luar. c) Perdarahan kapiler Pendarahan berasal dari pembuluh kapiler, darah yang keluar merembes perlahan. Hal ini dikarenakan tekanan pembuluh darah ini sangat kecil dibandingkan pembuluh arteri dan vena. Warna plasma darah yang keluar bervariasi antara merah terang seperti darah arteri dan merah gelap sepertidarah vena. Perdarahan luar pada dasarnya bisa dikendalikan dengan 4 cara berikut: a) Tekanan langsung di tempat perdarahan Cara ini adalah yang terbaik untuk perdarahan luar pada umumnya. Caranya adalah dengan menggunakan setumpuk kasa steril atau kain bersih biasa,tempat perdarahan itu ditekan. Tekanan tersebut harus dipertahankan sampai terhenti atau sampai pertolongan yang lebih lanjut (pertolongan olehtenaga medis) dapat di berikan. Penekanan ini dilakukan selama 15-20 menit atau sampai terfiksasi sehingga tidak ada lagi

perdarahan. Kasa boleh dilepas apabila kasa sudah terlalu basah oleh darah dan perlu diganti denganyang baru. Kemudian kasa tersebut di tutup dengan dengan balutan yang menekan, dan bawa penderita ke rumah sakit. b) Elevasi (dilakukan bersamaan penekanan) Tindakan ini hanya berlaku untuk perdarahan di daerah alat gerak saja.Tinggikan anggotan badan yang berdarah lebih tinggi dari jantung. Ini akan menyebabkan daya tarik bumi mengurangi tekanan darah, sehingga memperlambat perdarahan. Jangan menggunakan metode ini bila ada indikasi cedera otot rangka dan benda tertancap. c) Tekanan pada tempat-tempat tertentu Tempat-tempat yang di tekan adalah hulu (pangkal) pembuluh nadi yang terbuka. Jadi tujuan dari penekanan ini adalah untuk menghentikan aliran darah yang menuju ke pembuluh nadi yang cidera. Perhatikan gambar berikut, garis garis panah menunjukkan arah aliran darah di dalam pembuluh nadi, tempat-tempat yang ditekan terletak diantara jantung dan tempat luka.

Cara lain yang dapat membantu menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut : Imobilisasi dengan atau tanpa pembidaian Kompres dingin Metode Torniket Penggunaan metode Torniket: Torniket adalah balutan yang menjepit sehingga aliran darah di bawahnya terhenti sama sekali. Sehelai pita kain yang lebar, pembalut segitiga yang di lipat-lipat, atau sepotong ban dalam sepeda dapat digunakan untuk keperluan ini. Panjang torniket harus cukup untuk dua kali melilit bagian yang hendak di balut. Tempat yang paling baik untuk memasang torniket ini adalah lima jari di bawah ketiak (untuk perdarahan di lengan) dan lima jari di bawah lipat paha (untuk perdarahan di kaki). Cara menggunakan torniket ini adalah: 1) Lilitkan torniket di tempat yang dikehendaki. Lebih bagus lagi apabila sebelumnya dialasi dengan kain atau kain kasa untuk mencegah timbulnya lecet pada kulit yang terkena torniket langsung.

2) Apabila menggunakan kain maka ikatkan dengan sebuah simpul hidup,kemudian selipkan sebatang kayu di atas simpul tersebut. Selanjutnya diikatlagi dengan simpul air untuk mengencangkan torniket, tetapi jangan diputar terlalu keras, karena dapat melukai jaringan-jaringan di bawahnya. 3) Tanda-tanda apabila torniket ini sudah dapat memperkecil denyut nadi bagian tubuh yang berada di bawah torniket, akan terlihat dari warna kulitdi sekitar daerah tersebut menjadi kekuningan. 4) Untuk memudahkan pengusungan, perlihatkan torniket, jangan di tutup dengan selimut. Selain itu setiap 10 menit torniket harus dikendurkan selama 30 detik, untuk memberi kesempatan darah memberi makanan-makanan ke jaringan di bawah torniket tersebut. Sementara torniket kendor,luka dapat ditekan dengan kasa steril. 5) Penderita yang ditorniket harus segera dikirim ke rumah sakit, untuk memperoleh pertolongan selanjutnya. B. Pendarahan Dalam (tertutup) Jenis perdarahan ini terjadi akibat kerusakan dinding pembuluh darah tetapitidak disertai dengan kerusakan jaringan kulit, yang memungkinkan darah tidak keluar dari tubuh dan tidak terlihat jelas seperti pada luka memar. Perdarahan dalam umumnya disebabkan oleh benturan tubuh korban dengan benda tumpul, ataukarena jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, ledakan dan lain sebagainya. Perdarahan dalam ini juga bevariasi mulai dari yang ringan hingga yang dapat menyebabkan kematian. Mengingat perdarahan dalam berbahaya dan tidak terlihat (tersamar), maka penolong harus

melakukan penilaian dari pemeriksaan fisik lengkap termasuk wawancara dan analisa mekanisme kejadiannya. Penatalaksanaan pada pendarahan dalam: 1) Baringkan penderita 2) Periksa dan pertahankan A-B-C (Air Breath Control) 3) Berikan oksigen bila ada 4) Rawat sebagai penderita syok 5) Jangan memberikan makan dan minum sementara 6) Jangan lupa menangani cedera atau gangguan lain 7) Segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat

2. Fraktur dan penanganannya: A. Definisi Fraktur adalah gangguan kontinuitas yang terjadi ketika tulang mendapat tekanan yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorbsinya dan dapat tejadi juga injuri jaringan lunak disekitarnya. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang

umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Carpenito (1999), menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price, 1995). Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999). B. Klasifikasi a. Berdasarkan sifat fraktur. 1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit/tanpa cidera jaringan lunak sekitarnya Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartement. 2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. a) Derajat I luka kurang dari 1 cm

kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk. fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan. Kontaminasi ringan.

b) Derajat II Laserasi lebih dari 1 cm Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse Fraktur komuniti sedang.

c) Derajat III Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur. 1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang. 2). Fraktrur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti: a) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya. b) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma. 1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.

3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. 4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah. 1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. 1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh. 2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan

overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang. g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

C. Penatalaksanaan Fraktur a) Penatalaksanaan secara umum Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto. b) Penatalaksanaan kedaruratan Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen

patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. c) Penatalaksanaan bedah ortopedi Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan : Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah

Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin logam Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit. Amputasi : penghilangan bagian tubuh Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan logam atau sintetis Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi kontraktur fasia.

Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad (1998), sebelum menggambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitife. Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu : a. Recognition: diagnose dan penilaian fraktur

Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesa, pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan. b. Reduction

Tujuannya untuk mengembalikan panjang dan kesegarisan tulang. Dapat dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan traksimoval untuk menarik fraktur kemudian memanipulasi untuk mengembalikan kesegarisan normal/dengan traksi mekanis.

Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal / tidak memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid seperti pen, kawat, skrup dan plat. Reduction interna fixation (ORIF) yaitu dengan pembedahan terbuka dan

mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan. c. Retention Imobilisasi fraktur tujuannnya mencegah fragmen dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan reduksi (ektremitas yang mengalami fraktur) adalah dengan traksi.

Traksi merupakan salah satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulangtulang sebagai kekuatan dengan control dan tahanan beban keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan mencegah reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi, mempertahankan ligament tubuh/mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri,

mempertahankan anatomi tubuh dan mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi adalah: skin traksi dan skeletal traksi. d. Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal mungkin.

3. Sindrom kompartemen A. Definisi Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak Berdasarkan letaknya komparteman terdiri dari beberapa macam, antara lain: 1) Anggota gerak atas a. Lengan atas : Terdapat kompartemen anterior dan posterior

b. Lengan bawah : Terdapat tiga kompartemen,yaitu: flexor superficial, fleksor profundus, dan ekstensor 2) Anggota gerak bawah a. Tungkai atas: Terdapat tiga kompartemen, yaitu: anterior, medial, dan posterior b. Tungkai bawah: Terdapat empat kompartemen, yaitu: kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, posterior profundus Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada daerah tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal). B. Etiologi Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain: 1) Penurunan volume kompartemen, kondisi ini disebabkan oleh: Penutupan defek fascia Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas

2) Peningkatan tekanan eksternal Balutan yang terlalu ketat Berbaring di atas lengan Gips

3) Peningkatan tekanan pada struktur komparteman Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain: Pendarahan atau Trauma vaskuler Peningkatan permeabilitas kapiler Penggunaan otot yang berlebihan Luka bakar Operasi Gigitan ular Obstruksi vena

Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah. C. Patofisiologi

Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom yaitu, antara lain: a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen b. Theori of critical closing pressure. Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan mural arteriol yang tinggi. Tekanan trans mural secara signifikan berbeda (tekanan arterioltekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup. c. Tipisnya dinding vena Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan sehingga drainase vena terbentuk kembali. McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen. Patogenesis dari sindroma kompartemen) kronik telah digambarkan oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar

20% selama latihan dan akan menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang. Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah biasanya yang kena D. Manifestasi Klinis Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu: 1) Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anakanak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. 2) Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut. 3) Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi ) 4) Parestesia (rasa kesemutan) 5) Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom. Sedangkan pada kompartemensyndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain: Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

E. Penanganan Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan kompartemen secara umum meliputi:

1) Terapi Medikal/non bedah Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi: a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas. c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi selotot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas 2) Terapi Bedah Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. 4. Syok A. Definisi

Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai; syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian sel maupun jaringan. Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis. Syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Sirkulasi darah berguna untuk mengantarkan oksigen dan zat-zat lain ke seluruh tubuh serta membuang zat-zat sisa yang sudah tidak diperlukan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif. B. Jenis Syok Syok digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu : 1. Shock Hypovolemic a. Hemoragik, bisa karena adanya trauma atau pun masalah gastrointestinal dan retroperitoneal b. Non hemoragik/ kekurangan cairan dibagi lagi menjadi kehilangan cairan eksternal seperti dehidrasi, muntah, diare, poliuria dan retribusi cairan interstitial seperti akibat suhu, trauma, anafilaksis. c. Peningkatan kapasitas vaskuler atau venodilatation misalnya sepsis, anafilaksis dan toxins atau karena obat-obatan 2. Shock Cardiogenic a. Miopati seperti, infark mikardial ventrikel kiri atau kanan, trauma miokardial, miokarditis, kardiomiopati, post ischemic myocardial stunning, septic myocardial depression, dan farmakologi seperti kardiotoksik anthracycline serta Ca channel blocker b. Mekanik mencakup gagal katup obstruktif dan regurgitasi, kardiomiopati hipertrofi, ventricular septal defect. c. Aritmia karena sinus bradikardi, blok atrioventrikuler dan takikardi

supraventikuler serta ventrikel.

3. Shock Extracardiac Obstructive seperti penurunan preload ventrikel dan peningkatan afterload ventrikel 4. Shock Distributive mencakup a. Syok anafilaktik (akibat reaksi alergi) Syok anafilaktik disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya sudah membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen) mengalami reaksi anti gen- anti bodi sistemik. b. Syok septik (berhubungan dengan infeksi) jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering menjadi penyebab kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar. Shock sepsis akibat bakteri, fungi, virus, rickettsial, sindrom toksik, anafilaksis, anaphylactoid c. Syok neurogenik (akibat kerusakan pada sistem saraf). Yang ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta takhikardi atau vasokonstriksi. C. Manifestasi Klinis Nadi cepat dan lemah Napas cepat dan dangkal Kulit pucat,dingin dan lembab Sering kebiruan pada bibir dan cuping telinga Haus Mual dan muntah Lemah dan pusing Merasa seperti mau kiamat, gelisah

D. Stadium 1. Stadium Kompensasi. a. MAP menurun 10 15 mmHg b. Mekanisme kimia dan ginjal diaktifkan c. Pelepasan rennin, ADH, aldosteron, katekolamin mengakibatkan GFR menurun dan urine output menurun, reabsorbsi Na meningkat vasokonstriksi sistemik

d. Hipotensi jaringan organ non vital dan ginjal 2. Stadium intermediate. a. MAP menurun lebih dari 20 mmHg b. Kompensasi tak begitu lama untuk menyuplay oksigen c. Hipoksia organ vital, organ lain mengalami anoxia, iskemik yang selanjutnya menyebabkan sel sel jaringan rusak dan mati dan ini mengancam jiwa d. Koreksi dalam 1 jam (golden hour) 3. Irreversible Stage. a. Anoxia jaringan dan kematian sel meningkat b. Sel tersisa metabolisme anaerob c. Terapi tidak efektif E. Penatalaksanaan 1. Fluid volume deficit : a. Terapi intravena (sesuai jenis shock) : Kristaloid (untuk mengembalikan cairan elektrolit) : RL, ringer Acetat, Normosal b. Kolloid (untuk mengembalikan volume plasma dan mengembalikan tekanan osmotic) : WB, PRC, plasma (plasmanat, dekstran, dll). 2. Decrease Cardiac Output Tujuan intervensi : Meningkatkan cairan vaskuler, Mendukung mekanisme kompensasi klien, Mencegah komplikasi iskemia. 1) Therapi obat : a. Meningkatkan venous return. b. Memperbaiki kontraksi miokard. c. Menjamin perfusi miokard yang adekuat : Vasoconstrictor agent : Dopamin, Epinephrine, NE, Vasopressin Agen yang meningkatkan kontraksi mokard : Dobutamin, Epinephrine, Iso proterenol. Agen yang menambah perfusi miokard : Nitrogilserin, Nitropruside, Isosorbid dinitrat 2) Therapi Oksigen

3) Posisi Penanganan shock berbeda-beda berdasarkan klasifikasinya. Berikut penanganan shock berdasarkan parameter DO2/VO2 1) Protocol umum jika menggunakan PA cath (protocol vincent)

2) Protocol perioperative (protocol pearce)

3) Protocol hipovolemik (protocol parillo)

4) Protocol panduan untuk transfusi PRC 5) Protocol sepsis (protocol rivers) 5. Peningkatan tekanan intra cranial A. Definisi Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006). Menurut Morton, et.al tahun 2005, tekanan intrakranial normal adalah 0-15

mmHg. Nilai diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu otak (sekitar 80% dari volume total),cairan serebrospinal (sekitar 10%) dan darah (sekitar 10%) (Joanna Beeckler, 2006). MonroKellie doktrin menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan volume yang tetap (Morton, et.al, 2005). Selama total volume intrakranial sama, maka TIK akan konstan. Peningkatan volume salah satu faktor harus diikuti kompensasi dengan penurunan faktor lainnya supaya volume tetap konstan. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan perubahan TIK (Morton, et.al, 2005). Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain cairan serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteriserebral berkonstriksi menurunkan aliran darah otak (Joanna Beeckler, 2006). Pembuktian adanya kenaikan TIK dibuktikan dengan pemeriksaan diagnostik seperti radiografi tengkorak, CT scan, MRI. Lumbal pungsi tidak direkomendasikan karena berisiko terjadinya herniasi batang otak ketika tekanan cairan serebrsopinal di spinal lebih rendah daripada di kranial. Lagipula tekanan cairan serebrospinal di lumbal tidak selalu menggambarkan keakuratan tekanan cairan serebrospinal intrakranial

(Black&Hawks, 2005). B. Indikasi dan Kontra Indikasi a. Indikasi pemantauan TIK Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasikan bahwa TIK harus dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8 setelah resusitasi) dan hasil CT Scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma, kontusio, pembengkakan, herniasi dan penekanan sisterna basalis), TIK juga sebaiknya dipantau pada pasien cedera kepala berat dengan CT scan kepala normal jika diikuti dua atau lebih criteria antara lain usia>40 tahun, sikap motorik, dan tekanan darah sistolik <90mmHg. Indikasi pemantauan TIK menurut Smith,M. (2008) dalam Monitoring Intracranial Pressure in Traumatic Brain Injury. International Research Society No. Indikasi pemantauan TIK 1 2 Severe head injury Intracerebral hemorrhage

3 4 5 6 7 8

Subarachnoid hemorrhage Hydrocephalus Stroke Cerebral edema Central nervous system infections Hepatic encephalopathy

b. Kontra indikasi pemantauan TIK Tidak ada kontraindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada beberapa kontraindikasi relatif yaitu: Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pemasangan pemantauan TIK. Bila memungkinkan pemantauan TIK ditunda sampai International Normalized Ratio (INR), Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) terkoreksi (INR < 1,4 dan PT < 13,5 detik). Pada kasus emergensi dapat diberikan Fresh Frozen Plasma dan vitamin K. Trombosit < 100.000/mm3 Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya berikan sekantong platelet dan fungsi platelet dengan menghitung waktu perdarahan. Imunosupresan baik iatrogenic maupun patologis juga merupakan

kontraindikasi relative pemasangan pemantauan TIK. C. Penyebab a. Tumor primer atau metastasis b. Hemoragia otak c. Hematoma subdural d. Abses otak e. Hidrosefalus akut f. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi D. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari peningkatan TIK disebabkan oleh tarikan pembuluh darah dari jaringan yang merenggang dan karena tekanan pada duramater yang sensitif dan berbagai struktur dalam otak. Indikasi peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi dan

penyebab naiknya tekanan dan kecepatan serta perluasannya. Manifestasi klinis dari peningkatan TIK meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan, iritabel, confusion, penurunan GCS, perubahan dalam berbicara, reaktifias pupil, kemampuan sensorik/motorik dan ritme/denyut jantung. Sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur sering terjadi. Papiledema juga tanda terjadinya peningkatan TIK. Cushing triad yaitu peningkatan tekanan sistolik, baradikardi dan melebarnya tekanan pulsasi adalah respon lanjutan danmenunjukkan peningkatan TIK yang berat dengan hilangnya aoturegulasi (Black&Hawks, 2005). Perubahan polanafas dari cheyne-stokes ke hiperventilasi neurogenik pusat ke pernafasan apnuestik dan pernafasan ataksik menunjukkan kenaikan TIK.

6. Isi kotak P3K SNI STANDARD. 1995 TINDAKAN PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN & PERALATAN Tabel jumlah petugas K3, berdasarkan Jumlah Pekerja. PETUGAS P3K Orang yang ditunjuk paling sedikit 1 (satu) orang. Paling tidak 1 (satu) orang untuk 200 pekerja. Orang yang ditunjuk paling sedikit 1 (satu) orang. Sedikitnya 1 (satu) orang untuk 100 pekerja. Orang yang ditunjuk paling sedikit 1 (satu) orang. Sedikitnya 1 (satu) orang untuk 50 pekerja. Sedikitnya 1 (satu) orang petugas P3K telah dilatih untuk kondisi darurat. JUMLAH NAKER < 50 pekerja diantara 50 dan 200 pekerja > 200 pekera < 20 pekerja diantara 20 dan 100 orang pekerja > 100 pekerja < 5 pekerja diantara 5 dan 50 pekerja > 50 pekerja KATEGORI RESIKO Resiko Rendah Toko, kantor/office, perpustakaan Resiko Menengah Teknik ringan, Gudang/warehouse, Proses Makanan A. Resiko Tinggi Industri berat, industri kimia, slaughter houses

Sumber: HSE (First Aid) ISBN 0-7176-0426-8

Tempat Kerja Dg Banyak Kemungkinan Terjadi Kecelakaan Kotak P3K Bentuk II III III + Kotak Dokter III Setiap 500 naker + Kotak dokter

Tempat Kerja Dg Ada Kemungkinan Terjadi Kecelakaan Kotak P3K Bentuk I&II II III III + Kotak Dokter Setiap 500 naker Kotak Dokter

Tempat Kerja Dg Sedikit Kemungkinan Terjadi Kecelakaan Kotak P3K Bentuk I I II II Setiap 500 naker

Jumlah Naker 0 s/d 25 25 s/d 100 100 s/d 500 > 500

Daftar Isi Kotak P3K menurut bentuknya masing-masing: Kotak Bentuk I berisi: 10 buah plester cepat (mis. Tensoplast, dll.) 1 buah gunting 1 buku catatan 1 buku pedoman P3K 1 daftar isi kotak P3K 10 gram kapas putih 1 rol pembalut gulung lebar 2.5 cm 1 rol pembalut gulung lebar 5 cm 1 pembalut segitiga (mitella) 1 pembalut cepat steril/snelverband 10 buah kassa steril ukuran 5x5 cm 1 rol plester lebar 2.5 cm

Obat-obatan untuk Kotak P3K Bentuk I Obat merah Soda Kue Obat tetes mata Obat gosok Obat pelawan rasa sakit (mis. Antalgin, Acetosai, dll) Obat sakit perut (mis. Paverin, enterovioform, dll) Norit Obat anti alergi Kotak Bentuk II berisi:

1 bidal 1 gunting pembalut 1 buah sabun 1 dos kertas pembersih (cleansing tissue) 1 pinset 1 lampu senter 1 buku catatan 1 buku pedoman P3K 1 daftar isi kotak P3K cm

50 gram kapas putih 100 gram kapas gemuk 3 rol pembalut gulung lebar 2.5 cm 2 rol pembalut gulung lebar 5 cm 2 rol pembalut gulung lebar 7.5 cm 2 pembalut segitiga (mitella) 2 pembalut cepat steril/snelverband 10 buah kassa steril ukuran 5x5 cm 10 buah kassa steril ukuran 7.5x7.5 1 rol plester lebar 1 cm 20 buah plester lebar 1 cm 20 buah Tensoplast) plester cepat (mis.

Obat-obatan untuk Kotak P3K Bentuk II Obat gosok Salep anti histamimka Salep sulfa atau S.A. powder Boor zalif Sofratulle Larutan rivanol 1/10 500 cc Amoniak cair 25% 100 cc Obat pelawan rasa sakit (mis. Antalgin, Acetosai, dll) Obat sakit perut (mis. Paverin, enterovioform, dll) Norit Obat anti alergi Soda Kue, garam dapur Merculochrom Obat tetes mata Kotak Bentuk III berisi: 1 rol plester lebar 2.5 cm 3 bidal 1 gunting pembalut 1 buah sabun 2 dos kertas pembersih (cleansing tissue) 300 gram kapas putih 300 gram kapas gemuk 6 rol pembalut gulung lebar 2.5 cm 8 rol pembalut gulung lebar 5 cm 2 rol pembalut gulung lebar 10 cm 4 pembalut segitiga (mitella)

1 pinset 1 lampu senter 1 buku catatan 1 buku pedoman P3K 1 daftar isi kotak P3K cm

2 pembalut cepat steril/snelverband 20 buah kassa steril ukuran 5x5 cm 40 buah kassa steril ukuran 7.5x7.5 1 rol plester lebar 1 cm 20 buah Tensoplast) plester cepat (mis.

Obat-obatan untuk Kotak P3K Bentuk III sama dengan obat-obatan untuk Kotak P3K Bentuk II Kotak Khusus Dokter berisi: 2 flakon anti panas injectie 5 ampul adrenaline injectie 1 flakon cartison injectie 2 ampul cardizol injectie 2 ampul aminophyline injectie 10 sulfas atropine injectie 0.25 g 10 sulfas atropine injectie 0.5 g 5 ampul anti spascodik injectie 2 handuk 1 tempat cuci tangan 1 mangkok bengkok 1 buku catatan 1 buku pedoman P3K 1 daftar isi 1 set alat-alat minor surgery lengkap 1 botol Alcohol 70% isi 100 cc 1 botol Aquadest isi 100 cc 1 botol Betadine solution 60 cc 1 botol Lysol isi 100 cc 5 spnit injection diskosable 2 cc 5 spnit injection diskosable 5 cc 20 lidi kapas 2 flakon ATS injection isi 100 cc (disimpan ditempat sejuk) 5 flakon P.S. 4: atau 4:1 atau PP injectie Ampul morphine injectie 3 ampul pethridine injectie 2 flakon antihistamine injectie Sumber: SNI-19-3994-1995 Menurut dr. Swee Yong Peng, instruktur P3K dan dokter di IAG HealthSciences Singapura isi kotak P3K adalah:

Alat pelindung, seperti sarung tangan, celemek, masker Alat-alat itu untuk melindungi penolong terhadap paparan dari luka yang akan ditangani.

Alat pembersih, seperti alkohol, krim antiseptik atau antibiotik Tujuannya, untuk membersihkan luka demi mengurangi risiko terjadi infeksi. Kain kasa agar luka tidak terpapar udara luar. Perban atau perekat untuk menutup luka setelah diberi kain kasa. Obat pereda rasa sakit, seperti aspirin untuk meringankan rasa sakit yang diderita korban secara cepat. Obat antibiotik untuk mengantisipasi demam atau gejala lanjutan akibat luka Gula batu atau permen manis untuk meningkatkan kadar gula darah agar tubuh korban tidak lemas. Iodin untuk mengontrol pertumbuhan bakteri pada luka. Pinset atau kapas untuk media pengantar obat cair. Buku manual yang berisi fungsi dan cara penggunaan alat-alat di atas

Berdasarkan PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-15/MEN/VIII/2008. TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA. ISI KOTAK P3K:

7. Carilah gambar atau video tentang bandage dan splinting A. Prinsip Bandaging/pembalutan Membalut merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai dengan baik oleh dokter dan pemberi pelayanan kesehatan lainnya. Istilah pembalut merujuk pada aplikasi secara luas maupun secara sempit pembalutan untuk tujuan terapeutik. Apapun alasannya, perlu diingat bahwa jika tidak diterapkan dengan benar, membalut dapat lebih cepat dan mudah menyebabkan injury. Tekanan pembalutan harus tidak melebihi tekanan hidrostatik intravaskuler, jika membalut bertujuan untuk mengurangi pembentukan oedema tanpa meningkatkan tahanan vaskuler yang dapat merusak aliran darah. Tujuan dilakukan pembalutan antara lain: a. Menahan bagian tubuh supaya tidak bergeser dari tempatnya b. Menahan pembengkakan yang dapat terjadi pada luka c. Menyokong bagian tubuh yang cedera dan mencegah agar bagian itu tidak bergeser

d. Menutup bagian tubuh agar tidak terkontaminasi e. Melindungi atau mempertahankan dressing lain pada tempatnya Macam alat pembalutan: a. Mitella (pembalut berbentuk segitiga) Bahan pembalut terbuat dari kain yang berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai ukuran. Pnjang kaki antara 50-100cm. Pembalut ini dipergunakan pada bagian kaki yang tebentuk bulat atau untuk menggantung bagian anggota badan yang cedera. Pembalut ini biasa dipakai pada cedera di kepala, bahu, dada, siku, telapak tangan, pinggul, telapak kaki, dan untuk menggantung lengan. b. Dasi (mitella yang berlipat-lipat sehingga berbentuk seperti dasi) Pembalut ini adalah mitella yang dilipat-lipat dari salah satu sisi segitiga agar beberapa lapis dan berbentukseperti pita dengan kedua ujung-ujungnya lancip dan lebamya antara 5-10cm. Pembalut ini biasa dipergunakan untuk membalut mata, dahi (atau bagian kepala yang lain), rahang, ketiak, lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir. c. Pita (pembalut gulung) Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kassa, flanel atau bahan elastis. Yang paling sering adalah dari kassa, hal ini karena kassa mudah menyerap air, darah dan tidak mudah bergeser ( Kendor). Macam-macam pembalut dan penggunaannya : Lebar 2,5 cm - Biasa untuk jari-jari Lebar 5cm - Biasa untuk leher dan pergelangan tangan Lebar 7,5 cm - Biasa untuk kepala, lengan atas, lengan bawah, betis dan kaki Lebar 10 cm - Biasa untuk paha dan sendi pinggul Lebar >10-15cm - Biasa untuk dada, perut, dan punggung d. Plester (pembalut berperekat) Pembalut in untuk merekatkan penutup luka, untuk fiksasi pada sendi yang terkilir, untuk merekatkan pada kelainan patah tulang. Khusus untuk penutup luka, biasa dilengkapi dengan obat anti septik e. Pembalut yang spesifik

Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa penutup luka dan steril, baru dibuka pada saat akan dipergunakan, sering dipakai pada luka-luka lebar yang terdapat pada badan. Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh kuman. Biasa dipergunakan pada luka-luka kecil f. Kassa steril Adalah kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk menutup luka kecil yang sudah diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik). Setelah ditutup kassa itu kemudian baru dibalut.

B. Prinsip splinting/pembidaian Semua ekstremitas yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai yang kaku untuk menjaga dan melindungi ekstremitas yang cedera. Pada patah tulang terbuka atau luka lain, luka harus ditutup dulu dengan kassa, status vaskuler dan neurologis ekstremitas tersebut harus diperiksa sebelum dan sesudah imobilisasi. Tujuan immobilisasi : 1. Mengurangi nyeri 2. Mencegah gerakan fragmen tulang, sendi yang cedera dan jaringan lunak yang cedera (ujung fragmen tulang yang tajam dapat mencederai syaraf, pembuluh darah dan otot). 3. Mencegah fraktur tertutup menjadi terbuka 4. Memudahkan transportasi 5. Mencegah gangguan sirkulasi pada bagian distal yang cedera 6. Mencegah perdarahan akibat rusaknya pembuluh darah oleh fragmen tulang 7. Mencegah kelumpuhan pada cedera tulang belakang. MACAM-MACAM BIDAI/SPLINT 1. Rigid splint 2.. Pneumatic splint & gips 3. Traction splint Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit. Sedangkan prinsip pembidaian adalah : 1. Lakukan pembidaian di tempat dimana anggota badan mengalami cidera 2. Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi tidak perlu harus dipastikan dulu ada tidaknya patah tulang 3. Melewati minimal dua sendi yang berbatasan. Syarat-syarat pembidaian

(1) Siapkan alat-alat selengkapnya (2) Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang diukur lebih dulu pada anggota badan korban yang tidak sakit (3) Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor (4) Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan (5) Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat yang patah (6) Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai. (7) Sepatu, gelang, jam tangan, dan alat pengikat perlu dilepas

GAMBAR Gambar balutan pada cedera kepala

Gambar balutan pada trauma dada

Gambar balutan pada luka laserasi pada lengan \ ketiak

Gambar balutan pada luka amputasi

Gambar balutan mitela untuk menggantungkan lengan yang cedera

Gambar bidai pada fraktur femur sinistra

DAFTAR PUSTAKA Argenta C Louis. Compartment syndromes in Basic science for surgeons. Saunders. Philadelphia. 2004. p : 143-4 Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics. Ed 10th. Vol 3. Mosby. USA. 2003. p : 2449-57 Brunner and Suddarth.2002. Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3. Jakarta: EGC DeLee C Jesse, Drez David. Compartment syndrome in DeLee & Drez`s orthopaedic sports medicine. Ed 2nd. Vol 1. Saunders. USA. 2003. p : 13-4 Lastiko Ae. 2013. Bab II Perdarahan Standar Kompetensi: Menjelskan Pada Siswa Konsep Perdarahan. Diakses tanggal 5 Desember 2013. (http://www.academia.edu/3819369/BAB_III_Perdarahan_Standar_Kompetensi_Menjelaska n_pada_siswa_konsep_perdarahan) Rasul Abraham. Compartment syndrome. Available at http://www.emedicine.com. Price, A.S. & Wilson. L.M. (2002). Konsep klinis proses-proses penyakit. (ed 6). Jakarta: EGC Smeltzer, S. C & Bare, B. G. (2002). Brunner & Suddarths textbook of medical-surgical nursing. (ed 8). (Agung waluyu, et al, Penerjemah). Philadelphia: Lippincott. (Buku asli diterbitkan 1996)

Anda mungkin juga menyukai